#7
Angga tercengang saat melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya. Sepersekian detik kemudian tubuh mereka saling merapat. Tamu tak diundang itu segera meraih tubuh kaku Angga dalam pelukannya."Hm, kangen deh, Sayang. Kenapa sih nggak ada kabar hari ini?" tanya gadis itu dengan nada sensual tepat menggelitik telinga Angga.Lelaki itu sama sekali tidak berniat membalas pelukan tiba-tiba itu. Tubuhnya membeku dan lidahnya seakan tercekat."Sayang, kenapa bengong sih. Nggak suka ya lihat aku?" tanya Aluna dengan nada suara manja pada Angga.Ya, tamu itu adalah Aluna. Entah apa yang membuat gadis itu nekat datang ke rumah Angga. Padahal, lelaki itu tak pernah memintanya untuk datang apalagi dalam kondisi seperti sekarang. Dia dan Laras sedang dalam proses perceraian.Apa jadinya jika ada tetangga yang julid melihatnya membawa perempuan lain sebelum putusan cerai terjadi. Orang-orang pasti tidak akan percaya ucapannya lagi. Dan mereka akan lebih percaya pada fakta jika Laras tidak pernah selingkuh."Kamu kenapa kemari?" Lelaki itu bertanya dingin seraya melerai pelukan Aluna. Gadis itu mendengus kesal dengan sikap Angga yang menurutnya sangat menyebalkan.Angga bahkan menunjukkan raut wajah tak suka melihat Aluna berada di sini. Tak lain karena saat ini, Ia sedang tak ingin diganggu termasuk oleh Aluna, juga tak mau kehadiran Aluna membuat imagenya jadi buruk."Emang nggak boleh, ya? Aku 'kan kangen, kamu juga nggak ada kabar seharian sih," gerutu Aluna memainkan bibirnya.Angga bergeming dan tak berniat menyuruh Aluna masuk."Aku nggak disuruh masuk nih?" sindirnya lantas Aluna langsung nyelonong masuk ke dalam rumah Angga setelah mengatakan itu. Gadis itu benar-benar berani.Angga hanya menghela napasnya pasrah dengan sikap Aluna yang terkadang sesuka hatinya itu.Tanpa dipersilakan duduk, Aluna langsung mendaratkan pantatnya di atas sofa. Bunga-bunga di vas itu semua layu karena tidak ada merawatnya."Kenapa sih nggak dibuang aja bunga-bunga sialan ini! Ganggu pemandangan aja!" pekik Aluna dengan raut wajah tak suka menatap bunga-bunga cantik yang kini tampak tak sedap dipandang. Dia sangat yakin jika itu adalah hasil karya Laras.Angga memang pernah cerita padanya jika Laras memang menyukai merangkai bunga-bunga untuk dipajang di ruang tamu rumah mereka. Angga memaklumi hal itu sebagai upaya Laras demi mengusir rasa sepinya menjalani hari-hari tanpa hadirnya buah hati.Lelaki itu menghela napasnya lalu mengembuskannya dengan keras. "Kalau kamu mau, buang aja bunga itu!" seru Angga kemudian.Aluna mengerucutkan bibirnya. Ia merasa kesal dengan jawaban Angga yang malah memintanya untuk membuang bunga itu."Hm, maaf sayang, tapi aku nggak mau, jijik tau, itu 'kan kotor," sahutnya manja, berdalih agar Angga tak harus memintanya membuang sampah itu."Kenapa harus jijik, bukankah nanti juga rumah ini akan kamu tempati kalau kita sudah menikah?" sungut Angga tak mau kalah."Iya, sih. Tapi … yaudah deh, aku yang buang sampah ini," ucapnya mengalah.Aluna merasa menang dan bahagia saat Angga mengatakan jika rumah ini akan menjadi miliknya sebentar lagi. Jadi, dengan mengabaikan rasa jijik dia pun meraih vas itu dan membawanya ke belakang. Membuang bunga layu itu ke tempat sampah.Setelah membersihkan tangannya di wastafel, Aluna menghampiri Angga yang masih duduk di sofa dengan wajah yang tampak frustasi."Aku dengar kamu sudah menggugat cerai biduan gatel itu. Apa benar itu, Mas?" tanya Aluna langsung dengan wajah berbinar. Ia mendapat kabar itu dari Tasya.Perempuan itu mengambil posisi duduk di samping Angga. Lalu, merebahkan kepalanya di bahu Angga. Lelaki itu tampak sedang memijat pelan pelipisnya yang terasa pening."Namanya, Laras. Dan lagi dari mana kamu tahu soal itu?" balas dan tanya balik Angga pads Aluna yang tengah menggelayut manja di bahunya.Ia tak suka jika ada yang menyebut Laras dengan sebutan lain dan terkesan merendahkan. Seperti yang Aluna ucapkan tadi. Hal itu membuat hati Angga tak sengaja ikut tergores oleh luka."Nggak penting aku tahu dari mana, Mas. Jadi benar, 'kan kalau kamu udah gugat cerai dia, Mas?" tanya Aluna lagi memastikan kabar yang disampaikan Tasya.Ia begitu sumringah saat tahu jika hari ini Angga telah menggugat Laras ke pengadilan agama. Setidaknya itulah yang dirinya inginkan. Menjadi satu-satunya rau di rumah ini. Ah, padahal jadi istri kedua pun sebenarnya tak masalah baginya. Akan tetapi, Laras malah memilih mundur dan meminta bercerai“Ya, kamu benar, aku sudah menggugat cerai Laras. Mungkin sebentar lagi surat untuk sidang pertama kami akan datang,” sahut Angga lirih dan tak bersemangat.“Bagus dong, Sayang. Kenapa kamu harus kelihatan bersedih gitu?” protes Aluna. Gadis itu kini mengubah posisinya. Dia memilih duduk di pangkuan Angga.“Masih ada aku yang akan jadi pendamping hidupmu, Mas. Dan lagi, aku bisa memberikan apa yang kamu inginkan sejak dulu. Laras mana bisa memberinya untukmu, ‘kan?” Aluna berkata sambil jari lentiknya terus bergerilya di rahang tegas milik Angga.Lelaki itu memang yang paling tampan dari beberapa lelaki yang pernah mengencaninya dulu. Sungguh sebuah keberuntungan bagi Aluna dapat menjerat Angga masuk ke perangkap cintanya.“Ya, aku tahu itu,” sahut Angga mulai terganggu dengan aktivitas Aluna. Sentuhan demi sentuhan Aluna sanggup membangkitkan naluri kelelakiannya.Sentuhan Aluna selalu berhasil membuatnya candu. Hingga keduanya berakhir saling memagut dengan posisi Aluna masih berada di pangkuan Angga.Sementara itu, Laras yang menyaksikan adegan mesra itu sempat memalingkan wajahnya sejenak. Dia berniat mengambil sisa barangnya yang masih berada di rumah ini.Setelah berhasil menenangkan debaran jantungnya, Laras pun berdehem untuk mengalihkan perhatian mereka.Sontak kedua sejoli itu saling melepaskan pagutannya dengan cepat. Angga membulatkan matanya tak menyangka jika Laras akan melihat secara langsung adegan mesranya dengan Aluna.Sementara Aluna sempat gelagapan saat ciuman mereka tiba-tiba terlepas dan menyadari kehadiran Laras yang berdiri di depan ambang pintu tak jauh dari sofa tempat mereka saling berpagutan.“Laras ….” Angga tercekat saat tatapan mata Laras begitu tajam. “Maaf, aku bisa jelaskan.”Laras menggeleng cepat sambil mengangkat tangannya ke udara seraya mengisyaratkan pada Angga untuk tak mengatakan maupun menjelaskan apa pun padanya.“Nggak perlu, Mas. Aku hanya datang kemari untuk mengambil sisa barangku di kamar,” sergah Laras. Raut wajahnya begitu tenang. Tidak ada sorot amarah maupun kecemburuan dari telaga matanya.Laras tegar. Ia sudah melatih dirinya untuk tegar dan tetap menegakkan bahunya terutama di hadapan Angga dan keluarganya. Ia tak akan terlihat lemah dan menyedihkan.“Ya, masuklah. Silakan ambil apa saja yang tertinggal,” ucap Angga dengan nada melunak.Sorot kerinduan terhadap wanita yang telah menjadi pendamping hidupnya itu sangat kentara terlihat jelas di matanya. Ingin rasanya ia meraih tubuh Laras dan memeluknya dari belakang seperti yang sering ia lakukan jika Laras sedang merajuk.Kini, Angga hanya dapat memandangi punggung Laras yang menghilang di balik pintu kamarnya.“Kenapa Mas harus biarin dia masuk sih,” sungut Aluna memprotes Angga yang terkesan tidak tegas pada Laras.“Memang kenapa? Di rumah ini juga masih ada haknya sebagai istri yang pernah mendampingiku selama lima tahun,” jelas Angga menanggapi protes Aluna. Wajah jelitanya seketika berubah muram.“Kalau dia mengambil sesuatu yang berharga gimana coba?” tuduh Aluna. Ia masih berharap jika Angga akan mendengarkan keluhannya.“Nggak mungkin, Lun, Laras bukan orang yang seperti itu. Aku sangat mengenalnya.” Angga menolak tegas tuduhan Aluna.“Tapi, sikap manusia dapat berubah hanya sekian detik, Mas!” kecamnya lagi.“Sudahlah, jangan menuduhnya yang macam-macam, Lun,” ujar Angga tegas.Aluna merasa kalah. Ia memutar bola matanya malas.‘Sial! Sepertinya Angga masih cinta sama biduan gatel itu. Ini nggak bisa dibiarkan! Dia harus menjadi milikku.’ Aluna menggeram dalam hatinya sambil terus menampakkan wajah masam karena Angga justru selalu membela Laras.Tak lama kemudian, Laras keluar dari pintu kamarnya dengan membawa satu totebag berisi barang-barangnya yang tertinggal.Saat Laras melewati kedua sejoli yang masih terpaku melihatnya itu. Laras menghentikan langkahnya lalu menatap mereka secara bergantian. Tatapan Laras sangat sulit diartikan oleh Angga sekalipun.“Apa kamu tahu kalau kalung yang kubeli dengan jerih payahku hilang, Mas?” tanya Laras cepat. Matanya menatap tajam kedua orang itu.“Aku nggak tahu dan nggak pernah mengusik barang-barangmu,” sahut Angga bingung karena memang dia tak tahu jika kalung itu tidak berada di tempatnya.“Oh, begitu. Mungkin ada tikus kecil yang mengambilnya,” ucap Laras lagi dengan kalimat penuh penekanan.“M—maksud kamu apa, Laras? Rumah ini kemalingan, gitu?” Angga bertanya panik.Laras tampak menarik sudut bibirnya. Senyumnya serupa seringaian tajam. Bahkan Angga pun belum pernah melihat ekspresi wajah Laras seperti saat ini.“Tanyakan saja pada gundikmu, Mas!” seru Laras kemudian.Aluna yang sejak tadi menunduk dan tak berhenti berkeringat dingin pun mendongak. Laras menatapnya dengan tatapan mengejek.“Kamu menuduhku mencuri, hah!” teriak Aluna tak terima.***#8"Jangan sembarangan bicara, ya! Aku bukan pencuri!" teriak Aluna lagi histeris.Ia merasa tak terima saat Laras menuduhnya sebagai pencuri. Padahal memang benar, ucapan Laras sama sekali tak salah. Dia memang sudah mencuri suami Laras. Dan kini …."Benar apa kata Aluna, Ras. Kamu jangan sembarangan menuduhnya sebagai pencuri!" Angga bersuara dan membela Aluna di hadapan Laras.Aluna segera menyunggingkan senyum kemenangannya pada Laras. Wanita itu hanya menggelengkan kepalanya, dan merasa jika mereka berdua adalah pasangan yang amat sangat serasi."Oh, ya? Kamu bukan pencuri, ya?" Laras meletakkan totebag yang dibawanya di atas lantai. Lalu ia mulai berjalan mendekati Aluna.Gadis itu salah tingkah dan langkahnya tersurut mundur sementara itu Laras belum mau menghentikan langkahnya. Hingga Aluna tak berkutik kala tubuhnya jatuh terduduk di sofa."Kamu bukan pencuri, ya? Lalu ini apa?" Laras merampas sesuatu dari leher Aluna lalu memperlihatkannya pada Angga."Ini apa? Kamu tahu 'ka
#9Laras sampai di rumahnya, lalu dengan lesu menjatuhkan bobotnya di sofa rumah. Ia tak menyangka akan melihat pemandangan tak senonoh seperti tadi. Ya, walaupun hatinya sudah mati rasa sejak memutuskan untuk meninggalkan rumah Angga, tetap saja ia cukup terkejut melihat secara langsung kemesraan mereka.Lidahnya sampai terasa kelu dan tak bisa berkata-kata. Entah apa yang sedang dipikirkan Angga hingga membawa perempuan itu ke rumah, pikir Laras."Semoga Mas Angga segera mengurus perceraian kami." Laras menatap langit-langit rumahnya dengan tatapan menerawang.Rasanya ingin segera terbebas dari ikatan pernikahan yang sudah menorehkan begitu banyak luka di hatinya. Ia ingin segera memulai hidup baru dan melupakan segala luka itu. Laras yakin jika ia pun pasti akan bahagia meski tanpa sesosok suami di sampingnya.Seminggu kemudian, sebuah surat datang ke alamat rumah Laras dari pengadilan agama. Raut wajah Laras sulit untuk diartikan saat menerimanya. Antara harus bahagia atau bersedi
#10Hari untuk sidang pertama bagi Laras dan Angga pun tiba. Sejak pagi, Laras sudah sibuk berjibaku dengan alat make up. Tak lain untuk memoles wajahnya dengan riasan natural. Laras lebih suka tampil dengan riasan natural daripada yang tebal dan berlebihan.Hal itu pula yang menjadi nilai plus bagi kecantikan Laras yang terlihat alami. Ia membawa baju ganti untuk manggungnya di tas yang ditentengnya. Demi menghindari nyinyiran tetangga, Laras selalu memakai pakaian yang tak mencolok saat akan keluar rumah.Saat Laras keluar dari rumah, ia sempat berpapasan dengan rombongan keluarga Angga yang juga hendak pergi ke pengadilan agama.Bu Intan dan Tasya yang melihat penampilan seketika memainkan bibirnya. Jurus nyinyir pun kembali dilontarkan."Tuh, Ga! Lihat calon mantan istrimu, belum resmi cerai aja udah dandan menor gitu! Emang dasar keganjenan si Laras itu!" sungut Bu Intan sambil memanyunkan bibirnya saat melihat motor Laras mulai melaju.Mungkin mereka mengira jika Laras akan data
#11Laras merebahkan tubuh lelahnya di kasur kesayangannya. Tangannya segera meraih sebuah guling dan memeluknya erat. Penat yang dirasakan setelah seharian berdiri di panggung perlahan sirna. Semua itu menghilang perlahan setelah tubuhnya menyentuh kasur empuk yang menjadi alasnya tidur.Waktu seperti inilah yang sangat Laras sukai. Setelah bernyanyi, bertemu dengan teman-teman sesama biduan, juga mengenal beberapa orang baru dengan karakter yang berbeda. Laras mencurahkan segala perasaannya pada seonggok guling yang dipeluknya.Bukan karena Laras kehilangan kewarasannya. Ia hanya sedang berupaya untuk menjaga kewarasannya dengan senantiasa mengeluarkan semua unek-unek dan keluh kesahnya pada benda mati itu.Dulu, Laras akan menceritakan apa saja yang ada di pikiran dan hatinya pada Angga. Dulu sekali, saat hubungan mereka masih hangat dan membara. Cara itulah yang Laras lakukan untuk membuat hubungan rumah
#12 Setelah resmi menjanda, Laras kembali disibukkan dengan aktivitasnya. Dia lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah untuk bekerja demi menghindari berinteraksi dengan para tetangga yang membencinya karena status barunya itu.Hal itu juga bertepatan dengan musim hajatan seperti saat ini, jobnya selalu mengalir deras seperti air. Setidaknya lima hari dalam seminggu dia akan manggung dari satu tempat ke tempat yang lain. Begitulah hari-hari yang dijalani oleh Laras setelah dirinya bercerai.Hari itu dia sengaja datang ke cafe milik Galih karena kebetulan hari itu dia memiliki waktu senggang. Laras juga tak segan untuk membantu menjadi pramusaji dadakan di Cafe. Semua itu ia lakukan untuk mengisi waktu. Mengusir kejenuhan dan juga untuk menafkahi dirinya sendiri.Laras sudah terbiasa mandiri sejak dulu sehingga saat perceraian itu menimpa dia tidak perlu kaget harus bekerja keras sendirian. Sama seperti saat dirinya masih lajang.Sebenarnya, Ayah tiri Laras juga baik. Ia menga
#13 "Nasi goreng seafood di sini rasanya masih sama kayak dulu, ya, Gal," ujar Laras berkomentar setelah menghabiskan seporsi nasi goreng seafood kesukaannya."Hem, bener, Ras. Cita rasanya masih sama walaupun desain tempat ini sudah banyak yang berubah, ya," sahut Galih menimpali ucapan Laras.Keduanya sudah menghabiskan menu yang mereka pesan. Mereka merasa seakan terlempar pada kenangan masa lalu. Masa-masa mereka masih muda dengan segala problematika kecil yang kadang datang menerpa."Aku sudah mendengar semuanya, Ras." Galih berucap tiba-tiba. Ia segera memanfaatkan waktu yang ada untuk mengutarakan sesuatu pada Laras.Bicara empat mata seperti ini, dan dari hati kehati. Galih rasa ini adalah waktu yang tepat."Dengar apa, Gal? Kenapa wajahmu jadi keliatan serius banget?" tanya Laras tak mengerti dengan arah pembicaraan Galih."Aku sudah dengar kalau kamu udah cerai dari Angga.""Terus?" Laras bertanya acuh. Dia sempat terkejut saat Galih membahas tentang perceraiannya dengan An
#14Laras pun meyakinkan dirinya dan memutuskan untuk tidak memedulikan Angga yang pingsan tepat di depan rumahnya. Ia masih sangat ketakutan atas tingkah Angga tadi yang tampak bukan seperti Angga yang Laras kenal. Ia merasa Angga sudah banyak berubah.Wanita itu merasa begitu banyak yang berubah sampai-sampai Angga pun berubah di saat mereka sudah resmi bercerai.Laras masuk ke dalam rumah lalu segera membersihkan dirinya di kamar mandi lantas bersiap untuk mandi. Laras ingin sekali bersikap tegas dan menghiraukan keadaan Angga di luar. Akan tetapi, rupanya ia tetap tak bisa begitu saja abai.Sebuah kekhawatiran terbit di hatinya yang terlampau lembut itu.“Kira-kira dia sudah sadar belum ya?” tanya Laras begitu dia keluar dari kamar mandi. Rambutnya yang basah digulung dengan handuknya.Tiba-tiba saja ia menjadi khawatir dan memikirkan Angga.“Biarin aja, deh, Aku udah nggak ada urusan lagi sama dia, ‘kan?” Laras bermonolog lagi untuk sekadar menenangkan kekhawatiran yang muncul.“
#15“Bu, pelan dong jalannya,” protes Tasya saat langkahnya tak dapat menyaingi langkah Bu Intan yang memburu dan cepat.Bu Intan mengayun langkahnya cukup cepat layaknya orang yang ingin melabrak.“Hih, kamu ini bawel banget, Sya. Bentar lagi mau turun hujan, makanya kita harus cepat-cepat bawa abang mu pulang,” omel Bu Intan menimpali protes dari Tasya.“Iya, Bu, tapi rumah Laras juga nggak jauh dari sini, ‘kan? Ngapain buru-buru coba,” ketus Tasya bersungut-sungut.Waktunya untuk me time terganggu oleh telepon Laras dan hal itu yang membuat Tasya kesal bukan main dengan abangnya."Udah kamu diem deh, jangan ngomel terus. Ibu pusing, tahu! Lagian abangmu itu ngapain coba malah dateng ke rumah Laras bukannya langsung pulang. Malu-maluin aja, sih!" omel Bu Intan sepanjang membawa langkahnya menyusuri jalanan yang sepi dengan Tasya."Tau tuh, Bang Angga nyebelin banget deh!" timpal Tasya.Tak lama keduanya sudah sampai di depan rumah Laras. Mereka langsung menghambur ke tempat Angga te
#148Setelah Tasya pergi dan memulai kehidupannya di tempat yang baru. Angga dan Syahna saling bergantian menjaga Bu Intan di rumah sakit.Kadang ada rasa bosan yang menghampiri, karena Angga hanya berkutat di kantor, rumah dan rumah sakit. Namun, kehadiran Syahna selalu menenangkan suasana dan selalu menghiburnya di saat rasa bosan kadang menghampirinya.Angga hampir saja kehilangan harapannya pada Bu Intan, sebab Ia tak kunjung siuman sejak dinyatakan koma beberapa hari yang lalu. Dan hingga saat ini pun tidak terlihat ada tanda-tanda vital jika Bu Intan akan segera siuman.Saat dia ingin menyerah dan terus merasa frustrasi dengan keadaan, Angga akan mengingat jika dia masih memiliki Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai tempatnya melangitkan doa."Jangan lupa selalu berdoa untuk kesembuhan ibumu, Ga." Itulah pesan dari Pak Rahmat yang selalu terngiang dan tertanam di benak Angga.
#147Tasya sudah bersiap dengan koper kecil yang berisi barang-barang bawaannya. Di pagi buta itu seusai sarapan, Tasya sudah berpenampilan rapi dan telah bersiap pergi bersama Angga ke rumah sakit. Syahna pun turut serta untuk menemani Bu Intan di rumah sakit, atas permintaan Angga semalam.Setelah itu barulah dia akan pergi ke terminal bersama Pak Rahmat. Sedangkan, Angga hanya akan mengantarnya hingga ke terminal bus. Ia pun harus membawa serta Syahna dan Jelita ke rumah sakit untuk menunggu Bu Intan di ruangannya.Saat Angga mengatakan tentang rencana kepergian Tasya esok hari dan saat datang menemui Laras di rumah pada Syahna. Tentu hal itu mengundang respon terkejut atas pernyataan Angga. Syahna merasa kesal karena Angga terkesan melupakan janjinya sendiri."Kok aku nggak diajak ketemu Laras kemarin, Mas," protes Syahna kala lelaki itu memberitahukan padanya tentang apa saja yang dia lakukan kemarin b
#146"Apa Syahna lagi sakit? Atau Jelita yang sakit?" Angga terus bertanya-tanya. Dan akhirnya memberanikan diri untuk melihat isinya."Ini …."Syahna baru saja menyelesaikan acara memasaknya. Memang dia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk memasak mie goreng spesial yang menjadi favorit Angga.Satu gelas kopi, dan satu piring mie goreng spesial untuk Angga, serta satu mangkok makanan pendamping Asi untuk makan siang Jelita, sudah Syahna tata rapi di atas nampan. Siap untuk dihidangkan ke Angga dan Jelita.'Mereka pasti udah nggak sabar lagi nunggu makanan ini,' batin Syahna riang dalam hatinya.Mood nya sempat turun akibat kabar dari tes DNA itu, akan tetapi setelah Angga pulang. Kehadirannya cukup untuk membuat Syahna mendapatkan kembali semangatnya. Angga serta perasaan cintanya sangat berpengaruh bagi mood Syahna.Tanpa firasat buruk apa pun, Sy
#144Terkadang bertemu dengan masa lalu yang menyakitkan itu, akan membuat kita mau tak mau mengingat lagi masa-masa sulit yang disebabkan oleh orang yang menyakiti kita tersebut.Hal yang harus dihindari adalah, memutus kontak dan menghilangkan semua akses untuk bertemu. Namun, hari ini semua itu seolah tak berlaku bagi Laras.Ia tak pernah menyangka jika mantan suami dan adik iparnya yang kini sudah mengubah penampilannya, ada di sini dan menginjakkan kaki ke rumahnya untuk pertama kalinya."Kenapa kalian ada di sini?" tanya Laras memberanikan diri. Ia berharap-harap cemas menantikan jawaban mereka. Laras sangat tidak menghendaki kehadiran mereka, namun apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain selain menanyakan maksud kedatangan mereka.Sebenci apa pun Laras di masa lalu pada keduanya. Akan tetapi, Laras juga tak mungkin mengusir kedua kakak beradik itu setelah mereka sudah duduk di ruang
#142"Kamu yakin … mau ikut menemui Laras?" Lelaki itu menatap lekat wajah Syahna yang tampak serius saat ini. Wajahnya tampak tenang seolah tak menunjukkan ekspresi apa pun, akan tetapi Angga dapat menilai kalau Syahna cukup serius dengan apa yang baru saja diucapkannya itu.Angga bertanya untuk memastikan lagi agar dia tak salah dalam menafsirkan keinginan Syahna. Angga berharap-harap cemas menantikan jawaban Syahna. Lelaki itu menatap Syahna dengan tatapan yang sulit dimengerti. Dengan sabar, Angga menunggu Syahna membuka mulutnya dan menjawab pertanyaannya.Syahna menganggukkan kepalanya mantap. Gadis itu merasa yakin dengan pilihannya untuk menemui Laras. Keinginan itu datang dengan sendirinya dari dalam hati. Entah mengapa, ia tiba-tiba berkeinginan menggebu untuk mengenal wanita hebat seperti Laras.Ia ingin sekali bertemu dan mengenal Laras. Sebab, Entah mengapa Syahna yakin jika sampai saat ini pu
#140Hari itu, Angga dan Tasya pulang ke rumah. Angga sengaja berniat untuk pulang, sekadar untuk melihat keadaan Syahna dan Jelita. Sementara, Tasya pulang untuk sekadar beristirahat dengan tenang sebelum harus kembali ke rumah sakit lagi.Pak Rahmat bersedia ditinggal di rumah sakit untuk menunggu Bu Intan dan membiarkan kedua kakak beradik itu pulang untuk beristirahat sejenak. Hari-hari yang mereka lalui pasti sangatlah berat. Tetapi mereka tetap bersyukur telah dikirimkan Pak Rahmat untuk sedikit meringankan beban mereka."Sore nanti kita balik lagi ke rumah sakit, Sya," ucap Angga mengingatkan sang adik setelah mobilnya terparkir sempurna. Kadang rasanya lelah, harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjaga sang ibu yang sedang koma. Namun, mereka tak boleh dan pantang mengeluh. Sebab, itu sudah menjadi kewajiban mereka sebagai seorang anak untuk berbakti pada sang ibu."Iya, Bang. Tasya mau tidur dan
#139Tekanan darah yang sangat tinggi saat Bu Intan tak sadarkan diri tempo hari, membuat Dokter dengan berat hati mengatakan kalau beliau koma. Dan, belum bisa dipastikan kapan akan tersadar dari komanya. Pihak dokter pun belum dapat memastikannya. Mereka hanya dapat berdoa untuk kesembuhan Bu Intan, dan meminta keluarga pasien untuk tabah dan menerima keadaannya. Dan tak lupa untuk berdoa memohon kesembuhan bagi ibu mereka berdua.Kabar mengejutkan itu sontak membuat Tasya sangat terpukul. Ia sungguh tak menyangka jika ibunya akan mengalami masa yang sangat sulit seperti sekarang. Kini, baik Angga maupun Tasya hanya dapat berdoa agar Bu Intan segera tersadar dari komanya. Dan, mereka berdua hanya dapat saling menguatkan satu sama lain. Ya, hanya itu yang dapat mereka lakukan selain berdoa. Tasya berharap agar ibunya segera sadar dan ingin memperlihatkan pada beliau jika ia mampu berubah untuk menjadi lebih baik. Juga, ingin agar Bu Intan bahag
#138Karma selalu dibayar tunai! Begitulah kata-kata yang selalu terngiang dalam benak Tasya. Ia merasa jika apa yang sedang mereka alami adalah buah dari segala perbuatan buruknya selama ini."Bang, apa ini karma ya buat kita?" Dengan mata berkaca-kaca, Tasya bertanya tentang karma."Husst! Jangan ngawur kita cukup berdoa saja yang baik-baik buat Ibu, Sya." Angga mencoba menanamkan nasihat positif pada adiknya. Ia mencoba segala cara agar Tasya tak selalu memikirkan hal negatif yang hanya akan membuat hati dan pikiran terasa lelah. Tak ada obat untuk semua rasa lelah itu.Tasya pun tak lagi membuka suara, cenderung terdiam dan merenungi segala kesalahannya di masa lalu. Memang benar kata pepatah jika penyesalan itu selalu datang di akhir cerita. Dan, kini Tasya baru saja merasakan penyesalan atas segala perbuatannya terhadap Laras dulu.*Bu Intan tak kunjung siuman mes
#136"Menurutmu, aku harus bagaimana?" Angga mengulangi lagi pertanyaannya dan lagi-lagi membuat Syahna terkejut setengah mati.Pertanyaan Angga kali ini sanggup membuat Syahna terkesiap sesaat. Lelaki itu bahkan menanyakan padanya tentang apa yang harus dilakukan. Syahna merasa dihargai dan dianggap sebagai orang spesial yang penting bagi Angga.Ia pun tampak terdiam sejenak untuk memikirkan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan Angga tersebut, tanpa terdengar seperti meremehkan lelaki itu."Menurutku … lebih baik Mas jujur saja sama Ibu. Di dunia ini pasti tak ada satu orang pun yang suka dibohongi, pun sama dengan ibumu, Mas. Walaupun kamu memilih untuk nggak cerita dan mengatakan yang sebenarnya sama Ibumu sekarang. Beliau pasti akan terus mencari tahu. Dan akan sangat miris kalau ibu tau semua itu dari mulut orang lain," ujar Syahna memberi jawaban sekaligus nasihat untuk Angga.