Mata Zahra langsung bertemu dengan manik elang pria yang luar biasa tampan tersebut–tengah menggendong si anak nakal itu. Zahra tersenyum kikuk, jantung berdebar kencang dan mendadak panas dingin. 'Ya Tuhan, ta-tampan sesekali pria ini. Dia seperti pria dalam negeri dongeng, sangat-sangat mendekati kata sempurna.' batin Zahra, mengerjap beberapa kali, tanpa sadar mulut menganga karena terpesona oleh ketampanan pria tersebut. 'Tapi … kenapa rasanya aku seperti pernah berjumpa dengannya?' Zein sendiri, seketika menurunkan putranya dari gendongan–menatap terkejut dan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Perempuan dihadapannya ini-- Zahra-nya, istrinya! Zein mendekati Zahra, lalu tanpa mengatakan apa-apa reflek menarik Zahra dalam pelukannya. Dengan erat dia memeluk Zahra, menelusup pada ceruk leher Zahra kemudian menghirup rakus aroma tubuh yang sangat ia rindukan tersebut. Masih sama! Manis dan menenangkan. Setelah itu, Zein mendaratkan bibirnya di kulit leher Zahra, mengecupnya
"Setelah menghilang lama, tidak kusangka kau datang sendiri padaku, Wife." Zein menindih Zahra, tersenyum tipis sembari membelai lembut pipi istrinya. Dia sangat merindukan Zahra, dan ingin rasanya sepanjang hari dia memeluk perempuan ini. Lima tahun pergi, akhirnya Zahra kembali. Untuk saat ini, Zein tak akan bertanya apa yang terjadi lima tahun yang lalu pada istrinya. Yang dia inginkan adalah kebahagian. Biarkan Zein bahagia dengan pertemuannya bersama Zahra. "A--aku bukan istri anda." Zahra berusaha mendorong Zein dari atas tubuh. "Aku tidak pernah menikah dan aku tidak mengenalmu!" pekik Zahra, berteriak kencang. Dia berharap seseorang mendengarnya lalu menolongnya dari pria mesum ini. Zahra sejujurnya cukup tertegun saat pria ini menyebutnya istri. Dia hampir tergoda dan terayu, mengingat jika neneknya pernah berkata kalau Zahra memiliki cincin nikah yang ia jual. Jauh sebelum meninggal, neneknya telah menyampaikan jika Zahra di luaran sana punya suami. Namun, jika suaminya
"A-apa? Kami tidak bisa tinggal di sini lagi?" Zahra melototkan mata secara horor, tak percaya dengan apa yang terjadi padanya dan adiknya. Setelah kabur dari rumah mewah seorang Zein Melviano, Zahra memilih kembali pulang ke tempat ia dan adiknya mengontrak. Akan tetapi, baru duduk di sofa rumah, pemilik kontrakan menghampiri Zahra lalu meminta maaf karena ingin mengusir Zahra dari kontrakan. "Maafkan saya, Nak. Namun, jika saya tetap membiarkan Nona tinggal di sini, Tuan Melviano, yang berkuasa di kota ini, bisa menggusur semua kontrakanku. Saya tidak berani melawan beliau, Nona." "O-oh." Zahra ber oh ria, mengerjap beberapa kali kemudian menghela napas. Pantas saja ibu pemilik kontrakan mengusirnya, ternyata Zein adalah dalang semuanya. "Baik kalau begitu, Bu. Aku dan adikku akan segera pergi."Tak punya pilihan, Zahra dan adiknya memilih pergi dari kontrakan tersebut. Zahra menghitung sisa uang yang dia punya lalu berinisiatif untuk menginap di hotel, untuk malam ini saja. Namu
Zahra terbangun dan mendapati dirinya di sebuah kamar yang luas. Dia menoleh ke arah perut saat merasa jika sebuah benda berat terasa menimpa perutnya. Mendapati tangan kokoh yang berada di sana, Zahra seketika menoleh ke arah samping. Zein tidur di sebelahnya. Sejenak Zahra tertegun, terpana oleh tampang tampan pria tersebut. Jika Zein tertidur begini, pria ini terlihat lebih manusiawi dan bersahabat. Namun, saat mata elang Zein menghunus, rasanya pria ini sama seperti serigala buas. 'Aku tidak boleh terpesona pada Tuan Zein. Dia pria jahat. Untuk apa tampan kalau hatinya busuk?!' batin Zahra, secara pelan menyingkirkan tangan Zein dari atas perutnya. Setelah itu dengan hati-hati Zahra turun dari ranjang, berniat untuk kabur. Akan tetapi langkah Zahra berhenti, reflek menoleh ke atas nakas saat melihat foto dirinya di sana. 'Bukan. Ini pasti bukan aku. Perempuan ini memang mirip denganku, tetapi dia … lebih cantik. Dia memakai pakaian rapi, kulitnya terawat dan rambutnya …-' Zahr
Zein menaikkan sebelah alis, menatap istrinya geli lalu mengagumkan kepala. "Oke," jawabnya santai, mengulurkan tangan untuk mengacak pucuk kepala Zahra. Zahra yang tampak takut, reflek mundur. Namun, saat kepalanya disentuh oleh Zein, perasaan aneh tiba-tiba muncul di benak Zahra. Sebuah kehangatan dan perasaan rindu. 'A-ada apa denganku?' batin Zahra, terdiam dengan memperhatikan Zein secara lekat. Zein melepas tangan dari atas kepala Zahra, menarik istrinya lalu membawanya ke dalam walk in closet. "Dulu, kau sangat suka mengenakan dress biru sebab kau tahu itu warna kesukaanku," ucap Zein, meraih sebuah dress biru lalu memberikannya pada Zahra. "Pakailah ini setelah mandi."Zahra mengerjap beberapa kali, menatap dress tersebut dengan syok lalu buru-buru mengembalikannya pada Zein. "Memangnya Tuan Zein ingin membawaku kemana? Kenapa aku harus memakai dress?" Bagi Zahra dress mewah seperti ini hanya digunakan saat acara penting atau pesta saja. Untuk sehari-hari dia memakai baju
Zahra reflek menggelengkan kepala secara kuat, menampilkan air muka gugup karena cukup panik. "Nenek yang memberitahuku jika aku melompat dari mobil lalu berakhir jatuh ke jurang," jelas Zahra, takut Zein marah karena salah paham padanya. "Aku tidak ingat apapun. Na-namaku saja dikasih oleh Nenek karena kalung yang dia temukan dileherku." Zein menoleh ke leher Zahra, tak melihat apapun di sana. "Di mana kalungmu?" "Nenek menjualnya karena butuh biaya berobatku saat itu." Zein meraih tangan istrinya kemudian mengusap jari manis istrinya yang tak lagi mengenakan cincin pernikahan. "Cincin pernikahan juga dijual?" Zahra menganggukkan kepala, menatap Zein lekat lalu meneguk saliva secara kasar. Sepertinya Zein memang suaminya, pria ini bahkan tahu soal cincin pernikahan di jari manis Zahra. "Humm." Zein hanya berdehem singkat. *** 'Aku benar-benar lupa ingatan dan Tuan Zein memang suamiku. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku menikah dengan sosok monster ini? Ke-kenapa dari banyaknya
Saat ini Zahra berada di ruang keluarga, menemani Nail dan Alean bermain. Sedangkan Zein sudah pergi ke kantor. Sejujurnya, Zahra kasihan pada Alean sebab harus mencari orangtuanya ke kota ini, Alean harus berhenti sekolah. Rencana akan pindah ke sekolah di kota ini. Namun, masalah ini terjadi–Zahra bertemu Zein sehingga Zahra tak sempat mendaftarkan Alean ke sekolah baru. "Zahra Aurelia, putriku!" Zahra reflek menoleh ke belakang, sontak berdiri dengan menatap aneh sosok lelaki paruh baya yang terlihat berjalan ke arahnya. Bug'Pria itu langsung memeluk Zahra, membuat Zahra terkejut. Aneh, karena Zahra nyaman dengan pelukan ini. Dadanya terasa sesak, jantung berdebar kencang dan hati menghangat. Tanpa sadar, Zahra mengeluarkan bulir kristal dari pelupuk. Ada perasaan rindu yang ia rasakan. Pelukan pria ini membuat Zahra merasa sangat dicintai. "Nak." Lucas melepas pelukan, menangkup pipi Zahra kemudian mengecup ubun-ubun putrinya. "Akhirnya kamu kembali, Aurelia ku. Papa sangat
Zahra sekarang di rumah Zein, dia di antar pulang oleh Alana karena Zahra yang keukeuh untuk pulang. Bahkan dia tidak pamit pada ayahnya, saking takutnya dijadikan direktur utama oleh sang ayah. "Zahra yang dulu terlalu keren dan hebat. Aku mana bisa seperti dia, kecuali ingatanku kembali," gumam Zahra, termenung karena insecure serta iri pada dirinya yang dulu. Saat diperjalanan pulang kemari, Zahra bertanya-tanya pada Zahra yang merupakan direktur. Alana menceritakan kehebatan Zahra dalam memimpin perusahaan, mendesain dan menjalankan tanggung jawab. Bukannya bangga pada kemampuannya yang begitu hebat, Zahra malah insecure. Lihatlah dirinya sekarang, sangat kosong dan minim pengetahuan! 'Anda mungkin lupa siapa diri anda, Nona. Tetapi anda tidak akan lupa jati diri anda. Anda panutanku, perempuan hebat yang selamanya akan seperti itu.' Kalimat dari Alana, Zahra tertegun tetapi semakin tertekan secara bersamaan. Sekretarisnya menjadikan dirinya panutan. Bagaimana jika dirinya ya
"Bagaimana, Wife? Kau suka?" tanya Marc, menoleh pada istrinya dengan senyuman lembut. Alis Marc menaikkan sebelah, terkekeh pelan melihat reaksi istrinya. Belum apa-apa tetapi Kiana sudah membeku di tempat. Cih, bahkan dia belum mengutarakan cintanya pada sang istri. Kiana mematung di tempat, punggungnya terasa panas tetapi tangannya dingin. Masih dibagian sini tetapi Kiana sudah sangat gugup. Ya Tuhan! Kiana tak percaya jika Marc biasa menyiapkan tempat se indah ini. "Ekhem." Suara deheman tersebut membuat Kiana menoleh pada Marc. Matanya membelalak lebar, tak percaya dan terkejut pada Marc yang sudah bertekuk lutut dihadapannya. Pria itu memegang kotak hitam mewah, di mana ketika dibuka isinya adalah … kosong. "Ko-kosong?" bingung Kiana, gugup dan berdebar tak karuan. Marc mendapat kotak dan ternyata benar, kotak tersebut kosong. Dia berdecak pelan kemudian berdiri. Wajah Marc terlihat kesal, dingin secara bersamaan. "Ti-tidak apa-apa, Kak Marc. Tanpa cincin jug
"MARC!" jerit Disha antara syok dan horor. Akan tetapi yang dia panggil malah terlihat santai. Disha geleng-geleng kepala, sudah menangis karena melihat kejahatan putranya. Disha sangat lega suaminya tak ada di sini akan tetapi dia lupa juga titisan suaminya ada di sini. Marc dan Damon, sama saja! "Penjaga!" Daniel memangil penjaga, kemudian menyuruh mereka untuk membereskan kekacauan yang Marc lakukan, "bawa mayat perempuan ini, buang ketengah hutan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal." "Baik, Tuan." Para penjaga melaksanakan perintah, langsung membawa mayat Sofia dari sana. "Masalah sudah selesai. Dan … Marc, lain kali jangan seperti tadi. Kasihan orang-orang rumah yang tak terbiasa dengan suara tembakan, Nak. Apalagi istrimu," tegur Daniel kemudian pada cucunya. Dia geleng-geleng kepala karena Marc dan Damon sangat persis. Untung daddy dari cucunya tak ada di sini. Karena jika Damon di sini, tentu Damon akan membenarkan tindakan Marc dan bahkan bisa memarahi siapapun
"Bisa saja kamu membuat surat palsu," elak Sofia. "Masalah di rumah Kakek Nenekku, bukannya kamu yang lebih dulu menuduhku yang bukan-bukan?! Kamu menuduhku gembel dan berniat mengacaukan pesta, kamu mengusirku dari rumah Nenek dan Kakekku sendiri. Dan wajar bukan jika aku menyuruh maid di rumah Kakek Nenekku mengawasimu karena … seorang tamu tidak dikenal bisa-bisanya ada di ruang keluarga kami. Padahal ruangan itu area terlarang untuk para tamu. Pertanyaannya, kenapa kamu bisa di sana? Pasti berniat macam-macam bukan?" "Aku bukan pencuri!" marah Sofia, berteriak kesal karena tak tahan dengan tuduhan Kiana. Yang membuatnya semakin kesal adalah semua orang diam dan mendengarkan perkataan Kiana. "Kenapa marah? Aku saja tidak marah saat kamu mengusirku dari rumahku sendiri." Sofia memucat, menggelengkan kepala pada Audi. Dia berharap Audi tak percaya pada perkataan Kiana. "A-aku tidak mengusirnya, Nenek. A-aku bertujuan baik. Saat itu-- dia mengenakan pakaian santai. Sedangkan a
"Kenapa kalian memenjarakan Sofia, Marc?" tanya Audi, menatap Marc dengan ekspresi tak enak kemudian menatap satu persatu anggota keluarga yang lain– yang telah ia suruh berkumpul di kediaman Lucas. Sofia juga ada di sana, sudah ia bebaskan dari penjara. Sofia menghubunginya, mengatakan jika Marc telah memenjarakannya karena kesalah pahaman. "Aku tidak memenjarakannya, Nek," jawab Marc, "dan aku juga tak mungkin memenjarakannya," lanjut Marc, seketika membuat Sofia tersenyum manis–merasa jika Marc memiliki perasaan padanya oleh sebab itu Marc tak ingin menjebloskannya dalam penjara. Audi juga terlihat senang mendengarkan penuturan Marc, ternyata Marc tak ingin menjebloskan Sofia dalam penjara. "Hukuman di penjara terlalu ringan untuk wanita itu. Kejahatan yang dia perbuat sudah sangat banyak," lanjut Marc, seketika membuat senyuman Audi hilang. Begitu juga dengan Sofia yang langsung memucat. "Penjara terlalu enak baginya," tambahnya yang semakin membuat Sofia ketakutan. "Marc
Kiana menatap gambarnya yang salah coret, menganga sedikit lalu menoleh pada suaminya. Pria satu ini! Sangat-sangat tak aman untuk kesehatan jantung Kiana. Hell! Dari tadi, Marc sudah bagus hanya diam dan tak bersuara. Tetapi kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan suara? See?! Sekalinya Marc berbicara, gambar Kiana rusak. Bencana! "Jawab." Marc bangkit dari kursi lalu menghampiri Kiana, dia berdiri di belakang istrinya–menatap sejenak pada gambar desain Kiana yang tergores pencil, cukup dalam dan parah. Melihat itu, Marc menarik salah satu sudut bibir ke atas–membentuk sebuah smirk tipis, geli melihat gambar istrinya. Jadi perempuan ini tadi kaget dan salah coret? Cih, menggemaskan. "Kau mencintaiku, Wife?" tanya Marc, membungkuk ke arah Kiana. Satu tangannya memegang sandaran kursi Kiana, satu lagi bertopang pada sisi meja istrinya. Kiana yang sedang menghapus bagian yang salah pada desain, menjadi kikuk lalu berakhir salah hapus. Marc berdecis geli, menarik penghapus dari tangan i
Ceklek' Marc menoleh ke arah pintu, mendapati istrinya di sana. Kiana terlihat kaget, mungkin tak mengira jika Marc telah datang. Kiana masuk dalam kamar, menutupi pintu sembari berjalan menghampiri suaminya. Dia tersenyum manis, senang karena Marc akhirnya kembali. Ada banyak hal yang ingin Kiana ceritakan pada Marc, salah satunya niatan Gebara untuk melamar Kinara–kakaknya. Karena jika Gebara ingin melamar Kinara, pasti mereka akan ke negara Kiana. Itu yang membuat Kiana sangat senang, dia bisa pulang lalu bertemu dengan keluarganya. Tak bisa dipungkiri, Kiana sangat rindu pada keluarganya. "Kak Marc kapan pulang?" tanya Kiana, masih tersenyum manis pada Marc. Pria itu menaikkan sebelah alis, menampilkan raut muka dingin dan tatapan yang cukup mengintimidasi. "Baru saja." Kiana cengar cengir, mendudukkan diri di pinggir ranjang. "Kau sepertinya terlihat sangat senang." Kiana menganggukkan kepala. "Kak Gebara sudah memantapkan niatannya untuk melamar Kak Kinara. Minggu
Sofia! "Untuk apa kamu datang ke sini?" sinis Kiana, menatap Sofia kesal secara terang-terangan. "Tuan meninggalkan laporan penting dan aku datang untuk menjemputnya," ucap Sofia dengan nada angkuh, berniat masuk akan tetapi Kiana dengan cepat mendorong pundaknya. "Jangan menginjakkan kaki kotormu ke dalam kamarku dan Kak Marc." Tak mau kalah, Kiana memperlihatkan keangkuhan yang sesungguhnya pada Sofia, "makhluk rendahan sepertimu bisa mencemari kamar kami," lanjut Kiana. Sofia mengepalkan tangan, menatap begitu marah pada Kiana. "Kiana! Jaga ucapanmu, ini bukan keluarga Melviano! Mungkin di keluargamu, kamu adalah nona muda yang selalu dihormati dan dimanja. Tetapi di sini …-" Kiana langsung memotong, berkata santai dengan bersedekap di dada, "nyonya Lucas. Aku malah naik jabatan di sini. Dari Lady Melviano, menjadi Nyonya Lucas. Iri, Remahan Biskuit?" ejek Kiana di akhir kalimat. Sofia semakin marah mendengar ucapan Kiana. Dia sangat tak terima, apalagi bagian Kiana meny
"A-aku memang kecelakaan, Tante. A-aku bahkan hampir mati." pekik Sofia, menangis dengan air mata yang terus meluruh. Disha menghela napas, tak ingin berdebat lagi dengan perempuan tersebut. "Kalau begitu biarkan Arseno memeriksa kakimu," ucap Disha dengan nada tegas. Sofia memucat, gugup dan terlihat panik. Kakinya tidak sakit ataupun patah. Meski Arseno bukan dokter ortopedi, tetapi dia yakin kalau Arseno akan tahu kebohongannya. Namun, jika dia keukeuh menolak, Disha akan lebih curiga padanya. Disha memanggil beberapa maid untuk membawa Sofia ke dalam, setelah itu dia menyuruh keponakannya untuk memeriksa kaki Sofia. ***Cup' Marc mencium bibir Kiana, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Saat ini mereka sudah dalam kamar, membuat Marc leluasa untuk mencium istrinya. "Ummff--" Kiana memberontak, cukup kaget karena Marc tiba-tiba menciumnya. Dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Marc, oleh sebab itu dia berupaya menghentikan Marc. "Kau menolak ciumanku?" ucap Marc, me
Setelah berbicara pada Eliza, Kiana menemui mama mertuanya. Dia tak enak hati melihat sang mama mertua yang sibuk ikut membantu persiapan pesta untuk nanti malam. Karena tidak tahu harus membantu apa, Kiana mendekati mama mertuanya untuk bertanya. Akan tetapi, sang mama mertua malah menyuruh Kiana istirahat–menyuruh Yoona supaya mengantar Kiana ke kamar. Yoona berbeda dengan Eliza, perempuan ini sangat santai dan juga ramah. Yoona memiliki seorang kakak bernama Gerald De Lucas, dan dia ternyata bekerja di DSL. Hanya saja karena Kiana tak memperhatikan dan Gerald tak terlalu menonjol orangnya, Kiana tak tahu jika Gerald adalah sepupu Marc. Suaminya juga punya satu sepupu laki-laki lainnya. Namanya Arseno De Lucas (anak dari Ando dan Aulia) di mana Ando adalah paman tertua Marc. Arseno sendiri memilih berbeda, menjadi seorang dokter bedah yang sudah terkenal keahliannya di negara ini. "Yoona, aku akan membantumu. Katakan apa yang bisa ku lakukan?" ucap Kiana, menolak masuk dalam ka