Pagi ini, Henry datang ke kelas memasak dengan semangat tinggi. Ruangan dapur berkilauan dengan peralatan masak yang tertata rapi. Aroma rempah-rempah yang tercium samar, memberikan suasana yang hangat dan menyenangkan."Selamat datang, Tuan Henry!" sapa Chef Miles dengan ramah.Henry mengangguk. “Apa yang akan kita masak hari ini?" tanyanya tanpa berbasa-basi. Hari ini adalah hari pertamanya untuk mengikuti kelas memasak, dan terlihat dia sudah tidak sabar untuk memasak sendiri. Chef Miles tersenyum lebar melihat antusias Henry. "Kita akan mulai dari resep sederhana, Tuan. Kita akan membuat salad segar dari sayuran dan saus sederhana. Semua bahan sudah tersedia di meja. Yang perlu Anda lakukan hanyalah mengikuti instruksi dari saya," jelas Chef Miles sambil menunjukkan meja berisi sayuran.Chef miles memilih untuk dengan sesuatu yang mudah, membuat salad sayur yang sederhana. Meski itu terbilang mudah, dia tahu betul bahwa memasak bisa menjadi hal yang membingungkan bagi pemula.H
Eva duduk di sofa dengan terkulai, matanya terpaku pada ponsel yang ada di tangannya. Dia memandang pesan yang baru saja dia kirimkan pada Samuel. Pesan yang selalu dia kirim dengan penuh harapan, meski tak pernah mendapat balasan. Terakhir kali mereka berinteraksi melalui telepon Henry, sejak saat itu, tak ada tanda-tanda Samuel membalas pesannya. Orang yang dulu selalu ada untuknya, kini tiba-tiba berubah. Tak ada kata-kata, tak ada jawaban, hanya ruang hening yang menyelimuti keduanya. Eva hanya ingin melihat kondisi Samuel, dia merasa banyak hutang budi dengan pria itu di saat semua hidupnya terombang ambing dalam ketidakpastian. Eva tampak berpikir keras. Perasaannya bimbang, antara harus menghubungi Samuel, atau membiarkan pria itu dengan dunianya. Dia merasa bingung. Perubahan sikap Samuel begitu cepat dan tiba-tiba. Sekarang, terasa Samuel tengah menjauh. Wajahnya tampak lesu, dan perasaannya begitu berkecamuk. Apakah aku melakukan sesuatu yang salah? Atau, dia beg
“Tuan Henry, mungkin lain kali kita harus bertemu. Saya akan membawa Istriku juga.” Pria itu begitu semangat. Istrinya, yang banyak menghabiskan waktu di rumah pasti akan senang bertemu dengan Eva. Henry terkekeh pelan. Dia pun menyetujui ucapan pria itu. “Saya setuju.”Pria itu tersenyum lebar, wajahnya begitu antusias. “Saya yang akan mengaturnya. Saya yakin para Istri pasti langsung akrab, dan pertemuan kita akan menyenangkan.” “Saya akan menunggu kabar Anda selanjutnya, Tuan.”“Kalau begitu, mari duduk dan nikmati acaranya, Tuan,” ujar pria itu sambil memberi jalan bagi mereka.“Terima kasih banyak,” kata Henry dengan nada halus, menyunggingkan senyum yang sedikit lebih santai.Pria itu membalas dengan senyum tipis, memandang mereka sejenak sebelum beranjak pergi, menyisakan mereka berdua di kursi VIP, dikelilingi oleh kemewahan acara yang sedang berlangsung. Suasana terasa nyaman dan eksklusif, meskipun Henry dan Eva tidak bisa mengabaikan tatapan-tatapan yang mulai tertuju pa
Henry tersenyum penuh kemenangan, dia tak mau tahu, saat itu juga, kalung itu harus berada di tangannya. Setelah negosiasi panjang, akhirnya, kalung itu berada di tangan Henry. Tak mau menunggu, saat itu juga Henry memakaikan kalung itu pada Eva di depan semua orang. Semua tamu yang hadir dibuat terkejut, saat tahu dia memakaikan kalung itu pada seorang wanita. Apa itu Istrinya?Wajar dia bersikap seperti itu, Istrinya benar-benar cantik!Aku kira dia bersama Sekertarisnya tadi!Kenapa aku tidak menyadarinya dari tadi?Yang lebih mengejutkan mereka adalah kemunculan Eva di publik. Selama kedatangannya bersama Henry, banyak yang tidak menyadarinya. Mereka berpikir, dia adalah Julia. Akhirnya, mereka tahu bagaimana wajah Istri dari CEO perusahaan terkenal di kota mereka. "Henry…?" suara Eva sedikit ragu, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Namun, Henry tidak menjawab. Dia memandangi kalung yang terpasang di leher Eva, tidak peduli semua orang menatap ke arahnya. "Ini …
Tak Ada niatan untuk Henry mengalihkan pandangannya dari Eva. Dia bisa merasakan setiap kata yang keluar dari mulut Istrinya itu penuh makna. Nada suaranya terdengar lembut, seolah tulus memberi saran untuknya. Akan tetapi, Henry bisa merasakan nada sarkasme yang tersimpan di dalamnya. “Kau terlihat begitu peduli padanya,” katanya pelan, nada suaranya terdengar datar, tetapi matanya menelisik ekspresi Eva. Eva mengangkat bahu dengan bersikap santai. “Aku hanya mengatakan faktanya. Bukankah memang itu yang terjadi? Kau selalu menjadi penyelamatnya. Atau mungkin … itu hanya kebetulan yang selalu terulang?” Henry menghela napasnya, mencoba menahan kesabarannya. Setiap perkataan Eva itu seperti belati untuknya. Kata-kata yang keluar itu menunjukkan bahwa dia sangat tidak becus berada di sisi Eva selama ini. Henry mengeram pelan, matanya lurus menatap Eva yang tampak santai menikmati makanan miliknya. Ingin sekali dia menyangkalnya, ingin sekali mengatakan jika istrinya itu terlalu be
Henry duduk di kursi kebesarannya, matanya menatap layar proyektor yang sedang menampilkan presentasi. Rapat penting tidak bisa ditunda. Namun di tengah-tengah fokusnya, ponselnya berdering memenuhi ruangan. Semua yang ada di ruangan itu mengikuti asal suara ponsel itu. Tak ada yang berani melayangkan protes padanya. Henry melirik ke layar ponselnya dengan sedikit malas. Hanya satu orang yang berani mengganggunya dalam jam-jam seperti ini, yaitu mamanya. Dia meraih ponsel, kemudian bangkit dan meminta para karyawannya itu melanjutkan pembahasannya. “Halo, Ma,” jawabnya dengan setengah malas. Di ujung telepon, terdengar suara lembut, tapi begitu tegas. “Di mana kamu? Cepat datang ke rumah sakit! Julia sedang membutuhkanmu di sini!”“Kenapa harus Henry?” jawabnya dengan datar. “Dia sudah berbuat baik pada kita, Henry! Dia baru saja mengalami kecelakaan, kita harus balas kebaikannya. Mama mau kamu datang dan merawatnya.” Elise berbicara tanpa jeda, seolah tak membiarkan Henry meno
Henry memerhatikan Eva yang terlihat memalingkan pandangannya, seolah tidak melihat kehadirannya. Biasanya dia paling tak peduli dengan reaksi Eva selama ini, dan sekarang, dadanya terasa sesak ketika istrinya tak melihat keberadaanya. “Ayo kita berangkat,” ajaknya dengan suara lembut. “Tidak perlu!” Eva berbalik. “Aku bisa berangkat sendiri.”Eva melangkah dengan mantap, bersiap pergi tanpa menoleh lagi. Namun, sebelum dia sempat menjauh, Henry dengan sigap meraih tangannya."Tidak ada penolakan!” tegasnya. Dia menggenggam tangan Eva erat, lalu menuntunnya menuju mobil.Eva ingin menolak, tetapi genggaman Henry terlalu kuat, membuatnya enggan berdebat lebih jauh. Akhirnya, dia membiarkan pria itu membawanya pergi.Selama perjalanan, keduanya terdiam. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sementara tatapan Eva terarah ke luar jendela. Henry, di sisi lain, sesekali meliriknya, ingin mengatakan sesuatu tetapi menahan diri.Akhirnya bersuara, suaranya rendah dan penuh perhatian. "B
Henry melanjutkan dengan suara datar dan tegas. “Kalau Mama terus berbicara seperti itu, Henry akan menjaga jarak seterusnya! Eva adalah Istriku, dan aku tidak akan membiarkan Mama mengatakan itu lagi padanya!”Gigi Elise gemertak, mulutnya terkatup rapat. “Jadi kamu lebih memilih dan membelanya?” Suaranya bergetar penuh dengan kemarahan. Dia pun kembali menatap Eva dengan perasaan semakin membara. “Pasti kau sudah mencuci otak Henry, ’kan?” Sementara Eva, wajahnya tampak tenang, tidak menunjukkan kemarahan atau tanda-tanda melawan. “Bisa dibilang seperti itu. Aku memiliki terlalu banyak waktu luang untuk melakukannya.”Dia melirik Henry sebentar, lalu kembali menatap Elise dengan tatapan datar. "Tapi Mama tenang saja, dia masih punya kemampuan untuk berpikir sendiri, walaupun aku tahu itu terlalu sulit dipahami oleh sebagian orang.”Elise terhenyak, wajahnya memerah karena tersinggung, dan kini kemarahannya semakin meluap. Henry pun terkejut mendengar jawaban Eva. Dia tak menyangk
“Hah ….?” Tanpa pikir panjang, Henry mengikis jarak di antara antara mereka dengan menarik lengan Eva. Dengan gerakan cepat bibir itu menempel di atas bibir Eva, tanpa membiarkan wanita itu mundur sedikitpun. Eva tidak bergerak. Henry semakin memperdalam ciumannya dengan kedua matanya terpejam. Tangannya turun ke pinggang, menarik Eva agar lebih dekat lagi. Dia tidak peduli dengan tatapan para pengunjung yang berada di atas kapal. Yang terpenting adalah momen mereka berdua. Kapal terus bergerak mengitari danau ke sisi lain, tapi Eva tetap di tempatnya. Dia tidak membalas ciuman Henry. Otaknya masih bekerja penuh mencerna semua yang terjadi secara tiba-tiba. Setiap detik terasa begitu lambat, hingga pada akhirnya, Henry mundur perlahan, melepaskan ciumannya. Napasnya masih sedikit memburu ketika matanya bertemu dengan bibir Eva. Dia menelan ludah, mencoba menahan gejolak dalam hatinya. Jari-jarinya masih berada di pipi Eva, tapi perlahan dia mulai melepaskan sentuhannya dan kemb
Tuan Lawson tergelak melihat ketidak sabaran istrinya. Wanita memang memiliki kesabaran seperti kapas yang terendam didalam air. “Ada legenda lokal yang mengatakan jika pasangan berciuman di atas kapal yang mengelilingi danau, mereka akan diberkati keberuntungan dan kelanggengan hubungan.” Tuan Lawson mulai menjelaskan, sedangkan Sophia mendengarkan dengan penasaran. “Dan aku rasa … Tuan Henry ingin memastikannya setelah mendengar percakapan pengunjung.” Perkataan itu diakhiri dengan kekehan renyah darinya.Selama di dermaga, mereka selalu berjalan beriringan mengawasi para istri yang berjalan lebih dulu. Percakapan itu juga bisa didengar olehnya. Dia tidak percaya jika seorang Henry, yang terkenal dengan keangkuhannya bisa begitu mudah percaya dengan mitos yang baru saja didengarnya. Henry yang selama ini selalu rasional pada hal-hal yang tidak masuk akal itu tiba-tiba saja tertarik. Dia mendengarkan dengan serius selama di dermaga, cerita itu seperti kebenaran yang tak terbantah
Para rombongan turis baru saja menuruni kapal yang mengangkut mereka mengelilingi danau. Suasana sedikit ramai, namun menyegarkan saat udara sejuk membawa aroma segar pegunungan. Di dermaga tampak sibuk, beberapa turis dan lainnya berjalan dengan arah berlawanan. Eva dengan wajah cerianya tengah berbincang dengan Sophia. Tak ada yang mengganggu percakapan mereka.Sementara Henry dan Tuan Lawson jarang beriringan di belakang mereka, membiarkan para wanita itu berbincang lebih banyak. Namun, di tengah keramaian itu, Henry mendengar sesuatu yang menarik perhatiannya. Salah satu seorang turis tengah berbincang dengan rombongan mereka, berbisik di dermaga tentang sebuah mitos yang terkait dengan danau tersebut. “Aku mendengar mitos menganai danau ini, katanya, kalau pasangan yang berkeliling di danau dan berciuman di atas kapal, hubungan mereka akan mendapatkan keberuntungan dan bertahan selamanya,” ujar turis itu dengan penuh semangat. “Aku ingin sekali mencobanya.”“Kau mau mencoba
Pagi itu, Henry dan rombongannya memulai perjalanan mereka mengelilingi pemandangan alam yang memukau. Di tengah hamparan pegunungan Alpen yang menjulang tinggi, terdapat danau yang tenang seperti hamparan cermin. Pemandangan itu begitu memukau membuat senyum Eva tak pernah pudar dari wajahnya. Biasanya, dia hanya bisa melihat semua itu dari gambar. Sekarang, kakinya benar-benar berpijak di sana. Henry yang berada di sampingnya, bisa melihat kebahagiaannya yang menyatu dengan pemandangan di sekitar mereka. Saat dia melihat Eva, rasanya dia ingin menghentikan waktu, bahkan dalam pikirannya, dia ingin membawa wanita itu ke sisi lain dunia di mana hanya ada mereka berdua. Dia hanya tidak ingin senyum di wajah istrinya dilihat orang lain. Di dunia itu dia ingin membuat kebahagiaan yang tak pernah terukur untuk Eva. Henry menggenggam tangan Eva semakin erat, tak ingin melepaskan momen ini sedetikpun. Hatinya dipenuhi dengan perasaan yang tak terungkap. Di matanya, senyum Eva adalah i
Setelah telepon berakhir, Henry kembali ke kamar. Matanya menatap ke arah Eva yang sudah tertidur. Dalam tidurnya itu wajahnya tampak tenang. Pikirannya kembali teringat beberapa menit berlalu, bagaimana wajah Eva yang menyimpan keraguan padanya. Henry menghela napas sambil mendongak ke atas. Bagaimana aku menebus semua dosa-dosaku?****4 tahun yang lalu.Apabila banyak orang berpikir, menikah dengan seorang Henry adalah surga dunia, tetapi tidak seperti yang mereka bayangkan. Pernikahan mereka begitu dingin, seperti tidak ada nyawa dalam kehidupan mereka. Dunia mereka seperti saling bertabrakan.Eva adalah sosok yang hangat dan perhatian, selalu mengutamakan orang lain. Sementara Henry adalah orang yang dingin, acuh tak acuk, dan selalu berkata tajam. Tak pernah memberikan kesempatan untuknya masuk ke dalam kehidupannya lebih dalam. Eva selalu merasa terasingkan. Bahkan dia selalu disembunyikan dari publik, tak seorang pun Henry biarkan mengetahui Eva. Dia begitu malu. Betap
Eva membaringkan tubuhnya di tepian kasur dengan posisi membelakangi Henry, dan segera memejamkan kedua matanya.Kasur ini memiliki ukuran besar, tapi tetap saja rasanya terlalu kecil saat Henry ada di sini. Dia berusaha terpejam dan menghilangkan gejolak di hatinya. Baru saja matanya terpejam, suara Henry terdengar dari belakang.“Eh!”Suara Henry cukup membuat dirinya reflek terjingkat dan membuka matanya.“Sangat tidak sopan kalau membelakangi suamimu sendiri.” Henry melanjutkan. Detik itu juga, Eva mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Matanya menatap ke langit-langit kamar. Campuran perasaan tergambar jelas di wajahnya, dia sangat pasrah dan sedikit jengkel. Huh? Tidak sopan?Henry mengubah posisinya menyamping dengan satu tangannya dia gunakan untuk menyanggah kepalanya. “Kau tidur di tepi sana, apa memang kau berniat akan tidur di lantai?” Henry berkata lebih dramatis.“Kau tidur berniat memunggungiku, dan tidur di pinggiran kasur. Jujur saja … apa kau benar-benar i
Tuk!Tuk! Suara pantofel miliknya memenuhi ruangan. Perlahan dia mendekati Eva. “Eva….” Suaranya pelan, nyaris berbisik. Dia berdiri tepat di hadapan istrinya. Pandangannya menunduk, mengarah pada istrinya di bawah sana. Eva tidak mundur ataupun menghindari tatapannya. Dia justru mendongak, memerhatikan wajah serius Henry. Saat ini, dia mengamati tatapan dalam Henry bagai lautan yang tak bisa dia jelajahi kedalamannya. Tatapan itu bisa menenggelamkannya dalam sesaat. Setelah beberapa detik berlalu, Henry melanjutkan ucapannya, “Kau dan aku adalah dua orang dewasa dan sudah menikah bertahun-tahun. Aku rasa … kau pasti bisa memahami apa yang aku katakan tadi.”Henry mengarahkan wajahnya lebih dekat dengan wajah Eva. “Apa aku perlu memberikan contoh secara langsung padamu?” Tiba-tiba saja suaranya terdengar serak, seperti menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. Eva menelan ludahnya dan mengalihkan pandangannya ke samping kanan, menghindari tatapan Henry. Tampaknya, dia pa
“Sudah kukatakan sebelumnya, pakai baju tebalmu. Kenapa kau tidak mendengarku?” Henry menatapnya dengan serius. Sikap lembutnya berubah menjadi keposesifan yang sulit disembunyikan. “Di sini bukan seperti di rumah. Kau harus memakai baju tebal setiap keluar!”Eva menyipitkan matanya, memerhatikan setiap perhatian Henry. Akhirnya, dia pun membuka suara, “Kenapa kau tiba-tiba sangat posesif?” Dia ingin mendengar jawaban pria itu.Namun, Henry tidak menjawab, dia hanya memastikan mantel itu terpasang dengan sempurna, lalu menggenggamnya dengan erat dan menariknya turun. Eva tidak menolak. Dia membiarkan Henry menuntunnya turun, meski dia sedikit kecewa karena Henry tidak menjawab pertanyaannya. Tak mau kalah, Tuan Lawson pun menunjukkan kepeduliannya pada istrinya. Dia memakaikan istrinya dengan pakaian tebal, memastikan istrinya tetap dalam kondisi hangat. Sophia yang awalnya menerima perhatian itu dengan senang, lama-lama merasa tidak nyaman. Pakaian tebal itu terlalu banyak, me
“Apa aku harus membantumu untuk sembuh, Nona Julia?” Samuel mengakhiri ucapannya dengan raut wajah yang terkesan meremehkan Julia. Darah Julia semakin mendidih. Tangannya yang mengepal di bawah meja itu semakin menguat, tetapi dia berusaha keras menahannya agar tidak kehilangan kendali. Dengan suara gemetar, Julia berkata, “Kau tidak tahu apa yang aku alami, Samuel! Kau tidak berhak mengatakan itu semua!” Matanya dipenuhi dengan kilatan kemarahan, ia melanjutkan, “Jangan kira kau berbicara sembarangan, itu berarti kau benar! Kau sendiri juga korban yang dicampakkan oleh Eva!”Dada Julia naik turun saat mengatakannya.Namun kemarahannya itu hanya membuat Samuel tertawa karena lucu. Rasanya, dia ingin tertawa lebih keras. “Apa kau benar-benar tidak sadar posisimu, Nona Julia? Atau kau memang tidak bisa memahami bahasa manusia yang aku katakan?” Mata Julia semakin menggelap, karena emosi mulai menguasai dirinya. Samuel kembali membeberkan semua isi kepalanya dengan santai. “Yang h