POV Hana"Ih untung ada Den Tsabit. Obat-obat dan makanan kita jadi terjamin, coba kalau enggak kasian para kita-kita ini, ya?" ucap salah seorang ibu-ibu hebring yang genitnya to the bone."Iya bener Bu, Den Tsabit mah udah ganteng, baik sama pengertian, anak aku aja ini teh langsung diem pas dipangku tanda-tanda mau jadi bapak ini mah," sambung Ceu Mimin dengan gaya ala princess Syahroni-nya. Dia adalah janda yang rumahnya kehalang satu tembok dari rumahku."Eh, Den Tsabit, Den Tsabit teh kok mau sih nikah sama Hana? Padahal Hana kan tomboy ya dia mah," ucap Wak Wati cekikikan. "Bisi weh gitu mau distikhorohin lagi, Wak Wati mau nampung.""Ebuset! Bu, ibu! Inget laki di rumah. Inget nyebut!" Aku yang mulai risih sama banyolan ibu-ibu keceplosan juga menegur mereka. Emang nih ibu-ibu giliran lihat yang bening suka khilaf.Kacau banget!Aku menggelengkan kepala pasrah, terpaksa menerima kegaduhan yang terjadi akibat para emak-emak yang mengidolakan Tsabit.Hal ini dimulai gara-gara
Aku berjalan memasuki rumah bagaikan zombi. Hatiku saat ini sakit bukan main. Emak Momod yang sedang menjemur di rumah sebelah melihatku sekilas dan langsung menghampiriku. Dia gegas meninggalkan jemuran pakaian yang hendak diambilnya karena hari sudah menjelang sore.Detik selanjutnya kami sama-sama merosot ke lantai rumahku dan aku terisak hebat setelah menceritakan apa yang terjadi di posyandu sampai ke bagaimana dengan bodohnya aku mengusir Tsabit padahal aku masih cinta. Sejak dulu aku memang dekat dengan emaknya Momod, dia bahkan lebih erat dibanding Mamak kandung sendiri. Aku sudah gak segan-segan curhat padanya.Aku memegangi dadaku, sesak menjelar hingga aku kesulitan bernapas. Emak yang tahu aku menangis karena apa terus mengelus punggungku dan berbisik. "Sabar ya Han, sabar ... Emak gak tahu harus bantu apa. Emak mah cuman bisa bantu doa semoga masalah kamu dan Den Tsabit bisa selesai. Biar kalian bisa bareng-bareng lagi. Udah sekarang mah kamu fokus saja kuliah. Biar kal
POV AuthorTsabit mengunci mobil saat selesai memarkirkannya di pelataran rumah sakit. Setelah melalui perbincangan alotnya dengan Hana, akhirnya istri bar-barnya itu setuju untuk pergi ke Bandung menemui ibunya tapi dengan satu syarat yaitu dia ingin pergi sendiri. Hana menolak pergi bareng dengan Tsabit, entah alasan apa.Dasar. Baru kali ini Tsabit menemukan wanita yang sangat keras kepala seperti Hana. Namun, anehnya lelaki itu sangat menyukainya bahkan si pria perfectionist itu mencintai Hana lebih dari yang ia tahu. Sehingga, meski Hana kadang mengajukan syarat yang absurd, Tsabit gak masalah. Baginya membuat Hana gak jadi datang ke rumah Surya dan memilih datang ke Bandung saja sudah sebuah keajaiban. Mengingat kalau mereka sedang bertengkar, Tsabit merasa perjuangannya untuk ke Sumedang gak sia-sia. Sebenarnya, tadi Tsabit hampir putus asa karena saat dia mendekat ke arah rumah Hana, dia melihat saingan terbesarnya Surya sedang mengobrol dengan istrinya. Sayup dia mendengar
Berdiri di antara dua pilihan itu emang paling nggak enak. Baik Tsabit mau pun Surya, keduanya sama-sama lelaki yang memiliki porsinya masing-masing di hidupku. Namun, layaknya memakan buah simalakama tetap saja aku harus memilih salah satu. Terlebih perasaanku sudah lebih condong pada Tsabit walau di sisi lain aku sadar benteng pemisah kami terlampau tinggi.Aku yang begitu banyak masalah dan dia yang hidup bagaikan pangeran. Sungguh, berbeda jika harus disandingkan. Mungkin itu juga yang dipikirkan Surya, dia sengaja menyatakan cintanya padaku karena melihat jurang antara aku dan Tsabit begitu jauh sehingga dia berpikir bisa memiliki peluang lebih karena sebelumnya aku pernah ada rasa tapi sayangnya waktu telah berputar, untuk Surya tak ada lagi yang tertinggal selain persahabatan terutama hatiku pun tak bisa begitu saja berpindah haluan. Aku mengikrarkan diri, mencintai Tsabit. Itu kenyataannya. Sekali pun aku ragu bisa memilikinya tapi setidaknya aku tak membohongi diri dan beran
