Rasanya seperti baru kemarin Fio menjadi siswi baru di SMA Nusantara. Gadis itu tersenyum lebar di depan kamera. Anjar dan Rahma, kedua orang tua itu tengah berbahagia karena putri semata wayang mereka berhasil menyelesaikan sekolahnya.
“Mama, sudah ya sesi foto-fotonya?” Fio mulai cemberut.
“Sebentar lagi ya? Setelah ini, kamu ‘kan ke Jogja untuk kuliah, Mama hanya ingin mengambil banyak foto dengan anak Mama,” kata Rahma dengan wajah sendu.
“Mama, Fio hanya akan kuliah di sana bukan pindah rumah selamanya.” Fio mencebik.
Anjar hanya terkekeh geli dengan obrolan kedua orang penting di dalam hidupnya tersebut. Sesi foto tetap berlanjut seperti keinginan Rahma. Setelahnya, mereka makan di sebuah restoran untuk merayakan kelulusan Fio. Hanya makan bertiga dan itu adalah hal yang membuat Fio merasa sangat bahagia.
“Kalau ada Bian pasti lebih rame ya, Fi?” Rahma kemudian meminum jus mangganya.
<Acara selanjutnya adalah kuliah umum. Fio mengernyitkan keningnya kala dia sudah tidak bisa lagi menahan rasa ingin buang air kecil. Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri.“Ada apa?” tanya Tiara.“Aku ingin ke toilet,” kata Fio sambil berbisik.“Yasudah, pergilah sekarang! Atau perlu aku temani?” tawa Tiara.Fio sontak menggelengkan kepalanya. “Ah, tidak perlu!” Fio tersenyum kemudian berdiri dan melangkah pergi dari sana.Dia melangkahkah kaki dengan mata yang terus mencari jalan menuju ke toilet mahasiswa. Fio kemudian berjalan lurus ke depan dan mulai turun dari tangga yang di sana terdapat beberapa panitia.“Mau ke mana, Dek?” tanya salah satu panitia bernama Intan yang berdiri di dekat tangga menuju ke bawah hall.“Saya mau ke toilet, Kak,” jawab Fio sambil menunduk.“Toiletnya tepat ada di sebelah tangga ini,” kata Intan yang dia
“Fio, ya?”Fio mendongak dan mengangguk sambil mengernyitkan keningnya ketika mentari menerpa wajah putihnya. “Iya aku Fio,” jawabnya ramah.“Aku Bobby,” pemuda yang merupakan salah satu panitia itu mengulurkan tangannya.Fio menyambutnya dan tersenyum. “Oh halo, Kak!” sapa Fio.“Kamu sedang istirahat?” tanya Bobby yang kemudian ikut duduk di halaman kampus.“Hmm.” Fio mengangguk dan tersenyum. “Kakak sedang apa di sini?” Fio kemudian celingukan.“Aku ingin berkenalan denganmu, sejak hari pertama OSPEK aku penasaran denganmu,” Bobby terkekeh.“Penasaran?” Fio melebarkan matanya. “Aku mahasiswi biasa dari Surabaya, Kak.” Fio tertawa.“Oh Surabaya, sama seperti ketua OSPEK kita,” kata Bobby yang membuat tawa Fio berhenti dengan seketika. “Dia mahasiswa yang cukup terkenal di kampus, banyak maha
Fio menghela napasnya. Dia menunduk dengan jemari tangan yang sudah saling memilin ujung almamaternya.“Lihat ke saya jangan ke lantai!” kata Bian tegas.Fio menelan salivanya dan mendongak. Dia menatap mata Bian yang terlihat tajam dan galak.“Kak Bian.” Fio terdiam sebentar. “Saya cinta Kak Bian,” kata Fio dengan suara tercekat di akhir kalimatnya.“Oke! Pernyataan cinta kamu ke saya di terima,” kata Bian dengan cepat.Fio yang hendak kembali menunduk langsung mendongak dengan mata membulat. “Kak Bian menerima saya?” tanya Fio lirih.“Saya menerima usahamu yang ingin menanggung risiko dari setiap tindakan yang kamu lakukan,” ucap Bian yang terdengar sangat aneh di telinga Fio.“Risiko?” tanya Fio.Bian mengangguk. “Semua yang kamu lakukan ada risikonya dan kamu sedang menanggung risiko tersebut,” ucap Bian.Fio tidak mampu b
Fio hanya diam ketika Rey memanggil namanya. Pemuda itu melirik gadis yang semakin dia harapkan melalui kaca spion motor matic-nya. Mata Fio memandang jalanan dengan sorot sedih. Rey menghela napasnya sambil mengurangi kecepatan motornya. Dia jelas tahu apa yang sedang Fio pikirkan saat ini dan itu jelas membuat hati Rey terasa nyeri.“Fi?” Rey kembali memanggil Fio sambil menyentuh paha gadis itu pelan.Fio berkedip kemudian mendekatkan wajahnya ke depan. “Ya?” responnya.Rey tersenyum lembut. “Kamu sedang melamun tentang apa?” tanya Rey dengan sangat tenang.“Ah tidak ada! Aku hanya sedang rindu rumah,” jawab Fio.“Oh, kalau kamu mau, besok weekend kita bisa pulang ke Surabaya, bagaimana?” Fio bisa menangkap senyum manis yang di berikan oleh Rey kepadanya.Fio tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aku ingin mencoba hidup mandiri, kalau ketika aku rindu ru
Fio baru saja selesai kuliah hari pertama. Gadis itu masih terlihat ceria seperti biasanya. Dia berjalan menuju kantin kampus yang terletak tidak jauh dari fakultasnya. Sore ini dirinya ingin memakan mie ayam yang di jual di kantin. Kata teman-teman kelasnya rasanya enak dan seperti anak muda kebanyakan yang merasa penasaran, Fio juga ingin mencobanya.Dia segera memesan apa yang dia ingin makan. Kemudian, dengan santai dia memilih meja yang terletak di tengah. Fio tetap duduk tenang sambil kembali membaca materi kuliah yang tadi dia ikuti sambil sesekali menyuapkan mie-nya ke dalam mulutnya.Sampai ketika dirinya sedang memakan mie ayamnya yang tersisa sedikit, matanya tidak sengaja melihat sosok yang sudah terlalu jauh berubah tengah duduk menghadap ke mejanya. Fio berhenti mengunyah dan terdiam saling menatap dengan Bian yang masih saja melayangkan tatapan dinginnya. Fio menelan mie-nya dengan kesulitan.Kali ini, Bian terlihat bersama teman-temannya yang ber
Bian memukul tembok dengan penuh amarah. “Bajingan! Kamu bajingan, Bian!” Dia kembali menghantam tembok di depannya dengan tangan mengepal.Bian kemudian berjalan menuju ke tengah rooftop, tangannya terluka namun hatinya jauh lebih terluka. Dia tidak tahu, jika pertemuan secara tidak sengaja antara dirinya bersama Prisa dan Fio yang kala itu bersama Rey akan menjadi sebuah alasan dirinya mengatakan hal yang jauh di luar logikanya.Dia cemburu. Dia sangat cemburu. Bian terlalu pengecut untuk mengakui kalau dirinya masih sangat mencintai Fio.Dia menatap ke atas. Langit terlihat sudah mulai menggelap. Bian berada di atas gedung fakultasnya. Dia duduk dan mengeluarkan sekotak rokok beserta pemantik api yang berada di saku celananya. Dengan cepat dia menyalakan rokoknya. Dan dengan tenang dia mulai menghisap rokok tersebut sekuat yang dia bisa.Tangannya kemudian mengusap keningnya yang terasa bersenyut nyeri. “Kenapa kamu harus kul
Fio duduk di sebelah Tiara yang terlihat sedang sibuk menyapukan bedak di wajahnya yang mulus. “Kamu pintar berdandan,” celetuk Fio.Tiara menoleh dan tersenyum. “Hmm, aku harus pintar berdandan karena pekerjaanku mengharuskan aku untuk selalu terlihat cantik,” jawab Tiara.“Kamu bekerja?” Fio menoleh ke arah Tiara.Tiara gelagapan. “Ah!” Gadis itu menggaruk pelipisnya. “Maksudku, aku harus selalu terlihat cantik kapan saja dan di mana saja.” Tiara kemudian melemparkan tatapannya ke depan.Fio mengerutkan keningnya. Dia tidak pernah tahu kalau Tiara bekerja. Fio kemudian mengangkat bahunya dan tidak lagi menanggapi ucapan Tiara yang tidak dia mengerti dengan benar.“Pagi tadi aku bertemu dengan anak IT yang kemarin jadi ketua OSPEK kita,” bisik Tiara untuk mengalihkan pembicaraan.Fio menoleh. “Bian?” Mata Fio berubah sendu ketika mengucapkan kata satu nama y
Bian berjalan dengan langkah panjang. Dia merogoh kantong celananya yang bergetar. Pemuda itu memilih mematikan ponselnya daripada harus menjelaskan kepada kekasihnya kenapa malam ini dirinya harus menolak ajakan gadis itu untuk makan malam bersama dengan keluarga Albert. Pemuda itu kemudian mendorong pintu menuju atap gedung fakultasnya.Bian berjalan dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku celana. Langkahnya tiba-tiba terhenti kala dia melihat punggung gadis yang sedang duduk dengan tenang di depannya. Bian mengerutkan keningnya. Mengamati sosok yang memiliki postur seperti mantan kekasihnya.Mata Bian melebar kala Fio menoleh ke belakang karena merasakan kehadiran seseorang. Gadis itu sama terkejutnya dengan Bian. Namun hanya beberapa detik saja, selanjutnya Fio memilih memasang wajah datarnya dan segera berdiri dari duduknya. Gadis itu memungut segepok kertas origami kemudian memasukkan ke dalam tasnya. Dengan cepat, Fio melangkah pergi dari sana tanpa
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic
Bian memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dia ragu-ragu untuk datang ke acara keluarga Prisa. Rasanya dia hanya akan menjadi bahan olok-olokan saja di sana. Tapi dia sudah berjanji pada kekasihnya untuk datang. Acara ulang tahun pernikahan Tante Nilam, yang tak lain adalah adik kandung dari ayah Prisa. Bian memang sudah pernah bertemu dengan Nilam sebelumnya. Hanya saja pertemuannya tidak menyenangkan. Pemuda itu telah sampai di depan sebuah hotel bintang empat yang menjadi tempat acara. Bian merapikan kemejanya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia sedikit terlambat. Langkahnya terasa ringan dan tanpa beban. “Semoga mereka meminta Prisa untuk memutuskanku,” batinnya. Begitu kakinya menginjak lantai ballroom hotel, Bian merasa seperti sedang memasuki ruang persidangan. Banyak pasang mata menatapnya dengan wajah terheran-heran. Bagaimana tidak? Bian tidak mengenakan jas. Padahal di dalam undangan sudah tertulis dress code malam itu adalah jas berwarna hitam bagi pria dan gaun
Fio memilih menghindar jika tidak sengaja dia bertemu dengan Bian. Selama enam minggu mereka bahkan tidak pernah bertemu. Bukan hanya karena Fio yang mencoba menghindar, tapi juga karena Bian yang memilih untuk tidak menemui Fio lagi. Meski rasanya dia sangat ingin melihat kondisi gadis itu. Ada hal yang mengikat dirinya dengan Prisa dan dia tidak bisa melewati batas lagi. Sore itu, Fio tidak sedang baik-baik saja. Pandangannya mulai tidak fokus. Wajah pucatnya beberapa kali membuat beberapa teman yang ia lewati merasa cemas. Dan sesekali ada yang melihatnya sambil berbisik-bisik dan juga tertawa. Gadis itu kembali menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa kering. Tangannya mengusap dahi yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Perutnya sakit luar biasa. Tubuh gadis itu hampir oleng. Tapi dia beruntung karena seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat dari arah belakang. Fio meringis. Kemudian seseorang itu menuntunnya supaya duduk di bangku yang berada tak jauh dari tempat mere
Percakapannya dengan sang ibu terus saja berputar di kepala dan membuatnya harus berkali-kali menghela napas dalam. Bian tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Benaknya terus saja memikirkan hal yang mungkin terjadi kelak. Hatinya terus mencemooh dirinya yang dinilai sangat lemah. Bian tidak bisa membuktikan bahwa pilihannya untuk berada di Jogja adalah hal yang tepat. Oleh karena itu, dia memilih berbohong kepada ibunya.Pemuda itu bangkit berdiri dan meraih kotak rokok dan juga pemantik api dari atas meja. Dia berjalan menuju ke teras kamar kos dengan langkah gontai. Bian menyalakan rokoknya dan menikmati nikotin serta tar dari benda yang kini sudah menjadi teman setianya. Dulu, Fio selalu berpesan supaya dia tidak merokok. Kesehatannya sangat berharga dan Bian dengan mudahnya melanggar pesan Fio.Dia tidak mampu, dia memang lemah. Semua orang memandangnya sebagai mahasiswa teladan dan juga calon menantu idaman. Bian bahkan kini terkekeh geli mendengar t