Sambil menahan nyeri di sanubari kutinggalkan ibu dan anak yang tengah berbicara di dapur, tidak mau mendengar ucapan Mama yang begitu menusuk serta mengoyak perasaan.
Apa kurangnya aku selama ini kepada mereka? Bahkan ketika pertama menikah dan keluarga Mas Erlangga sedang terlilit hutang, akulah orang yang menyelamatkan mereka dari jeratan rentenir sampai rela menjual perhiasan serta menguras tabungan yang aku punya.Pun ketika toko elektronik suami hampir saja bangkrut, tanpa memikirkan harga diri meminjam uang kepada Papi dengan jaminan rumah yang kutinggali. Namun semuanya tidak pernah dianggap. Tetap saja salah di mata mama mertua.Tanpa dikomando buliran-buliran air bening lolos begitu saja membasahi pipi, dan aku segera menghapusnya dengan punggung tangan. Mas Erlangga nggak boleh liat aku nangis. Bisa besar kepala dia nantinya."Dek." Berjingkat kaget ketika tiba-tiba tangan suami mengusap lembut bahu ini. Aku menoleh menatap wajah tampan yang membuat semua wanita jadi tergila-gila itu, ingin mencegah suami untuk tidak menemui perempuan bernama Risma itu tapi, Mas Erlangga itu tipe anak yang begitu penurut. Mana berani dia menolak permintaan mamanya walaupun dia disuruh membuang kami sekali pun."Selamat ya, Mas. Sebentar lagi kamu akan menikah dengan wanita pilihan Mama. Jangan lupa segera urus perceraian kita dan anak-anak biar aku bawa," ucapku seraya beranjak dari duduk, berniat meninggalkan suami. Rasanya tidak kuat jika harus bersitatap dengan laki-laki yang sebentar lagi jiwa serta raganya akan terbagi."Mas minta maaf!" Dia mencekal tanganku, melingkarkan tangannya di pinggang memeluk tubuh ini dari belakang. "Mas tidak mau kehilangan kamu.""Aku nggak mau jadi penghalang bakti kamu sama mama. Lagian aku juga lelah hidup seperti ini terus. Dihina, dicaci, di rumah tidak pernah dipedulikan oleh suami. Aku lelah, Mas. Hati aku hanya sebongkah daging yang mudah tergores luka." Mencoba mengurai pelukan suami, namun, dia malah mempererat dekapan."Kita akan temui Risma bersama-sama. Kamu ganti baju dan berdandanlah yang cantik. Aku tunggu di luar!""Aku nggak mau, Mas!""Dan aku nggak mau dibantah. Kamu tau 'kan hukumnya menolak perintah suami?""Kamu juga sepertinya lebih tau hukumnya zalim terhadap istri!"Mas Erlangga menyentak napas kasar. Dia kemudian melepas pelukannya, mengayunkan kaki ke luar dari kamar meninggalkan aku sendiri yang masih berdiri mematung sambil menahan nyeri di sanubari."Mas tunggu di depan. Jangan lama-lama!" perintahnya lagi.Dengan berat hati berjalan menuju lemari, mengambil pakaian terbaik ingin menunjukkan kalau aku juga masih cantik dan akan ada laki-laki yang masih mau menerima diriku nanti jika sampai bercerai dengan Mas Erlangga.Segera kusapukan bedak di wajah, mengukir alis tipis-tipis juga memoles lipstik di bibir ala artis Korea. Apalagi wajahku yang memang seorang keturunan Tionghoa mendukung penampilanku saat ini. Sempurna.Setelah selesai berdandan, aku keluar menghampiri ketika buah hatiku, dan hampir menangis karena ternyata belum ada satu anakku pun yang sudah mandi.Astaga..."Mas ... Mas Erlang ...!" panggilku dengan suara nyaring.Meski tahu dia sudah memiliki perempun idaman lain, aku tidak mau berpura-pura dan sok-sokan jadi lemah lembut di depan suami. Sebab aku benci kepura-puraan."Ada apa, Dek?" Laki-laki berambut klimis itu menghampiri tapi, bukannya segera mengambil anaknya malah terpesona melihat diriku yang sudah lama tidak berdandan seperti ini."Anak-anak belum ada yang mandi.""Terus?""Nggak mungkin 'kan, aku sudah rapi begini masih disuruh mandiin anak-anak. Lagian kita sudah sepakat untuk tukar posisi selama sebulan. Setidaknya ada yang berkesan di hidup aku jika berpisah dengan kamu nanti.""Dek, masa aku suruh mandiin ketiga anak kita sementara kamu duduk manis sambil mainan ponsel?" protes suami tidak terima."Kamu juga biasanya seperti itu 'kan, setiap kita mau pergi jalan-jalan? Aku repot ngurus anak-anak sementara kamu santai kaya di pantai. Sudah, sekarang nikmati peran kita masing-masing mumpung masih bersama! Sudah siang. Kalau kamu nggak mau mandiin anak-anak ya kita nggak jadi pergi. Aku mau ke toko saja!""Tapi aku nggak bisa mandiin anak-anak, Dek?""Tuh, 'kan. Apa aku bilang. Laki-laki itu tidak bisa mengerjakan pekerjaan ....""Sudah! Biar aku suruh Sari yang mandiin anak-anak. Males banget kalo sudah mengungkit masalah kemampuan istri dan suami!" potongnya."Emm...Maaf, Pak. Saya tidak pernah membantu Ibu memandikan anak-anak. Biasanya kalo saya bantu mandiin dedek Viera saya dibayar tiga ratus ribu sama Ibu!" Sari melirik ke arahku. Mungkin dia mau menolak permintaan suami tapi tidak enak hati, sampai akhirnya menyebutkan nominal angka.Tapi bagus. Gue suka gaya lo Sari!"Ini, mandikan Viera dan Danisa. Mikayla biar saya yang mandikan!" Mas Erlangga terlihat mengambil tiga lembar ratusan ribu lalu menyodorkannya kepada asisten rumah tangga kami."Maaf, Pak. Tiga ratus ribu untuk satu anak. Biasanya Ibu juga seperti itu!""Kamu itu kerja di sini saya gaji setiap bulan lho, Sar. Masa mau mandiin anak-anak saja saya harus bayar lagi?!" Dengus suami bertambah kesal."Sekali lagi saya minta maaf. Tugas saya di sini hanya mengurus rumah, Pak. Bukan ngurus anak-anak!""Sudah! sudah! Sana kamu mandikan Viera saja. Biar Mikayla dan Danisa saya yang mandikan!" Sambil memasang wajah jutek pria dengan garis wajah tegas itu menggandeng dua orang putrinya masuk ke dalam kamar mandi lalu membuka pakaian kedua anakku. Aku tersenyum getir melihatnya.'Aku harap suatu hari nanti masa ini akan membuat kamu merindukan anak-anak, Mas," gumamku dalam hati.Aku tidak tahu harus bagaimana jika suami benar-benar menikahi wanita pilihan Mama, juga bingung menjelaskannya nanti kepada Mami dan Papi. Sebab dari awal, hubunganku memang tidak direstui oleh kedua orang tua karena menurut mereka Mas Erlangga itu bukan tipe laki-laki setia. Dan sekarang, apa yang diucapkan orang tuaku terbukti. Sebentar lagi pria yang sudah empat tahun mendampingi hidupku itu akan membagi cintanya dengan perempuan lain."Dek, kok malah bengong?" tegurnya membuatku terkesiap. "Jangan terlalu dipikirkan," imbuhnya lagi."Aku itu manusia, Mas. Punya hati dan pikiran. Jadi jika punya masalah pasti dipikirkan, apalagi menyangkut rumah tangga!" Aku menyahut malas.Tidak lama kemudian Sari kembali membawa Viera yang sudah cantik dengan gaun berwarna merah muda dan bandana melingkar di kepala. Dia lalu menyerahkan putriku, membantu Mas Erlangga memakaikan baju kedua putriku yang besar dengan warna pakaian dan model yang sama.Sambil menyusui Viera kutatap lamat-lamat wajah-wajah anakku. Mereka cantik-cantik. Sempurna. Tapi kenapa kakek neneknya seperti tidak menyayangi mereka. Padahal jika dibandingkan dengan cucu-cucu Mama yang lainnya, hanya ketiga anakku saja yang terlahir normal. Sanel--putri pertama Amalia terlahir dengan kelainan jantung. Sedangkan Syahira anaknya Ervita terlahir istimewa. Down sindrom. Pun dengan putrinya Ariesa yang terlahir dengan gangguan perkembangan serius yang mengganggu kemampuan berkomunikasi serta berinteraksinya, atau biasa disebut autis."Ayo, Dek. Kita jalan sekarang!" ajak suami sambil mengancing lengan kemejanya.Dengan langkah ragu mengekor di belakang suami, masuk ke dalam mobil lalu duduk si kursi sebelah kemudi sambil menatap keluar jendela. Aku lebih memilih membuang pandang daripada harus menatap wajah suami yang tega mengenalkan istri sahnya dengan sang calon madu. Benar-benar tidak berperasaan.Mobil Mas Erlangga menepi di depan sebuah restoran kelas Sultan. Sambil menggendong Mikayla dan menggandeng Danisa dia melangkah masuk, mengulas senyum melihat rombongan keluarganya dan ada seorang wanita berpakaian kurang bahan diantara keluarga besar suami.Tuhan, sakit sekali melihat pemandangan ini. Apalagi ketika tanpa basa-basi perempuan berdandan menor macam ondel-ondel tersebut menyambut suami, menyalami tangan Mas Erlangga dan mengecup bagian punggungnya dengan khidmat."Kenapa kamu bawa dia juga, Lang?" protes Mama menatapku tidak suka."Vani itu istri aku, Ma. Jadi kalau aku ada acara ya harus aku bawa," jawab suami membuat wajah ibunya bertambah memerah."Tapi kan, ini acara istimewa kita, Erlang. Mama tidak mengundang dia!"Laki-laki berkulit bersih itu menarik kursi, mempersilakan aku untuk duduk lalu menarik kursi satu lagi untuk dia mengenyakkan bokong."Risma, perkenalkan, ini istri saya Rivani Cahaya Kesuma, dan ini ketiga buah hati kami." Sepasang manik hitam milik suami menatap tajam wajah perempuan yang akan dijodohkan dengannya. Jujur, hati ini terbakar cemburu. Aku tidak rela berbagi suami dengan siapa pun."Aku tau, Mas. Tante Anita pernah menunjukkan fotonya sama aku," jawab si calon madu seraya membalas tatapan Mas Erlangga."Kalau kamu tau saya laki-laki beristri, kenapa kamu mau menerima perjodohan ini? Kamu juga wanita, Risma. Harusnya kamu lebih mengerti perasaan istri saya saat ini."Kontan semua mata menatap ke arah Mas Erlangga, tanpa terkecuali Mama dan juga Papa.Ah, tidak menyangka kalau ternyata suami akan membelaku dan menolak perjodohan ini. Terima kasih, Mas Erlangga."A--aku mencintai kamu, Mas. Sudah sejak lama, sebelum kamu menikah dengan Vani," lirih perempuan itu."Tapi, maaf. Saya tidak bisa membagi hati apalagi cinta.""Erlangga, jaga bicara kamu. Pokoknya, Mama akan tetap menjodohkan kamu dengan Risma, walaupun kamu tidak setuju!" sentak mama mertua."Sudahlah, Mas. Lagian apa sih, yang bisa dibanggakan dari Si Vani. Cantikan ge Mbak Risma kemana-mana!" Ariesa ikut menimpali. Dia memang tidak pernah suka denganku semenjak cintanya ditolak oleh Bang Damian, kakak tertuaku. Mungkin dia ingin balas dendam."Kenapa nggak kamu suruh Daffo saja yang menikahi Risma? Kenapa mesti Mas?!" sungut Mas Erlangga membuatku ingin bersorak. Memangnya enak?Kedua mata Ariesa membola sempurna. Wajahnya memucat seperti mayat. Dia saja tidak mau berbagi suami, tapi malah memaksa sang kakak untuk menikah lagi hanya karena alasan tidak masuk akal."Ya sudah. Aku permisi dulu. Sudah siang. Assalamualaikum!" Si pemilik alis tebal mengangkat bokong dari kursi, kembali menggendong Mikayla lalu mengajakku pergi."Erlang. Kamu mau ke mana?" teriak mertua."Jalan-jalan sama Vani.""Terus, siapa yang akan membayar semua makanan ini?""Kalian yang makan, ya kalian semua yang bayar. Masa harus aku?""Tapi semua makanan di sini harganya selangit, Erlang. Kamu jangan lepas tangan begitu!""Lepas tangan? Memangnya saya mengundang kalian untuk makan-makan di sini? 'Kan aku yang kalian undang?" Mas Erlangga merangkul pundakku dan segera mengajakku pergi."Erlang! Erlangga! Tunggu! Bayar dulu!"Laki-laki yang tengah berjalan di sampingku seolah tidak mendengarkan teriakan ibunya. Dia terus saja melangkahkan kaki meninggal restoran, mengajakku pergi entah ke mana.“Kita mau ke mana, Mas?” tanyaku sambil menatap suami yang masih fokus mengemudi. Apalagi gelagat suami terlihat aneh, senyum-senyum sendiri seperti orang sedang ketempelan.“Ke suatu tempat!” jawabnya singkat. Matanya terus menatap lurus tanpa menoleh walau hanya sedetik saja.“Mas, terima kasih, ya.”“Untuk apa?”“Yang tadi. Aku pikir kamu akan menerima perjodohan kamu sama Risma, ternyata kamu menolaknya. Maaf juga karena aku sudah marah-marah dan minta cerai sama kamu.”“Aku nggak minat punya dua istri, Dek. Satu saja kepala aku sudah pusing, apalagi kalo lagi ngomel!” “Ish! Jahat banget mulut kamu, Mas. Tadinya aku udah terharu dan melayang karena aku pikir kamu begitu mencintai aku tapi ternyata hanya karena malas dicereweti istri. Memangnya aku bawel banget ya, Ma”“Menurut kamu?”“Iya. Aku cerewet, nyebelin, nggak bisa apa-apa, Cuma ibu beranak tiga yang bisanya leha-leha di rumah tanpa bisa membantu suami cari duit. Aku Cuma perempuan boros, doyan soping berburu barang limit
Mas Erlangga menghela napas sambil menggeleng kepala, tidak terlihat panik sama sekali melihat aksi nekat ibunya.“Dek, kita sarapan dulu. Mas lapar,” ajak suami seraya melangkahkan kaki menuju meja makan.“Erlang, Mama mau bunuh diri malah kamu cuekin. Kamu itu sebenarnya masih sayang sama Mama nggak sih?!” omel mertua seraya mengikuti Mas Erlangga ke meja makan, dengan mode masih sama seperti tadi. Menautkan pisau di pergelangan tangan.“Lha, terus, aku harus bagaimana, Ma? Kalau aku melarang nanti dikira nggak sayang juga karena menolak keinginan Mama. Kalo Mama sudah siap masuk Neraka ya silakan Mama bunuh diri. Memangnya yakin sudah siap dijemput malaikat Izroil?”“Erlang, Mama serius. Mama hitung sampe tiga, kalau kamu nggak bilang bersedia menikahi Risma Mama bu-nuh di-ri!”Laki-laki dengan garis wajah tegas itu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur, membuka kitchen set mengambil pisau oleh-oleh dari Mami saat dia jalan-jalan ke Filipina.“Nih, Ma. Kalau mau bunuh di
