Ciuman yang gagal. Sepertinya itulah judul yang pas bagi kisahku semalam di mana harapanku kandas dan khayalanku terjun bebas. Sumpah!Jika boleh jujur sekarang aku merasa sangat kesal, seakan merasa terhina karena seolah aku yang berpikiran kotor padahal wajah Mas Aksa yang ngadi-ngadi bikin aku berpikiran yang 'iya-iya'. Dasar sempak kolor ijo! Seharusnya otakku ini langsung di-ruqyah saja sama Pak Ustadz biar sedikit waras.Coba bayangkan saja, semalam bibirku yang sudah monyong ini hanya menyentuh udara tanpa bisa merasakan ciuman pertama.Oh Mas Aksa kapankah kau akan tahu kalau aku jatuh cinta? Tidakkah kau melihat perawan ini lebih baik dari pada Nadia?"Kenapa kamu manyun gitu? Gak suka kita pulang ke Bandung?"Sebuah suara tiba-tiba menyapaku yang sedang sibuk menerawang sambil memandang ke luar jendela pesawat. Pagi-pagi sekali sesuai rencana Mas Aksa kami harus pulang dari Bali ke Bandung dengan menggunakan pesawat kelas bisnis. Kata Mas Aksa, karena kakiku masih harus
Bibir.Bibir.Bibir.Tak kuduga, efek ciuman pertama itu akan sedahsyat ini akibatnya. Harus kuakui sehabis bibirku dibuat mendadak dangdut karena sengatan Mas Aksa yang memabukkan di lift, saat ini pikiranku jadi terngiang-ngiang terus kejadian tersebut.Coba bayangkan saja, gara-gara peristiwa mengejutkan itu, entah mengapa aku melihat semua hal yang kupandang tiba-tiba berubah menjadi bibir Mas Aksa.Dari mulai aku ke kamar mandi sampai ke mau ngelipat baju kayak sekarang tuh bibir belum pergi juga. Ibaratnya, semua barang yang kupegang mendadak jadi bibir suamiku sendiri.Astaghfirullah! Tobat! Ada apa denganku? Apa aku kerasukan setan bibir? Atau jangan-jangan apartemen Mas Aksa ini punya aura mistis yang membuat aku jadi wanita yang cukup mesum? Kalau begini akibatnya, aku jadi menyesal menantang Mas Aksa yang diam-diam bikin sawan perawan.Ting.Ketika aku sedang hanyut melamunkan masalah bibir sambil memasukan baju ke dalam lemari di kamar, tiba-tiba ponselku berdenting. Sebua
POV AksaDengan perasaan masih tak karuan, aku hanya mampu terduduk di balik kemudi. Setelah melewati satu operasi yang cukup panjang, akhirnya aku memiliki waktu untuk segera pulang menuju apartemen.Sejujurnya, semalam aku sudah berniat menolak permintaan Maura karena tak enak harus menggagalkan rencana makan malam dengan jingga tapi dikarenakan khawatir akan keselamatan pasien akhirnya aku menyerah. Untungnya operasi lancar berjalan hingga tak perlu lebih lama lagi terjebak di rumah sakit."Shit! Macet lagi!"Aku mendengus kesal ketika mobilku terhalang lampu merah padahal perasaanku sudah kangen berat. Sambil menunggu lampu hijau, aku merogoh ponsel yang ada di saku celana. Ada walpaper yang menunjukan wajah Jingga di sana. Baru saja kurang dari 10 jam gak ketemu anehnya aku sudah rindu.Heran. Ini orang narkoba apa manusia? Kenapa bisa membuatku resah begini? Di saat sedang sibuk memandangi foto Jingga, tetiba aku ingin sekali menghubunginya. Walau mobil sudah menuju ke arah pul
POV AuthorJingga membersihkan apartemennya dengan riang, sejak tadi senyuman lebar tak henti menghiasi wajah cantiknya. Kini di pikiran gadis itu hanya ada satu nama yaitu Aksa, Aksa, dan Aksa.Keanehan ini terjadi karena seusai sarapan bareng tadi Aksa meminta Jingga untuk bersiap-siap karena siang nanti Aksa akan mengajak Jingga pergi kencan tapi sebelum itu terjadi terpaksa Aksa harus ke suatu tempat dulu karena masih ada urusan.Meski agak kecewa karena Aksa gak langsung pulang bersamanya dari restoran, tetap saja Jingga bersemangat karena Aksa bilang 'rindu' pada Jingga.Mengingat itu semua, gadis cantik berpipi chubby itu terus saja bersenandung saking senangnya. Dia jadi berpikir, kenapa Bu Zela tidak menjodohkannya dari zigot saja sama Aksa biar gak usah ketemu Nadia apalagi Maura."Bersama bayangmu kasih, seakan-akan kuterjaga dari mimpi-mimpi. Uwwwooo Oh Aksaku Sayang!" Jingga terkekeh sambil terus bergumam gak jelas. Gadis itu terus saja berjoget mengikuti irama lagu semb
Jingga baru saja selesai berganti baju saat ia dikejutkan oleh kedatangan Aksa yang tiba-tiba saja membuka pintu apartemen secara paksa. Tanpa melihat Jingga yang bingung karena wajah Aksa yang terlihat emosi, lelaki itu langsung menuju ke arah pantry lalu membuka kulkas untuk mengambil sebotol air es dingin."Mas, kenapa? Mas haus?" tanya Jingga cemas. Aksa tak mengindahkan pertanyaan Jingga, dia lebih fokus meminum air es itu hingga tandas tapi sialnya rasa panas yang membakar tubuhnya sama sekali tidak mereda. Malah hasratnya semakin tak tertahan dan dia bingung bagaimana cara melampiaskannya. "Mas, hey? Mas baik-baik saja?" Sekali lagi Jingga melangkah lebih dekat ke arah Aksa untuk memeriksa keadaan suaminya. Gadis itu bahkan sengaja berdiri di depan Aksa meski Aksa melarang dengan memberi kode."Ga, stop! Tolong jangan dekati saya dulu. Maaf, saya minta waktu untuk menyendiri, kita jalannya sore saja, maaf," ujar Aksa seraya mengacungkan tangan sebagai tanda berhenti.Sejujurn
POV AuthorMaura meninggal. Itulah yang pertama kali Aksa dengar dari telepon sahabatnya ketika dia baru saja terbangun dari tidur akibat kelelahan setelah pergumulan bersama Jingga tadi siang ketika dia masih di bawah kendali obat perangsang.Panggilan dari Riko sudah terputus, tetapi tubuh Aksa masih terasa kaku, rasa kantuknya hilang begitu saja setelah mendengar info itu. Perlahan tapi pasti pikirannya melayang pada Maura. Pagi tadi, Aksa masih mengingat jelas bagaimana perbuatan Maura yang hampir saja mau membuatnya khilaf. Pria itu mendorong Maura karena hampir memanfaatkan kelemahannya dan tanpa memperdulikan Maura yang meraung, Aksa gegas pergi meninggalkan apartemen. Namun, walau Maura meninggal jelas ini bukan murni salahnya. Riko bilang Maura meninggal karena percobaan bunuh diri, dia memakan obat berlebihan dan menyayat nadinya sendiri.Lalu, yang tak Aksa nengerti. Kenapa Maura berbuat nekat seperti itu? Apakah karena telah ditolak Aksa, Maura jadi begini?Aksa menyugar
POV JinggaAku tidak tahu apa yang terjadi padaku jika Mas Aksa tidak menyelamatkanku tepat waktu. Mungkin saat ini bukan hanya harga diriku yang hilang tapi ragaku juga.Takut, gemetar dan trauma. Mungkin tiga kata inilah yang mampu menunjukan kondisiku sekarang. Setelah aku tiba-tiba dibawa ke gang sempit yang minim penerangan dan hampir diperkosa, aku bahkan tak mampu lagi bergerak dan berbicara dengan benar. Rasanya sekujur tubuhku lemas dan aku tidak bisa lagi berpikir karena otakku kosong. Hanya air mata saja yang bisa aku keluarkan sebagai ekspresi begitu syoknya aku dengan apa yang kualami. Beruntung, Mas Aksa paham betul dengan apa yang terjadi padaku. Dengan sigapnya dia lalu membawaku ke tempat aman tentunya setelah melumpuhkan si penjahat dan melaporkannya ke pihak yang berwajib.Sejujurnya, percobaan perkosaan ini bukan pertama kalinya aku alami. Dulu pamanku yang bejat di kampung pernah mencoba melakukan yang sama untungnya aku berteriak sehingga perbuatan biadab itu bi
Sekian menit berlalu tanpa arti, keheningan masih setia menyelimuti kami. Aku dan Mas Aksa seakan sibuk dengan pikiran masing-masing tanpa ada yang berani memulai bicara. Terhitung, dari selama kami duduk berhadapan, aku hanya melihat lelaki itu sibuk memutar-mutar bolpoin di tangannya dengan gelisah. Menyaksikan kondisi awkward ini sekarang aku paham, kenapa Bu Zela membiarkan kami bicara empat mata. Ternyata alasannya adalah karena Mas Aksa ini tipe yang tertutup dan tidak mudah membuka rahasianya pada orang lain. Apalagi yang akan aku dan Mas Aksa bicarakan ini bisa dibilang masalah rumah tangga kami gak mungkin Bu Zela ingin ikut campur. Namun, kalau dia diam terus begini semalaman gimana? Bisa mati kutu aku. Agh, aku tak tahan lagi. Mataku sudah berat dan kepalaku pening, mungkin lebih baik kusudahi saja acara bongkar-membongkar rahasia daripada tengah malam begini kami malah terlibat suasana canggung kayak gini. Bisa jadi Mas Aksa memang berat mengungkapkannya. Aku hanya perlu
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia