Zahra sekarang di rumah Zein, dia di antar pulang oleh Alana karena Zahra yang keukeuh untuk pulang. Bahkan dia tidak pamit pada ayahnya, saking takutnya dijadikan direktur utama oleh sang ayah. "Zahra yang dulu terlalu keren dan hebat. Aku mana bisa seperti dia, kecuali ingatanku kembali," gumam Zahra, termenung karena insecure serta iri pada dirinya yang dulu. Saat diperjalanan pulang kemari, Zahra bertanya-tanya pada Zahra yang merupakan direktur. Alana menceritakan kehebatan Zahra dalam memimpin perusahaan, mendesain dan menjalankan tanggung jawab. Bukannya bangga pada kemampuannya yang begitu hebat, Zahra malah insecure. Lihatlah dirinya sekarang, sangat kosong dan minim pengetahuan! 'Anda mungkin lupa siapa diri anda, Nona. Tetapi anda tidak akan lupa jati diri anda. Anda panutanku, perempuan hebat yang selamanya akan seperti itu.' Kalimat dari Alana, Zahra tertegun tetapi semakin tertekan secara bersamaan. Sekretarisnya menjadikan dirinya panutan. Bagaimana jika dirinya ya
"Kau dan Nenekmu adalah orang yang menemukan istriku. Kau bisa ceritakan apa yang terjadi saat itu?" Zein berkata pelan, berusaha ramah dan baik karena yang ia hadapi adalah anak dibawah umur. Namun, tetap saja aura mengintimidasi menguar dari dirinya. Zein tetap lah Zein. Alean menatap gugup serta takut, bahkan sudah berkeringat dingin. "Tenang, aku tidak akan mencelakaimu jika kau jujur. Sebaliknya, aku akan memberikanmu hadiah," ucap Zein, berupaya merilekskan Alean. Alean menganggukkan kepala, meskipun aura mengerikan pria ini tak hilang akan tetapi Alean merasa jika Zein memang orang baik. "Saat itu aku dan Nenekku berada di sekitar pinggir jalan, mencari rumput untuk ternak kami. Lalu tiba-tiba saja sebuah mobil lewat. Karena jarang ada mobil mewah melintas di desaku, aku dan Nenekku menonton mobil itu saat lewat. Tetapi mengejutkannya seorang perempuan melompat dari mobil lalu tubuhnya menggelinding ke jurang. Nenek mengajakku bersembunyi di rumput, takut terjadi sesuatu.
Ceklek' Zahra yang menunggu di depan pintu ruang kerja Zein, seketika menoleh saat mendengar pintu di buka. Dia langsung menghampiri Alean, segera membawa adiknya tersebut dalam pelukannya. "Kamu tidak apa-apa, Alean?" tanya Zahra, mendapat anggukan dari Alean. "Aku tidak apa-apa, Kak. Aku hanya mengobrol dengan Tuan Zein," jawab Alean, tersenyum cerah ke arah Zahra. Hari ini Alean sangat bahagia, senang karena dia mendapatkan sebuah keluarga. "Kenapa masih memanggilnya Kak, Aiden?" tegur Zein, berada tepat di belakang Alean dan Zahra. Hal tersebut membuat Zahra buru-buru menoleh ke belakang. Merasa dirinya terlalu dekat dengan Zein, Zahra melangkah mundur untuk menciptakan jarak. Namun, hal tersebut diketahui oleh Zein, pria itu menarik pinggang Zahra–merangkulnya dengan mesra. "Siapa Aiden?" tanya Zahra, hanya diam meskipun Zein memeluk pinggangnya. Sejujurnya, Zahra ingin protes akan tetapi dia takut protesnya malah membuat Zein semakin menjadi-jadi."Sekarang namanya adalah
"Aku benar-benar tidak bisa. Bukan karena aku takut mencoba, Tuan Zein, tetapi aku sadar diri. Kemampuanku tidak ada." "Ada," jawab Zein tegas, "kau hanya perlu memancing supaya dia muncul. Wife, kau sangat hebat, kemampuan mu luar biasa dalam mendesain. Ingatanmu tidak terhapus, hanya tertimbun.""Bagaimana jika aku menghancurkan semuanya? Sungguh, aku bukan Zahra yang kalian inginkan. Aku-- yah aku! Aku hanya perempuan desa yang hidup dengan sederhana, pengetahuanku tak luas dan terbatas. Intinya … aku adalah aku!" pekik Zahra, terlalu tertekan dengan semuanya. Zahra yang dulu terlalu sempurna, Zahra sekarang merasa tak bisa mengimbangi. "Syuuttt." Zein memperdalam pelukannya, mendudelkan wajah di pucuk kepala Zahra lalu mengecupnya beberapa kali supaya menenangkan Zahra. Zein tahu dia terkesan menekan Zahra, akan tetapi ini demi kebaikan istrinya. Jika Zahra kembali ke kantor, melakukan aktivitas yang sama seperti dahulu, mungkin ingatan istrinya akan kembali muncul. "Tenang, Wi
"Hei, Bisu!" Deana mendekati Nail kemudian langsung menendang mainan anak kecil tersebut. Nail mendongak, menatap berang bercampur kesal pada sosok perempuan yang sangat ia benci tersebut. Namun, dia hanya diam. Nail hanyalah anak kecil. Meskipun ada perasaan ingin melawan, tetapi perasaan takut lebih mendominasi. "Apa kamu sudah mengatakan pada Kak Zein untuk menikahiku?" bentak Deana. Dia tahu Zein tak di rumah, oleh sebab itu dia berani memaki-maki Nail. Maid? Cih, tak ada yang berani melawan Deana di sini. Semua maid takut padanya sehingga mereka tak berani mengadukan keburukan Deana pada Zein. "Kamu belum menyuruh Kak Zein yah untuk menikahiku? Sialan! Kamu memang anak kurang ajar," maki Deana, berjongkok lalu menjewer kuat telinga Nail. Namun, tiba-tiba saja seorang menarik rambutnya dari belakang kemudian mendorong kasar dirinya ke kolam. Byurrrr' Tubuh Deana basah seluruhnya, buru-buru kepermukaan kemudian langsung memburu oksigen. Mata Deana langsung menatap tajam ke a
"Ekhmm."Zahra yang sedang belajar bersama Alana tersebut reflek menoleh ke arah Zein. Pria itu berada tepat di belakang Zahra, berdiri dengan bersedekap di dada. Tatapan pria itu menghunus tajam, terkesan marah dan sedang menahan emosi. Alana yang melihat Zein di sana, langsung berdiri kemudian membungkuk hormat pada Zein. "Selamat sore, Tuan Zein." Alana berkata sopan. "Humm." Zein hanya berdehem sebagai tanggapan. Zahra yang melihat ikut berdiri, buru-buru membungkuk pada Zein untuk memberi salam. Jangan-janagn Zein terlihat marah karena Zahra tidak memberi salam saat pria ini datang. Zein terkenal arogan, tentu saja semua orang harus hormat dan tunduk padanya. "Se-selamat sore, Tuan--" Ucapam Zahra berhenti, mendadak Alana memegang pundaknya–memaksa agar Zahra menegakkan tubuh. Setelah Zahra berdiri tegak, Alana menyikut lengan Zahra. Kemudian dia berbisik untuk menegur sang nona."Nona Zahra jangan membungkuk pada Tuan Zein, sebab Tuan adalah suami Nona." ucap Alana yang m
"Aku suka jika istriku tidak tertindas." Cup'Karena salut dengan apa yang dikatakan istrinya, Zein menghadiahi Zahra dengan sebuah kecupan. Kesengajaan berkedok hadiah! "Dan … besok, jika dia datang lagi, pukul saja kepalanya dengan tongkat bisbol. Itu lebih baik daripada hanya sekedar menampar atau menceburkannya ke kolam." Zein menatap geli ke arah wajah Zahra, di mana perempuan ini menampilkan ekspresi konyol karena mungkin syok mendengar penuturan Zein. 'Aku lupa kalau Tuan Zein aslinya jahat.' batin Zahra. 'Tetapi dia tidak marah?' "Tuan tidak marah?" tanya Zahra bingung. "Untuk apa?" Zein terkekeh pelan, "aku akan marah jika kau hanya diam ketika putra kita ditindas olehnya. Perempuan itu-- manusia paling munafik." "Hah?" Zahra semakin bingung. Jadi Zein membenci Deana? Atau Zein sebenarnya tahu jika Deana adalah perempuan yang jahat. Tetapi jika Zein tahu dia jahat, kenapa Zein tetap membiarkan Deana datang ke rumah ini. "Tenang saja, Sweetheart." Zein membelai pinggira
"Berhenti memanggilku tuan." Zein tiba-tiab berucap, menegur Zahra yang sampai saat ini suka sekali memanggilnya tuan. Bahkan tadi Zahra membungkuk padanya untuk memberi hormat. "Aku suamimu, bukan majikanmu," tambah Zein. Zahra menganggukkan kepala, masih malu karena insiden mandi. Sampai sekarang Zahra masih bertanya-tanya apakah dulu dia seperti yang Zein katakan, suka meminta Zein memandikannya. Jika yang Zein katakan benar, bukankah itu sangat memalukan?! Sudah besar tetapi masih dimandikan suami. Oh Tuhan!"Boleh meminta bantuan, Sweetheart?" Zahra mengalihkan pandangan dari buku sketsa. Sejujurnya saat ini dia sedang berlatih mendesain. Aneh, tetapi Zahra pandai. Di desa, Zahra seorang guru seni. Dia juga tidak tahu berasal dari mana kemampuan tersebut dan pihak sekolah sendiri yang meminta agar Zahra mengajar karena keahliannya menggambar. Tentunya untuk itu Zahra harus belajar seni secara dalam, supaya dia tidak terlalu bodoh saat mengajari anak di bangku SD. Namun, un
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k
Malam ini Agatha, Nail dan putra mereka berkunjung ke kediaman Melviano, untuk membahas pernikahan Aiden dengan Syakila serta pernikahan Alka dengan Kalisa. "Ck." Agatha berdecak kesal, melepas genggaman tangan Nail kemudian mendorong pundak suaminya agar menjaga jarak darinya. "Jangan dekat-dekat denganku," peringat Agatha dengan nada tegas, melayangkan tatapan tajam dan kesal. Ini masih mengenai mangga muda. Agatha sangat dendam pada Nail karena pria itu-- memberinya permen jelly, bukan mangga muda seperti yang Agatha inginkan. "Tata," peringat Nail, mendekat ke arah Agatha dan berniat merangkul pundak Agatha, akan tetapi Agatha lebih dulu mendorongnya. Nail menatap pundaknya yang didorong oleh Agatha kemudian menatap istrinya datar. "Jangan dekati aku!" pekik Agatha, berucap dengan menekan suara. Setelah itu dia melanjutkan langkah untuk memasuki rumah mertuanya. Akan tetapi langkah Agatha kembali berhenti karena Nail tiba-tiba sudah di sebelahnya dan pria itu merangkul pin
"Pak Nail yang terhormat, tolong lepaskan aku!" pekik Agatha, berusaha melepaskan diri dari gendongan Nail. Nail menulikan pendengaran, tak melepas Agatha dalam gendongannya. Hingga setelah sampai di ruangannya, barulah Nail melepas istrinya–mendudukkan perempuan itu di atas sofa. "Ck, kenapa Mon Tresor membawaku ke sini? Aku baru saja keluar dari ruangan ini. Aih, di sini sangat membosankan," ucap Agatha bernada mengomel, menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan ruangan suaminya yang memang menurutnya sangat membosankan. Agatha kemudian melangkahkan kaki, menyenggol pundak Nail kemudian berniat pergi. Akan tetapi, Nail dengan cepat menahan pergelangan tangan istrinya. "Tolong biarkan aku pergi. Aku ingin makan siang dengan Syakila dan Alka.""Makan siang denganku." Nail menjawab cepat, dia duduk lalu menarik Agatha supaya duduk di atas pangkuannya. "Mon Treros!" Agatha menberontak, berusaha lepas dan bangkit dari atas pangkuan suaminya. Akan tetapi Nail memeluk tubuhnya erat, s
"Agatha putriku! Jauhkan tangan kotormu dari rambut putriku," marah Almira, menepis kasar tangan Seline dari atas kepala Agatha. Seline dan Almira saling bertatapan, sepertinya akan saling memakan satu sama lain. Penuh kemaraha! Hingga tiba-tiba saja, Alka datang. "Sya, Agatha, ayo, kita makan siang bersama," ajak Alka, tersenyum manis pada kedua sahabatnya. Akan tetapi, senyumannya seketika pudar saat menyadari aliran ketegangan yang ada di sana. "Calon Mama dan Mama Agatha. Mereka berebut Agatha," bisik Syakila pada Alka, ketika Paci-nya tersebut mendekat ke arahnya. "Kukira Agatha hanya diperebutkan Kakak dan pria luaran sana. Ternyata … ck ck ck," balas Alka, berbisik pada Syakila. Sedangkan Agatha, perempuan itu tiba-tiba sudah mengenakan kacamata hitam. Dia tersenyum lebar, cengengesan lebih tepatnya. "Wah … masih calon bintang saja sudah diperebutkan. Superstar Agatha memang keren. Ahahaha …." Agatha terkekeh geli sendiri, mulai berpose seolah ada kamera yang mengambil g
"Hais, aku capek sekali!" keluh Agatha, berjalan bersebelahan dengan Sandi. Rapat sudah selesai dan Agatha merasa sangat kelelahan. Untung saja sebelum rapat, suaminya memaksanya untuk makan. Jika tidak, Agatha rasa saat ini dia sudah tak punya tenaga lagi. Sekali lagi, untung suaminya pengertian. "Kamu baik-baik saja?" tanya Sandi, menatap wajah Agatha yang cukup pucat. "Hais." Agatha menatap kesal pada Sandi, "masih bertanya? Kamu lihat wajahku, Hah? Lihat?" Agatha berjinjit lalu mencengkeram kesal kerah kemeja Sandi. "I-iya, aku melihat." Sandi mengangkat kedua tangan ke atas, pertanda dia menyerah dan tak berani melawan. "Apa-apaan kalian ini?" Tiba-tiba saja Raka muncul, langsung menarik lengan Agatha supaya menjauh dari Sandi. "Agatha, jangan dekat-dekat dengan pria lain. Kamu sudah punya Nail," lanjut Raka, menegur Agatha–menatap dingin cucu menantunya tersebut. Agatha berkacak pinggang. "Siapa yang dekat-dekat, Kakek? Dia ini bertanya apakah aku baik-baik saja atau