Aku melungguh lemas di sofa tidak jauh dari perempuan tersebut duduk, mencoba menata perasaan serta menepis prasangka buruk terhadap Mas Erlangga. Insya Allah dia laki-laki setia dan tidak suka mempermainkan hati wanita.“Mbak, bisa teleponin Mas Erlang sekarang nggak? Saya lagi butuh uang banget soalnya!” ucap perempuan itu lagi dengan nada ketus.Aku mengangkat kepala menatap wajahnya yang cantik meski tanpa polesan, benar-benar anugerah luar biasa dari Tuhan. Mungkin kelebihannya itulah yang membuat laki-laki mudah jatuh cinta dan terpesona.“Memangnya ada perlu apa, Mbak? Dan kamu ini siapa? Kenapa kamu bisa kenal sama suami saya dan minta transferan uang?” Memberondong dia pertanyaan yang bersarang di benak.“Saya Syarlina temannya Ariesa. Adek ipar kamu dan suaminya itu minjem duit ke saya tiga ratus juta dan Mas Erlang sudah berjanji akan membayarnya. Tapi sudah hampir seminggu dia belum ada kabar, padahal dia janji mencicil uang itu!” ketusnya lagi.Aku syok bukan main. Jadi A
“Sar, Bapak ke mana?” tanyaku karena tidak melihat suami di tempat biasa dia bersantai ria.“Tadi pergi, Bu. Naik motor. Ditegur sama kakak sama diajak main saja Bapak diem aja. Ngga mau nyaut!” jawab Sari membuatku bertambah kesal.Kalau marah sama istri harusnya tidak usah bawa-bawa anak, karena mereka itu tidak tahu apa-apa.“Sini dedeknya, Sar. Biar saya nenenin. Sudah malam juga. Sudah waktunya kamu istirahat. Terima kasih ya.”“Tapi Ibu juga butuh istirahat. Anak-anak belum pada bobok. Kasian Ibu kalau jagain anak-anak sendirian. Aku bantuin nggak apa-apa ya, Bu. Lagian aku belum ngantuk!”Aku mengulas senyum kepada asisten rumah tanggaku. Dia memang begitu pengertian serta perhatian, juga mau memegang pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya.Danisa dan Mikayla terlihat sudah tertidur di atas karpet diusap-usap punggungnya oleh Sari. Rasa sedih seketika merambati hati, merasa kurang memberikan kasih sayang kepada kedua putriku yang besar, karena harus sibuk mengurus si kecil yang
Aku beranjak berdiri lalu melenggang masuk hendak naik ke lantai dua ruko, sampai akhirnya langkah ini terhenti karena suami mencekal lenganku erat.“Dek, Mas minta maaf kalo Mas salah. Tapi tolong jangan minta pisah sama Mas. Mas mencintai kamu, Sayang. Kamu boleh caci-maki Mas, asal jangan ada kata perpisahan. Mas belum siap berjauhan dengan kamu,” lirihnya seraya menatap tajam manik cokelatku.“Biar reader yang bertugas mencaci-maki kamu, Mas. Karena aku nggak mau jadi istri durhaka!” Aku menepis kasar tangan suami lalu kembali menaiki anak tangga menghampiri anak-anak yang tengah asik bermain dengan Sari.“Dek, ya Allah...”Mas Erlangga mengikutiku dan ikut duduk di atas karpet sambil terus menatap wajahku yang dipasang ekspresi sedatar mungkin. Dia paling paham kalau diamku itu amarah sebenarnya. Karena jika hati ini sudah terlalu kesal, aku selalu memilih diam. Sebab diam itu emas, kaya yang di atas tugu Monas.Tok! Tok! Tok!Pintu diketuk peralahan. Mas Erlangga beranjak dari d
"Mas kamu kenapa?" tanyaku panik, melihat banyak sekali luka membiru di dada suami. Sepertinya dia habis dipukuli oleh seseorang. Tapi siapa yang melakukannya?"Aku nggak apa-apa, Dek!" Dia mengulas senyum tipis. Tapi dari ekspresi wajahnya, aku melihat kalau saat ini dia sedang menahan rasa sakit luar biasa."Jawab, Mas. Kamu kenapa? Tubuh dan wajah kamu sampai lebam-lebam begini malah kamu bilang tidak apa-apa. Apa kamu habis berkelahi?""Biasa, Dek. Urusan lelaki. Udah, ah! Mas mau solat!" Mas Erlangga segera mengenakan pakaian dan mengambil sajadah lalu menggelarnya di lantai.Aku duduk dengan kaki menggantung di pinggiran ranjang, enggan beranjak dari kamar sebelum mendapatkan jawaban."Mas tolong katakan, dengan siapa kamu berkelahi?" tanyaku lagi setelah melihat suami selesai melaksanakan ibadah wajib dua rakaat."Sudahlah, Dek. Jangan dipermasalahkan lagi. Aku nggak apa-apa, kok!""Kamu babak belur begini loh, Mas.""Aku nggak apa-apa, Sayang. Cuma mempertahankan harga diri do
Sekuat tenaga menahan air mata agar tidak tumpah, namun, nyatanya aku tidak setegar batu karang yang selalu diterjang sang ombak. Rapuh.“Sabar, Bu. ‘Kan belum tentu Bapak selingkuh. Lebih baik Ibu selesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Jangan pake esmosi,” nasihat Linda sambil terus memangku Viera yang sudah tertidur.“Iya, Lin. Terima kasih atas nasihatnya.” Menghapus air mata dengan punggung tangan, tetap fokus mengemudi supaya tidak mencelakakan orang-orang yang ada di dalam mobil.“Maaf ya, Bu. Karena saya sudah berani menasihati.”“Saya malah senang jika ada orang yang memberi nasihat. Itu tandanya orang itu peduli sama saya!”“Kami semua itu peduli dan sayang sama Ibu. Ibu itu wanita baik, pengertian, bos paling ngertiin anak buahnya.”Aku mencoba mengulas senyum tipis kepadanya.“Sabar ya, Bu.”“Terima kasih. Tolong kamu jangan ceritakan masalah tadi sama orang lain ya, Lin. Biar se
Walaupun mata masih belum bisa terpejam, aku lekas ikut berbaring mencoba menjemput lelap serta mengarungi mimpi.“Oh, ternyata begini ya kelakuan kamu, Rivani! Suami sudah ngoprek nyuci piring, jemur baju, tapi kamu malah masih tidur. Coba kalu liat, sudah jam berapa sekarang!!” Aku berjengit kaget saat seseorang menarikku dari tempat tidur secara paksa sampai terjatuh.“Apa apaan ini?” Aku yang belum sadar sepenuhnya hanya menoleh ke kanan dan ke kiri seperti orang linglung.Mama menarikku ke halaman belakang, menunjukkan pemandangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Mas Erlangga sedang menjemur pakaian sambil menjaga anak-anak.“Liat! Suami kamu sudah kerepotan pagi-pagi seperti ini, kamu malah masih molor!” ketusnya lagi.Mas Erlangga menghampiri dan menatapku lalu bergantian menatap wajah ibunya. Benar-benar menyebalkan ini laki-laki. Dari dulu juga tidak pernah mau membantu mengerjakan pekerjaan istri, ta
Mungkin ini saatnya aku mengalah dan pergi. Membiarkan dia hidup dengan kekasih hatinya, tanpa lagi mengganggu apalagi berusaha merebut dia dari pelukan Erlangga. Semoga saja setelah ini aku bisa kembali menata hidup seperti sebelumnya, melupakan semua kenangan dan mengubur duka yang tengah bertahta dalam dada.***"Pak Damian bukan?" sapa seorang laki-laki berkoko putih saat aku sedang duduk di sebuah rumah makan."Iya, betul. Kamu siapa ya?" tanyaku penasaran, karena merasa tidak mengenal lelaki tersebut."Saya Rian, Pak. Dulu Bapak pernah menolong saya waktu saya dikejar warga gara-gara dikira copet!"Aku mengernyitkan dahi, lalu tersenyum saat mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Seorang pemuda berpenampilan lusuh berlari ketakutan karena ada beberapa orang yang sedang mengejarnya, lalu aku menarik pemuda itu dan membawanya masuk ke dalam mobil.''Kenapa kamu dikejar-kejar warga?" tanyaku saat itu.
POV Damian.Membuka mata perlahan, memegangi dada yang kadang masih terasa sakit akibat luka bekas tembakan yang diberondongkan kepadaku. Untung saja tidak mengenai jantung, sehingga aku masih memiliki kesempatan untuk hidup. Meskipun hidup tapi terasa mati, karena harus berpisah dengan separuh jiwaku.Andai saja Mami tidak mengancam akan mengakhiri hidupnya jika aku terus mengejar Rivani, 'kan kuperjuangkan cintaku sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya Tuhan berkenan mempersatukan kami berdua dalam ikatan suci pernikahan.Tapi ketika aku sekarat dan mengalami koma selama berhari-hari, Mami malah memanipulasinya kematianku. Dia membuat diri ini seolah-olah sudah mati, lalu membawaku terbang ke Kalimantan, dan setelah aku sehat dia terus mendesakku untuk menjauhi putrinya."Mami mohon, Dem. Jangan terus menerus mengganggu adik kamu. Dia sudah bahagia bersama pasangannya. Vani sudah bahagia bersama keempat anaknya juga. Jangan ganggu
Sari duduk di bibir ranjang dengan riasan menempel di wajah,serta kebaya putih melekat di tubuh rampingnya. Tangannya terus saja meremas ujung kebaya, menahan rasa grogi luar biasa karena hari ini Andika akan mengucap janji suci di depan penghulu serta saksi, menjadikan dia sebagai seorang istri yang sah baik menurut hukum maupun agama.Rasanya bagai mimpi, karena setelah melewati titian takdir yang begitu menyakitkan akhirnya Allah meniupkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Dinikahi oleh pengacara yang membantu menangani kasusnya, menemukan keluarga baru yang mau menerima dia apa adanya.Melalui pengeras suara, sang pembawa acara mulai membacakan susunan acara, dilanjutkan oleh pembacaan ayat suci Al-Quran lalu disusul khutbah nikah. Mata Sari mulai terlihat berkaca-kaca ketika acara inti dimulai, apalagi setelah mendengar suara ayahnya di pengeras suara."Ayah kamu datang, Sar. Dia mau jadi wali nikah kamu!" bisik Rivani sambil mengusap air mata bahagia.
"Maaf, Pak. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta restu sama Bapak, karena saya akan menikahi Sari secepatnya!" ucap Andika sambil merangkul pundak Sari, menatap tanpa takut secuil pun laki-laki yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.Baginya, apa pun keputusan ayah Sari nanti, tidak akan menyurutkan sedikit pun niatnya untuk meminang sang pujaan hati. Dia hanya berusaha meminta restu karena Sari masih memiliki keluarga. Tidak sopan rasanya kalau tiba-tiba menikahi sang calon istri tanpa restu dari orang tuanya, karena biar bagaimanapun Sari masih punya wali."Ya sudah. Nikahi saja dia, asalkan jangan pernah dibawa pulang ke rumah ini. Sudah cukup malu saya dengan kelakuannya yang tidak bisa menjaga diri. Menjijikkan. Hamil sama mertua majikannya. Aib. Jadah!" maki laki-laki berusia setengah abad tersebut sambil menatap mencemooh ke arah putrinya sendiri."Harusnya sebagai orang tua bapak mendukung Sari, bukan malah ikut membenci seperti ini. Ka
"Ada apa, Pak?" tanya Sari sambil menatap Andika yang terus saja menundukkan kepala, dengan pipi sudah memerah seperti tomat matang."Emm...begini, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, sebenarnya...emmm..."Perempuan berambut hitam panjang itu terus menyimak dengan tidak sabar, sambil terus memindai Andika yang terlihat semakin gemetar. Padahal dia biasa menghadapi beberapa kasus berat dan tidak jarang memenangkannya. Akan tetapi ketika hendak berbicara dengan Sari, mendadak bibirnya kelu. Kata-kata yang sudah dia susun sedemikan rupa hilang seketika."Ada apa, Pak? Apa Bapak mau meminta bayaran kepada saya?" Sari menatap tajam wajah lawan bicaranya, merasa sedikit takut jika tiba-tiba pengacara yang ditunjuk keluarga Erlangga untuk membantu menyelesaikan kasus yang dia hadapi tiba-tiba meminta bayaran."Bu--bukan, Mbak Sari. Kedatangan saya ke sini, mau anu..."Bu Irmawati, ibundanya Andika menyikut pinggang anaknya gemas. "Begi
