Share

Bab 36

Author: pachirawidi
last update Last Updated: 2025-01-15 21:08:35

Theo tersenyum kecil, senyum yang sulit kuterjemahkan. Entah itu tulus, sinis, atau hanya sebuah upaya untuk menutupi sesuatu. "Iya, sudah," jawabnya akhirnya. "Hanya saja hubungan kami LDR. Dia masih mencari jati dirinya."

Pernyataannya membuatku sedikit tertegun. "Mencari jati diri?" ulangku, setengah bingung.

Dia mengangguk ringan, tatapannya sedikit melunak. "Dia sedang sibuk dengan kehidupannya sendiri. Ada banyak hal yang ingin dia capai sebelum benar-benar merasa siap menjalani kehidupan rumah tangga sepenuhnya," jelasnya, suaranya terdengar tenang namun ada nada melankolis yang terselip di sana.

Aku hanya mengangguk, tidak ingin menggali lebih jauh meskipun ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di kepalaku. Hubungan pernikahan mereka terdengar rumit, seperti sebuah kesepakatan tanpa pondasi emosional yang kuat. Tapi aku sadar, aku bukan siapa-siapa untuk menilai.

"Tolong rahasiakan hal ini," pintaku tiba-tiba, mencoba mengembalikan fokus pembicaraan ke masalahku. "Aku
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 37

    Aku menatap Eleonor yang tampak sumringah, senyumnya merekah seperti bunga yang baru saja bermekaran di musim semi. Gadis itu tanpa ragu meremas tanganku, seolah ingin membagi kegembiraan yang mengalir deras dalam dirinya. Tatapan matanya tajam, penuh antusiasme, memberi isyarat agar aku mengikuti arah pandangannya."Apa sih?" bisikku, mencoba mengalihkan perhatiannya dari sesuatu yang jelas membuatnya bersemangat. Namun, Eleonor hanya tersenyum, sama sekali tak menggubrisku.Merasa tak nyaman, aku berdehem pelan dan berpura-pura mencari alasan. "Aku ke kamar mandi dulu," gumamku, berusaha menjauh sebelum rasa gugup ini semakin jelas terlihat.Tapi langkah kaki itu semakin dekat. Aku tahu siapa pemilik suara itu, bahkan tanpa menoleh sekalipun. Napasku tercekat, tubuhku menegang, namun aku memaksa kaki ini melangkah. Sayangnya, di detik berikutnya, Eleonor dengan liciknya menarik lenganku, membuatku tetap berdiri di tempat.""Ayo, jangan kabur," bisiknya penuh godaan, matanya berbinar

    Last Updated : 2025-01-17
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 38

    Aku mencoba melangkah pergi dengan tenang, tetapi belum sempat aku bergerak jauh, tangan Theo tiba-tiba menahan lenganku. Sentuhannya lembut, tetapi cukup kuat untuk membuatku berhenti. "Savannah, duduk! " suara yang sangat penuh ketegasan, aku menjadi kaku. Respon pria ini sangat tidak terkendali. Aku menoleh, menatap wajahnya yang tampak tegang. Tapi sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, tangan lain menyentuh lengan kiriku. " Kakak tidak berhak memerintah Savannah,," suara dingin Arthur membuat tubuhku menegang. Aku menoleh ke arahnya, dan tatapan tajamnya menghunus ke wajah Theo yang acuh tak acuh. Cengkraman ditanganku masih kuat. Theo mengerutkan kening, tidak melepaskan cengkeramannya. "Arthur, ini bukan urusanmu." Arthur tersenyum kecil, senyuman yang lebih terlihat seperti ejekan. "Tentu saja ini urusanku, kak Theo. Aku tidak akan membiarkanmu bertindak sesuka hati pada Savannah. Apalagi kamu juga baru mengenal Savannah." Aku menatap mereka berdua bergantian, tidak cukup

    Last Updated : 2025-01-20
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 39

    Aku menatap Arthur dengan penuh tanda tanya. Jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya? Raut wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi, membuatku semakin sulit menebak isi pikirannya."Kakakku..." Arthur berhenti sejenak, pandangannya bergeser dari Eleanor ke arahku. "Dia tidak punya kekasih. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan... mungkin dia memang memilih untuk sendiri."Eleanor tampak ingin bertanya lebih jauh, tapi aku lebih dulu menyela. "Kenapa dia memilih untuk sendiri? Apakah karena dia pernah disakiti seseorang?"Arthur menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresi wajahnya berubah menjadi sedikit melunak. Dia menghela napas, seakan tengah memutuskan apakah dia harus menjawab atau tidak. "Savannah," ujarnya pelan, "kamu terlalu banyak bertanya tentang kakakku. Kenapa? Apa kamu tertarik padanya?"Aku tertegun. Tentu saja aku penasaran, tapi tidak pernah terlintas di pikiranku untuk tertarik pada kakaknya. Namun, pertanyaan Arthur itu berhasil membuat jantungku berdetak sedikit l

    Last Updated : 2025-01-22
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 40

    Aku memutar tubuhku, sepenuhnya menghadapnya sekarang. "Itu mudah untukm.. Kamu tidak pernah peduli, kan? Tapi aku, aku tidak seperti itu!" Matanya menatapku dengan intensitas yang membuatku hampir lupa bernapas. "Aku tidak peduli karena mereka tidak penting," katanya dengan tenang, tapi nadanya terasa seperti perintah. "Yang penting adalah kamu ada di sini sekarang. Itu cukup." "Apa maksudmu, Theo?" tanyaku, frustrasi dengan caranya yang selalu berbicara setengah-setengah. "Maksudku sederhana," katanya sambil memutar kemudi ke arah sebuah restoran yang terlihat mewah. "Kamu bersamaku. Biarkan mereka berpikir apa pun yang mereka mau." Aku mendesah panjang, merasa tidak berdaya menghadapi sifat keras kepalanya. "Ini tidak masuk akal," gumamku. Dia memarkir mobilnya dan mematikan mesin sebelum menatapku lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih lembut tapi tetap serius. "Mungkin. Tapi aku tidak akan berubah hanya untuk menyenangkan orang lain, Savannah. Dan, sejujurnya, aku hara

    Last Updated : 2025-01-22
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 41

    Setelah makan malam, pria itu tidak langsung mengajakku pulang. Sebaliknya, ia memarkirkan mobilnya di tepi pantai. Angin malam yang sejuk menyapa kulitku, namun suasana dalam mobil terasa lebih hangat, mungkin karena rasa penasaranku terhadap pria di sebelahku. Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban dari raut wajahnya "Pak Theo," aku akhirnya membuka suara, memecah keheningan yang terasa menggantung, "dari mana Anda tahu makanan kesukaan saya?" Dia menoleh, sorot matanya yang tajam bertemu pandanganku. Bibirnya melengkung membentuk senyum kecil, seolah menikmati kebingunganku. "Rahasia," jawabnya santai. "Aku kan sudah bilang, aku bisa mendapatkan apa pun yang aku mau." Nada suaranya penuh percaya diri, membuatku mendesah pelan sambil memutar bola mata. Kesal. Namun, di balik kekesalan itu, ada rasa penasaran yang terus menggelitik. "Jadi, menurut Anda, menebak makanan favorit saya itu semacam pencapaian besar?" tanyaku setengah mengejek, mencoba menahan kekecewaan karena

    Last Updated : 2025-01-23
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 42

    Saat aku menelpon taksi online, langkah cepat Thomas mendekatiku. Lagi. Kali ini dengan sikap yang lebih memaksa, ia berusaha meyakinkanku untuk pulang bersama mereka. Namun, seperti sebelumnya, aku menolak mentah-mentah. "Tuan Theo meminta maaf jika telah menyinggung Anda," katanya dengan nada penuh penyesalan. Aku mendongak dan menatapnya dengan ekspresi malas. "Sudah dimaafkan. Jadi, saya ingin pulang." Namun, alih-alih menyerah, Thomas tiba-tiba melakukan sesuatu yang benar-benar mengejutkanku. Ia berlutut di depanku, memohon dengan tatapan memelas yang sama sekali tak kuharapkan darinya. "Tolong, nona. Kami hanya ingin memastikan Anda pulang dengan aman. Tuan Theo sangat khawatir," katanya dengan suara yang nyaris terdengar seperti rayuan. Aku mendesah panjang, memutar bola mata. Apakah mereka pikir aku tidak mampu menjaga diriku sendiri? "Taksinya sudah dipesan. Jadi, kalian tidak perlu repot-repot," balasku sambil menunjuk layar ponselku yang menunjukkan status taksi yang

    Last Updated : 2025-01-24
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 43

    Ketika memasuki rumah sewaanku, aku tertegun mendapati Eleanor sudah berdiri di belakangku dengan tangan bersedekap. Wajahnya dingin, tatapannya menusuk, siap menginterogasiku. "Astaga, El! Kamu mengagetkanku," ucapku terkejut sambil menepuk dadaku. Rasanya seperti hampir kehilangan napas. Namun, dia tidak bereaksi seperti biasanya. Eleanor hanya menatapku tajam, kedua alisnya bertaut. "Kamu pergi lama sekali, dan dengan pria yang kamu tidak begitu kenal? " ucapnya, nada suaranya terdengar seperti interogasi. Apa yang diucapkan Eleanor sangat benar, tapi aku juga bingung untuk menjelaskan situasi sebenarnya. Aku tertawa gugup, mencoba menyusun alasan sebelum menjawab. "Aku juga nggak nyangka bakal selama itu. Theo hanya minta ditemani makan," kataku, berusaha terdengar santai agar Eleanor tidak bertanya semakin banyak. Namun, Eleanor tidak termakan jawabanku. Dia menyipitkan matanya, seperti sedang menganalisis setiap kata yang keluar dari mulutku. "Hanya makan? Sampai berjam-j

    Last Updated : 2025-01-27
  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 44

    Sejak tadi aku belum bisa tertidur, aku melirik Eleanor yang kini sudah tertidur lelap. Lelah bertolak balik aku memutuskan untuk bangun dan memeriksa email sebelum kembali beristirahat. Semoga saja sudah ada jawaban dari pria itu. Aku menyalakan laptopku yang tergeletak di meja. Cahaya dari layar menyilaukan mataku, tapi aku tetap menatapnya sambil menghela napas panjang. Aku membuka emailku, berharap tidak ada hal penting yang memerlukan perhatian malam ini. Namun, begitu kubuka inbox, jantungku terasa seperti berhenti berdetak sejenak. Di sana, ada satu email dari kuasa hukum suamiku. Subjeknya singkat tapi cukup membuat tanganku gemetar: "Penolakan Pengajuan Perceraian Anda." Aku langsung mengkliknya tanpa berpikir dua kali. Isi email itu jelas dan langsung ke intinya: "Ny. Savannah, kami ingin memberitahukan bahwa klien kami, Tn. Mahardika, telah menolak pengajuan perceraian Anda. Klien kami merasa bahwa perceraian ini tidak memiliki dasar yang kuat dan tidak sepantasnya di

    Last Updated : 2025-01-30

Latest chapter

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 58

    Suara bel pintu yang berdering keras membangunkan Savannah dari tidurnya yang nyenyak. Matanya terasa berat, dan tubuhnya enggan beranjak dari kasur yang hangat. Dia mengerang pelan, menarik selimutnya lebih erat, berharap suara itu hanya bagian dari mimpinya. Namun, dering bel itu terdengar lagi, kali ini lebih panjang dan mendesak. Setelah menelpon theo dan marah-marah, Savannah kembali tidur dan melupakan jika pagi ini dia harus berangkat ke Jakarta. Cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih berantakan dengan pakaian yang tergeletak di kursi dan beberapa buku yang berserakan di lantai. Savannah mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan kantuk. Rambut panjangnya kusut, dan piyama satin yang dikenakannya tampak kusut setelah semalaman berguling di tempat tidur.Dengan langkah malas, dia berjalan menuju pintu, matanya masih setengah terbuka. Begitu membuka pintu, dia terkejut melihat Arthur, sopir keluarga, berdiri di ambang pintu dengan senyum ramah.“Sel

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 57

    Theo melirik Savannah sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke jalanan yang mulai sepi. Langkahnya melambat, seolah pikirannya sibuk menimbang sesuatu yang cukup serius. “Aku belum memutuskan,” katanya akhirnya, suaranya tetap tenang tetapi mengandung nada ragu. “Kalau kita pergi bareng, aku harus memastikan dulu jadwalku. Tapi kalau sendiri-sendiri…”Ia membiarkan kalimatnya menggantung, seakan sengaja memberi ruang bagi Savannah untuk menerka maksudnya. Savannah, yang berjalan setengah langkah di depannya, menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kalau sendiri-sendiri, kenapa?” tanyanya, menunggu jawaban Theo. Theo tersenyum tipis, hampir seperti ejekan halus pada dirinya sendiri. “Aku harus tahan menghadapi perjalanan yang membosankan tanpa seseorang yang bisa diajak ngobrol." Savannah mendengus pelan, lalu berpura-pura berpikir dengan ekspresi serius. “Jadi maksudmu… kamu ingin kita pergi bareng?” Theo akhirnya menatapnya langsung. Mata hitamnya tenang, tapi ada sesu

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   bab 56

    Setelah Moana pergi, Savannah berjalan kembali ke dalam rumah dengan langkah malas. Kaki-kakinya terasa berat, seolah-olah setiap langkahnya menyeret beban yang tak terlihat. Begitu tubuhnya menyentuh sofa empuk di ruang tamu, ia langsung menjatuhkan diri, membiarkan kepalanya bersandar di sandaran tangan. Matanya baru saja hendak terpejam ketika suara getaran ponsel di meja kaca mengusik ketenangannya. Getarannya yang berulang-ulang seperti memaksa Savannah untuk membuka matanya kembali. Savannah mengumpat dengan tidak sabaran, siapa lagi yang mengganggu diwaktu seperti ini? Savannah melirik layar dengan setengah hati. Nama Theo terpampang di sana, disertai dengan foto profilnya yang selalu terlihat rapi dan tersenyum. Ia menghela napas panjang, jari telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan meja kaca yang dingin, menimbang apakah ia harus mengangkatnya atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa lama, ia akhirnya menyerah dan menekan tombol hijau. "Halo?" suaranya terdengar datar,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 55

    Savannah duduk di tepi pantai di belakang rumahnya, mencoba menenangkan diri dari pusaran pikiran yang semakin kacau. Seharusnya, semilir angin sore bisa membantunya berpikir lebih jernih, tetapi hari ini, semuanya terasa salah. Tidak ada satu pun yang berjalan sesuai harapannya. Kehancuran finansial keluarganya terasa seperti pusaran air yang menyeretnya semakin dalam. Semua berubah begitu cepat, begitu drastis, dan Savannah merasa tak berdaya. Ayahnya dan keluarganya yang lain tidak pernah berubah mereka masih saja sama, selalu membuatnya muak.Suara tawa riang tiba-tiba memecah kesunyian. Savannah menoleh dan menemukan Moana, sepupunya, melangkah mendekat dengan gaya khasnya—angkuh, percaya diri, dan selalu tampak tak tersentuh oleh masalah. Gaun mahal yang membalut tubuhnya tampak sempurna, tas desainer terbaru tergantung di lengannya, dan sepatu hak tinggi yang seakan membuatnya melayang di atas dunia sendiri.Savannah mengerutkan dahi. Bagaimana mungkin Moana masih bisa bersikap

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 54

    Aku baru saja menghela napas lega setelah kepergian Adit. Kepergian yang cukup mendadak itu memberiku sedikit ruang untuk menenangkan diri. Namun, baru saja aku hendak menikmati ketenangan di rumah, suara bel pintu kembali berdering. Aku mengerutkan kening. Siapa lagi? Jangan bilang Adit kembali. Tapi, begitu aku membuka pintu, aku langsung merasa kepalaku ingin meledak. Theo. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum percaya dirinya yang menyebalkan. Rambutnya tertata rapi, mengenakan kemeja hitam dengan jas yang tampak mahal. Dan yang lebih membuatku sebal adalah tangan kanannya yang memegang satu buket bunga mawar merah besar, sementara tangan kirinya menggenggam beberapa kantong belanja dari brand-brand mewah. "Untukmu, Savannah," ucapnya ringan sambil menyodorkan bunga dan kantong belanja itu ke arahku. Aku melipat tangan di dada, tidak berniat menerima apa pun darinya. "Aku tidak butuh semua ini." Theo tertawa pelan, seolah sudah menduga responsku. "Jangan begitu,

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 53

    Wilson berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tuannya yang tampak larut dalam pikirannya. Theodore Wiratama atau yang lebih akrab ia panggil dengan "Rama"duduk di kursinya dengan sikap penuh kuasa, tetapi ada sesuatu di sorot matanya yang sulit diartikan. Wilson menghela napas pelan sebelum akhirnya melangkah mendekat. Bagaimanapun juga, sebagai asisten pribadi yang telah lama bekerja untuk pria itu, ia merasa memiliki sedikit keberanian untuk berbicara. "Tuan, kenapa Anda tidak mendekati Nyonya Savannah dengan cara yang lebih normal? Seorang gadis pasti akan membencimu dengan semua yang Anda lakukan." Rama menoleh perlahan. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis, tetapi bukan senyum hangat senyum itu justru terasa dingin, nyaris tanpa emosi. Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia menarik nafas. "Tapi tidak ada cara lain," suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Namun, dalam nada itu, Wilson bisa menangkap sesuatu, s

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 52

    Savannah duduk di depan laptopnya, matanya terasa panas dan lelah setelah berjam-jam menatap layar yang penuh dengan lowongan pekerjaan. Sudah dua minggu sejak dia dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja selama bekerja dan hingga kini, perasaan itu masih terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tabungannya semakin menipis, dan tanpa pekerjaan, ia tahu situasinya bisa memburuk kapan saja. Belum lagi ayahnya yang terus mengganggunya dengan uang setiap hari. Dengan napas panjang, Savannah menegakkan punggungnya. "Ayo, Savannah, kamu pasti bisa," bisiknya kepada diri sendiri, seolah meyakinkan hatinya yang mulai rapuh. Tangannya kembali ke keyboard, mengetik lamaran untuk posisi cheff di berbagai Restoran. Tiba-tiba, nada dering ponselnya memecah keheningan. Savannah melirik layar dan seketika dahinya mengerut. Ayah. Jari-jarinya ragu-ragu sebelum akhirnya menekan tombol hijau. "Halo, Ayah?" "Savannah, sayang…" Suara di ujung telepon terdengar lemah, tetapi Savannah dapat

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 51

    Savannah menatap layar laptopnya dengan pandangan kosong. Email dari HR masih terbuka di depannya, kata-kata itu seperti belati yang menusuk hatinya. "Dengan berat hati, kami harus menginformasikan bahwa posisi Anda termasuk dalam program pengurangan karyawan untuk efisiensi perusahaan…" Kalimat itu terus terngiang, menghantui pikirannya. Padahal baru saja dia menandatangani kontrak 1 bulan yang lalu. Dia menutup laptopnya dengan kasar, lalu berdiri menuju jendela rumahnya. Langit Bali yang kelabu dan hujan rintik-rintik di luar jendela tampak seperti mencerminkan suasana hatinya. Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Aditya tertera di layar. Savannah mendesah panjang sebelum mengangkatnya. "Aditya, aku sedang tidak ingin bicara sekarang," katanya lelah. "Sav, dengar dulu. Aku butuh bantuanmu," suara Aditya terdengar mendesak. "Apa lagi sekarang?" Savannah berusaha menahan nada frustrasinya. "Itu tentang Theo," jawab Aditya. Nama itu membuat Savannah terdiam sejenak. Theo, Sa

  • Tuan Wiratama, Nyonya Savannah Ingin Berpisah   Bab 50

    Ruangan itu sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar samar. Cahaya lampu gantung melemparkan bayangan panjang di lantai marmer, menciptakan suasana yang dingin dan tegang. Theo berdiri tegak di tengah ruangan, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Meski tubuhnya gemetar, ia menolak menunjukkan kelemahan. “Saya akan membuktikan bahwa saya bisa.” Tanpa menunggu tanggapan, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan punggung lurus. Di belakangnya, Pak Arnold hanya menyunggingkan senyum tipis. “Kita lihat saja, Theo. Dunia luar tidak seindah yang kau bayangkan.” Gertakan itu tak menghentikan langkah Theo. Satu langkah. Dua langkah. Derap sepatunya terdengar semakin jauh. Namun, sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, suara kakeknya kembali menggema. “Theo.” Langkahnya terhenti. Ia menarik napas dalam, lalu berbalik, menatap pria tua itu dengan sorot mata tajam. “Kau benar-benar berpikir aku akan mengusirmu?” Theo mengernyit. Apa maksudnya? Sejak dulu,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status