Terjebak dan tidak bisa lari ke mana-mana membuat Hana tidak mempunyai pilihan selain mengikuti Tsabit yang akan membawa Hana ke rumah baru mereka. Gadis yang tadi sibuk ingin melarikan diri demi menjelaskan kebohongan yang Tsabit lakukan pada ibunya terpaksa terhenti akibat pernyataan cinta Tsabit yang di luar dugaan.Mata Hana berkedip beberapa kali, mencerna pernyataan Tsabit yang membuatnya sangat terkejut. Alis gadis cantik itu terangkat, meminta penjelasan lebih. "A-apa Mas? Mas gak lagi bercanda, kan?" tanya Hana tak percaya. Saking tak menyangkanya dia sampai memundurkan badannya sangat rapat dengan jendela mobil. Hana merasa kalimat Tsabit tersebut bagaikan keajaiban, dia mengira kalau Tsabit kesurupan. Rasanya mustahil seorang pangeran yang pernah mencintai wanita lain kini menaruh hati padanya.Namun, sayangnya meski Hana sangat senang hingga mau lompat indah sambil renang tetap saja ada yang mengganjal. Tak dipungkiri pengakuan Tsabit itu membuat Hana semakin gamang.Men
POV AuthorDalam perjalanan menuju kantor Tsabit berulang kali menyugar rambutnya frustasi. Mengingat semua kekacauan yang terjadi sebulan ini dan gairahnya yang tertahan akibat masalah kebocoran data membuat Tsabit ingin sekali murka kepada siapa saja. Namun, walau begitu emosi, sekuat tenaga terpaksa Tsabit menahannya karena dia marah-marah pun percuma tidak bisa menyelesaikan masalah.Sebenarnya, jika saja bukan karena masalah kebocoran data ini Tsabit malas sekali datang ke kantor. Pikiran dan hatinya kini sangat bertolak belakang, hatinya ingin sekali tetap bersama Hana di rumah sementara pikirannya malah memikirkan perusahaan.Mungkin itulah yang menyebabkan pria itu sekarang merasa kepalanya sangat sakit. "Kapan coba gue bisa malam pertama? Kapan? Berengsek! Gara-gara penyadap nih gue jadi begini!" racau Tsabit menggurutu selama menyetir. Lelaki itu terus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang menuju ke daerah Pahlawan Central Business sambil sesekali menghubungi Tsan
POV Author.Tsabit memasuki rumahnya dengan tergesa-gesa. Saat ia masuk, Tsabit disambut Mbok Nah yang berlari tergopoh-gopoh menyongsong juragannya. Wanita itu terlihat merasa bersalah karena terlambat membukakan pintu padahal Tsabit memang sengaja gak mau membangunkan Mbok Nah. Terutama, dia sudah membawa kunci sendiri."Loh kok Mbok bangun? Sudah tidur lagi aja," titah Tsabit pengertian. Dia paham betul kalau usia Mbok Nah sebentar lagi mau enam puluh tahun, dia tidak mau banyak merepotkan."Iya Den, soalnya takut Den Tsabit mau makan," jawab Mbok Nah sambil membetulkan dasternya yang kebesaran. Tsabit tersenyum masygul. "Nggak kok Mbok. Tidur lagi aja silahkan. Oh ya, Hana ada di kamarnya, kan?"Mbok Nah mengangguk. "Iya Den."Tsabit langsung meluncur ke kamar untuk menemui istrinya. Hasrat ingin memeluk Hana begitu meletup-letup dalam dirinya. Tak dipungkiri, setelah kejadian Tari yang memeluk Tsabit dengan menggunakan pakaian teramat minim, hormon Feromon Tsabit seolah berkali
Mataku mengerjap pelan sambil sedikit menggeliat, entah mengapa baru saja terbangun rasanya aku ingin tidur lagi, sumpah mata ini ngantuk banget. Namun, mengingat sebentar lagi subuh aku mencoba mempertahankan mataku yang belo ini untuk tetap terbuka.Perlahan. aku melirik nakas yang ada di samping ranjang untuk melihat jam, alhamdullilah masih jam 4.00 pagi, masih ada waktu untuk bersiap-siap untuk mandi dan shalat subuh. Alamak! Capek banget rasanya. Tak kusangka yang namanya Tsabit itu emang kekuatannya bukan kaleng-kaleng. Meski sempat aku cakar punggungnya saat ia memasukkan senjatanya ke dalam gawangku karena sakit, ternyata tenaganya sama sekali gak surut. Dia terus bersemangat menyemai benih hingga aku pasrah dan terkulai tak berdaya.Sungguh, saat ini badanku terasa lemas sekali seolah tak punya energi untuk pergi. Begini nih kalau kelamaan puasa sekalinya diijinkan berbuat ternyata sang jantan minta keterusan alhasil seorang Hana yang telah hilang selaput dara-nya ini jadi
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia