Alaric ingat dengan tepat, kapan ia pertama kali menyukai Kiara. Gadis itu memang cantik, ia akui. Tapi bukan karena itu ia menyukai Kiara. Ia sudah sering melihat gadis cantik. Jurusan kuliah yang ia ambil dan pekerjaannya sekarang ini telah mempertemukannya dengan banyak gadis cantik dari beragam etnik dan beragam kebangsaan. Tetapi Kiara telah menyita seluruh rasa dan perhatiannya.
Rasa sukanya pada Kiara ini bukan rasa suka yang muncul pada pandangan pertama. Terlalu sering melihat wajah cantik, membuatnya kesulitan merasakan keistimewaan seorang gadis cantik pada pertemuan pertama.
Ia ingat Kiara, walau pertemuan pertama mereka terjadi setahun lalu. Cara gadis itu tersenyum menjadi pengingatnya. Beda dengan senyum yang biasa ia lihat. Mungkin bagi sebagian orang ini terdengar berlebihan, tapi kenyataannya memang begitu. Suatu senyum khas seseorang, bagai sidik jari yang berbeda di setiap orang. Sudah banyak senyum yang ia lihat, tetapi ia masih ingat dengan cara
Halo, Makasih buat yang sudah baca. Tunggu lanjutannya besok ya. Salam, Arumi
Baru dua hari syuting tanpa arahan Alaric, Kiara menyadari, Alaric memang lebih ahli dalam mengarahkan dan sudah sangat paham sudut-sudut pengambilan gambar terbaik di Kota Monte Carlo ini. “Cut!” Teriakan keras itu mengejutkan Respati yang masih asyik mengamati adegan syuting yang sedang ia arahkan di tiga monitor sekaligus. Harga dirinya seolah bagai dihempaskan sekeras-kerasnya. Hari ini ia bertugas menggantikan Alaric sebagai sutradara. Teriakan itu adalah kata kekuasaannya. Hanya dia yang boleh meneriakkan kata itu. Tetapi ini kedua kalinya ia mendengar kata itu diteriakkan dengan sangat keras oleh artis yang seharusnya menuruti arahannya. “Ada apalagi, Kiara? Pleasedong, kamu nggak berhak teriak ‘cut!’. Itu kan wewenangku,” cetus Respati menahan kesal. Gadis semampai itu memandangi Respati tanpa ragu, bibirnya yang terlihat lembut dan berkilau, kali ini mengerucut tanpa ia sadari. “Aku nggak puas sama ade
Kiara tiba di Stasiun Gare Du Nord sesudah tengah hari. Ia bergegas keluar stasiun lalu menunggu taksi. Ia keluarkan catatan alamat apartemen tempat tinggal Alaric di Kota Paris ini yang diberikan oleh Erghan. Kiara tak tahu di mana tepatnya letak apartemen Alaric. Berharap dengan naik taksi, supir taksi mengetahui di mana lokasi alamat yang tercantum di secarik kertas yang dipegangnya itu. Setelah menunggu agak lama, sebuah taksi akhirnya datang mendekat ke depan Kiara berdiri. Ia segera masuk, lalu menunjukkan alamat yang tertera di secarik kertas yang dipegangnya. Ini keberuntungan bagi Kiara, supir taksi keturunan Turki itu mengetahui lokasi alamat yang tertulis di secarik kertas itu. Cukup jauh dari stasiun kereta, kira-kira dua puluh menit kemudian, sampailah Kiara di sebuah gedung yang tidak terlalu tinggi, hanya kurang lebih terdiri dari sepuluh lantai. Alamat gedung ini sesuai dengan alamat yang tertera di secarik kertas pemberian Erghan. Kiara segera turun
Gadis Prancis itu menatap wajah Kiara lalu tersenyum. “Alaric sering bercerita tentang dirimu padaku. Hm, dan kamu memang cantik seperti yang dikatakan Alaric,” sahut gadis Prancis itu. Kiara hampir tersedak mendengar ucapan Audrey. Matanya membelalak, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Alaric sering bercerita tentang aku?” tanyanya. Dan dia bilang aku cantik? lanjutnya dalam hati. Audrey Fontaine mengangguk dengan anggun. “Sepertinya dia sangat terpesona denganmu dan bosan dengan gadis Prancis sepertiku.” sahutnya bernada menyindir. “Apakah kalian …. pasangan kekasih?” tanya Kiara menahan rasa cemas. Ia masih bertanya-tanya, seperti apa hubungan Audrey dengan Alaric. Audrey tertawa perlahan, lalu menggeleng. “Sayangnya bukan, walau pun aku sangat ingin menjadi kekasihnya. Andaikan aku bisa memaksa Alaric menjadi kekasihku,” katanya menjawab pertanyaan Kiara. Jawaban Audrey yang
Kiara bergegas pergi dari apartemen Alaric. Supaya cepat sampai, ia memilih naik pesawat dari Paris menuju Nice. Kemudian dengan taksi segera melaju ke Monte Carlo. Dengan tak sabar Kiara bergegas masuk ke dalam hotel tempat seluruh pemain dan kru film “Theodore dan Almira” tinggal selama masa syuting di Monte Carlo. Ia menaiki lift langsung menuju lantai enam, tetapi ia tidak menuju kamarnya. Kiara melewati begitu saja pintu kamarnya, dengan langkah cepat terus berjalan menuju pintu kamar Erghan Prasetya. Ia segera menekan bel pintu. Tiga kali berturut-turut tanpa jeda sebagai pertanda ia sangat tidak sabar. Baru lima menit kemudian pintu itu terbuka. Erghan tercengang melihat Kiara sudah ada di depan pintu kamarnya dengan wajah terlihat sangat kesal. “Kiara, cepat sekali kamu kembali? Bukannya baru tadi pagi kamu ke Paris?” tanya Erghan yang sungguh sangat tak menduga Kiara sudah ada di kota ini lagi. Kiara tidak memedulikan pertanyaan Ergha
Saat Kiara sadar, ia memang harus mengeluarkan kemampuan aktingnya secara total, maka syuting selama hampir dua minggu di Monte Carlo akhirnya selesai juga. Alaric puas dengan akting Kiara. Gadis itu sungguh-sungguh menepati janjinya, menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin, membiarkan dirinya seolah benar-benar terjerat asmara dengan Oliver. Chemistrykeduanya terlihat jelas. Apalagi saat Oliver mengecup lembut pipi Kiara sembari memeluknya dari belakang. Adegan Theodore melamar Almira membuat semua kru seolah benar-benar menyaksikan kedua tokoh utama ini jatuh cinta. Oliver masih menggoda Kiara usai adegan terakhir direkam. “Aku ingin mengajakmu kencan makan malam hanya berdua,” bisik Oliver. “Syuting di sini sudah berakhir, Oliver. Kita sudah nggak punya hubungan apa-apa lagi. Aku sudah bukan Almira lagi dan kamu bukan Theodore,” balas Kiara. “Tapi kamu Kiara Almira,” ucap Oliver masih tak mau menyerah. “Kiara Almira, bukan Almi
Bel pintu kamar Kiara dan Livia berbunyi tepat setelah Kiara selesai merias wajahnya dengan sapuan ringan. Bedak mengandung anti sinar ultra violet, sedikit eye shadowmerah maroon, lipstick lembut berwarna ‘nude’yang memberikan kesan alami dibibirnya yang lembut. Ia mengenakan jeans biru muda sepanjang mata kaki dengan atasan blus putih longgar sepanjang pahanya dengan lengan di atas siku. Rambutnya yang hitam, tebal dan lurus sedikit melebihi bahu ia biarkan tergerai. Penampilannya ‘simple’tetapi tetap terlihat ‘chic’. Ia melangkah mendekati pintu, menduga yang menkan bel adalah pelayan hotel yang akan menawarkan sarapan pagi. Namun Kiara tertegun saat ia membuka pintu, yang berdiri di hadapannya adalah tubuh menjulang Alaric yang tersenyum padanya. Kiara mengernyit. Setelah selama dua minggu syuting ia lebih sering melihat Alaric dengan ekspresi wajah serius dan kakunya, kini tiba-tiba saja lela
“Ayo, Kiara. Bisa kta berangkat sekarang? Mumpung masih pagi.” Kiara menoleh ke arah pintu kamar mandi untuk mengecek keberadaan Livia. Dia kembali mengalihkan pandangannya kepada Alaric saat ia melihat Livia belum keluar dari kamar mandi. “Aku belum sarapan.” Kiara memberi alasan. “Kita sarapan di luar. Aku sudah menyiapkannya,” jawab Alaric. Kedua alis Kiara terangkat. “Kamu menyiapkan sarapan?” tanyanya dengan nada tak percaya. Alaric mengangguk. “Iya, aku sengaja bikin makanan untuk bekal sarapan kita berdua. Kita nikmati sarapan di luar, di bawah sinar matahari musim semi Monte Carlo.” Kiara menatap Alaric semakin curiga. Matanya menyipit, memandangi Alaric agak lama. “Kamu ini beneran si Tuan Sutradara yang biasanya arogan itu? Atau ini kembarang si Tuan Sutradara itu?" tanya Kiara meragukan sosok yang dihadapinya ini. Alaric sempat terlihat bingung, tapi kemudian dia tergelak. "Kamu mengira aku in
Kiara memasrahkan dirinya di bawa ke mana pun oleh Alaric. Kali ini Alaric mengajak Kiara ke tempat yang berbeda dengan sebelumnya. Ke sebuah tempat yang belum sempat disinggahi Kiara selama ia berada di Monte Carlo. Kiara merasakan jalanan yang mereka lalu terus menanjak. Hingga mereka berada jauh lebih tinggi dari permukaan laut. Di tepian tebing yang teduh di bawah naungan sebuah pohon yang cukup besar, Alaric menghentikan skuter yang dikemudikannya. Ia mengajak Kiara menikmati dulu sarapan yang ia bawa. Masing-masing setangkup roti isi daging asap yang ia beli di restoran hotel. Keduanya duduk di rerumputan menghadap pemandangan laut lepas. Mengunyah perlahan sarapan mereka sambil berbincang-bincang. Kiara masih saja tidak habis pikir, Alaric sanggup melakukan semua ini. Menjungkirbalikkan segala penilaian salahnya selama ini. Apa yang sesungguhnya ada di dalam kepala pemuda di sampingnya ini? Setelah keduanya menghabiskan roti isi masing-masing dan meneg
Kiara tak menyangka akhirnya dia dan Alaric bisa mewujudkan rencana mereka berbulan madu ke Labuan Bajo. Semua berjalan lancar. Mulai dari rangkaian promosi film "Lost in Bali" hingga pemutarannya selama sebulan di bisokop dan menghasilkan jumlah penonton cukup luar biasa, syuting film baru yang cukup melelahkan menuntut Kiara mengerahkan segala kemampuannya, akhirnya kini Kiara dan Alaric bisa beristirahat hanya berdua saja. Mereka menikmati indahnya pemandangan, bercinta sampai puas tak ada yang mengganggu karena resort yang mereka tinggali ini memang antara satu kamar dengan kamar lainnya berjarak lumayan jauh. Hari ini mereka masih akan bermalas-malasan hanya di hotel, kemudian nanti akan berenang di kolam renang, dan nanti sore mereka akan ke pantai menikmati sunset. Mereka baru selesai sarapan, lalu asyik merebahkan tibuh di hammock yang etrpasang di teras paviliun mereka. Kiara merebahkan kepalanya di dada Alaric. "Mas, bagaimana kalau setelah
Sebulan setelah Alaric dan Kiara menikah, film Kiara yang berjudul "Lost in Bali" mengadakan gala premiere sebelum resmi tayang di bioskop di seluruh Indonesia dua hari lagi. Di acara gala premiere itu tentu saja Kiara bertemu lagi dengan Kafka yang ternyata masih betah berpacaran dengan peran pendukung wanita film itu. Mereka masih tidak saling berbicara, tapi Kiara sudah mulai mau membalas senyum Kafka hanya sekadar sebagai sopan santun dan hubungan baik karena mereka berperan di film yang sama. Alaric selalu menggenggam erat tangan Kiara seolah ingin menegaskan kepada semua orang bahwa Kiara adalah miliknya. Beberapa kali malah Alaric memeluk pinggang Kiara. Bahkan di satu kesempatan ketika mereka sedang ebrbincang sambil menunggu dipersilakan masuk ke dalam studio, tiba-tiba saja Alaric mencium pipi Kiara lama, lalu bergerak ke bibirnya, kemudian mengecup lembut. Kiara terkejut, tetapi membiarkan aksi Alaric itu. "Mas, jangan ciuman di depan publik.
"He, Kiara, kenapa menangis? Aku bikin kejutan ini buat bikin kamu senang, bukan malah menangis," ucap Alaric ketika melihat mata istrinya basah dan perlahan satu dua tetes air mata mengalir di pipi Kiara. Kiara menggeleng. Dia mengambil tisu di atas meja makan, lalu menghapus air matanya. "Aku menangis bahagia, Mas. Aku etrharu. Aku nggak sangka kamu akan melakukan semua ini. AKu kira kamu masih lama bakal diemin aku. Aku mulai paham kebiasaan kamu. Tiap kali kita berdebat, kamu milih diemin aku daripada ribut melanjutkan perdebatan. Aku sudah mengalaminya saat kejadian dengan Kafka. Jadi, ketika semalam dan tadi pagi kamu diemin aku, aku ngerti. Kamu butuh waktu. Tapi aku nggak ngira mood kamu bisa berubah secepat ini," sahut Kiara. Lalu Kiara mencoba tersenyum walau bibirnya masih bergetar. alaric balas tersenyum. Dia mengecup bibir istrinya lembut, lalu dia raih tubuh Kiara dalam pelukannya. Dia biarkan dada Kiara bersandar ke dadanya, dan Alaric me
Hari ini kesibukan Kiara seharian rapat di beberapa tempat. Setelah bertemu Livia dan mengecek lagi jdwal kerjanya untuk satu bulan ke depan, Kiara ditemani Livia menghadiri rapat di sebuah perusahaan iklan yang akan membuat iklan untuk produk minuman kesehatan. Pertemuan itu selesai pukul setengah enam. Kiara berniat akan makan malam dulu bersama Livia sebelum pulang ke apartemen. Karena dia memperkirakan Alaric akan pulang larut, mungkin sengaja untuk menghindari bertemu Kiara. Kiara memang bertekad akan membiarkan Alaric membenahi perasaannya dulu. Dia bukan wanita manja yang senang merajuk dan ngambek bila keinginannya tidak dituruti. Sudah bertahun-tahun dia terbiasa mandiri. Apalagi Kiara menyadri dalam masalahnya saat ini, dia memang salah karena dengan tiba-tiba menghentikan Alaric dan melarangnya berhubungan tanpa pengaman tanpa membicarakan tentang itu lebih dulu. Saat bertemu Livia, ada keinginan Kiara untuk mencurahkan perasaannya, tetapi di
Kiara tak menyangka, pernikahannya dengan Alaric baru berlangsung empat hari, tetapi di hari keempat, mereka sudah tidak saling bicara. Kiara sudah mencoba mengajak Alaric bicara, tapi Alaric hanya menganggapi dengan 'hm' yang pendek. Kiara sadar, mereka memang salah. Padahal mereka berhubungan menjadi kekasih cukup lama sebelum menikah, tapi masih banyak hal dasar dan prinsipal yang belum mereka bahas. Salah satunya tentang menunda punya anak dan bagaimana program penundaan terbaik yang tidak menyakiti kedua pihak. Kiara berpikir jika Alaric mengenakan sarung pengaman saat mereka berhubungan intim, maka itu adalah pengaman terbaik yang paling tidak berbahaya. Atau ada jalan lain dengan memantau masa subuh Kiara. Tetapi Kiara tidak mau jika ada alat kontasepsi yang dimasukkan ke tubuhnya karena biasanya alat seperti itu ada efek sampingnya. Namun Alaric sepertinya masih kehilangan minat untuk menobrol dengan Kiara. Kiara pun menyadari, ini adalah
"Mas, sebentar," ucap Kiara lagi setelah mereka mandi dan mereka sudah bersiap di tempat tidur. Alaric sudah menciumi Kiara beberapa kali. Keningnya mengernyit mendengar Kiara menginterupsinya lagi. "Ada apa lagi, Sayang? Kalau kamu bilang sebentar terus, nanti keburu mood-ku hilang nih," sahut Alaric. "Kita belum benar-benar ngobrolin tentang rencana kita punya anak," kata Kiara. Alaric terbelalak. "Hah?" tanyanya terkejut, tak menyangka Kiara akan mengajaknya membahas tentang rencana punya anak ketika hasratnya sudah semakin tinggi seperti sekarang. "Maksudku, sebaiknya kita pakai pengaman sebelum kita benar-benar membahas tentang rencana kita punya anak," kata Kiara lagi. Minat Alaric langsung lenyap. Dia pun duduk di tempat tidur, menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur. "Oke, aku memang salah. Nggak pernah mengajak kamu membahas tentang rencana punya anak denganmu sebelum kita menikah. Jadi, ap
Di bandara Sokarno Hatta, Kiara dan Alaric berpisah dengan Livia karena tujuan mereka berbeda. Kiara merasa aneh dan belum terbiasa dengan situasi ini. Dia masih belum terbiasa tinggal serumah dengan Alaric dan berpisah dari Livia. Tetapi ini lah hidupnya sekarang. Dia sudah memulai membangun sebuah keluarga bersama Alaric. Sopir Kiara masih bekerja dengannya. Karena Kiara masih membutuhkannya jika dia nanti punya kegiatan yang berbeda dengan Alaric. Kiara sudah meminta sopirnya itu menjemputnya di bandara sejak kemarin. Maka, kini Kiara dan Alaric sudah berada di jok belakang mobil Kiara yang dikendarai sopir Kiara. Kiara menyandarkan kepalanya ke bahu Alaric. Alaric hanya melirik istrinya itu dan tersenyum. Dia biarkan Kiara bersandar padanya. Satu jam kemudian mereka baru sampai di apartemen baru mereka. Kiara tentu saja sudah beberapa kali ke apartemen ini, tetapi tidak pernah menginap. Apartemen yang sebenarnya dibeli Alaric tetapi untuk mereka tinggali
Kiara dan Alaric kembali ke Jakarta bersama Livia. Namun mulai sekarang tujuan mereka berbeda. "Liv, kamu tinggal di apartemenku saja. Berani kan kamu tinggal sendiri di situ? Untuk sementara, sebelum aku jual. Daripada kosong dan kamu juga bisa ngirit kan nggak usah nyewa tempat lain," kata Kiara, ketika mereka sedang menunggu panggilan masuk ke pesawat yang akan membawa mereka ke Jakarta. "Serius, Ra? Memangnya kapan kamu akan menjual apartemenmu itu?" tanya Livia. "Sepertinya bukan dalam waktu dekat ini. Aku mau nyantai aja jualnya. Nggak usah dipasang diiklan. Sampaikan kabar mau jual itu dari mulut ke mulut aja. Sampai nanti akhirnya ketemu orang yang berminat. Kamu mau kan tinggal di situ dulu? Kan nggak jauh dari apartemenku dan Alaric. Kalau ada apa-apa aku amsih bisa ke situ dengan cepat, atau kamu yang ke apartemen kami," jawab Kiara. "Kenapa nggak kamu sewakan saja, Ra? Nggak perlu dijual. Kan lumayan bisa ada hasilnya, tapi kamu bisa
Kiara dan Alaric masih tinggal satu hari lagi di Surabaya. Ada pesta syukuran yang diadakan bersama oleh keluarga mereka. Bapak, ibu dan adik Alaric yang tinggal di hotel selama di Surabaya, ikut serta dalam acara pesta syukuran itu. Ada om dan tante serta beberapa sepupu Alaric yang juga datang dan menginap di hotel yang sama dengan ayah dan ibunya. Hotel itu jaraknya lebih dekat ke rumah orang tua Kiara. Syukuran itu diadakan di rumah orang tua Kiara. Hanya syukuran keluarga dengan hidangan sederhana. Yang penting mereka bisa berkumpul dan saling mengenal lebih dekat. Sehingga suatu saat bisa saling berkunjung. Kiara senang sekali melihat rumahnya dipenuhi keluarga besarnya. Sama seperti masa lamaran dahulu. Setelah dia kembali ke Jakarta dan hidup hanya berdua Alaric, maka segala keriuhan ini tak akan lagi dia rasakan. Dia pun sibuk merekam momen-momen bersama keluarganya. Kiara meminta satu per satu anggota keluarganya dan keluarga Alaric mengucapkan satu dua pat