Kesal, merasa bodoh dan terhina. Itu yang selalu dia rasakan. Bahkan beberapa kali berniat mengakhiri hidup, akan tetapi akal sehat serta hati kecilnya selalu berbisik, melarang dia untuk melakukan hal tersebut.Melihat kedua majikannya terus saja bersiteru dan Rivani terus saja menuduh Erlangga telah berselingkuh dengannya, Sari akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah tempat dia mengadukan nasib serta merasa menemukan keluarga, juga tempat dimana dia dinodai oleh Ayah mertua dari sang majikan.Namun, kepergiannya dari rumah Rivani ternyata justru membuat dia harus menjadi pelampiasan seksual Ilman. Sari tidak sengaja bertemu dengan pria bajingan itu saat hendak pergi meninggalkan kediaman Erlangga, disekap oleh Ilman dalam sebuah rumah dan harus berkali-kali melayaninya.Sari juga pernah mengalami pendarahan dan dibawa ke rumah sakit oleh pria yang menghamilinya, lalu berhasil melarikan diri ketika Ilman sedang menebus obat di apotek kemudi
"Sar, anak kamu nangis. Kayaknya kepengen nyusu!" ucap Rivani kepada sang asisten rumah tangga yang sedang sibuk menjemur pakaian di pekarangan belakang."Iya, Bu." Sari segera menyudahi aktivitasnya dan lekas menghampiri jagoan kecilnya yang sedang menangis di atas ranjang bayi di dekat pintu."ASI kamu masih belum keluar juga?""Keluar tapi sedikit. Biasanya Arief nggak sabar kalau menyusu. Dikasih susu formula juga pup-nya suka keras!"Rivani menghela napas lalu membuangnya secara perlahan. Dia merasa tidak tega melihat anaknya Sari yang tubuhnya terlihat begitu kurus, bahkan berat badannya hampir sama dengan anaknya yang masih berusia dua bulan."Sini saya susui saja, Sar. Kebetulan ASI saya banyak. Nanti saya pompa juga biar kalau malam Arief bisa nyusu. Saya nggak tega liat dia nangis terus!" ucap perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu seraya mengangkat putra asisten rumah tangganya, memangkunya dengan hati-hati kemudian memb
#POV AuthorErlangga duduk memaku di teras rumah sembari menatap rintik gerimis yang mengecup dedaunan. Diuasapnya tengkuk yang sering terasa sakit, apalagai semenjak kejadian pengeroyokan yang dilakukan oleh sang ayah serta adik ipar, yang hampir saja merenggut nyawanya dulu. Saat itu dia baru saja pulang dari basecamp Damian, setelah menerima tantangan kakak iparnya yang terdengar sedikit konyol. Melawan beberapa orang algojonya dengan taruhan Rivani sang istri. Awalnya pria berhidung mancung itu menolak tantangan konyol Damian, namun, si kakak ipar malah mengancam akan memisahkan dirinya dengan wanita yang teramat dicintainya itu. Karena tidak mau kehilangan orang-orang yang dicinta akhirnya dia menerima tantangan tersebut dan harus mengalakan anak buah Damian.Demi cinta Erlangga melakukan semuanya. Menahan sakit karena pukulan demi pukulan yang dilayangkan, hingga akhirnya memenangkan beberapa pertandingan walaupun harus mengalami luka-luka di sekujur badan, terutama bagian waj
Semua alat yang menempel di tubuh lelaki bertato ular naga itu satu per satu mulai dilepas. Tubuh kekarnya ditutup menggunakan kain hingga ke kepala, dan kami segera mengurus surat kematiannya."Mami akan menguburkan Damian di Kalimantan. Sesuai permintaan dia sebelum pergi," ucap Mami sambil mengusap air mata yang terus saja mengalir dari kelopaknya."Aku ikut, Mam. Aku ingin mengantarkan Bang Damian ke tempat peristirahatannya yang terakhir!""Tidak usah, Sayang. Kamu lagi hamil dan Abang juga berpesan supaya kamu tidak menghadiri pemakamannya. Itu wasiat Abang sama Mami kemarin, sebelum dia akhirnya mengalami koma!"Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Mami. Apa iya Abang tidak mengizinkan aku untuk menghadiri pemakamannya, sementara dia begitu mencintai aku?Sepertinya tidak masuk akal. Apa jangan-jangan, Abang juga tidak memaafkan semua kesalahanku?"Mam, apa Abang tidak memaafkan aku?""Bahkan Abang me