Beberapa ronde bergulat dengan Tsabit membuat perasaanku sedikit lega. Rasa trauma akibat dilecehkan Surya seolah berangsur hilang begitu saja, walau pun masih ada ketakutan yang membelit tapi aku mencoba untuk melupakan dan memaafkannya.Dibanding jadi lemah dan menangis, sebaiknya aku akan mencari celah untuk menolong Tsabit menemukan Wita yang konon katanya telah kabur setelah membakar gudang di Cikarang. Aku akan memastikan kalau Tsabit tidak akan merasa rugi sedikit pun karena dia sudah cukup kesusahan ketika memilih bersamaku. Cukuplah Tsabit mengurusi persoalan tentang kemarahan Ibu mertuaku yang belum selesai, aku gak mau Tsabit dibayang-bayangi lagi oleh kejahatan Wita, Tari atau lainnya. Ini saatnya aku bertindak!Aku memasukkan buku-bukuku dengan capat ke dalam tas. Pasca insiden Surya kemarin malam aku memutuskan untuk lebih reaktif menyikapi semua kekacauan ini, termasuk aku berencana mencari sendiri keberadaan Wita yang kabur setelah membuat berbagai banyak kerugian.
"Jangan ditekan, Mas! Aduh, aduh sakit!"Hana mengaduh ketika Tsabit memberi kapas yang sudah dilumeri oleh betadin. Gadis itu ternyata agak kesakitan karena luka di dagu, pipi sampai beberapa bagian tubuhnya meradang.Setelah babak belur karena berantem dengan Wita, Hana gegas diamankan oleh Tsabit ke klinik temannya yang kebetulan gak jauh dari tempat kejadian.Bagi Tsabit, tindakan Hana ini sangat berbahaya karena beraninya mengendalikan wanita gila seperti Wita sendirian. Beruntung, Wita bisa dengan cepat diringkus dan dibawa ke kantor polisi oleh Reyhan agar bisa dimintai pertanggung-jawaban untuk kejahatan yang dia lakukan."Kamu sengaja mau buat saya marah, ya? Kenapa kamu selalu buat Mas cemas? Kamu tahu gak, kamu bisa saja diculik atau ... ah!" Tsabit menghentikan kalimatnya sendiri karena saking tak kuasanya membayangkan apa yang terjadi pada Hana. Demi menekan kemarahannya dia memilih diam dan mengobati luka Hana.Dalam hati pria itu menyayangkan sikap Hana yang sama sekali
Tanpa siapa pun ketahui, sebenarnya Tsabit sudah memperkirakan bagaimana cara menghadapi Wita. Selama dia menjadi pengusaha, dia sudah banyak bertemu dengan berbagai orang termasuk yang licik dan berotak kriminal seperti Wita. Sejujurnya, Tsabit sendiri tidak tahu alasan Wita jadi berubah membencinya padahal sebelumnya mereka adalah sahabat. Namun, meski pernah sama-sama membangun bisnis, seorang Tsabit tidak pernah memaafkan suatu pengkhiatan. Apalagi sekarang Wita bukanlah wanita yang punya pengaruh seperti dulu, dia tidak punya dekengan karena para petinggi yang mendukungnya sudah Tsabit kondisikan. Dengan kata lain, kini lebih mudah bagi Tsabit untuk menghukum Wita karena semua yang memihak Wita berbalik mendukungnya. "Sudahlah lebih baik kamu nyerah Wit. Di perusahaan gak ada yang mendukung kamu lagi. Sekarang saya tanya sebenarnya alasan kamu berbuat ini semua? Bukannya kita ini sahabat?" tanya Tsabit to the point. Tidak seperti biasanya, Tsabit memilih menggunakan panggilan '
Buggh!Satu pukulan mendarat tepat di salah satu bibir Tsabit saat Tsabit berhasil masuk dari lapang ke gedung tua yang ada di bukit golf dan jadi tempat persembunyian Surya. Darah segar pun mengalir di sana tapi Tsabit tak menyerah dengan sekali hentakan dia bisa memegang kedua lelaki kekar yang mengungkungnya. Tanpa ampun, Tsabit langsung menarik kepala salah satu mereka dan langsung meng-interogasinya."Bangsat! Gue bilang berhenti bermain-main, sekarang di mana bos lo?!" tanya Tsabit seraya mencengkram kerah leher si anggota geng payah yang memiliki panggilan Nemo itu. Si Nemo bertato itu meludah ke samping. "Cuih! Gue gak sudi jawab pertanyaan lo, set*n!""J*ncuk! Buruan! Panggil Bos lo, kalau Lo gak mau gue pukul lagi!" Bogem Tsabit sudah terangkat ke atas ketika suara berat milik Surya membuat perhatian Tsabit teralih ke depan."Hey, gue di sini. Lo nyari gue?" tanya Surya yang datang dengan pongahnya. Sudah Tsabit duga sebelumnya jika Tsabit menghardik anak buahnya, si ketua
POV HanaAku merasa ada yang berbeda dengan tubuhku akhir-akhir ini. Selama Tsabit dirawat, anehnya kejanggalan pada tubuhku seolah semakin nyata. Aku jadi sering mual dan tidak suka pada makanan tertentu. Namun, dikarenakan fokus pada kesehatan Tsabit yang belum tersadar pasca operasi, kuputuskan untuk tidak terlalu memperdulikannya. Jujur, melihat suamiku yang masih setia dengan tidur panjangnya dalam beberapa hari ini membuat perasaanku campur aduk. Tiap hari aku berdoa untuk menunggu kesadaran Tsabit, tak kuperdulikan raga yang sakit dan setia mengamati wajahnya yang penuh dengan perban. "Mas, kapan bangun? Mas, maafin Hana, ya?" ucapku sembari menggenggam tangan Tsabit yang pucat. "Cepat sembuh ya, Mas. Aku di sini nunggu Mas," lanjutku sambil mengusap air mata yang ada di sudut mata.Aku beranjak dari kursi lalu mencondongkan diri untuk mengecup kening suamiku cukup lama. Entah mengapa aku merasa rindu suaranya yang selalu mengomeliku. Tetapi demi Tsabit aku harus bertahan.
