"Aku tidak akan tinggal diam, Nandia. Aku menyelidikinya lebih lanjut, kalau sampai bukti itu memang mengarah kesana, aku pastikan dia akan menyesal telah mengganggu seorang Reihan Adiwijaya.” Nandia tersenyum lemah, dia sangat tahu, kalau Reihan akan selalu melindunginya. Bahkan lelaki itu berdiri di garda paling depan saat semua keluarga Danu menghinanya dulu. Namun, masalah ini, lebih serius dari sekedar hinaan. Isu yang berkembang di masyarakat tentu akan mempengaruhi mental Niel, karena nama dia ikut disangkut pautkan. --- Sementara itu di tempat lain, seorang wanita tersenyum puas. Tak sia-sia dia membayar mahal sebuah redaksi untuk membuat berita ini viral dalam satu hari. "Heh! Jangan kalian pikir aku akan diam saja. Meski aku berada jauh dari kalian, aku tidak akan membiarkan kalian bahagia." Wanita itu pun mengeluarkan segepok uang kemudian dia berikan pada lelaki yang telah menjalankan perintahnya dengan baik. "Bos, kalau mereka melakukan test DNA, gosip ini p
Danu baru saja selesai berbicara dengan pengacaranya di kantornya ketika ponselnya berdering. Saat melihat nama anak buahnya tertera di layar, wajahnya langsung berubah serius begitu mendengar suara di ujung telepon. "Tuan Danu, kami baru saja melihat Nyonya Nandia dan Tuan kecil Niel sedang bermain di taman. Tapi ada yang aneh, Tuan. Ada beberapa orang mencurigakan yang membawa kamera, sepertinya mereka wartawan." Wajah Danu seketika mengeras. Ia tahu betul apa artinya ini—gosip murahan tentang Nandia yang tak henti-hentinya beredar sudah sampai ke titik yang membahayakan keluarganya. Padahal, dia sudah menutup berita ini. Akan tetapi, wartawan itu tak henti-hentinya menguntit, mencari celah untuk mempermalukan mereka di depan publik, kini mulai mengganggu privasi mereka di tempat umum. “Galih, siapkan mobil. Kita harus segera ke taman. Wartawan mulai mengepung Nandia dan Niel,” ucapnya, nada suaranya tegas namun terdengar kemarahan terpendam. Galih, yang sudah terbiasa dengan s
Nandia tersentak ketika bibir Danu tiba-tiba menyentuh bibirnya. Detak jantungnya berdentam kencang, tubuhnya menegang dalam dekapan Danu. Di depan banyak orang, termasuk para wartawan yang masih berkerumun, ia benar-benar tak menyangka Danu akan melakukan hal seperti ini. Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Danu akhirnya melepaskan ciumannya, matanya menatap Nandia dengan penuh kelembutan. Namun Nandia justru memalingkan wajahnya. Saat ini wajahnya sudah semerah tomat. Ingin rasanya dia menutupi wajahnya menghindari tatapan para wartawan karena malu akibat ulah Danu. “Danu… kamu ini…” bisiknya, sambil menundukkan wajah dan menyembunyikannya di dada sang suami. Danu tersenyum kecil, lalu merangkul pundak Nandia lebih erat. “Tenang, sayang. Aku cuma ingin mereka tahu, siapa wanita yang kucintai,” gumamnya pelan di telinga Nandia, membuat pipi wanita itu semakin memerah. Dengan cepat, Danu menggiring Nandia dan Niel ke dalam mobil yang sudah siap di pinggir jalan. Ketika
Siang itu, Danu tiba di rumah ibunya, Lidia, dengan hati yang berdebar. Selama ini, dia jarang mengunjungi sang mama, terutama sejak Lidia terus mendesaknya untuk menikahi Diana. Terakhir, mereka bertemu di kantor saat sang Mama memberitahu kebusukan Diana. Namun kali ini, Danu ingin dia dan Nandia nanti hidup bahagia dengan restu sang mama. Dia tak ingin, antara Nandia dan mamanya terlibat lagi perselisihan, seperti sebelumnya. Dia berharap, mamanya bisa menerima Nandia dan Niel kali ini. Danu mengetuk pintu rumah Lidia dengan tangan bergetar. Beberapa saat kemudian, Lidia keluar. Sedikit terkejut melihat keberadaan putranya. Meski ragu, Lidia tetap menyuruh Danu masuk ke dalam. "Ada apa, Danu? Tumben kamu datang kemari?" tanya Lidia, sedikit dingin namun tetap tenang, duduk di ruang tamu sambil menatap Danu penuh kerinduan. Danu duduk di hadapannya dengan gugup. "Ma, aku datang karena aku ingin minta maaf, dan aku juga ingin meminta restu dari Mama." "Restu? Untuk apa?" Lidia
Danu memandangi Nandia yang tengah sibuk dengan Niel di ruang keluarga. Wajah lembut wanita itu tampak bercahaya saat tertawa bersama putra mereka. Sebuah ide muncul di kepalanya. Dia ingin memberikan kejutan tepat di hari ulang tahun istrinya 3 Minggu lagi. Danu ingin mewujudkan keinginan Nandia yang tak pernah dia wujudkan. --- Pagi itu, Danu mengatur jadwalnya dengan ketat. Ia memastikan semua dokumen pekerjaan diselesaikan lebih awal. Setelah memastikan Nandia sibuk di rumah bersama Niel, ia menelepon Galih. “Galih, aku butuh bantuanmu hari ini,” kata Danu sambil memasang dasi. “Selalu siap, Tuan. Apa yang perlu saya lakukan?” tanya Galih dari seberang telepon. “Aku ingin bertemu Kakek Anggara untuk membicarakan sesuatu yang penting. Pastikan tidak ada yang tahu, terutama Nandia,” jawab Danu serius. “Baik, Tuan. Saya akan mengatur semuanya.” --- Di rumah Kakek Anggara. "Kakek mau kemana? Tumben rapi begini?" tanya Nandia curiga. Karena memang kakeknya hampir tak pernah
Malam ini adalah malam pertama Danu dan Nandia setelah sekian lama mereka berpisah. Saat Nandia kesusahan untuk menarik resleting gaunnya ke bawah Danu membantunya. Akan tetapi tak hanya berhenti sampai disitu, Danu memeluk Nandia dari belakang sambil menaruh dagunya di bahu Nandia. Aroma parfum Danu tercium oleh Nandia, dulu dia begitu mendamba diperlakukan seperti ini. Namun sekarang, kenapa Nandia jadi gugup. Tubuhnya pun sedikit gemetar karena takut.Danu tersenyum menyeringai. Tiga tahun berumah tangga dengan Nandia membuat Danu hapal setiap titik tubuh Nandia yang mampu membangkitkan hasrat wanita ini."Danu!" lirih Nandia sambil memejamkan matanya. Menahan gejolak yang siap meledak. Bagaimanapun Nandia adalah wanita normal, disentuh bagian sensitifnya, tentu dia akan bereaksi."Kenapa, Sayang?" Danu justru semakin menggoda istrinya dengan memainkan bagian tubuh Nandia.Nandia hanya diam sambil terus memejamkan mata. Dia malu, karena ketahuan menginginkan sentuhan Danu. Malam i
Tanpa terasa, usia pernikahan Danu dan Nandia sudah menginjak dua bulan lebih, tetapi hingga saat ini, Danu masih sibuk di kantor karena baru saja mendapatkan proyek baru. Janji berbulan madu pada Nandia pun belum bisa dia tepati.Sementara Nandia, wanita ini sekarang lebih banyak di rumah. Urusan pekerjaan dia serahkan pada Mike, asistennya. Hanya sesekali saja dia ke kantor untuk menandatangani berkas penting.Malam ini, Nandia menghabiskan waktu bersama Niel. Mereka sedang bekerja sama membuat layang-layang, tugas sekolah Niel"Niel, kamu gunting kertasnya, Mama yang potong lidinya," kata Nandia. Mereka berbagi tugas biar cepat selesai.Danu yang baru saja tiba, tersenyum melihat istri dan anaknya tengah sibuk di ruang keluarga. “Bagaimana tugasnya, Niel?” tanya Danu sambil mencium kepala putranya. “Sudah hampir selesai, Pa,” jawab Niel tanpa mengalihkan pandangan dari buku. Nandia menatap Danu dengan senyuman kecil. “Kamu pulang lebih awal hari ini?” Danu duduk di sebelah Nand
Di Pulau Tropis Setibanya di pulau tujuan, Danu dan Nandia disambut oleh pemandangan yang memukau—air laut biru jernih, pasir putih, dan pohon kelapa yang berjejer rapi. “Aku tidak percaya kita benar-benar di sini,” kata Nandia sambil memandangi sekeliling. Danu tersenyum. “Aku ingin kamu menikmati setiap momen di sini, Nandia. Kamu pantas mendapatkan ini.” Villa yang mereka tempati langsung menghadap ke pantai. Danu sudah menyiapkan candle light dinner bersama Nandia di tepi pantai malam ini. “Ini sangat indah,” kata Nandia sambil menatap lilin yang menerangi meja mereka. “Tiada hal lain seindah kamu, Sayang,” jawab Danu dengan nada lembut. Nandia tersenyum malu-malu. “Kamu bisa saja. Tapi terima kasih, Danu. Aku benar-benar merasa bahagia sekarang.” Danu meraih tangan Nandia dan menatapnya dalam-dalam. “Kamu tahu, tujuan hidupku saat ini hanya satu, yaitu membahagiakanmu dan juga Niel. Tak akan aku ulangi kesalahanku di masa lalu." Air mata menggenang di mata Nandi
“Reihan, kamu harus segera ke kantor,” suara ayahnya terdengar cemas di ujung telepon. “Ada apa, Ayah?” tanya Reihan serius. “Ada masalah besar. Saham perusahaan kita tiba-tiba anjlok, dan beberapa investor mulai menarik diri. Kita harus bertindak cepat.” Reihan mengepalkan tangan, merasakan ketegangan dalam nada suara ayahnya. “Baik, saya akan ke sana sekarang.” --- Saat Reihan tiba di ruang rapat, suasana di ruangan itu sangat tegang. Ayahnya, Tuan Hardi, sedang berbicara dengan beberapa direktur utama. Wajah semua orang terlihat serius, dan panik. “Reihan, syukurlah kamu datang,” ujar Hardi. “Kenapa saham kita tiba-tiba jatuh? Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah? Apa ada masalah serius dalam perusahaan?” Reihan langsung ke pokok masalah. Salah satu direktur menjawab, “Tidak ada masalah dalam intern perusahaan, Tuan. Harga saham kita tiba-tiba jatuh pagi ini mungkin karena adanya berita salah satu perusahaan yang mengklaim pada media bahwa kita meniru produk dia. Padahal, sem
"Nandia," suaranya dingin, namun tegas. "Kita pulang sekarang." Nandia membeku, terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba. "Danu? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan nada ragu. "Aku tidak akan membiarkan pria lain mengambil tempatku. Kamu istriku, dan Niel adalah anakku," jawab Danu sambil melangkah mendekat. Tatapannya sekilas menyinggung Reihan, yang langsung berdiri di depan Nandia seolah melindunginya. "Danu, kamu tidak bisa begitu saja datang dan memaksaku pulang seperti ini," kata Nandia, mencoba menahan amarahnya. "Saya bisa, dan saya akan," Danu mendekat, nadanya menjadi lebih tegas. "Ayo, Nandia. Jangan membuat saya melakukan lebih dari ini." Reihan angkat bicara. "Danu, kalau kamu ingin bicara, bicaralah dengan tenang. Jangan buat Niel takut." Danu tertawa kecil, tetapi tanpa humor. "Jangan ikut campur, Reihan. Kamu harus sadar siapa dirimu. Kamu sudah memiliki tunangan, tidak pantas berjalan dengan istri orang." Nandia menarik napas panjang, men
Berita perceraian Danu dan Nandia telah sampai ke telinga Reihan. Meski perceraian mereka tidak diketahui oleh media. Namun, salah satu anak buah Reihan ada yang mengetahuinya. Dan dia pun memberitahukan pada Reihan tentang hal ini.Senyum pun terbit di bibir lelaki tampan itu. Dia akan kembali mendekati Nandia melalui Niel. Karena kunci Nandia ada pada kebahagiaan Niel. Dan dia telah memiliki rencana untuk mewujudkan impiannya."Niel, sabtu besok, Om Reihan akan mengajak Niel berkuda. Nanti akan Om belikan Niel sepatu boots baru dan juga topi untuk kita pakai saat berkuda." Niel yang memang sangat menyukai petualangan bersorak sorai. "Horee, aku akan pergi berkuda!" serunya. Hampir setiap hari, Niel melihat kalender karena tak sabar menunggu hari sabtu. --- Sabtu telah tiba. Pagi itu, suasana rumah Nandia terasa lebih hidup dari biasanya. Niel, bocah kecil itu berlari-lari kecil di halaman dengan sepatu boots yang baru dibelikan oleh Reihan. "Asyik, sebentar lagi, kita akan ber
"Aku tidak akan membiarkan semua ini berakhir, Nandia!" gumam Danu saat akan memasuki ruangan sidang. Lelaki itu sudah kembali pada sifat awalnya, dingin dan tak tersentuh. Dia melihat, Nandia duduk di salah satu kursi panjang, mengenakan blazer krem yang membuatnya terlihat lebih segar. Di depannya, Danu duduk dengan ekspresi dingin khas seorang Danu Adiwijaya. Hakim mediasi, seorang wanita berusia 50-an dengan kacamata bundar, memandang pasangan itu dengan tatapan tenang tapi tegas. "Tuan dan Nyonya Adiwijaya, ini adalah sesi terakhir mediasi. Saya berharap kita bisa mencapai kesepakatan hari ini." Nandia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara. "Yang Mulia, saya sudah memikirkan semua ini. Saya ingin berpisah." Danu menyilangkan tangannya, menatap Nandia tanpa ekspresi. "Saya tidak setuju dengan perceraian ini." Hakim mengangkat alisnya. "Tuan Danu, apa alasan Anda menolak perceraian?" Danu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. "Saya ingin men
Di taman "Hampir setengah, kenapa Niel belum kembali juga ya?" Gumam Nandia saat melihat jam yang melingkar di tangannya. Wanita itu mendadak gelisah. Ia mengangkat wajah dari bukunya dan tidak melihat Niel di tempat biasa. Matanya mulai mencari-cari, tetapi hanya ada anak-anak lain yang bermain. “Niel!” panggil Nandia, bangkit dari bangku dan berjalan mengitari taman. Mencari di setiap sudut, tempat Niel bermain tadi, tetapi tidak menemukan putranya. Jantungnya berdetak kencang, panik mulai merayap di dadanya. Nandia menghampiri security yang tadi memanggil putranya. "Maaf, Pak, apa tadi melihat anak saya? Yang Bapak panggil tadi, dia pakai kaos biru?" Security itu terdiam sejenak. "Tadi, dia mengantri es krim disini, Nyonya. Saya tidak tahu lagi karena saya memeriksa di bagian sana karena ada anak yang menangis mencari ibunya, Maaf.” Nandia pun kembali mencari, bahkan bertanya pada penjaga taman, tetapi tidak ada yang tahu. Segala kejadian buruk mulai memenuhi pikirannya. Hat
"Pergi, Danu dan jangan pernah kembali lagi."Danu pun keluar dari rumah Kakek Anggar dengan langkah gontai. Sebelum masuk ke dalam mobil, dia pandangi rumah Kakek Anggara. Dia merasa frustasi, karena gagal meyakinkan Kakek Anggara. Lalu, bagaimana cara dia bisa mendapatkan Nandia kembali?Danu pun duduk di dalam mobilnya. Lelaki itu merogoh sakunya, mengambil ponsel untuk menghubungi Galih, sang asisten. "Galih, aku butuh bantuanmu," kata Danu dengan nada serius. “Ada apa, Tuan?” suara Galih terdengar tegas di seberang telepon. “Aku ingin kau melacak keberadaan Nandia dan Niel. Mereka mungkin ada di suatu tempat yang dilindungi oleh Kakek Anggara. Temukan mereka secepatnya. Aku tidak peduli bagaimanapun caranya, yang jelas, kamu harus bisa menemukan mereka." “Baik, Tuan. Tapi ini mungkin butuh waktu agak lama. Kakek Anggara punya jaringan yang luas dan orang-orangnya pasti menjaga mereka dengan ketat.” “Tidak masalah, Galih. Yang penting kamu bisa menemukan mereka. Aku memiliki
"Galih untuk sementara, kamu handel urusan kantor. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku dengan Nandia." Pesan untuk Galih saat lelaki itu akan berangkat ke rumah kakek Anggara. Dia harus bisa meyakinkan lelaki tua itu. Jika ingin rumah tangganya bersama Nandia terus bersama.Hujan yang mengguyur bumi tak menyurutkan niat Danu untuk pergi ke rumah kakek mertuanya. Sesampainya di depan gerbang rumah kakek Anggara, security masih tidak mau membukakan pagar rumah itu, meskipun Danu telah membunyikan klakson berkali-kali. Karena bising dengan suara klakson, akhirnya security itu pun keluar."Maaf, Tuan. Bukankah sudah saya bilang kemarin, Anda tidak boleh masuk," ujar satpam itu dengan nada tegas."Tolong, beri saya kesempatan. Saya harus bicara dengan Kakek Anggara," pinta Danu, suaranya melemah karena kelelahan dan frustasi.Satpam itu hanya menatapnya dingin, tetap bergeming di tempatnya. Danu menghela napas panjang, lalu menatap pria itu. "Pak, tolonglah, bukakan pintunya. Saya haru
"Kalau kamu memang masih mencintainya, kenapa kamu ingin kita kembali, Danu?" Pagi itu, setelah menyaksikan pemandangan di bandara yang menyesakkan dadanya, Nandia akhirnya membuat keputusan besar. Dia mengambil barang-barang yang penting untuk dia dan juga Niel. Dia tak butuh lagi penjelasan dari Danu. Apa yang dia lihat di bandara tadi baginya sudah membuat dirinya mengerti bahwa Danu memang tidak bisa meninggalkan Diana. Setelah memastikan semua keperluan Niel sudah siap, Nandia menatap layar ponselnya. Foto Danu bersama Diana yang dia ambil di bandara tadi sudah siap dia kirimkan. Tangannya gemetar saat mengetik pesan. "Jadi, kamu meninggalkanku sendirian di hutan karena ini? Keterlaluan kamu, Danu! Apa arti semua ini kalau kamu masih saja tidak bisa lepas dari Diana. Kamu tunggu saja surat cerai dariku!" Nandia pun segera mengirimkan pesan. Dia tahu Danu belum sempat melihatnya. Suaminya mungkin masih sibuk bersama Diana. Dengan napas berat, Nandia memandangi rumah yang
Setelah mendapat telepon dari sang istri tadi, Danu memutuskan untuk tidak lagi memarahi Galih. Lagipula, hasilnya cukup memuaskan. Lelaki itu kemudian menghubungi sang asisten. "Galih," panggil Danu. "Iya, Tuan," jawab Galih hati-hati. Danu menghela napas panjang. "Sebenarnya, aku marah karena kamu menggunakan uang perusahaan tanpa seizinku. Namun, aku tahu kamu melakukan ini juga karena permintaanku. Jadi, kamu kumaafkan. Tapi lain kali, aku akan menghukum mu." Galih langsung merasa lega. "Terima kasih, Tuan. Saya hanya ingin membantu." "Tapi lain kali, konsultasikan dulu denganku sebelum membuat keputusan seperti itu, mengerti?" tambah Danu tegas. "Baik, Tuan. Saya tidak akan mengulanginya lagi," jawab Galih dengan penuh penyesalan. "Sekarang, fokuslah pada pekerjaan awalmu," kata Danu sebelum menutup panggilannya --- Hampir satu minggu Danu berada di negara N. Dia sudah sangat merindukan Niel dan Nandia, istrinya. Ingin rasanya dia menyuruh Galih menggantikannya