POV Alfa
Aku tersenyum tipis melihat Zela menekuk wajahnya sepanjang perjalanan ini. Istri mungilku itu tak ubahnya seperti anak kecil yang sedang menjaga mainan kesukaannya agar tidak dicuri seseorang.Wajah tegang, bibir manyun dan tangan bersedekap.Perfect anehnya.Perubahan ini terjadi setelah aku menyampaikan kalau Ibu akan menjodohkan aku dengan Yoana. Entah kenapa, Zela tampak menjadi seseorang yang berbeda, sikapnya seakan lebih posesif dari biasanya.Sungguh, jika boleh jujur aku suka Zela yang seperti ini dibanding dia yang pura-pura tak perduli.Aku suka Zela yang tanpa malu menunjukan rasa cemburu dengan segala kepolosannya. Tidak seperti dulu yang kerap kali menahan diri dan menangis dengan sembunyi-sembunyi sehingga membuat otak ini terasa lelah karena disibukkan dengan menerka-nerka.Kenapa Zela? Ada apa dengannya? Terus saja begitu sampai Jalu dilepas ke alam liar.Namun, terlepas dari semua tinGila! Aku sepertinya kerasukan!Astaghfirullah. Bagaimana mungkin aku bisa bilang kalau sanggup berpisah lagi sama Mas Alfa sebulan? Kami kan, baru berpisah, masa harus berpisah lagi?Zela bodoh! Bodoh!Entah berapa kali hari ini aku merutuki diri. Acara makan di rumah Mas Alfa kemarin benar-benar membuatku syok setengah mati.Terlebih, dengan bodohnya aku berjanji untuk merubah pandangan Bu Imel lagi tentang aku.Mustahil.Dengan menjadikan Yoana sebagai rival, sama saja Bu Imel bilang tidak secara langsung kalau dia ingin Yoana-lah yang menang karena baginya menantu sempurna itu ya ... seperti Yoana.Cantik, pintar, dokter dan yang terpenting terlahir dari keluarga baik-baik. Itu poin plus yang tak dimiliki olehku.Keluarga baik-baik.Ah, miris.Duh ... Gusti, kalau seperti ini terus bagaimana caranya aku bisa menang? Dan bisa membuat Bu Imel menerimaku?Terutama aku dengar dari Mas Alfa,
Tubuhku bergetar, kakiku seolah tak menapak bumi dan Mas Alfa mengeratkan pelukannya.Aku nyaman. Ya, sangat nyaman karena sebuah kehangatan yang berasal dari seorang Alfa Prawira-suamiku.Seolah kegelisahan di dalam dada mengenai kekacauan yang kubuat sirna begitu saja, hanya karena sentuhannya. Terlebih ketika dia menciumku dalam di apartemen yang disewa Mas Alfa untukku selama aku menjalani challange Bu Imel."Kamu sudah melakukan yang terbaik Zel, Mas bangga sama kamu." Mas Alfa menarik wajahnya dan melepaskan tautan bibir kami.Aku termangu sambil menetralkan degup jantung. Sudah kubilang kan, Alfa itu the best kisser, dia itu pandai membuatku hampir pingsan hanya karena permainan bibirnya.Tahan Zela, jangan pingsan! Nggak lucu kan, pingsan pas lagi romantis.Namun, meski terlena tetap saja hati ini masih saja mengingat tatapan Ibu mertua yang menatap marah ke arahku saat Mas Alfa langsung membawaku pulang usai insiden peny
Ada masa di mana kita akan sering mempertanyakan kenapa Allah membuat kejadian seperti ini dan kenapa seperti itu? Karena begitulah manusia dia akan terus merasa apa yang terjadi padanya itu sungguh tidak adil. Padahal bisa jadi di mata Tuhan itulah yang terbaik, hanya manusia saja tidak mengetahui.Contohnya, dulu aku kira menikah sama Mas Alfa itu sebagai kutukan tapi sekarang aku merasa sangat bersyukur. Sebab, dengan menikah dengannya aku banyak mengalami proses pendewasaan dan juga pembelaan yang selama ini tak kudapatkan.Alfa itu suami. Alfa itu Kakak. Alfa itu Ayah dan Alfa itu cinta. Begitulah aku mendeskripsikan seorang Alfa.Jika aku cinta pertama Mas Alfa maka dia cinta sejatiku.Ya, sekarang kuakui aku memang sedang jatuh cinta. Oh, salah! Tapi, aku sedang membangun cinta karena kalau jatuh itu sakit kalau membangun itu bahagia.Walau kuakui jalan untuk bersama dengannya sungguh tak mudah.Berat.
Entah sudah berapa lama aku menangis di dalam pelukan Mas Alfa sampai kemeja slim fitnya basah oleh air mata dan ingusku.Selayaknya seorang gentle, Mas Alfa menyampirkan jaketnya lalu mengusap bahuku dengan lembut tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia tidak bertanya juga tidak menasehati.Mas Alfa seakan tahu apa yang kubutuhkan sekarang. Jadi sejak tadi, dia hanya membiarkanku bersandar di bahu dan dadanya yang bidang. Sementara, dalam hatiku terus saja mempertanyakan.Kenapa aku yang dibuang? Kenapa aku harus menerima perbuatan jahat mereka? Kenapa aku yang harus mengalami takdir pahit ini? Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang saat aku tahu semua ini?Hancur. Aku sungguh merasa hancur dan ingin mengungkapkan perasaanku.Namun, entah kenapa lidah ini begitu kelu hanya untuk sekedar bercerita pada Mas Alfa. Aku masih berharap semua ini mimpi.Coba bayangkan 25 tahun aku bersama mereka yang kuanggap keluarga, ternyata mereka
Aku tidak mengerti kenapa Mas Alfa selalu datang di saat-saat posisiku sangat memalukan dan anehnya selalu berhubungan dengan kamar mandi.Dari mulai kaus transparan sampai bertengkar dengan Mbak Resa, dia selalu ada dan uniknya selalu toilet yang menjadi tempat kejadian perkara. Terakhir, kemarin dia memergokiku salah masuk toilet.Duh ... Gusti mau ditaruh di mana mukaku?Apa sebenarnya dia itu punya hubungan dengan kamar mandi? Sehingga jika aku berbuat masalah di kamar mandi, dia dapat bisikan ghaib?Ah, yang benar saja. Ini salah satu teka-teki yang tak kumengerti.Namun, terlepas dari kebodohanku dan jiwa malaikat seorang Alfa. Bagiku tetap saja ada yang lebih membingungkan dari semua itu yaitu statusku di dalam keluarga Raharja.Siapa orang tuaku? Kenapa Ayah merawatku? Kenapa mereka menyembunyikan identitasku? Dan semuanya telah membuatku penat.Sangat penat. Maka dari itu, sekarang di sinilah aku.Hari ini aku punya rencana yang membuatku tid
Seperti yang sudah kusampaikan sebelumnya, kalau aku ini tidak bisa renang, mau gaya apa pun pokoknya nggak bisa. Baik itu renang gaya kodok, kupu-kupu, punggung dan sebagainya.Nothing overdongkrak.Namun, tetap saja aku gengsi jika harus mengakuinya di depan Bu Imel dan Yoana.Mau disimpan di mana mukaku? Apa kata mereka jika tahu kalau sebesar ini aku masih takut masuk air? Bisa-bisa aku jadi bahan gunjingan tapi kalau aku enggak jujur, bagaimana nasibku nanti coba? Mana bujukan Mas Alfa pada ibunya untuk mengganti challange gagal total.Apes nian nasibku! Alamat gagal ini mah.Aku memandang penampilanku yang sudah memakai swimsuit di depan cermin dengan frustasi. Rasanya masih terasa belum sanggup melihat ke arah kolam renang.Dulu aku pernah hampir tenggelam, semua karena Mbak Resa yang tak mau mengajariku secara intensif. Dia bilang, aku harus bisa sendiri tapi setelah kejadian di pantai Anyer aku jadi trauma."Kamu udah siap? Bisa kita bicara?" Sebuah suara yang berasal dari pi
Pada dasarnya, setiap orang tua itu mau yang terbaik untuk anaknya. Begitu pun Bu Imel, aku tahu kalau Bu Imel itu nggak ribet tapi kalau kata Bibi--pembantu yang udah lama kerja di rumah Mas Alfa, Bu Imel itu pernah cerita kalau dia punya kriteria-kriteria khusus untuk menantunya.Misal nih, Bu Imel itu suka banget sama menantu yang pintar masak, mengurus rumah tangga, berasal dari keluarga baik-baik juga bisa renang.Bisa renang. Harap dicatat! Dan aku gagal untuk itu.Aku sedih dan tak tahu harus bagaimana.Buruknya, tadi di bawah kupingku pun tak sengaja menangkap obrolan Bu Imel dan Bibi di dapur usai Yoana pulang dan aku mau ke atas untuk berganti baju."Saya ini masih belum sreg Bi sama Zela, saya lihat dia masih kayak anak-anak. Apa-apa harus dibela sama Alfa. Gimana saya bisa mempercayakan anak saya yang semata wayang ini, coba? Kalau istrinya saja kayak gitu.Makanya saya bersikeras belum setuju sekali pun Alfa gak mau, saya gak peduli. Semua ini demi dia juga, saya ingin Z
Aku terbangun karena suara alarm menyapa telinga. Baru kali ini kurasa diri ini benar-benar merasa tertidur nyenyak sampai dibangunkan alarm. Biasanya sebelum alarm meraung, aku sudah bangun dan mulai beraktivitas hingga saat adzan subuh tiba aku sudah siap.Perlahan kucoba membuka mata dan menggisiknya pelan.Ketika kesadaranku pulih. Aku mulai merasa kebingungan.Sebentar! Sejak kapan gordenku berwarna abu? Ini bukan kamarku lalu ini kamar siapa?Aku pun menolehkan kepala untuk memeriksa keadaan dan ... jeng-jeng!Kutemukan seorang pria tengah tertidur di sampingku dengan bertelanjang dada. Sebagian tubuhnya terhalang selimut sementara sebagian lain tidak dan ternyata aku pun sama.Gila!Apa benar kami telah melakukannya semalam?Ah, aku ingat, semalam kami tidak jadi pergi ke undangan karena melihat Mas Alfa yang merajuk pasca aktivitas panas kami dihentikan Bu Imel.Maka, di tengah perjalanan akhirnya kami sepakat untuk membelok ke arah hotel yang berada di tengah-tengah antara ru
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia