Sejak dulu, aku terbiasa hidup penuh dengan penderitaan dan tantangan. Jika diibaratkan jalan, mungkin hidupku itu gak selurus jalan tol. Terlalu banyak batu dan lobang yang dapat membuatku jatuh bahkan terluka tapi aku bersyukur nyatanya aku bisa bertahan melewati semua. Aku gak mau menjadi lemah dan diinjak-injak karena itulah aku berusaha untuk melakukan apa saja demi bertahan di dunia yang gak bersahabat ini. Namun, sekarang rasanya berbeda, selama aku menikah dengan Tsabit hidupku seolah penuh dengan kebaikan dan kehangatan. Darinya aku mulai belajar apa itu rasa cinta dan pengorbanan. Dan dia juga lelaki pertama yang memeluk rasa sakit yang selama ini kupendam. Bagiku, Tsabit layaknya pangeran yang ada di dongeng Cinderella yang mampu menjadi penawar dari lukaku. Karena kebaikannya, aku bahkan berharap keromantisannya akhir-akhir ini adalah tanda kalau dia mulai menerimaku. Tetapi, sayangnya meski aku ingin tetap bersama Tsabit kini keraguan mulai menghinggapi ketika masalah
Kata orang cinta itu gak salah yang salah adalah waktu dan pada siapa kita jatuh cinta. Kupikir itulah yang telah terjadi padaku. Dulu, ketika aku banyak dilukai oleh keadaan, aku malah sempat menutup hati karena masih tak mengerti apa itu arti sebuah kenyamanan dalam hubungan. Tetapi, sayangnya aku tak bisa terus membodohi diri, sebisa mungkin aku sadar kalau masa laluku suatu saat pasti akan melukai Tsabit. Aku yang banyak hutang dan memiliki almarhum bapak yang mantan pembunuh sungguh tidak pantas bersanding dengan keluarga Tsabit yang begitu terpandang. Apalagi setelah aku tahu kalau Tsabit hanya bertahan karena dua alasan yang membuatnya terpaksa menerimaku.Aku merasa tidak bisa lagi lebih lama menahan diri dan melukai satu sama lain. Meski obsesi di dalam sini masih besar tapi kondisi kami bagaikan bumi dan langit, mau dipaksa pun gak bisa. Aku yang terbiasa bebas tidak mungkin cocok dengan Tsabit yang selalu menjadi fokus perhatian sebagai konglomerat. Sejak kecil hidupku te
Pov TsabitSepertinya Hana memang tak tercipta untukku. Sebaik apa pun aku menjaga, yang pergi akan tetap pergi dan yang tinggal akan tetap tinggal. Lelah rasanya terus mengalah dan menyuapi hati akan impian tentangnya, berharap Hana akan memahami kalau aku hanya ingin menjaganya.Sepanjang perjalanan memperjuangkan gadis itu, baru kali ini aku merasa menjadi manusia bodoh. Seharusnya aku tahu, berharap seseorang yang sama sekali tak pernah perduli sama saja menjadikan diri seperti peliharaan tak bertuan. Salah. Memang rasa ini sudah salah sejak awal. Tak seharusnya aku mulai membuka hati untuk orang yang hanya menganggap pernikahan adalah sebuah keterpaksaan karena akhirnya di sini akulah yang paling merasa kecewa. Tak bisa disangkal, kalau kehadiran Hana sedikitnya mempengaruhiku. Semula aku bukanlah orang yang mampu menerima sebuah keanehan tapi semenjak dia datang, aku bahkan berikrar akan menerima Hana apa pun yang ia lakukan. Bahkan jika dia mulai kembali berbuat bar-bar hing
POV TSABITAku menggeliat ketika membuka mata. Sejak kapan kamarku jadi berisik begini? Ada suara tukang sayur, ibu-ibu bergosip, anak-anak menangis dan motor yang sering membunyikan klakson ... nggak masuk akal.Apa Pak Satpam sudah pensiun untuk menertibkan siapa saja yang masuk perumahan?Aku memaksakan diri untuk duduk tegak di atas ranjang, masih terlalu bingung untuk mencerna keadaan. Dengan setengah mengantuk aku berniat menuju kamar mandi tapi seketika mataku melebar disebabkan kamar tempatku berada gak punya kamar mandi di dalam. Bukan hanya itu, hidungku tidak lagi menghidu aroma kopi dan catnya pun berbeda. Kamarku didominasi warna putih dan lalu ini ... PINK?Aku mengamati sekeliling dan akhirnya aku menepuk jidat.TAK!Oh ya, aku ingat sekarang kalau aku sedang berada di rumah Hana. Seingatku, semalam setelah mengobrol panjang kali lebar dengan Momod juga emaknya, alhasil sandiwaraku berhasil. Hana yang semula tega untuk mengusirku dari sini terpaksa menerima karena bujuk
POV Hana"Ih untung ada Den Tsabit. Obat-obat dan makanan kita jadi terjamin, coba kalau enggak kasian para kita-kita ini, ya?" ucap salah seorang ibu-ibu hebring yang genitnya to the bone."Iya bener Bu, Den Tsabit mah udah ganteng, baik sama pengertian, anak aku aja ini teh langsung diem pas dipangku tanda-tanda mau jadi bapak ini mah," sambung Ceu Mimin dengan gaya ala princess Syahroni-nya. Dia adalah janda yang rumahnya kehalang satu tembok dari rumahku."Eh, Den Tsabit, Den Tsabit teh kok mau sih nikah sama Hana? Padahal Hana kan tomboy ya dia mah," ucap Wak Wati cekikikan. "Bisi weh gitu mau distikhorohin lagi, Wak Wati mau nampung.""Ebuset! Bu, ibu! Inget laki di rumah. Inget nyebut!" Aku yang mulai risih sama banyolan ibu-ibu keceplosan juga menegur mereka. Emang nih ibu-ibu giliran lihat yang bening suka khilaf.Kacau banget!Aku menggelengkan kepala pasrah, terpaksa menerima kegaduhan yang terjadi akibat para emak-emak yang mengidolakan Tsabit.Hal ini dimulai gara-gara
Aku berjalan memasuki rumah bagaikan zombi. Hatiku saat ini sakit bukan main. Emak Momod yang sedang menjemur di rumah sebelah melihatku sekilas dan langsung menghampiriku. Dia gegas meninggalkan jemuran pakaian yang hendak diambilnya karena hari sudah menjelang sore.Detik selanjutnya kami sama-sama merosot ke lantai rumahku dan aku terisak hebat setelah menceritakan apa yang terjadi di posyandu sampai ke bagaimana dengan bodohnya aku mengusir Tsabit padahal aku masih cinta. Sejak dulu aku memang dekat dengan emaknya Momod, dia bahkan lebih erat dibanding Mamak kandung sendiri. Aku sudah gak segan-segan curhat padanya.Aku memegangi dadaku, sesak menjelar hingga aku kesulitan bernapas. Emak yang tahu aku menangis karena apa terus mengelus punggungku dan berbisik. "Sabar ya Han, sabar ... Emak gak tahu harus bantu apa. Emak mah cuman bisa bantu doa semoga masalah kamu dan Den Tsabit bisa selesai. Biar kalian bisa bareng-bareng lagi. Udah sekarang mah kamu fokus saja kuliah. Biar kal
POV AuthorTsabit mengunci mobil saat selesai memarkirkannya di pelataran rumah sakit. Setelah melalui perbincangan alotnya dengan Hana, akhirnya istri bar-barnya itu setuju untuk pergi ke Bandung menemui ibunya tapi dengan satu syarat yaitu dia ingin pergi sendiri. Hana menolak pergi bareng dengan Tsabit, entah alasan apa.Dasar. Baru kali ini Tsabit menemukan wanita yang sangat keras kepala seperti Hana. Namun, anehnya lelaki itu sangat menyukainya bahkan si pria perfectionist itu mencintai Hana lebih dari yang ia tahu. Sehingga, meski Hana kadang mengajukan syarat yang absurd, Tsabit gak masalah. Baginya membuat Hana gak jadi datang ke rumah Surya dan memilih datang ke Bandung saja sudah sebuah keajaiban. Mengingat kalau mereka sedang bertengkar, Tsabit merasa perjuangannya untuk ke Sumedang gak sia-sia. Sebenarnya, tadi Tsabit hampir putus asa karena saat dia mendekat ke arah rumah Hana, dia melihat saingan terbesarnya Surya sedang mengobrol dengan istrinya. Sayup dia mendengar
Berdiri di antara dua pilihan itu emang paling nggak enak. Baik Tsabit mau pun Surya, keduanya sama-sama lelaki yang memiliki porsinya masing-masing di hidupku. Namun, layaknya memakan buah simalakama tetap saja aku harus memilih salah satu. Terlebih perasaanku sudah lebih condong pada Tsabit walau di sisi lain aku sadar benteng pemisah kami terlampau tinggi.Aku yang begitu banyak masalah dan dia yang hidup bagaikan pangeran. Sungguh, berbeda jika harus disandingkan. Mungkin itu juga yang dipikirkan Surya, dia sengaja menyatakan cintanya padaku karena melihat jurang antara aku dan Tsabit begitu jauh sehingga dia berpikir bisa memiliki peluang lebih karena sebelumnya aku pernah ada rasa tapi sayangnya waktu telah berputar, untuk Surya tak ada lagi yang tertinggal selain persahabatan terutama hatiku pun tak bisa begitu saja berpindah haluan. Aku mengikrarkan diri, mencintai Tsabit. Itu kenyataannya. Sekali pun aku ragu bisa memilikinya tapi setidaknya aku tak membohongi diri dan beran
Sebulan kemudian."Senangnya dalam hati, kalau bersuami kaya. Oh dunia, serasa aku yang punya cikicik ... asyik-asyik Jos!""Eh, bentar! Kok aku jadi nyanyi begituan, ya?"Gue terkekeh kecil mengingat lagu apa yang sedang gue senandungkan sekarang ini. Mengingat kalau hari ini kami ada di Singapura tak ayal membuat wajah gue terus tersenyum merekah dan menyanyi tanpa henti.Seperti yang sudah dibahas tempo hari, setelah kami melakukan klarifikasi di sekolah dan membuat Alina juga Januar berurusan dengan hukum karena kelakuannya yang telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik, kami pun melakukan honeymoon untuk kesekian kali.Ohoo! Jujur, sebenarnya ini bukan kali pertama kami menginjakkan kaki di Singapura, semenjak resmi jadi pasangan sungguhan kerjaan Pak Zian bawa gue ke sini mulu. Katanya dia ingin nostalgia karena waktu kecil pernah tinggal di sini sekaligus honeymoon yang sekarang kayaknya bakal rada lama karena kami ingin merayakan berhasilnya membuat
Selepas mendengar indo dari Pak Zian kalau Alina telah memfitnahnya gue langsung mengecek kondisi sekolah, jika info tentang Pak Zian sampai di rumah sakit pastinya ke sekolah pun ada rumor tersebut. Nyatanya yang gue takutkan terjadi. Sesuai dugaan, ketika gue sampai di sekolah tiba-tiba Pak Joan dan Bu Hani yang tetap jadi sahabat gue langsung nyamperin. Mereka bilang di sekolah udah beredar kabar yang gak mengenakan yaitu katanya gue udah merebut Pak Zian dari Bu Alina dan katanya Pak Zian digosipkan mandul.Brengsek emang si Alina! Bisa-bisanya dia menyebar info yang gak berdasar itu.Saking banyaknya gosip di luaran sampai-sampai gue bisa dengan jelas semua umpatan juga sindiran yang dilayangkan ke gue. Tapi, terlepas dari semua itu gue udah tahu ini adalah salah satu resiko yang harus dihadapi. Semenjak memutuskan untuk memberi Pak Zian kesempatan kedua gue merasa udah siap apa pun yang terjadi tapi sayangnya gue gak prediksi akan separah ini. Coba bayangkan aja, masa Alina bil
