Andira mengambil plastik martabak manis 88 kesukaannya di lantai depan kamar mereka, sepanik itu Sakha tadi hingga tak sadar meletakkan makanan kesukaan mereka berdua di lantai.
Biasanya Andira akan membuatkan teh hangat dan menyajikan dengan martabak manis yang dibeli Sakha sepulang kerja. mereka berdua akan duduk sore dan bercerita sambil menikmati teh buatan Andira dan martabak manis kesukaan mereka berdua.
Andira tersenyum miris mengingat kenangan itu.
Hanya setahun mereka menikmati kebersamaan itu di sore hari, tahun selanjutnya dan selanjutnya Sakha paling cepat pulang di jam sepuluh malam bahkan terkadang tak pulang berhari – hari.
Tak ingin berlarut dengan persaan kecewanya, Andira memilih mengeluarkan bahan makanan dari dalam kulkas, tadi dirinya sudah merajang bahan untuk dibuat sop lalu di masukkan kembali ke dalam kulkas.
Hatinya yang tak tenang membuatnya meninggalkan acara memasak itu dan menggantinya dengan mengepak baju – bajunya yang tak banyak dari dalam lemari kayu besar berwarna putih yang ada di kamar mereka.
Mengepak baju pun belum selesai, suami tercintanya sudah datang. Orang yang membuat dirinya mengepak baju tak selesai dan kembali melanjutkan masak yang tak selesai tadi.
Ternyata dirinya begitu sibuk tujuh tahun ini hanya karna mengurus seorang pria, pria yang dicintainya namun tega menancapkan belati di hatinya.
Setetes air mata jatuh mengenai pisau yang hampir mengiris jarinya kala bayangan kesakitan itu terlintas seolah menari di benak Andira.
Sakha yang baru selesai mandi dan berdiri tak jauh dari dapur melihat bagaimana air mata istrinya jatuh saat menyiapkan makanan untuk dirinya.
Hati Sakha terguris pilu, kali ini nyaris berdarah.
Saat Andira menghapus air matanya yang jatuh, Sakha tiba – tiba datang memeluknya dengan erat. Sesaat mereka bersitatap, terlihat kesedihan yang mendalam di mata Andira, dan penyesalan yang besar di mata Sakha.
“maafin mas” Sakha melingkarkan tangan di tubuh mungil Andira.
“kamu duduk dulu mas, aku belum selesai.” Andira menggeliat melepaskan diri tanpa berniat menggubris ucapan Sakha.
Sakha manut dan duduk di kursi makan, memperhatikan Andira yang cekatan menyiapkan makanan untuknya.
___
Semangkuk sop, nasi putih, ayam goreng, tempe mendoan dan sambal tumis tersaji di depan Sakha.
Andira mengambil piring, mengisi nasi dan menyiapkan air putih lalu menggeser ke hadapan suaminya. Untuk lauk dan sayur Sakha yang mengisi sendiri.
“makanlah mas, hanya ini yang bisa kusediakan untuk kamu.”
Hanya ini. Sakha tahu ada maksud lain dari kalimat Andira.
“ayo temani mas makan.”
“belajarlah makan sendiri atau tak makan lagi denganku mas, seperti aku yang sering makan sendiri setelah masak banyak dan menunggu suamiku untuk makan bersama,” Andira berlalu dan naik ke kamar mereka meninggalkan Sakha yang tercekat mendengarkan kata-kata yang dikeluarkan barusan untuk suaminya itu.
“ck...” berdecak jengkel Andira melihat isi koper yang tadi tak sempat selesai sudah tertata kembali di dalam lemari.
“Kenapa dikembalikan lagi sih,”Andira menggerutu dalam gumaman.
Lalu diputuskannya untuk mandi, membersihkan raganya dan mungkin sambil menangis dibawah guyuran air shower kamar mandi yang terbilang mewah itu.
---
Sakha menelan salivanya saat masuk kamar dan melihat Andira baru selesai Mandi, hanya menggunakan handuk sebatas paha sedang mengambil pakaian ganti.
“Ra, mas kangen...” Sakha mendekat, tentu sebagai pria normal dengan masalah yang menimpanya terkadang menimbulkan hasrat untuk menyelesaikannya dengan melampiaskan birahi yang tiba – tiba menuntut.
Andira menatap suaminya lekat, tujuh tahun bersama Andira tahu betul apa yang diinginkan suaminya saat ini.
Sakha mendekat dan mulai mengecup wajah teduh itu.
Andira tak menolak bahkan membalas dengan kecupan ringan lumatan yang diberikan Sakha pada bibir mungilnya.
Lalu dering ponsel di atas nakas dekat mereka bermesraan sekarang, mengalihkan perhatian Sakha dan Andira.
“dijawab dulu telfonnya mas,” Tenang Andira mengucapkan itu, namun menahan duri yang seakan mengoyak hatinya, tertera nama dan nomor perempuan simpanan suaminya itu.
“Sial*an.” Saka menggeram mengumpat, ingin rasanya dia buat perhitungan dengan perempuan laknat itu.
Moment yang harusnya mungkin bisa sedikit memulihkan hubungannya dengan Andira, semakin terlindas dengan telepon dari perempuan simpanannya itu.
‘Tuhan menunjukkan jalan mana yang harus ku ambil.’ Benak Andira.
Didengarnya suara suaminya mengamuk dan memaki perempuan itu.
Ah kenapa sekarang mengamuk? Bukankah enam tahun ini mereka saling menghangatkan.
Air mata Andira luruh. Segera dipakainya daster panjang bunga – bunga hitam yang tadi akan dipakai sebelum suaminya mengajaknya ‘berbaikan’.
Sakha berusaha membuka pintu kamar yang telah dikunci dari dalam.“Dira...buka pintunya sayang, mas bisa jelasin.” Tak ada jawaban.“Ra...tolong jangan giniin mas.” Sakha terduduk di depan pintu kamar mereka, seperti anak kecil yang sedang dihukum.Sementara di dalam kamar, Andira mati – matian menahan diri agar tak membuka pintu.“Ra....” Sakha tak berhenti memanggil.Dengan linangan air mata Andira akhirnya membuka pintu, lalu terhuyung dan hampir terjatuh karna mendapat pelukan yang terburu dari suaminya. Ditatapnya wajah lelaki dihadapannya ini yang penuh dengan penyesalan. Andira membenamkan wajahnya kedalam dekapan suaminya. Menangis berdua dengan ucapan permohonan yang terdengar dari mulut Sakha. Lalu mengurai rindu yang tertunda. Diiringi tangis dan sesekali tertawa miris, mereka berdua saling memagut, melepaskan emosi dari jiwa yang dibelenggu luka. Lalu pakaian keduanya teronggok di lantai. Malam itu mereka terbang dan jatuh bersama berulang kali. Meski dengan luka –
Andira masih merapihkan beberapa barang di rumah petak kecil saat terdengar azan maghrib berkumandang. Nasria kawannya memiliki rumah petak kecil yang terasnya di jadikan tempat mengaji anak – anak setelah sholat azhar. Nasria adalah kawan Andira saat masih mengajar di sekolah dulu. Dialah yang memberikan tumpangan pada Andira.“Datanglah Dir aku sama ibu tungguin kamu, kamu udah jadi sodaraku.”Lega hati Andira kemarin sore saat ditelepon oleh Nasria, memintanya tinggal bersama bila memang Andira ingin mengakhiri rumah tangganya.Selain Nafia istri Arga, Nasrialah tempatnya berbagi. Nasria pun telah yatim.Rumah petak kecil ini sebenarnya digunakan ibu Juria untuk menyimpan beberapa karung padi dari sepetak sawah yang mereka punya.Dulu rumah ini digunakan bapak dan ibu Nasria saat awal menikah, ada kamar satu dan kamar mandi. Dapurnya sudah tak ada, sudah di bongkar karna hanya untuk menyimpan padi dan peralatan petani milik bapak Nasria dulu. Terasnya pun telah di rombak ditambah k
“sayang, kasi tahu mas dimana teman kamu itu, kasian lho suaminya jadi nggak semangat kerja sampe nangis malah.” Bukan hanya bu Marwiah yang mencari Andira, tapi juga Rasyid dan Arga diminta tolong oleh Sakha agar mencari keberadaan istrinya.“aku juga nggak tahu mas, kamu koq maksa aku sih,” Cemberut Nafia menjawab suaminya.Nafia sejak beberapa hari lalu menjadi bulan – bulanan suaminya, di gangguin, diikuti kemana saja pergerakannya di dalam rumah.“jangan kaya anak kecil deh kamu mas, bilangin sama teman kamu itu makanya jangan selingkuh,” Nafia berusaha melepaskan pelukan suaminya saat dirinya sedang masak di dapur.“kasi tahu dulu sama mas, Andira dimana baru mas lepas,”“Ya Allah mas aku beneran nggak tahu, aku juga sedih mas, Dira nggak kabarin aku terakhir ketemu waktu kesini dan bilang kalau udah nyerah dengan pernikahannya.” Air mata Nafia jatuh mengingat sahabatnya itu. Terakhir waktu datang dia mengingat tubuh Andira sedikit kurus dan pucat.Arga menghapus air mata istrin
“Mbak stop berbohong kalau mengandung anak mas Sakha!” Fardi adik Ristia menggeram marah pada kakaknya yang telah tega memfitnah dan hendak menghancurkan rumah tangga orang lain. Ristia bergeming. “Apa mbak lupa, dulu mbak lah yang meninggalkan mas Sakha, sekarang dia sudah bahagia dengan istrinya, kenapa mbak tega menyakiti hati wanita lain, bagaimana kalau mbak yang di posisi mbak Andira?,” suara Fardi menggelegar penuh amarah. Di posisi Andira? Jangan ditanya, bahkan Ristia sekarang menjanda karna pernah di posisi itu, suaminya telah kembali ke pelukan mantan istrinya. Meninggalkan Ristia yang hanya butuh materi membantu usaha bapaknya kala itu. Seperti pernikahan kontrak saja. Hati Ristia tercubit sedikit. Namun besarnya rasa cinta pada Sakha membuatnya buta hati. Tak dipikirkan rasa sakit yang pasti menjejas di batin Andira. Bahkan jadi yang kedua pun Ristia tak masalah. Namun siapalah wanita yang ingin berbagi suami, bila pun ada pasti ada kecemburuan di dalamnya. “Aku ak
Mobil Avanza veloz milik Rasyid memasuki jalanan yang belum di aspal, di sekitarnya rumah penduduk tampak berdekatan namun tidak berdempetan. Di sebalah jalan tampak beberapa sawah milik penduduk yang menghijau tanaman padinya. Mobil berhenti di depan rumah sangat sederhana bercat putih dengan pagar bambu yang mengelilingi rumah itu, tampak bunga – bunga di tanam di pinggir pagar dan sebuah pohon kersen di sudut pagar sebelah kanan. Saat Nasria, turun tampak dari samping rumah muncul anak – anak kecil berbaju koko dan berbusana muslim sederhana dengan warna yang nyaris pudar. Ada sekitar sepuluh lebih anak – anak. “Bunda Nas...!” anak – anak kecil serempak berebut memeluk Nasria yang tampak kerepotan membawa kantong belanjaan berisi jajanan untuk anak – anak itu. Inilah yang dilakukan Nasria saat gajian tiba, selalu disipkan uangnya sedikit untuk membelikan cemilan anak -anak yang mengaji di rumahnya “Ayo – ayo baris yang rapi!” Perintah Nasria. “Bunda itu mobil siapa?” Seorang a
Andira berbalik dan mengerjap sesaat melihat seorang pemuda yang tadi memanggil namanya.Terlihat bingung saat sang pemuda menghampiri dirinya. Coba diingat – ingat pemuda ini pernah bertemu dimana sebelumnya.“Saya, Fardi mbak!” Fardi adik Ristia yang datang menemui Andira, seminggu yang lalu saat pulang kerja dari lokasi proyek baru bosnya, tak sengaja dia melihat Andira berjualan di batas kota ini.Andira, masih coba – coba mengingat.“Saya...adik Ristia mbak, yang dulu di bantu mas Sakha masuk kerja di kontraktor temannya. ucap fardi, yang melihat wajah bingung, Andira.Dada Andira bersebak, mendengar nama perempuan itu disebut, Namun berusaha ditutupinya dengan cara tersenyum ke pemuda di depannya.Adik Ristia, ada apa gerangan menemuinya. Andira tetap menerima keadatangan pemuda ini dengan baik.Diingatnya dulu sempat bertemu sekali saat, Fardi datang ke rumah Andira, untuk menyerahkan data dirinya ke Sakha yang waktu itu memberitahu bila ada lowongan di kantor temannya.“Ada ap
POV. Sakha Aku memeluk istri yang kurindui, namun kusakiti hampir tujuh tahun ini. Kulihat air mata di pipinya yang lebih tirus dari sebulan yang lalu. Kupeluk erat. Melepaskan kerinduan dan kumohonkan maaf atas kesakitan yang telah kutorehkan di hatinya. Kukecup seluruh wajahnya, mata, pipi, dan kecupan lama kuberikan di bibirnya yang sedikit pucat. Kuciumi perutnya yang membola. Ada anak kami di dalam sana. Anak yang kami rindukan kehadirannya tujuh tahun ini. Aku memeluknya di dalam rumah kecil yang tak lebih besar dari kamar tidur kami. Kamar tidur yang lebih sering ditiduri olehnya seorang diri. Tak ingin kulepaskan pelukan ini, namun tubuh itu berusaha menggeliat melepaskan diri. Sungguh dia tak pernah melepaskan diri dariku sebelumnya. Aku mendadak takut! “Apa mas sudah mengurus surat cerai?” suaranya, pelan namun bagai petir di telingaku. “Ra..., mas nggak akan mengurus surat cerai.” Tercekat suaraku. “kenapa? kasihan yang sudah lama nunggu mas.” Kulihat wajah wanita
Pov. AndiraHatiku bertalu melihatnya, pria itu, suamiku. Masihkah boleh aku menyebutnya sebagai lelakiku?Kulihat gurat kesedihan dan penyesalan di wajahnya.Raganya tampak lebih kurus dan rupanya nampak tak terurus.Raga yang setahun di awal pernikahan selalu memberikan kehangatan dan kenyamanan pada ragaku.Raga yang begitu menawan dengan rupa yang rupawan.Debaran di hatiku selalu beriak bila dia mendekatiku.Namun seketika aku sakit, kecewa bahkan hampir mati rasa saat kuingat raga yang dulu hanya untukku telah dibaginya untuk wanita lain.Menghangatkan ranjang di rumah lain namun membiarkan ranjang kami dingin, nyaris beku.Waktunya lebih banyak dengan perempuan itu dibanding aku.Bukan hanya beberapa hari namun bertahun.Seperti akar pohon yang merusak bangunan, begitu pula hati ini, nyaris hancur berkeping karna luka pengkhianatan yang berakar.“Mas pulang dong”, pesanku suatu malam, namun tak terbaca dan tak terbalas.Puluhan kali gawaiku memanggil nomornya, namun hening tanp
Sampai juga cerita Syamira mengenai kisah hidupnya yang berhubungan dengan Andira, mama sambung menantunya ini. Air mata Irina tadi jatuh saat mengetahui kejadian sebenarnya bertahun silam. Dulu yang ia ingat ia masih kecil saat guru mengajinya sudah bertambah menajdi dua, ada bunda Dira. Entah mengapa perasaanya selalu ingin dekat dengan bunda Dira saat itu.Meski akhirnya Andira menjadi ibu sambungnya, namun tak sekalipun Andira menceritakan pengalaman pahit hidupmnya pada anak-anaknya. Entah kepada ayahnya. Mungkin mama Andiranya menceritakan, sebab di awal-awal pernikahan mama Andira dan ayahnya, beberapa kali ia lihat wajah sembab Andira seperti habis menangis, dan pernah sekali ia melihatnya ayahnya memeluk, dan menenangkan mama Andira sewaktu petang di musim hujan beberapa tahun silam.Irina tak menyangka setega itu papa Sakha memperlakukan mamanya Andiranya dulu.Irina masih terisak di pembaringan saat Abian mendekati dirinya di pembaringan empuk mereka.“Sayang, sudah, kita d
Petang itu Syamira mengecek jumlah tabungannya, sudah diniatkan bersama suaminya insya Allah tahun depan dirinya akan mendaftar umroh bila tabungannya sudah cukup.“Assalamualaikum,” terdengar suara Hadi mengucap salam. Rupanya pria rupawan nan bijaksana itu baru saja pulang mengecek kesiapan panen hari rabu lusa.Syamira menyambut suaminya dengan senyum yang merekah, sudah 55 tahun namun tetap cantik dan ramping.Hadi masuk dan memeluk tubuh ramping milik istrinya itu.“Wangi, habis keramas ya,?”“ He em.”“ Tumben keramas sore, biasanya subuh.” Hadi menggoda Syamira sambil memainkan rambut istrinya.“Tadi siang ada yang bikin junub soalnya.” Syamira membalas guyonan suaminya itu sambil menyandarakan kepala di dada yang masih saja bidang meski sudah berumur.“Berapa kali dibikin junub tadi?” Hadi memeluk erat menghirup wangi shampo yang menguar dari rambut sepunggung istrinya.“Dua kali, sampe capek aku Mas.” Kata Syamira manja.Hadi terkekeh mendengar ucapan istrinya. Akhir – akhi
“Mas, aku marah lho kamu giniin aku,”. Nafia berusaha memukul dada suaminya yang tak berhenti menghentaknya dibawah sana. Bau alkohol yang tercium semakin menambah rasa muak Nafia.“Maaf sayang,” Arga menciumi wajah istrinya dengan tatapan bersalah. Sakha breng*sek, tadi memaksa Arga menemaninya minum. Rumah tangga kawannya itu sedang diujung tanduk. Istrinya meminta cerai saat dirinya ketahuan selingkuh. Berkali istrinya keguguran, berkali pula Sakha bermain api dengan wanita yang sama.Niatnya tadi Arga dan Rasyid menemui Sakha hendak memberikan pandangan agar mempertahankan rumah tangganya. Bukan apa – apa Andira, istri Sakha itu telah menjadi teman Nafia juga. Nafialah tempat dirinya mencurahkan kesedihan hatinya.Lalu mengapa dia tergoda menenggak minuman haram itu, entah dengan Rasyid, minum atau tidak. Sehabis minum satu kaleng bir, Arga bergegas pulang menemui istrinya.Dan inilah akibatnya, anti depresan dari alkohol yang ditenggak malah semakin menambah libidonya.Sial*n me
Arga dan Nafia bersiap bulan madu ke salah satu hotel di pinggiran kota yang terkenal dingin.Papa Dan mamanya memberikan hadiah amplop bulan madu untuk mereka berdua.Tak ingin jauh karna Arga hanya cuti seminggu dan Nafia mengambil cuti tahunannya.“Pulang nanti bawa cucu buat mama dan papa ya.” Syamira menggoda anak dan menantunya.Nafia yang sudah merona mendengar godaan mertuanya.Mereka semua mengantar pengantin baru itu ke depan, Kecuali Azlam dan Abyan.Azlam menemani Abyan mengecek motor ninja hitamnya yang sering mogok berapa hari ini.Pukul sembilan malam Azlam duduk di teras samping rumah, menghisap sebatang nikotin, hal yang dilakukan saat dia sedang memirikan masalah.Khamila yang melihat kakaknya duduk sendiri, mendapati rasa mengalah di wajah itu.Khamila mengerti.Rasa mungkin ada namun mau diapa bila jodoh tak ada.Didekatinya Azlam lalu duduk di sebelahnya.“Nanti kukenalkan pada temanku kak, Cemara namanya. Kerja sama aku di apotik.”“apaan sih kamu dek.”“kenalan
“Kasi tahu aku nomor telepon orang tua kakak, biar kuhubungi please.” Azlam panik melihat korbannya seorang wanita berseragam salah satu apotik dua puluh empat jam itu.“Nggak usah dek, kakak nggak apa – apa, ini cukup diperban dan minum obat anti nyeri, nanti lukanya akan sembuh.”“Kamu juga harus diobati, kamu juga terluka.” Pelan suara gadis ini.Bisa – bisanya gadis ini mengkhawatirkan penabraknya, padahal yang jadi korban adalah dirinya.“Ku telepon mama dan papa dulu.” Ucap Azlam cepat, lalu segera keluar menghubungi nomor mamanya.Gadis itu mengangguk saat Azlam mengambil ponsel dan keluar menelpon orang tuanya.Efek dari obat yang diminum tadi membuat gadis itu mengantuk lalu tertidur tanpa menyadari kalau orang tua yang menabraknya sudah berdiri di samping brankarnya.Dan seseorang yang kerap menganggu mimpinya pun ada di dalam kamar itu.Ya dia adalah Nafia, gadis yang dicari Arga selama ini, gadis yang kerap mengganggu mimpinya.Alam begitu baik, bekerja untuk manusia – man
