Gadis semampai itu mematut dirinya di depan cermin. Wajahnya telah dirias sempurna. Rambutnya yang panjang melebihi bahu telah ditata apik, bergelombang dengan blow di kanan kiri. Gaun one shoulder berwarna hijau zamrud membalut dengan pas tubuh langsingnya.
Gadis itu tersenyum puas melihat penampilannya sendiri. Sebenarnya ia bukan tipe gadis yang senang didandani glamor seperti ini. Namun demi profesi yang ditekuninya, ia tak bisa mengelak dari tugas istimewa bertaraf internasional ini.
"Sudah siap, Ra?"
Teguran seorang gadis bertubuh mungil yang masuk tanpa suara mengejutkan gadis cantik itu.
"Perfect ya?" sahut gadis cantik itu tanpa menoleh, masih mengagumi penampilannya sendiri di hadapan cermin.
"Tentu saja perfect. Penata rias dan rambutmu bertaraf internasional. Gaunmu juga dirancang perancang pakaian terbaik di Indonesia," sahut gadis mungil itu.
Livia nama gadis mungil itu. Sudah tiga tahun ini ia menjadi manajer pribadi Kiara Almira, artis muda Indonesia yang saat ini sedang naik daun.
"Oh, menurutmu karena itu aku terlihat sempurna?"
Livia yang sudah berada di belakang Kiara, ikut memandangi bayangan tubuh Kiara di dalam cermin.
"Dan tentu saja karena kamu memang cantik. Kalau aku yang pake gaun itu belum tentu terlihat sebagus itu," sahut Livia.
"Kenapa nggak?"
Bagi Livia, pertanyaan Kiara itu hanyalah basa-basi. Kiara bukan gadis yang suka menghabiskan waktu merawat kecantikan tubuh dan kulitnya. Tetapi dia memang sudah cantik alami. Apa pun yang dikenakannya, akan terlihat bagus. Tidak seperti dirinya.
"Dua puluh menit lagi kamu sudah harus siap berjalan di karpet merah."
Livia menepuk pelan bahu Kiara.Kiara menatap sekali lagi bayangan tubuhnya di cermin, lalu ia berbalik, dan mulai melangkah keluar diikuti Livia.
"Menurutmu Chris Hemsworth datang nggak?" bisik Kiara sembari melangkah sepanjang lorong menuju karpet merah.
"Sepertinya nggak deh," sahut Livia singkat.
"Ah, sayang banget," sesal Kiara yang membuat Livia tersenyum tipis.
"Kali ini kuharap kamu jangan bertingkah yang aneh-aneh ya?"
"Memangnya aku pernah bertingkah aneh apa?"
"Aku senang kali ini kamu bersedia tampil elegan."
"Aku memang terkadang suka berbuat seenaknya. Tapi aku cukup bertanggungjawab dengan tugasku."
Livia tak menyahut lagi, ia hanya berdecak sekali. Tugasnya mendampingi langkah Kiara berakhir sampai di ujung lorong gedung ini. Selanjutnya Kiara melangkah sendiri berjalan di atas karpet merah sembari menebarkan senyum dan melambaikan tangan ke arah kerumunan awak media.
Pembawa acara menyebutkan namanya sebagai artis yang berasal dari Indonesia. Puluhan lampu blitz mengarah padanya, mengabadikan kecantikan khas Asia Tenggara yang diwakilinya.
oOo
Ini kebiasaan Kiara. Ia tak betah dengan acara seremonial yang dikemas formal. Baginya sangat membosankan. Setelah ia melaksanakan tugasnya dengan baik semalam, bagi Kiara itu artinya tugasnya telah selesai.
Semula Kiara ingin mengajak Livia. Kemudian ia berubah pikiran. Berjalan-jalan bersama Livia, pasti akan menghambat kesempatannya untuk menikmati Kota Nice lebih alami. Menurutnya, manajernya itu sekarang sudah tidak seperti dua tahun lalu. Terlalu teratur dan terlalu ketat mengikuti jadwal kerjanya.
Bagi Kiara, rutinitas itu membosankan. Ia seorang yang dinamis, menyenangi hal-hal yang terjadi spontan. Membuat hidup menjadi lebih penuh warna dan mendebarkan.
Sebuah rencana sudah terbetik dalam kepalanya sejak sebelum ia tidur. Ia akan menyelinap pergi seusai sarapan, diam-diam tanpa diketahui Livia. Tentunya jangan sampai diketahui pula oleh staf La belle.
Pukul setengah enam pagi, Kiara sudah bangun. Ia bergegas mandi dengan air hangat, lalu mengenakan pakaian kasual tapi tetap feminin.
Livia baru bangun setelah Kiara selesai merapikan diri.
"Bonjour, Liv," sapa Kiara lalu tersenyum lebar menyambut wajah kusut Livia.
"Tumben pagi-pagi kamu sudah siap," sahut Livia sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Aku pengin sarapan lebih awal. Setelah itu aku mau jalan-jalan sebentar di sekitar hotel."
"Ke mana?"
"Kamu nggak usah ikut. Aku cuma pengin lihat-lihat dan beli suvenir kalau ada yang menarik."
"Ingat ya, jam satu siang kamu ada pemotretan dengan staf La belle. Jam tujuh malam, kamu harus menghadiri acara makan malam bersama brand ambassador La belle dari berbagai negara. Semuanya selebritas terkenal dunia. Kesempatan buatmu mengenal mereka. Besok pagi-pagi sekali kita masih harus ke Paris, jam tujuh malam kita balik ke Jakarta. Jadwalmu di sini padat banget, Ra. Dan semua jadwal ini sudah kamu setujui sejak kita masih di Jakarta, kan? Jadi kuharap, tolong jangan kacaukan jadwal yang sudah kita sepakati ini."
"Itu masih lama, Liv. Karena itu aku bangun pagi banget dan sarapan lebih awal. Aku sudah jauh-jauh datang ke Cannes. Hampir delapan belas jam perjalanan dari Jakarta. Masa sih aku nggak boleh berkeliling kota ini sebentar."
"Nanti kamu juga ada jadwal keliling kota bersama staf La belle."
"Itu kurang seru. Lebih asyik sendiri. Kamu kan tahu, aku senang menyusup ke tempat-tempat unik dan eksotis, bukan ke tempat yang glamor, mewah, formal dan membosankan."
Livia menghela napas.
"Udah deh, kamu mandi gih. Aku turun duluan. Aku sarapan di restoran hotel ini ya."
Seusai berkata begitu, Kiara membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar.
Di kanan kiri kamarnya ini, menginap juga brand ambassador La Belle lainnya. Ada kurang lebih dua puluh selebritas dari berbagai Negara yang diundang datang ke Cannes ini oleh La belle. Mereka semua menjadi brand ambassador La belle di negara masing-masing.
Livia turun dari tempat tidurnya, bergegas ke kamar mandi. Ia baru menyadari, Kiara harus segera diawasi. Artis yang satu ini seringkali punya rencana mendadak yang hanya diketahui olehnya dan Tuhan.
Kiara sudah beberapa kali melarikan diri dari kegiatan yang menurutnya membosankan. Tak peduli acara itu harus ia hadiri sesuai kesepakatan. Tapi anehnya, kebintangan Kiara belum luntur juga. Gadis itu masih saja disukai, masih banyak penggemarnya, masih banyak follower di instagramnya, masih banyak pihak yang menawarkan kerjasama dengannya.
"Tumben Kiara bangun duluan. Mencurigakan banget, nggak biasanya dia begitu. Harusnya tadi nggak aku biarin dia sarapan sendiri. Takutnya dia punya rencana yang bakal bikin aku susah," gumam Livia sambil cepat-cepat mengenakan pakaian usai mandi.
Livia menyisir rambutnya hanya dengan jari-jarinya. Memoles bibirnya dengan lipglos. Menyemprotkan sedikit wewangian, lalu bergegas keluar kamar menuju restoran.
Dia berjalan berkeliling, matanya menyapu seluruh ruangan restoran. Beberapa brand ambassador La belle dari negara lain tampak asyik menyantap sarapan masing-masing. Tetapi tidak ada Kiara!
Gawat! Kiara nggak ada! Ke mana dia? batin Livia mulai dilanda panik.
Sekarang sudah pukul tujuh pagi. Sebenarnya ia sudah merasa lapar. Tetapi nafsu makannya mendadak hilang menyadari Kiara tak bisa ditemukannya di restoran ini. Ia segera menghubungi nomor ponsel Kiara. Seperti yang sudah ia duga, Kiara sengaja mematikan ponselnya.
Kiara, kamu kok seneng banget sih bikin aku susah? keluh Livia sambil mengembuskan napas dalam sekali sentakan keras.
NOTE :
Bonjour : selamat pagi.
La belle : cantik.Halo...salam kenal. Selamat baca ceritaku ini. Semoga suka ya. Sambil merasakan jalan-jalan ke Nice dan Monte Carlo :) Salam, Arumi
"Mademoiselle, do you want to swap seats with me?" tanya lelaki muda bertubuh jangkung itu pada Kiara. Dari logat bicaranya, Kiara bisa menduga lelaki yang duduk di sampingnya ini orang Prancis. "I'm sorry, am I disturbing you, Monsieur? " Kiara malah khawatir sikapnya yang sebentar-sebentar melongok ke arah luar jendela yang berada tepat di samping lelaki itu telah membuat lelaki itu merasa terganggu. "It's okay, Hanya sepertinya kamu senang memandangi pemandangan di luar kereta. Jadi, sebaiknya kamu saja yang duduk di samping jendela ini," jawab lelaki itu sambil tersenyum. Matanya yang hijau cerah menatap sopan kepada Kiara. "Kamu nggak keberatan?" tanya Kiara memastikan lagi. "Silakan. Aku cukup sering ke Nice. Aku nggak terlalu antusias ingin memandang keluar jendela sepanjang perjalanan," jawab lelaki itu lagi.
Tujuan kedatangannya ke kota ini sebenarnya ingin mengunjungi kedua orangtuanya yang sudah lima bulan ini ia tinggalkan bertugas ke Afrika Selatan. Sudah sejak seminggu lalu ia kembali ke Prancis dan tinggal di sebuah flat di Paris. Baru kemarin ia punya waktu untuk meninggalkan Paris, berencana ke Nice, tetapi sengaja ia mampir dulu di Cannes untuk menemui beberapa koleganya. Ia tak menduga, keputusannya mampir ke Cannes telah berbuah pertemuannya dengan gadis Asia di hadapannya ini. Sejak awal ia melihatnya, ia sudah tertarik. Gadis ini memiliki kecantikan yang berbeda dari kecantikan gadis-gadis Prancis yang biasa ia lihat. Wajah gadis ini nyaman sekali untuk dipandangi, membuatnya betah berlama-lama tidak berpaling dari menatap wajah oval berhias mata bulat dengan bulu mata asli yang lentik itu. "Aku nggak akan membiarkanmu tersesat di kota ini. Sebagai pemuda yang lahir di sini, aku merasa punya tanggungjawab untuk menemanimu berkeliling Kota Nic
Kiara seolah dipaksa mengikuti kecepatan langkah Bertrand. Membuatnya hampir setengah berlari. Selang beberapa menit, mereka berdua lagi-lagi sampai di sebuah tempat yang juga ditumbuhi pohon palem berjejer rapi. Rupanya kota yang terletak di dekat pantai ini merasa cocok jika menghiasi kotanya dengan pohon palem. "Inilah pusat Kota Nice. Di musim panas, tempat ini lebih ramai. Apalagi saat ada pertunjukan musik gratis. Seluruh warga seolah datang semua ke sini untuk menghibur diri.” “Ah, kenapa semua pertunjukan seru adanya di musim panas?” keluh Kiara setelah berkali-kali Bertrand menyebutkan serunya musim panas di kota ini. Mereka berdua tidak lama menikmati suasana tempat ini, lima belas menit kemudian, Bertrand melanjutkan langkahnya menyusuri Avenue Jean Medecin diikuti Kiara di sisinya. Jalan ini menampilkan deretan gedung pertokoan yang masing-masing memiliki keunikan. "Kalau kamu suka membeli barang-barang dengan merk terkenal,
"Ada lagi yang lainnya yang menarik untuk didatangi di kota ini?" tanya Kiara setelah mereka selesai makan siang dan siap beranjak dari restoran ini. Bertrand tampak berpikir. "Kalau kamu berani, aku tantang kamu sekali lagi,” jawabnya beberapa menit kemudian. "Aduh, kamu mau menantangku apa lagi sih?" "Beranikah kamu kabur sedikit lebih jauh lagi?" "Kabur ke mana lagi?" tanya Kiara dengan kedua alis terangkat. "Menemaniku menikmati pemandangan senja di Monte Carlo,” jawab Bertrand santai. "Monte Carlo?' tanya Kiara lagi, kali ini membuat keningnya berkerut. “Monte Carlo tempat yang indah untuk menyaksikan matahari tenggelam. Ayolah, itu nggak jauh dari sini. Dengan kereta, kita bisa sampai dalam waktu beberapa menit. Setelah itu mungkin kita bisa makan malam sebentar, lalu kembali lagi ke Nice, dan kamu masih sempat mengejar kereta malam menuju Cannes. Aku akan memastikan kamu nggak akan terlambat," jawab Bertrand panj
Kiara sampai di depan pintu kamar hotelnya dengan tubuh letih bukan main. Ia segera menekan bel pintu. Hanya dalam hitungan detik pintu itu terbuka. Wajah Livia muncul dari balik pintu dengan kedua alis terangkat dan mulut menahan geram. Tampak jelas sekali sejak tadi Livia memang sudah menunggu kedatangan Kiara. "Akhirnya kamu pulang juga. Kirain kamu sudah menghilang dan nggak bakal balik lagi ke sini," sambut Livia, kata-katanya penuh dengan sindiran dan rasa kesal yang tertahan. Kiara tak berkomentar apa-apa menghadapi ocehan dan ekspresi wajah Livia yang merupakan paduan rasa kesal, cemas sekaligus lelah. Dengan langkah gontai, Kiara berjalan memasuki kamarnya melewati Livia begitu saja. Livia memandangi Kiara dengan kening berkernyit, tapi ia sudah tak bicara lagi. Ia biarkan Kiara mencapai sofa. Lalu artisnya itu mengempaskan tubuh lunglainya ke atas sofa itu. Livia mengunci pintu lalu berjalan mendekati Kiara. “Kamu ke mana saja, Ra? K
“Bonjour, MademoiselleLivia.”Sapaan itu mengejutkan Livia yang baru saja bangun dari tidur lelapnya. Ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, tetapi matanya masih belum membuka dengan sempurna.“Haduh, ini sudah jam berapa?” tanya Livia panik saat ia menyadari pagi-pagi sekali mereka harus sudah berangkat ke Paris.“Baru jam tujuh pagi,” jawab Kiara santai.Livia melirik kepada Kiara yang berdiri di depan tempat tidurnya tampak sudah rapi, bahkan dua koper mereka telah siap di kanan kirinya.“Apa? Jam tujuh? Kita harus sudah berangkat ke Paris, Ra!”“Kita masih bisa naik kereta jam delapan. Karena itu aku sudah membereskan semuanya. Kamu tinggal mandi dan ganti baju. Sarapan nanti saja di kereta,” sahut Kiara tetap terlihat tenang.“Aku nggak sempat mandi. Kiara, kenapa kamu nggak bangunin aku sih?” ujar Livia seraya segera melompat dari tempat tidur lalu bergegas ke kamar mandi membasuh wajahnya.
Beberapa menit sebelum pukul delapan pagi, kereta TGV yang akan membawa mereka ke Paris datang juga. Kiara dan Livia bergegas naik ke dalam gerbong yang sesuai dengan tiket mereka. Mereka memang sengaja tida membawa banyak barang. Masing-masing hanya travel bag berukuran sedang dan beroda, sehingga mereka masih sanggup membawanya sendiri. Sesampai di dalam gerbong dan menemukan nomor kursi mereka, mereka baru menyadari Livia telah salah memilih kursi. Nomor kursi yang tertera di tiket mereka memang berurutan, tetapi ternyata kursi itu tidak tidak berdampingan. Satu kursi di ujung kiri barisan sebelah kanan, satu kursi lagi berada di ujung kanan barisan sebelah kiri. Kedua kursi itu memang masih berdekatan dan bersebelahan, tetapi terpisah oleh selasar gerbong ini. Kiara tak berkomentar apa-apa. Ia sudah lelah mendebat Livia sejak kemarin. Livia pun enggan mengucapkan sepatah kata pun perihal kesalahannya memilih nomor kursi. Tadi ia sedikit panik dan terburu-buru, se
Pesawat yang ditumpangi Kiara dan Livia mulai lepas landas meninggalkan bandara Charles de Gaulle. Kiara menyandarkan tubuh penatnya di sandaran kursinya yang nyaman. Matanya terpejam. Perjalanan dari Paris menuju Jakarta akan memakan waktu lama dan ia berencana akan melelapkan dirinya dalam separuh perjalanan. Kunjungannya singkatnya di Perancis ini benar-benar telah membuatnya kelelahan. Kini saatnya untuk beristirahat sejenak, sebelum ia disibukkan lagi dengan tugas selanjutnya di Jakarta. “Ra, sekarang, boleh aku bertanya?” Walau matanya telah terpejam, tetapi sayangnya Kiara masih sadar. Membuatnya masih mendengar pertanyaan Livia yang juga sedang menyamankan dirinya di samping Kiara. “Nanya apa sih, Liv?” “Saat di Cannes kemarin, kamu pergi ke mana sih? Jam sembilan malam baru pulang? Aku sengaja menunggu saat ini untuk bertanya langsung ke kamu, ketika kita sudah benar-benar rileks.” Kiara menghela napas.
Kiara tak menyangka akhirnya dia dan Alaric bisa mewujudkan rencana mereka berbulan madu ke Labuan Bajo. Semua berjalan lancar. Mulai dari rangkaian promosi film "Lost in Bali" hingga pemutarannya selama sebulan di bisokop dan menghasilkan jumlah penonton cukup luar biasa, syuting film baru yang cukup melelahkan menuntut Kiara mengerahkan segala kemampuannya, akhirnya kini Kiara dan Alaric bisa beristirahat hanya berdua saja. Mereka menikmati indahnya pemandangan, bercinta sampai puas tak ada yang mengganggu karena resort yang mereka tinggali ini memang antara satu kamar dengan kamar lainnya berjarak lumayan jauh. Hari ini mereka masih akan bermalas-malasan hanya di hotel, kemudian nanti akan berenang di kolam renang, dan nanti sore mereka akan ke pantai menikmati sunset. Mereka baru selesai sarapan, lalu asyik merebahkan tibuh di hammock yang etrpasang di teras paviliun mereka. Kiara merebahkan kepalanya di dada Alaric. "Mas, bagaimana kalau setelah
Sebulan setelah Alaric dan Kiara menikah, film Kiara yang berjudul "Lost in Bali" mengadakan gala premiere sebelum resmi tayang di bioskop di seluruh Indonesia dua hari lagi. Di acara gala premiere itu tentu saja Kiara bertemu lagi dengan Kafka yang ternyata masih betah berpacaran dengan peran pendukung wanita film itu. Mereka masih tidak saling berbicara, tapi Kiara sudah mulai mau membalas senyum Kafka hanya sekadar sebagai sopan santun dan hubungan baik karena mereka berperan di film yang sama. Alaric selalu menggenggam erat tangan Kiara seolah ingin menegaskan kepada semua orang bahwa Kiara adalah miliknya. Beberapa kali malah Alaric memeluk pinggang Kiara. Bahkan di satu kesempatan ketika mereka sedang ebrbincang sambil menunggu dipersilakan masuk ke dalam studio, tiba-tiba saja Alaric mencium pipi Kiara lama, lalu bergerak ke bibirnya, kemudian mengecup lembut. Kiara terkejut, tetapi membiarkan aksi Alaric itu. "Mas, jangan ciuman di depan publik.
"He, Kiara, kenapa menangis? Aku bikin kejutan ini buat bikin kamu senang, bukan malah menangis," ucap Alaric ketika melihat mata istrinya basah dan perlahan satu dua tetes air mata mengalir di pipi Kiara. Kiara menggeleng. Dia mengambil tisu di atas meja makan, lalu menghapus air matanya. "Aku menangis bahagia, Mas. Aku etrharu. Aku nggak sangka kamu akan melakukan semua ini. AKu kira kamu masih lama bakal diemin aku. Aku mulai paham kebiasaan kamu. Tiap kali kita berdebat, kamu milih diemin aku daripada ribut melanjutkan perdebatan. Aku sudah mengalaminya saat kejadian dengan Kafka. Jadi, ketika semalam dan tadi pagi kamu diemin aku, aku ngerti. Kamu butuh waktu. Tapi aku nggak ngira mood kamu bisa berubah secepat ini," sahut Kiara. Lalu Kiara mencoba tersenyum walau bibirnya masih bergetar. alaric balas tersenyum. Dia mengecup bibir istrinya lembut, lalu dia raih tubuh Kiara dalam pelukannya. Dia biarkan dada Kiara bersandar ke dadanya, dan Alaric me
Hari ini kesibukan Kiara seharian rapat di beberapa tempat. Setelah bertemu Livia dan mengecek lagi jdwal kerjanya untuk satu bulan ke depan, Kiara ditemani Livia menghadiri rapat di sebuah perusahaan iklan yang akan membuat iklan untuk produk minuman kesehatan. Pertemuan itu selesai pukul setengah enam. Kiara berniat akan makan malam dulu bersama Livia sebelum pulang ke apartemen. Karena dia memperkirakan Alaric akan pulang larut, mungkin sengaja untuk menghindari bertemu Kiara. Kiara memang bertekad akan membiarkan Alaric membenahi perasaannya dulu. Dia bukan wanita manja yang senang merajuk dan ngambek bila keinginannya tidak dituruti. Sudah bertahun-tahun dia terbiasa mandiri. Apalagi Kiara menyadri dalam masalahnya saat ini, dia memang salah karena dengan tiba-tiba menghentikan Alaric dan melarangnya berhubungan tanpa pengaman tanpa membicarakan tentang itu lebih dulu. Saat bertemu Livia, ada keinginan Kiara untuk mencurahkan perasaannya, tetapi di
Kiara tak menyangka, pernikahannya dengan Alaric baru berlangsung empat hari, tetapi di hari keempat, mereka sudah tidak saling bicara. Kiara sudah mencoba mengajak Alaric bicara, tapi Alaric hanya menganggapi dengan 'hm' yang pendek. Kiara sadar, mereka memang salah. Padahal mereka berhubungan menjadi kekasih cukup lama sebelum menikah, tapi masih banyak hal dasar dan prinsipal yang belum mereka bahas. Salah satunya tentang menunda punya anak dan bagaimana program penundaan terbaik yang tidak menyakiti kedua pihak. Kiara berpikir jika Alaric mengenakan sarung pengaman saat mereka berhubungan intim, maka itu adalah pengaman terbaik yang paling tidak berbahaya. Atau ada jalan lain dengan memantau masa subuh Kiara. Tetapi Kiara tidak mau jika ada alat kontasepsi yang dimasukkan ke tubuhnya karena biasanya alat seperti itu ada efek sampingnya. Namun Alaric sepertinya masih kehilangan minat untuk menobrol dengan Kiara. Kiara pun menyadari, ini adalah
"Mas, sebentar," ucap Kiara lagi setelah mereka mandi dan mereka sudah bersiap di tempat tidur. Alaric sudah menciumi Kiara beberapa kali. Keningnya mengernyit mendengar Kiara menginterupsinya lagi. "Ada apa lagi, Sayang? Kalau kamu bilang sebentar terus, nanti keburu mood-ku hilang nih," sahut Alaric. "Kita belum benar-benar ngobrolin tentang rencana kita punya anak," kata Kiara. Alaric terbelalak. "Hah?" tanyanya terkejut, tak menyangka Kiara akan mengajaknya membahas tentang rencana punya anak ketika hasratnya sudah semakin tinggi seperti sekarang. "Maksudku, sebaiknya kita pakai pengaman sebelum kita benar-benar membahas tentang rencana kita punya anak," kata Kiara lagi. Minat Alaric langsung lenyap. Dia pun duduk di tempat tidur, menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur. "Oke, aku memang salah. Nggak pernah mengajak kamu membahas tentang rencana punya anak denganmu sebelum kita menikah. Jadi, ap
Di bandara Sokarno Hatta, Kiara dan Alaric berpisah dengan Livia karena tujuan mereka berbeda. Kiara merasa aneh dan belum terbiasa dengan situasi ini. Dia masih belum terbiasa tinggal serumah dengan Alaric dan berpisah dari Livia. Tetapi ini lah hidupnya sekarang. Dia sudah memulai membangun sebuah keluarga bersama Alaric. Sopir Kiara masih bekerja dengannya. Karena Kiara masih membutuhkannya jika dia nanti punya kegiatan yang berbeda dengan Alaric. Kiara sudah meminta sopirnya itu menjemputnya di bandara sejak kemarin. Maka, kini Kiara dan Alaric sudah berada di jok belakang mobil Kiara yang dikendarai sopir Kiara. Kiara menyandarkan kepalanya ke bahu Alaric. Alaric hanya melirik istrinya itu dan tersenyum. Dia biarkan Kiara bersandar padanya. Satu jam kemudian mereka baru sampai di apartemen baru mereka. Kiara tentu saja sudah beberapa kali ke apartemen ini, tetapi tidak pernah menginap. Apartemen yang sebenarnya dibeli Alaric tetapi untuk mereka tinggali
Kiara dan Alaric kembali ke Jakarta bersama Livia. Namun mulai sekarang tujuan mereka berbeda. "Liv, kamu tinggal di apartemenku saja. Berani kan kamu tinggal sendiri di situ? Untuk sementara, sebelum aku jual. Daripada kosong dan kamu juga bisa ngirit kan nggak usah nyewa tempat lain," kata Kiara, ketika mereka sedang menunggu panggilan masuk ke pesawat yang akan membawa mereka ke Jakarta. "Serius, Ra? Memangnya kapan kamu akan menjual apartemenmu itu?" tanya Livia. "Sepertinya bukan dalam waktu dekat ini. Aku mau nyantai aja jualnya. Nggak usah dipasang diiklan. Sampaikan kabar mau jual itu dari mulut ke mulut aja. Sampai nanti akhirnya ketemu orang yang berminat. Kamu mau kan tinggal di situ dulu? Kan nggak jauh dari apartemenku dan Alaric. Kalau ada apa-apa aku amsih bisa ke situ dengan cepat, atau kamu yang ke apartemen kami," jawab Kiara. "Kenapa nggak kamu sewakan saja, Ra? Nggak perlu dijual. Kan lumayan bisa ada hasilnya, tapi kamu bisa
Kiara dan Alaric masih tinggal satu hari lagi di Surabaya. Ada pesta syukuran yang diadakan bersama oleh keluarga mereka. Bapak, ibu dan adik Alaric yang tinggal di hotel selama di Surabaya, ikut serta dalam acara pesta syukuran itu. Ada om dan tante serta beberapa sepupu Alaric yang juga datang dan menginap di hotel yang sama dengan ayah dan ibunya. Hotel itu jaraknya lebih dekat ke rumah orang tua Kiara. Syukuran itu diadakan di rumah orang tua Kiara. Hanya syukuran keluarga dengan hidangan sederhana. Yang penting mereka bisa berkumpul dan saling mengenal lebih dekat. Sehingga suatu saat bisa saling berkunjung. Kiara senang sekali melihat rumahnya dipenuhi keluarga besarnya. Sama seperti masa lamaran dahulu. Setelah dia kembali ke Jakarta dan hidup hanya berdua Alaric, maka segala keriuhan ini tak akan lagi dia rasakan. Dia pun sibuk merekam momen-momen bersama keluarganya. Kiara meminta satu per satu anggota keluarganya dan keluarga Alaric mengucapkan satu dua pat