selamat siang, mau bilang kalau bulan depan Jake Laura akan tamat yahh, 🤗🤗😍 jadi kita nikmati momen-momen mereka ini.. LUV YAAAA 💓
Di dalam rumahnya, Farren segera menutup panggilannya dengan Jake.Ia memandang Hani yang menunduk kesakitan, memilih untuk mengabaikan tas yang susah berisikan beberapa pakaian yang ia ambil secara sembarangan.Ia mendekat seraya meminta istrinya itu untuk bangun."Sayang, kata Tuan Jake aku tidak usah sibuk memikirkan apa yang harus dibawa ke rumah sakit," katanya. "Yang penting kamu saja yang aku bawa dulu ke sana."Hani tak memiliki banyak tenaga untuk bicara, ia simpan saja sebab masih ada hal lain yang harus ia lakukan yang jauh lebih penting daripada berdebat dengan Farren yang juga tengah panik. Ia bangun dari duduknya, berjalan dirangkul oleh Farren meninggalkan kamar untuk menuju ke rumah sakit.Berulang kali ia mendengar Farren bertanya apakah ia baik-baik saja? "Berkonsentrasilah menyetir saja!" pinta Hani. "Semakin cepat kita tiba di rumah sakit akan meminimalisir bayi kita lahir di jalan.""Eeh—jangan dulu!"Cepat namun hati-hati, Farren membelokkan mobilnya di halaman
"Jangan memarahinya!" ucap Laura, seraya memukul lirih lengan Jake karena ia baru saja menunjuk Farren dengan desisannya yang kesal. "Tidak ada yang menjamin jika nanti kamu juga akan tetap berdiri tegak saat aku melahirkan si kembar, Tuan Jake Ganzano Heizt!" tegurnya. Laura bangun dari duduknya, memandang Farren dan mengulurkan minuman dari dalam paper bag berukuran sedang yang ia bawa. "Minumlah dulu, Ren," katanya. "Tenangkan diri dulu di luar. Aku akan masuk untuk menemui Hani, dia mungkin lapar setelah berjuang." Laura kemudian menoleh pada Jake. Isyarat matanya meminta agar ia tinggal di luar sementara waktu ini untuk menemani Farren. Laura mengetuk pintu dan saat terbuka separuh bagian, ia mengatakan membawakan makanan untuk Hani—dan mungkin karena sesama wanita—maka ia diperbolehkan untuk masuk. Saat tiba di dalam, Laura tak bisa membendung senyumnya melihat Hani. Ia sudah terlihat cantik, pakaiannya sudah ganti, ia juga tengah menyusui bayi lucu nan cantik yang ada di
Ketukan palu hakim menggema memenuhi ruang sidang. Fidel tertunduk dalam isak tangis.Sudah sejak awal dibacakannya vonis, Laura melihatnya tak kuasa menahan air mata.Laura lebih dulu bangun dari duduknya dan meminta Jake untuk segera pergi dari sana."Ayo, Jake!" ucapnya. Dan melihat istrinya yang tak ingin berlama-lama di sini, Jake pun dengan cepat bangun dari duduknya. Membiarkan Laura meraih dan melingkarkan tangan pada lengannya untuk beranjak."Laura," panggil suara yang dikenal betul oleh Laura adalah milik Fidel.Terdengar dari belakangnya, seperti penuh harap agar Laura menoleh sehingga mereka bisa berbicara.Laura memang berhenti. Tapi ia tidak menoleh pada wanita itu. "Aku ... ingin pergi dari sini," katanya lirih, sehingga Farren yang berada di depan bersama dengan Roy dan tim kuasa hukum keluarga Heizt dengan cepat membuka jalan untuk mereka dari kerumunan reporter yang meliput berita."Laura."Suara Fidel terdengar sekali lagi, nelangsa penuh dengan nestapa.Tapi Lau
Sejak pulang dari resepsi pernikahan sekretarisnya Zafran—Andy—semalam, rasanya frekuensi rasa sakit yang diterima oleh perut Laura berinterval semakin sering. Rasanya berdenyut, nyeri berpusat lebih ke bawah. Dan ... si kembar yang ada di dalam perutnya juga lebih tenang. 'Apa aku akan melahirkan sebentar lagi?' tanya Laura dalam hati saat pagi ini baru saja keluar dari dalam kamar. Ia ingin menyusul Jake yang sedang berada di ruang gym, melakukan rutinitas yang hampir tak pernah ia lewatkan. "Selamat pagi," sapa para pelayan yang ada di dapur dan melihat kedatangannya. "Selamat pagi," balas Laura dengan melemparkan senyum pada mereka. "Mau mencicipi sedikit, Nona?" tawar Rani, yang membawa semangkuk besar soto ayam yang dibuatnya. Sarapan pagi ini bertemakan masakan Nusantara karena semalam Jake berpesan pada Rani ingin makan yang sedikit berbumbu, sehingga yang pagi ini menu-menu itu bisa dicium aromanya oleh Laura. "Nanti saja, Bu Rani," jawab Laura simpul. "Baiklah kal
Satu hari, bulan demi bulan yang berganti menjadi tahun di belakang sana terkenang seperti gambar-gambar di layar proyektor.Melewati itu, Laura sangat bersyukur ia tiba pada hari ini.Melihat Jake yang berada di sampingnya dan memasrahkan diri saat Laura mencengkeram tangannya untuk meredam rasa sakit yang bergejolak di perutnya menyadarkannya bahwa waktu benar-benar mengambil alih luka-luka itu dan menggantinya dengan kebahagiaan.Meski sekarang dirinya merasakan sakit, tapi ia tak bisa membendung senyumnya.Dadanya berdebar saat Jake menunduk dan berbisik, "Apakah sakit sekali?" tanyanya. "Operasi saja bagaimana? Aku tidak bisa melihatmu kesakitan seperti ini."Bibir Jake jatuh di kening Laura."Tidak perlu," jawab Laura. "Dokter bilang semuanya baik-baik saja, 'kan? Jangan khawatir, asalkan kamu denganku di sini, aku akan melewati hari ini, Jake.""Tentu aku di sini," balasnya. "Kamu bisa mengatakan padaku apapun hadiah yang kamu mau nanti setelah anak-anak kita lahir. Hm?"Laura
Setelah meninggalkan rumah sakit dan membawa anak-anak mereka pulang, Jake tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia akan menjaga keluarganya, menemani Laura merawat si kembar Jayce dan Jasenna untuk mereka bertumbuh. Karena saat Laura membuka mata dan melihat pada jam yang ada di atas meja, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari tetapi Jake tak ia jumpai tidur di samping kirinya. Prianya itu sedang berdiri di dekat jendela, tengah menggendong Jasenna. Laura perlahan bangun dan turun dari ranjang. Ia menghampiri anak lelakinya terlebih dahulu yang terlelap di dalam box bayi miliknya sebelum mendekat pada Jake yang menoleh ke arahnya dengan gerak bibirnya yang bertanya, ‘Kenapa bangun?’ Laura tak serta merta menjawabnya. Ia lebih dulu menengok Jasenna yang juga tengah terlelap. “Kenapa kamu menggendongnya?” tanya Laura, membelai lembut pipi Jasenna sebelum beralih pada pipi Jake. “Tadi dia bangun,” jawab Jake sama lirihnya. “Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” “Untuk apa? Kamu
Mungkin ini sangat terlambat untuk disebut sebagai ‘bulan madu’ karena pernikahan mereka sudah berlalu cukup lama dan tidak juga layak bagi Elsa dan Zafran menyebut diri mereka sebagai ‘pengantin baru’—kecuali pengantin baru yang istrinya juga baru keluar dari rumah sakit.Setelah melihat keadaan Laura pasca melahirkan Jayce dan Jasenna, Elsa dan Zafran terbang meninggalkan Jakarta untuk menuju ke tempat ini, Edinburgh.Tempat di mana asal rasa cemburu menggila kala hubungan jarak jauh memisahkan keduanya, tahun lalu.Sekarang, Elsa benar-benar menginjakkan kakinya ke tempat ini bersama dengan Zafran. Wanita pertamanya yang ia ajak melihat pohon maple yang gugur, dan air mancur di sela dinginnya udara pergantian musim.“Cantik sekali,” puji Elsa yang bergandengan tangan dengan Zafran saat mereka berdua melewati sebuah kafe bernuansa klasik yang ramai oleh kehadiran wisatawan lokal dan asing. “Tapi sayang ramai,” lanjutnya.“Kamu ingin minum sesuatu?” tanya Zafran saat keduanya beranj
"Jadi, mengajakku bulan madu ke Edinburgh adalah caramu untuk mewujudkan apa yang pernah kamu tulis di dalam kafe itu?" tanya Elsa pada Zafran setibanya mereka di dalam kamar hotel tempat keduanya menghabiskan waktu selama berada di sini. Setelah mereka menikmati kunjungan di kafe tadi, mereka pulang saat hari beranjak petang. "Iya," jawab Zafran yang menyusul dari belakangnya. "Tadinya aku ingin menjadikan Edinburgh sebagai tempat penutup yang kita datangi, tapi kamu ingin pergi ke sini lebih dulu, makanya ini jadi tujuan pertama kita," tuturnya panjang. "Tapi aku senang karena artinya saat itu prasangka buruk yang aku tuduhkan padamu itu terbukti salah." Elsa melepas coat panjang yang ia kenakan lalu menoleh pada Zafran yang berdiri di dekat ranjang, sedang melepas coatnya juga. "Prasangka apa?" tanya Zafran memperjelasnya. "Aku 'kan pernah berpikir kalau kepergianmu tahun lalu saat gosip kencanmu dengan Xandara berhembus kencang itu kamu mengkhianati hubungan kita," jawab Els