Pak Zian kecewa berat. Setelah gue mengatakan kalau hari ini gak jadi 'ena-ena' dia mematung bak manekin. Bibirnya yang sejak tadi udah nyosor-nyosor aja langsung ditarik menjauh."Apa? Tsan? Kamu kenapa?" tanyanya tercekat. Wajahnya yang sudah semangat 45 mendadak memucat. "Saya mens, Mas. Menstruasi," jawab gue lebih lugas. Takutnya dia terlalu syok hingga telinganya mengalami ganteng 'gangguan telinga'."Astaghfirullah!"Tubuh Pak Zian seketika mundur dengan frustasi sampai menyentuh dinding. "Jadi, kita gak bisa bikin anak? Jadi Mas, gak bisa ibadah syurga sekarang?" selanya seolah masih tak percaya. Gue menggelengkan kepala. "Enggak Mas, maaf yak. Seminggu lagi mungkin," jawab gue sambil menepuk punggungnya menyabarkan.Rasa penyesalan langsung menelusup tapi mau gimana lagi, masa dipaksakan? Kan gak mungkin. Dosa!Pak Zian membasahi bibirnya yang terlihat kering sambil berjalan lunglai ke arah tempat tidur. "Jadi, ide beriliannya gak bisa dilakukan sekarang, ya?" tanyanya ko
"Ma-maksud Bapak apa? Kenapa saya harus menjawab? Dan kenapa--""Jawab saja Tsan, jika saya suami kamu apakah kamu akan menerima saya?" tanya Pak Zian memutus ucapan gue dengan tatapan yang tajam seolah hendak membolongi kepala gue.Entah mengapa gue merasa dia bertanya seolah-olah sedang takut kehilangan dan ini membuat kecurigaan gue sama dia kian membesar.Melihat itu, gue mengepalkan tangan kuat. "Baiklah, saya akan jawab. Jika saya memiliki suami seperti Pak Zian mungkin saya ...." Gue menarik napas dalam sejenak, "akan menerimanya," jawab gue lirih.Mendapat jawaban itu dari gue, samar mata gue menangkap Pak Zian menghembuskan napas lega dan dia pun mencondongkan badan ke depan penuh perhatian. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang tampan. "Alhamdullilah. Kalau begitu saya gak salah memilih istri. Kamu memang beda Tsan."Deg."Istri?" Gue sontak tercengang mendengar pernyataan Pak Zian. "Maksud Bapak apa? Kenapa menyebut istri? Jujur, Pak! Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Pak Zian mengepalkan tangan sampai kukunya memutih karena sekuat tenaga menahan amarah. Kerut-kerut tajam mulai muncul di sudut mulut Pak Zian dan kulit pipinya menegang.Di saat membingungkan seperti sekarang. Jujur, gue tidak tahu apa yang harus dilakukan di tengah pertikaian keduanya sebab gue sendiri juga masih syok.Gue gak nyangka Bu Ayu bisa membongkar kebusukan Alina tepat di saat kami mau memasuki rumahnya.Gue bertanya-tanya. Haruskah sekarang gue jadi wasit? Atau ikut jadi pemain juga? Tapi, dibanding kena semprot gue memilih diam saja, auranya gak bagus buat ikut campur tapi honestly gue suka keributan ini.Sangat suka!Suruh siapa si kuntilanak itu ngambil kesempatan dalam kesempitan? Udah tahu dia yang selingkuh dan zina, masih mau berlaga polos dan merebut Pak Zian kembali lagi.Sekarang, rasakan akibatnya!"Mas, Mas, Ibu bohong! Janin ini milikmu, ini anakmu Mas!""Shut your fuckin mouth up, Alina! Berhenti bikin alasan! I told you, jika kamu memang selingkuh akui saja
Selama gue jadi menantu kalau diingat-ingat gue jarang banget pergi ke rumah mertua. Mungkin kedatangan gue buat berkunjung bisa dihitung dengan jari tapi kali ini gue rasa akan lebih sering bahkan gue bakal tinggal di sana. Sejujurnya, sampai detik ini gue masih tak percaya bahwa akhirnya gue akan menjadi istri yang gak dianggap. Gue masih ingat, dulu gue pergi ke rumah Bu Ayu--mertua gue sebagai istri yang ditunggu dengan digandeng Pak Zian tapi sekarang situasinya berbeda. Lelaki yang sebelumnya ada buat gue malah berada di samping mantan istrinya.Dan gue terpaksa menginjakan kaki di rumah ibu dengan status sebagai asisten di mata Pak Zian.'Huft! Miris sekali.' Gue menghembuskan napas dalam.Sepanjang perjalanan menuju ke rumah ibu mertua. Sejujurnya, gue ingin sekali cepat sampai tapi apa daya gue harus bersabar karena jalanan macet.Alhasil, dengan sangat terpaksa gue harus menjadi kambing congek selama ada di mobil Pak Zian. Setelah Alina memergoki kami di ruang inap VIP seb
"Saya menolak tawaran Mbak! Saya tidak mau Mbak jadi madu saya!""Kenapa? Apa salahnya? Coba kamu pikirkan Tsan, jika saya jadi istri kedua Zian, kita bisa saling mengasihi selayaknya keluarga, kan? Kita berdua akan merawat Zian! Kita gak perlu berpura-pura!""Bullshit! Jangan berharap! Ingat Mbak, sebelum kejadian ini Mbak telah mengkhianatinya dan pikirkan bayi dalam perut Mbak sendiri! Paham?! Camkan! Sampai kapan pun saya gak akan membiarkan Mbak mengambil Mas Zian! Permisi!"Dan setelah mengatakan penolakan gue yang tegas pada Alina, tanpa menunggu jawaban si iblis betina itu, gue pun pergi tanpa menoleh lagi.Gue bertekad gak akan membiarkan dia mengambil kesempatan dalam sandiwara ini.Never!(***)Gue mendesah mengingat percakapan beberapa hari yang lalu dengan Alina di kantin. Jujur, gara-gara tawaran gila tersebut sampai sekarang gue masih punya amarah yang belum terlampiaskan. Akibatnya, malam ini mata gue malas terpejam. Padahal waktu sudah menunjukan pukul satu dini hari.
Gue tahu bahwa dalam setiap kehidupan itu selalu ada perjuangan. Gue juga tahu kalau gak setiap hal sesuai keinginan tapi kali ini takdir sepenuhnya udah bikin gue serasa dihempaskan ke lembah terdalam.Gue berjalan gontai di sepanjang lorong rumah sakit, usai pembicaraan panjang dengan mertua, gue pun udah punya keputusan yaitu mulai hari ini gue harus berpura-pura menjadi 'orang lain' bagi Pak Zian. Meski perih gue harus sanggup sampai suami gue mampu mengingat semuanya.Namun, masalahnya sampai kapan gue bisa bertahan? Sampai kapan? Sementara membayangkan Alina ada di samping Pak Zian aja udah bikin gue sakit apalagi mengakuinya sebagai istri. Ah, gue akuin ini emang berat, tetap aja gue gak mau menyerah. Gue mau tetap berada di samping Pak Zian seperti dia mencintai gue sebelumnya.Selepas sepuluh menit berjalan di sepanjang lorong tanpa terasa kaki gue yang lemah udah mengantarkan badan ini sampai ke depan ruangan Pak Zian.Gue menarik napas dalam dan hendak memasang wajah yang
Amnesia? Gimana bisa Pak Zian mengalami amnesia? Kenapa Mas Tsabit bilang dia gak mengenal gue?Agh, shit! Gue gak percaya. Mustahil suami gue bisa melupakan gue gitu aja.Gue mendesis lelah sepanjang perjalanan menuju ruang rawat VIP yang menjadi tempat di mana Pak Zian kini dirawat. Kata Mas Tsabit di telepon tadi, suami gue diputuskan pindah ke sana sesuai arahan dokter karena keadaannya berangsur pulih.Sampai di depan pintu, entah kenapa kaki ini jadi ragu untuk melangkah. Gue merasa ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dan membuat gue ingin kabur. Namun, ini bukan waktunya untuk melarikan diri karena gue ingin menemuinya.Gue senang dia sadar. Itu yang lebih penting dari apa pun. Gue rindu!"Mas Zian ...."Cklek.Gue membuka perlahan pintu yang tertutup. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan dan kepala yang diperban persis mumi yang baru saja bangkit. Gue tercenung, mata kami beradu pandang pertama kali. "ADEK PENOLONG!?" Pak Zia