Aku tidak menyangka jika menjadi ayah akan semendebarkan ini. Setiap Hana mengajakku untuk berbicara dengan bayi yang ada dalam kandungannya, entah mengapa aku merasa bahagia. Pantas saja Mas Aksa begitu antusias menanti kelahiran Jauzan anaknya, ternyata ini alasannya.Selain aku jadi lebih gembira, di sisi lain aku juga jadi belajar lebih bijak menghadapi seorang Hana itu dikarenakan aku merasa semenjak Hana hamil, tingkahnya jadi lebih bar-bar dan sensitif. Aku yang seringkali tenang menghadapi berbagai macam kondisi seperti tidak berkutik jika Hana bersabda. Wanita yang kucintai itu agak unik dibanding kasus ngidam yang pernah aku dengar dari orang lain, mungkin inilah yang dinamakan beda wanita beda cara. Tetapi, meski begitu aku hanya berdoa semoga anak kami nanti tidak terlalu bar-bar seperti ibunya.Sore ini seperti biasa, aku pulang lebih awal karena rindu sama Hana dan janin yang ada di perut Hana tentunya. Namun, baru saja aku sampai di ambang pintu tiba-tiba saja Hana s
POV TsaniaAmbyar! Gue kesiangan. Buru-buru gue parkirkan si Minie--sepeda motor warisan Ibu sembarangan ketika sudah sampai di parkiran sekolah.Super sial. Pagi ini gue benar-benar lupa kalau di sekolah bakal kedatangan kepala sekolah baru, berhubung pengumumannya mendadak jadi gue gak siapin apa-apa.Cuman menurut slentingan yang gue dengar kepala sekolah itu supertampan, superjutek dan superdisiplin. Katanya juga dia merupakan anak kepala yayasan yang diminta menggantikan peran kepala sekolah sementara karena kepsek sebelumnya gak bener, jadi dia kepaksa ngambil tugas ini karena permintaan orang tuanya. Pokoknya kata gosip intinya kepsek baru ini termasuk serbuk berlian banget, sakin pinternya pernah ada gosip dia gelarnya banyak.Ajegile. Apa gak stres otaknya? Pasti laki kayak gini ngebosenin.Khawatir kesiangan, gue kuatkan kaki buat terus berlari menyusuri lorong dengan kekuatan yang tersisa. Untunglah gak perlu butuh waktu lama, akhirnya badan ini sampai di ruang guru dan tern
Gue tahu terkadang karma itu datangnya cepat banget. Dulu, gue pernah menghina kedua Abang gue yang mau-maunya dijodohin sama cewek pilihan Ibu, sekarang gue yang malah kena batunya. Gue kira setelah menolak lamaran via Ibu, semua akan selesai tapi ternyata ini masih berlanjut.Alaaamaak!Jujur, detik ini juga rasanya mulut gue udah gatal banget ingin memberikan segala sumpah serapah sama makhluk yang ada di depan gue. Siapa lagi kalau bukan Pak Zian yang sedang duduk anteng, kalem dan tanpa dosa di samping bapak dan ibunya. Siapa sangka, tanpa sepengetahuan gue, Ibu dan Ayah hari ini menerima kunjungan dari keluarga Pak Zian.Pantas tuh si duda gak ada di tempat pas gue kasih laporan, ternyata dia tiba-tiba nongol di saat gue sama Reyhan lagi ngobrol. Sepertinya dia udah dari sebelumnya menguping. Terus sialnya, setelah dia membuat Reyhan salah paham dan pergi bersama kemarahan, dengan cueknya dia menjawab pertanyaan Ibu sementara gue hanya bisa memasang wajah bete selama acara maka
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia