"Ada lagi yang lainnya yang menarik untuk didatangi di kota ini?" tanya Kiara setelah mereka selesai makan siang dan siap beranjak dari restoran ini.
Bertrand tampak berpikir.
"Kalau kamu berani, aku tantang kamu sekali lagi,” jawabnya beberapa menit kemudian.
"Aduh, kamu mau menantangku apa lagi sih?"
"Beranikah kamu kabur sedikit lebih jauh lagi?"
"Kabur ke mana lagi?" tanya Kiara dengan kedua alis terangkat.
"Menemaniku menikmati pemandangan senja di Monte Carlo,” jawab Bertrand santai.
"Monte Carlo?' tanya Kiara lagi, kali ini membuat keningnya berkerut.
“Monte Carlo tempat yang indah untuk menyaksikan matahari tenggelam. Ayolah, itu nggak jauh dari sini. Dengan kereta, kita bisa sampai dalam waktu beberapa menit. Setelah itu mungkin kita bisa makan malam sebentar, lalu kembali lagi ke Nice, dan kamu masih sempat mengejar kereta malam menuju Cannes. Aku akan memastikan kamu nggak akan terlambat," jawab Bertrand panjang lebar.
"Kalau aku terlambat?"
"Aku bersedia ikut denganmu ke Cannes untuk menjelaskan pada kolega-kolegamu alasan kamu terlambat sampai di sana."
Kiara berpikir sebentar, tetapi melihat raut wajah simpatik dan kesan misterius pemuda di hadapannya ini, membuat gadis itu mengangguk cepat begitu saja.
Kiara membiarkan lelaki jangkung itu meraih pergelangan tangan kanannya, menggenggamnya erat, lalu menariknya lembut mengikuti langkah agak tergesa pemuda itu.
Ia biarkan juga lelaki itu membawanya naik ke atas kereta menuju Monaco. Kembali mereka tenggelam dalam kebersamaan sekejap. Melanjutkan lagi obrolan mereka yang menarik.
Berkali-kali gadis itu mencuri pandang ke arah lelaki muda yang duduk di sampingnya itu.
Ini adalah pelarian terindah yang pertama kalinya nekat ia lakukan. Bukan adegan syuting, ini kisah nyata yang ia alami sendiri. Nekat, mengikuti seorang pemuda yang baru dikenalnya beberapa jam lalu di dalam kereta selama perjalanan dari Cannes menuju Nice.
Sesampai di stasiun Monaco-Monte Carlo, lelaki itu kembali menggandeng tangan kanan Kiara. Kiara masih membiarkan Bertrand menariknya ke arah mana saja.
Berkunjung ke Monaco adalah pengalaman baru bagi Kiara. Ia sudah beberapa kali ke Paris, sekali ke Nice. Tetapi ia belum pernah berkunjung ke Monaco. Sekarang ini sepertinya saat yang tepat untuk mampir ke kota yang terkenal mewah itu.
Bertrand membawanya ke sebuah kafe kecil bernama The Portrait yang bertengger di tepian tebing, sehingga dari terasnya yang dipagari beton baja, pengunjung kafe dapat menikmati menu yang disuguhkan sembari memandangi pesona pantai Monte Carlo yang dipenuhi kapal-kapal mewah di sepanjang dermaga.
Matahari menggelincir turun, menciptakan warna jingga keemasan yang memantul di permukaan air laut.
Kiara kembali tenggelam dalam perbincangan panjang dengan Bertrand itu. Bahkan ia setuju saat lelaki Prancis itu meminta izin untuk memotretnya.
Bertrand mengeluarkan kamera canggihnya dari dalam tas yang sepanjang perjalanan tadi ia selempangkan di bahunya.
"Ini akan menjadi kenang-kenangan. Oh, siapa tahu nanti jika kukirim ke majalah, fotomu ini akan dimuat," ucap Bertrand seraya tersenyum senang.
Kiara terbelalak.
"Jangan!" cegahnya merasa keberatan dengan rencana Bertrand itu.
"Kenapa? Lihat, fotomu menarik dan artistik. Kamu terlihat cantik berdiri di pinggir pagar dengan latar belakang Pantai Monte Carlo yang bersiram warna jingga keemasan."
"Aku nggak suka fotoku dipamerkan di media. Berjanjilah Bertrand, simpan fotoku itu untuk dirimu sendiri. Jangan dikomersilkan ya? Awas, aku akan menuntutmu kalau aku tahu kamu mengirim fotoku itu ke majalah atau media apa pun," larang Kiara lagi, kali ini dengan ekspresi wajah serius.
“Okay, baiklah. Kamu jangan panik begitu. Aku nggak akan mengirim foto ini ke media cetak tanpa seizinmu. Aku fotografer profesional."
Kiara menghela napas setengah lega, walau matanya masih mengernyit menatap curiga Bertrand.
"Kamu bisa jadi model kalau kamu mau. Kamu cukup photogenic.”
“Ah, tidak. Menjadi orang terkenal itu nggak enak. Ke mana pun kamu pergi, akan ada saja yang mengenalimu," sanggah Kiara sambil tersenyum.
Andaikan Bertrand tahu apa pekerjaannya yang sebenarnya. Bahwa dia memang model sekaligus aktris. Fotonya sudah sering menjadi cover majalah di Indonesia
Bertrand sepertinya ingin menyahut lagi, tetapi tiba-tiba ponselnya berbunyi.
"Tunggu sebentar," ucapnya pada Kiara.
Kemudian ia sibuk menerima telepon itu. Awalnya ia berbicara dengan suara perlahan, sampai kemudian ekspresi wajahnya berubah menegang. Suaranya menjadi agak keras.
Bertrand menoleh ke arah Kiara yang masih memandanginya sembari menyeruput frappuccino pesanannya.
“Maaf, Kiara, aku harus menerima telepon ini di luar. Aku keluar dulu, ya. Tunggu sebentar.
Betrand mengucapkan kalimat itu sambil memandangi wajah Kiara sekejap, lalu dengan cepat ia berbalik dan bergegas pergi keluar café. Bahkan lelaki itu tak sempat melihat Kiara mengangguk.
Kiara hanya bisa tertegun memandangi kepergian Bertrand dengan langkah tergesa. Ia melanjutkan lagi menyeruput frappucino-nya yang tinggal separuh, lalu ia memalingkan wajahnya memandangi sekali lagi hamparan di bawahnya, Pantai Monte Carlo yang dipenuhi jajaran kapal-kapal mewah. Beberapa di antara kapal mewah itu tampak berkerlip diterangi lampu karena langit mulai gelap.
Pemandangan Kota Monte Carlo semakin menakjubkan. Gedung-gedung yang berserakan di sepanjang kota ini mulai diterangi lampu menciptakan beragam warna, jingga, putih, hingga kuning terang.
Udara terasa semakin dingin seiring semakin gelapnya warna langit.Kiara merapatkan cardigannya. Sesekali ia menoleh ke bagian dalam kafe, menunggu sosok Bertrand terlihat berjalan ke arahnya.
Namun setelah sekian lama, matanya belum juga menangkap tanda-tanda kehadiran Bertrand kembali ke meja ini.
Kiara memandangi gelas di hadapannya yang telah kosong. Rasanya ia sudah menunggu terlalu lama. Kiara melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Tiga puluh menit sudah berlalu sejak Bertrand meninggalkannya sendiri di sini.
"Ke mana sih, cowok Prancis itu? Menelepon saja kok lama banget," gumam Kiara mulai terlihat tak sabar.
Sampai kemudian Kiara mulai merasa curiga. Tubuhnya menegak. Sekali lagi ia menoleh ke arah bagian dalam kafe ini.
"Aneh sekali. Jangan-jangan cowok itu nggak bakal balik ke sini lagi?"
Kiara tersentak dengan perkiraannya sendiri itu. Dia bergegas bangun. Menuju resepsionis. Dia hendak membayar makanan dan minuman yang telah dihabiskannya.
"Oh, maaf, Mademoiselle. Makanan ini sudah dibayar," kata gadis muda yang bertugas di bagian kasir itu.
"Sudah dibayar? Sama siapa ya?" tanya Kiara heran.
"Sudah dibayar oleh Monsieur yang tadi datang bersama Mademoiselle."
Alis Kiara terangkat.
"Monsieur Bertrand LaForce?" tanya Kiara ingin lebih yakin.
Gadis petugas kasir itu mengecek pembayaran pesanan Kiara melalui kartu kredit.
"Ya, benar. Dibayar oleh Monsieur Bertrand LaForce."
"Terima kasih," sahut Kiara. Lalu dia berjalan keluar restoran.
"Apa sih maksud Bertrand? Pergi begitu aja nggak pamit tapi membayarkan semua makanan dan minuman. Apa dia sengaja ngerjain aku? Atau dia mau nipu? Tapi nipu apa?"
Segala pertanyaan itu terus berkecamuk dalam kepala Kiara sepanjang perjalanan kembali ke hotelnya.
Hm, penasaran nggak, apa motif Bertrand sebenarnya? Apa rencana dia? Ikutin terus lanjutannya ya. Salam, Arumi
Kiara sampai di depan pintu kamar hotelnya dengan tubuh letih bukan main. Ia segera menekan bel pintu. Hanya dalam hitungan detik pintu itu terbuka. Wajah Livia muncul dari balik pintu dengan kedua alis terangkat dan mulut menahan geram. Tampak jelas sekali sejak tadi Livia memang sudah menunggu kedatangan Kiara. "Akhirnya kamu pulang juga. Kirain kamu sudah menghilang dan nggak bakal balik lagi ke sini," sambut Livia, kata-katanya penuh dengan sindiran dan rasa kesal yang tertahan. Kiara tak berkomentar apa-apa menghadapi ocehan dan ekspresi wajah Livia yang merupakan paduan rasa kesal, cemas sekaligus lelah. Dengan langkah gontai, Kiara berjalan memasuki kamarnya melewati Livia begitu saja. Livia memandangi Kiara dengan kening berkernyit, tapi ia sudah tak bicara lagi. Ia biarkan Kiara mencapai sofa. Lalu artisnya itu mengempaskan tubuh lunglainya ke atas sofa itu. Livia mengunci pintu lalu berjalan mendekati Kiara. “Kamu ke mana saja, Ra? K
“Bonjour, MademoiselleLivia.”Sapaan itu mengejutkan Livia yang baru saja bangun dari tidur lelapnya. Ia sudah mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, tetapi matanya masih belum membuka dengan sempurna.“Haduh, ini sudah jam berapa?” tanya Livia panik saat ia menyadari pagi-pagi sekali mereka harus sudah berangkat ke Paris.“Baru jam tujuh pagi,” jawab Kiara santai.Livia melirik kepada Kiara yang berdiri di depan tempat tidurnya tampak sudah rapi, bahkan dua koper mereka telah siap di kanan kirinya.“Apa? Jam tujuh? Kita harus sudah berangkat ke Paris, Ra!”“Kita masih bisa naik kereta jam delapan. Karena itu aku sudah membereskan semuanya. Kamu tinggal mandi dan ganti baju. Sarapan nanti saja di kereta,” sahut Kiara tetap terlihat tenang.“Aku nggak sempat mandi. Kiara, kenapa kamu nggak bangunin aku sih?” ujar Livia seraya segera melompat dari tempat tidur lalu bergegas ke kamar mandi membasuh wajahnya.
Beberapa menit sebelum pukul delapan pagi, kereta TGV yang akan membawa mereka ke Paris datang juga. Kiara dan Livia bergegas naik ke dalam gerbong yang sesuai dengan tiket mereka. Mereka memang sengaja tida membawa banyak barang. Masing-masing hanya travel bag berukuran sedang dan beroda, sehingga mereka masih sanggup membawanya sendiri. Sesampai di dalam gerbong dan menemukan nomor kursi mereka, mereka baru menyadari Livia telah salah memilih kursi. Nomor kursi yang tertera di tiket mereka memang berurutan, tetapi ternyata kursi itu tidak tidak berdampingan. Satu kursi di ujung kiri barisan sebelah kanan, satu kursi lagi berada di ujung kanan barisan sebelah kiri. Kedua kursi itu memang masih berdekatan dan bersebelahan, tetapi terpisah oleh selasar gerbong ini. Kiara tak berkomentar apa-apa. Ia sudah lelah mendebat Livia sejak kemarin. Livia pun enggan mengucapkan sepatah kata pun perihal kesalahannya memilih nomor kursi. Tadi ia sedikit panik dan terburu-buru, se
Pesawat yang ditumpangi Kiara dan Livia mulai lepas landas meninggalkan bandara Charles de Gaulle. Kiara menyandarkan tubuh penatnya di sandaran kursinya yang nyaman. Matanya terpejam. Perjalanan dari Paris menuju Jakarta akan memakan waktu lama dan ia berencana akan melelapkan dirinya dalam separuh perjalanan. Kunjungannya singkatnya di Perancis ini benar-benar telah membuatnya kelelahan. Kini saatnya untuk beristirahat sejenak, sebelum ia disibukkan lagi dengan tugas selanjutnya di Jakarta. “Ra, sekarang, boleh aku bertanya?” Walau matanya telah terpejam, tetapi sayangnya Kiara masih sadar. Membuatnya masih mendengar pertanyaan Livia yang juga sedang menyamankan dirinya di samping Kiara. “Nanya apa sih, Liv?” “Saat di Cannes kemarin, kamu pergi ke mana sih? Jam sembilan malam baru pulang? Aku sengaja menunggu saat ini untuk bertanya langsung ke kamu, ketika kita sudah benar-benar rileks.” Kiara menghela napas.
Gadis itu kehilangan pesonanya, lenyap dibalik penampilannya yang kusut masai. Wajahnya lelah, dengan lingkaran hitam di kedua matanya. Sudut-sudut bibirnya tertarik menciptakan lengkungan ke arah bawah.“Laki-laki sialan! Setelah bosan denganku, seenaknya saja mencampakkan aku!” ucap gadis itu dengan suara kasar.Ia meremas-remas perutnya, seolah ingin mematikan apa pun mahluk yang bersemayam di dalam perutnya itu. Kemudian emosinya ia luapkan dengan memukul-mukul tempat tidurnya sekuat tenaga.Ia beranjak dari atas tempat tidurnya yang juga berantakan. Dengan kasar pula gadis itu membuka laci meja riasnya, mengaduk-aduk isinya sampai menemukan sebuah gunting.Ia hampir saja menusukkan gunting itu ke arah perutnya, tetapi dengan sigap seorang pemuda bertubuh tegap menerjang masuk, langsung memegang erat pergelangan tangan kanannya, mencegah gunting dalam genggaman gadis itu menghujam perutnya.“Niken! Kamu mau apa? Bunuh diri?” teriak pemuda itu d
Hari masih pagi sekali. Pukul setengah tujuh. Kiara sudah bersiap dengan pakaian bersepedanya. Ia juga menyiapkan minuman. Sebelumnya ia sudah sarapan dengan setangkup roti berisi selai strawberrykesukaannya dan segelas susu non fat rasa vanilla.Ia siap menjalani olahraga rutinnya setiap hari minggu pagi. Bersepeda di trek yang alami dengan jalan berliku, terjal dan menantang.Ia sudah siap menenteng sepeda lipatnya dan menggantungkan helm di stang sepedanya, saat tiba-tiba Livia manajer pribadinya masuk ke dalam kamar apartemennya.“Kiara, aku punya berita bagus untukmu!”Kiara mengangkat wajahnya, merasa heran melihat wajah ceria manajernya itu. Jarang sekali Livia terlihat segembira itu. Gadis itu biasanya menghiasi wajahnya dengan ekspresi serius.“Berita apa? Kalau menurutmu bagus, pasti memang benar-benar bagus banget. Iya, kan?” balas Kiara.“Ada tawaran film baru untukmu,” ucap Livia, masih dengan mata ber
Kiara mengayuh sepedanya dengan kecepatan penuh, menelusuri jalan setapak dengan kondisi berbatu-batu kadang dipenuhi lumpur akibat sisa hujan semalam. Ia tak takut sedikit pun. Bersepeda gunung adalah hobinya. Satu-satunya olahraga yang disukainya untuk menjaga stamina tubuh dan menjaga kestabilan berat badannya. Sejak ia tinggal di Surabaya dahulu, ia sudah menyukai kegiatan bersepeda. Kemudian kegiatan ini tak sempat lagi ia lakukan sejak ia lulus kuliah, terutama setelah ia pindah ke Jakarta. Pertemuannya dengan Tristan Sanubari, sahabat masa SMA-nya dulu, membuatnya kembali menekuni kegiatan bersepeda di lahan terjal penuh tantangan. Sejak setahun lalu Tristan bekerja di Jakarta. Sahabat lama Kiara itu ternyata masih saja setia dengan kegiatan bersepeda. Bahkan pemuda langsing itu mengikuti komunitas “Bike to work”. Dua minggu sekali ia bersepeda dari tempat kosnya di Jakarta Selatan, menuju kantornya yang berada di wilayah Pusat Bisnis
Kiara bangkit dari duduknya. Setelah berdiri, ia mengambil sepedanya yang tadi diletakkan begitu saja di atas rumput di sampingnya.“Aku pulang sekarang,” ucap Kiara, tanpa menunggu jawaban Tristan ia menuntun sepeda lipatnya menuju keluar area trek bersepeda alami itu.Tristan terburu-buru bangkit, meraih sepedanya lalu secepatnya menyusul Kiara hingga mereka berjalan bersisian. Keduanya tak saling bicara. Mendadak Kiara enggan bicara, sedangkan Tristan sadar, Kiara sedang tak ingin diganggu.Sesampainya mereka di tempat mereka memarkir mobil masing-masing, Kiara memasukkan sepeda lipatnya ke bagian belakang mobil SUV miliknya yang ia kendarai sendiri.“Aku bisa sendiri,” tolaknya, saat Tristan ingin membantunya mengangkat sepedanya untuk dimasukkan ke bagian belakang mobil Kiara.Tristan mundur teratur, menyadari Kiara masih tak ingin diganggu. Sepedanya sendiri sudah ia masukkan ke dalam mobilnya sendiri.“Ud
Kiara tak menyangka akhirnya dia dan Alaric bisa mewujudkan rencana mereka berbulan madu ke Labuan Bajo. Semua berjalan lancar. Mulai dari rangkaian promosi film "Lost in Bali" hingga pemutarannya selama sebulan di bisokop dan menghasilkan jumlah penonton cukup luar biasa, syuting film baru yang cukup melelahkan menuntut Kiara mengerahkan segala kemampuannya, akhirnya kini Kiara dan Alaric bisa beristirahat hanya berdua saja. Mereka menikmati indahnya pemandangan, bercinta sampai puas tak ada yang mengganggu karena resort yang mereka tinggali ini memang antara satu kamar dengan kamar lainnya berjarak lumayan jauh. Hari ini mereka masih akan bermalas-malasan hanya di hotel, kemudian nanti akan berenang di kolam renang, dan nanti sore mereka akan ke pantai menikmati sunset. Mereka baru selesai sarapan, lalu asyik merebahkan tibuh di hammock yang etrpasang di teras paviliun mereka. Kiara merebahkan kepalanya di dada Alaric. "Mas, bagaimana kalau setelah
Sebulan setelah Alaric dan Kiara menikah, film Kiara yang berjudul "Lost in Bali" mengadakan gala premiere sebelum resmi tayang di bioskop di seluruh Indonesia dua hari lagi. Di acara gala premiere itu tentu saja Kiara bertemu lagi dengan Kafka yang ternyata masih betah berpacaran dengan peran pendukung wanita film itu. Mereka masih tidak saling berbicara, tapi Kiara sudah mulai mau membalas senyum Kafka hanya sekadar sebagai sopan santun dan hubungan baik karena mereka berperan di film yang sama. Alaric selalu menggenggam erat tangan Kiara seolah ingin menegaskan kepada semua orang bahwa Kiara adalah miliknya. Beberapa kali malah Alaric memeluk pinggang Kiara. Bahkan di satu kesempatan ketika mereka sedang ebrbincang sambil menunggu dipersilakan masuk ke dalam studio, tiba-tiba saja Alaric mencium pipi Kiara lama, lalu bergerak ke bibirnya, kemudian mengecup lembut. Kiara terkejut, tetapi membiarkan aksi Alaric itu. "Mas, jangan ciuman di depan publik.
"He, Kiara, kenapa menangis? Aku bikin kejutan ini buat bikin kamu senang, bukan malah menangis," ucap Alaric ketika melihat mata istrinya basah dan perlahan satu dua tetes air mata mengalir di pipi Kiara. Kiara menggeleng. Dia mengambil tisu di atas meja makan, lalu menghapus air matanya. "Aku menangis bahagia, Mas. Aku etrharu. Aku nggak sangka kamu akan melakukan semua ini. AKu kira kamu masih lama bakal diemin aku. Aku mulai paham kebiasaan kamu. Tiap kali kita berdebat, kamu milih diemin aku daripada ribut melanjutkan perdebatan. Aku sudah mengalaminya saat kejadian dengan Kafka. Jadi, ketika semalam dan tadi pagi kamu diemin aku, aku ngerti. Kamu butuh waktu. Tapi aku nggak ngira mood kamu bisa berubah secepat ini," sahut Kiara. Lalu Kiara mencoba tersenyum walau bibirnya masih bergetar. alaric balas tersenyum. Dia mengecup bibir istrinya lembut, lalu dia raih tubuh Kiara dalam pelukannya. Dia biarkan dada Kiara bersandar ke dadanya, dan Alaric me
Hari ini kesibukan Kiara seharian rapat di beberapa tempat. Setelah bertemu Livia dan mengecek lagi jdwal kerjanya untuk satu bulan ke depan, Kiara ditemani Livia menghadiri rapat di sebuah perusahaan iklan yang akan membuat iklan untuk produk minuman kesehatan. Pertemuan itu selesai pukul setengah enam. Kiara berniat akan makan malam dulu bersama Livia sebelum pulang ke apartemen. Karena dia memperkirakan Alaric akan pulang larut, mungkin sengaja untuk menghindari bertemu Kiara. Kiara memang bertekad akan membiarkan Alaric membenahi perasaannya dulu. Dia bukan wanita manja yang senang merajuk dan ngambek bila keinginannya tidak dituruti. Sudah bertahun-tahun dia terbiasa mandiri. Apalagi Kiara menyadri dalam masalahnya saat ini, dia memang salah karena dengan tiba-tiba menghentikan Alaric dan melarangnya berhubungan tanpa pengaman tanpa membicarakan tentang itu lebih dulu. Saat bertemu Livia, ada keinginan Kiara untuk mencurahkan perasaannya, tetapi di
Kiara tak menyangka, pernikahannya dengan Alaric baru berlangsung empat hari, tetapi di hari keempat, mereka sudah tidak saling bicara. Kiara sudah mencoba mengajak Alaric bicara, tapi Alaric hanya menganggapi dengan 'hm' yang pendek. Kiara sadar, mereka memang salah. Padahal mereka berhubungan menjadi kekasih cukup lama sebelum menikah, tapi masih banyak hal dasar dan prinsipal yang belum mereka bahas. Salah satunya tentang menunda punya anak dan bagaimana program penundaan terbaik yang tidak menyakiti kedua pihak. Kiara berpikir jika Alaric mengenakan sarung pengaman saat mereka berhubungan intim, maka itu adalah pengaman terbaik yang paling tidak berbahaya. Atau ada jalan lain dengan memantau masa subuh Kiara. Tetapi Kiara tidak mau jika ada alat kontasepsi yang dimasukkan ke tubuhnya karena biasanya alat seperti itu ada efek sampingnya. Namun Alaric sepertinya masih kehilangan minat untuk menobrol dengan Kiara. Kiara pun menyadari, ini adalah
"Mas, sebentar," ucap Kiara lagi setelah mereka mandi dan mereka sudah bersiap di tempat tidur. Alaric sudah menciumi Kiara beberapa kali. Keningnya mengernyit mendengar Kiara menginterupsinya lagi. "Ada apa lagi, Sayang? Kalau kamu bilang sebentar terus, nanti keburu mood-ku hilang nih," sahut Alaric. "Kita belum benar-benar ngobrolin tentang rencana kita punya anak," kata Kiara. Alaric terbelalak. "Hah?" tanyanya terkejut, tak menyangka Kiara akan mengajaknya membahas tentang rencana punya anak ketika hasratnya sudah semakin tinggi seperti sekarang. "Maksudku, sebaiknya kita pakai pengaman sebelum kita benar-benar membahas tentang rencana kita punya anak," kata Kiara lagi. Minat Alaric langsung lenyap. Dia pun duduk di tempat tidur, menyandarkan punggungnya ke kepala tempat tidur. "Oke, aku memang salah. Nggak pernah mengajak kamu membahas tentang rencana punya anak denganmu sebelum kita menikah. Jadi, ap
Di bandara Sokarno Hatta, Kiara dan Alaric berpisah dengan Livia karena tujuan mereka berbeda. Kiara merasa aneh dan belum terbiasa dengan situasi ini. Dia masih belum terbiasa tinggal serumah dengan Alaric dan berpisah dari Livia. Tetapi ini lah hidupnya sekarang. Dia sudah memulai membangun sebuah keluarga bersama Alaric. Sopir Kiara masih bekerja dengannya. Karena Kiara masih membutuhkannya jika dia nanti punya kegiatan yang berbeda dengan Alaric. Kiara sudah meminta sopirnya itu menjemputnya di bandara sejak kemarin. Maka, kini Kiara dan Alaric sudah berada di jok belakang mobil Kiara yang dikendarai sopir Kiara. Kiara menyandarkan kepalanya ke bahu Alaric. Alaric hanya melirik istrinya itu dan tersenyum. Dia biarkan Kiara bersandar padanya. Satu jam kemudian mereka baru sampai di apartemen baru mereka. Kiara tentu saja sudah beberapa kali ke apartemen ini, tetapi tidak pernah menginap. Apartemen yang sebenarnya dibeli Alaric tetapi untuk mereka tinggali
Kiara dan Alaric kembali ke Jakarta bersama Livia. Namun mulai sekarang tujuan mereka berbeda. "Liv, kamu tinggal di apartemenku saja. Berani kan kamu tinggal sendiri di situ? Untuk sementara, sebelum aku jual. Daripada kosong dan kamu juga bisa ngirit kan nggak usah nyewa tempat lain," kata Kiara, ketika mereka sedang menunggu panggilan masuk ke pesawat yang akan membawa mereka ke Jakarta. "Serius, Ra? Memangnya kapan kamu akan menjual apartemenmu itu?" tanya Livia. "Sepertinya bukan dalam waktu dekat ini. Aku mau nyantai aja jualnya. Nggak usah dipasang diiklan. Sampaikan kabar mau jual itu dari mulut ke mulut aja. Sampai nanti akhirnya ketemu orang yang berminat. Kamu mau kan tinggal di situ dulu? Kan nggak jauh dari apartemenku dan Alaric. Kalau ada apa-apa aku amsih bisa ke situ dengan cepat, atau kamu yang ke apartemen kami," jawab Kiara. "Kenapa nggak kamu sewakan saja, Ra? Nggak perlu dijual. Kan lumayan bisa ada hasilnya, tapi kamu bisa
Kiara dan Alaric masih tinggal satu hari lagi di Surabaya. Ada pesta syukuran yang diadakan bersama oleh keluarga mereka. Bapak, ibu dan adik Alaric yang tinggal di hotel selama di Surabaya, ikut serta dalam acara pesta syukuran itu. Ada om dan tante serta beberapa sepupu Alaric yang juga datang dan menginap di hotel yang sama dengan ayah dan ibunya. Hotel itu jaraknya lebih dekat ke rumah orang tua Kiara. Syukuran itu diadakan di rumah orang tua Kiara. Hanya syukuran keluarga dengan hidangan sederhana. Yang penting mereka bisa berkumpul dan saling mengenal lebih dekat. Sehingga suatu saat bisa saling berkunjung. Kiara senang sekali melihat rumahnya dipenuhi keluarga besarnya. Sama seperti masa lamaran dahulu. Setelah dia kembali ke Jakarta dan hidup hanya berdua Alaric, maka segala keriuhan ini tak akan lagi dia rasakan. Dia pun sibuk merekam momen-momen bersama keluarganya. Kiara meminta satu per satu anggota keluarganya dan keluarga Alaric mengucapkan satu dua pat