Bab. 56Rembulan berlaluHati masih bertaluBaru kusadariAku kiniKehilanganmuSebait lagu terdengar dari ponsel pintar seorang pemuda tanggung yang baru saja lulus Sekolah Menengah atas.Entah mengapa dia merasa kehilangan gadis polos nan pendiam yang dulu merawatnya sewaktu terluka saat latihan basket di Sekolah Menengah Pertama.Dia merindukannya meski beberapa tahun telah berlalu, dan usia mereka bukan lagi tiga belas tahun.Mungkin rupa pun ada perubahan.Arga.Putra sambung Syamira ini tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan rupawan dengan tubuh tinggi yang terjaga.Tentu banyak gadis di sekolahnya yang menggilainya, namun satupun gadis – gadis berpenampilan modern itu yang nyantol di hatinya.Dia mencari gadis sederhana dengan baju kedodoran dengan rambut panjang dikuncir kuda, atau mungkin tak lagi dikuncir, mungkin dipotong pendek, memakai jepitan rambut atau....mungkin telah tertutup hijab rambut itu.Tiga tahun lalu Syamira melahirkan seorang bayi laki – laki dengan jalan ope
“Mas udah dong,” pinta Syamira lirih saat untuk kali kedua di tengah malam ini meminta menuntaskan hasrat.Syamira tak keberatan karna memang kewajibannya sebagai istri tak boleh mengabaikan penyaluran birahi suaminya. Apalagi usia empat puluh begini, semangat laki – laki kembali seperti usia dua puluhan.Namun durasi yang kedua ini membuatnya lelah. Sungguh perkasa suaminya ini.“Mas...” Syamira kewalahan.“Ahh bentar sayang,” Hadi melanjutkan hentakannya. Bulir peluh mereka menyatu di tengah malam yang dingin itu.Syamira yang merasa gemas dengan tingkah suaminya, bermaksud menggoda suaminya, di usapnya dada dan jarinya bermain di puncak dada itu.Hadi menggeram menahan nikmat karna perlakuan Syamira barusan.Hingga satu hentakan terakhir yang begitu kuat mengakhiri pengejaran cintanya malam ini.Hadi mengusap peluh di dahi istrinya lalu mengecup dengan mesra, setelah mencapai tepian hasratnya. Selalu begitu, memperlakukan istrinya dengan sayang, menanyai istrinya sudah cukup atau
“Tahan bentar ya, lukamu harus diobati dulu,” seorang gadis berseragam putih biru yang sedang piket di ruang UKS sedang mengambil obat merah dan alkohol.Arga sesekali mencuri pandang pada gadis dengan nametag Nafia Almayra, rambut panjangnya dikucir kuda dengan jepitan di bagian poni semakin mempermanis wajahnya.“Ssshh.” Arga meringis menahan perih saat gadis bernama Nafia itu membersihkan lukanya dengan alkohol.“Kalau perih bilang ya, aku akan pelan – pelan bersihinnya.”“Iya ini perih banget.”“Sabar, nanti boleh ke rumah sakit habis ini.” Telaten Nafia membersihkan luka Arga.Arga menatap wajah Nafia saat gadis itu hendak membalut lukanya dengan perban. Sesaat tatapan mereka bersirobok. Arga merasakan ada yang lain di hatinya, entah apa itu.Nafia memutuskan kontak mata mereka terlebih dahulu.“Kamu sendiri ya, yang lain mana?” Arga bertanya karna tak melihat petugas piket yang lain.“Iya, aku sama Isma sebenarnya anak kelas 7.B, Cuma dia lagi ulangan mate-matika hari ini.“Ou
Braakk!...Hadi membanting meja tepat di depan Siska.“Apa maksud kamu mengirim gambar saya dan mbak Ria ke istri saya?.” Hadi membentak Siska tepat di saat ayahnya datang hendak menyambutnya. Dikiranya Hadi ada perlu dengan beliau.Hadi sengaja datang ke rumah orang tua Siska untuk memberi pelajaran pada perempuan rese itu.“Ga..gambar apa mas?, jangan sembarangan kamu nuduh aku.”“Oh enggak mau ngaku rupanya, apa perlu saya bawa ponsel istri saya dan tunjukin chat kamu yang kurang ajar itu.” Wajah hadi memerah dan tegas berucap.Entah bagaimana Siska ini, saat Hadi semarah ini pun dia masih kagum. Dilihat ketegasan di wajah pria itu, punya prinsip dan penyayang di waktu yang bersamaan. Sifat Hadi ini juga yang membuat dia tergila – gila, padahal sedikitpun Hadi tak pernah meresponnya. Bukan Hadi tak menyadari kalau Siska menyimpan rasa untuknya, namun sepak terjang Siska di luar sana diketahuinya. Dia ingat pernah melihat Siska jalan bersama pak Broto masuk ke hotel tempat Hadi meet