Fio duduk di sebelah Tiara yang terlihat sedang sibuk menyapukan bedak di wajahnya yang mulus. “Kamu pintar berdandan,” celetuk Fio.
Tiara menoleh dan tersenyum. “Hmm, aku harus pintar berdandan karena pekerjaanku mengharuskan aku untuk selalu terlihat cantik,” jawab Tiara.
“Kamu bekerja?” Fio menoleh ke arah Tiara.
Tiara gelagapan. “Ah!” Gadis itu menggaruk pelipisnya. “Maksudku, aku harus selalu terlihat cantik kapan saja dan di mana saja.” Tiara kemudian melemparkan tatapannya ke depan.
Fio mengerutkan keningnya. Dia tidak pernah tahu kalau Tiara bekerja. Fio kemudian mengangkat bahunya dan tidak lagi menanggapi ucapan Tiara yang tidak dia mengerti dengan benar.
“Pagi tadi aku bertemu dengan anak IT yang kemarin jadi ketua OSPEK kita,” bisik Tiara untuk mengalihkan pembicaraan.
Fio menoleh. “Bian?” Mata Fio berubah sendu ketika mengucapkan kata satu nama y
Bian berjalan dengan langkah panjang. Dia merogoh kantong celananya yang bergetar. Pemuda itu memilih mematikan ponselnya daripada harus menjelaskan kepada kekasihnya kenapa malam ini dirinya harus menolak ajakan gadis itu untuk makan malam bersama dengan keluarga Albert. Pemuda itu kemudian mendorong pintu menuju atap gedung fakultasnya.Bian berjalan dengan kedua tangan yang dia masukkan ke dalam saku celana. Langkahnya tiba-tiba terhenti kala dia melihat punggung gadis yang sedang duduk dengan tenang di depannya. Bian mengerutkan keningnya. Mengamati sosok yang memiliki postur seperti mantan kekasihnya.Mata Bian melebar kala Fio menoleh ke belakang karena merasakan kehadiran seseorang. Gadis itu sama terkejutnya dengan Bian. Namun hanya beberapa detik saja, selanjutnya Fio memilih memasang wajah datarnya dan segera berdiri dari duduknya. Gadis itu memungut segepok kertas origami kemudian memasukkan ke dalam tasnya. Dengan cepat, Fio melangkah pergi dari sana tanpa
Gadis itu masuk ke dalam kamar kosnya dengan gerakan terburu-buru.Braaak!Fio membanting pintu dan berlari menuju kamar mandi. Dia segera menyalakan shower kemudian berdiri di bawah guyuran air yang terasa dingin di kulitnya. Fio menangis sesenggukan sambil terus mengusap bibirnya dengan gerakan kasar. Rasa perih tidak dia hiraukan. Fio beralih ke area leher, dia melakukan gerakan yang sama hingga membuat kulitnya terlihat kemerahan.Fio menunduk dan dapat dilihatnya warna merah keunguan di bagian dada. “Bian brengsek!” umpatnya dengan derai air mata yang tak kunjung berhenti.Fio memutuskan untuk sekalian mandi. Tubuhnya yang terasa lelah perlahan-lahan mulai terasa rileks. Dia bahkan tidak bisa benar-benar marah kepada Bian. Dia masih berharap Bian akan datang ke kosnya dan meminta maaf untuk apa yang telah dia perbuat.Tok… tok… tok…Fio mendongak. Rambutnya terlihat masih sedikit basah.
Fio baru saja bergabung dengan unit kegiatan mahasiswa olahraga di kampusnya. Dia memasuki ruangan yang digunakan untuk berkumpul para panitia dan juga mahasiswa yang akan melaksanakan camping sebagai kegiatan perkenalan. Fio sendiri nampak menoleh ke kanan dan kiri. Hanya dia yang belum memiliki teman di sana.“Selamat sore!”Fio langsung menoleh ke depan dan seketika matanya membola ketika tahu siapa yang menyapa para peserta. “Bian?” batinnya.“Hari ini kita akan melakukan pembekalan untuk kegiatan perkenalan unit kegiatan mahasiswa olahraga yang akan dilaksanakan akhir pekan ini,” kata Bian dengan menggunakan pengeras suara.Bian belum menyadari keberadaan Fio yang memang duduk di bangku bagian belakang dan dengan sengaja Fio terus menundukkan kepalanya supaya tidak bertatapan dengan pemuda yang sudah menguras emosinya itu.“Salah masuk UKM sepertinya,” batin Fio.“Maha
“Sebelum makan siang, tenda kalian harus sudah jadi!” kata Bian. “Kalian mengerti?!”“Mengerti, Kak!” sahut para peserta.“Silahkan mulai membuat tenda bersama anggota kelompok kalian!” ucap Bian untuk membubarkan para peserta kegiatan weekend camp.Fio memutar tubuhnya dan mengikuti anggota kelompoknya yang berjumlah empat orang. Sebenarnya Fio sendiri belum akrab dengan anggota kelompoknya. Dia bahkan masih canggung dan tidak banyak bicara.“Fio!” Febby menghampiri Fio.Fio mendongak dan menatap teman satu kelompoknya dengan kerutan di dahi. Pagi itu, matahari sudah tidak malu-malu mengintip dibalik awan biru. Fio kemudian menutupi dahinya dengan telapak tangan. Matanya yang terlihat semakin menyipit membuat Febby terkekeh.“Ada apa?” tanya Fio.Febby ikut berjongkok. “Bisa bantu aku buat ngumpulin bahan makanan kelompok kita ke panitia?”
“Apa kamu tahu kesalahan yang sudah kamu perbuat?” tanya Bian.Fio menelan salivanya dengan paksa kemudian menggelengkan kepalanya. Mata gadis itu turun ke bawah. Hatinya tercubit kala mendapati cincin berwarna hitam yang melingkari jari Bian.“Jawab!” sentak Bian yang membuat Fio sedikit terlonjak karena kaget.Fio menggelengkan kepalanya lagi. “Tidak, Kak.” Gadis itu bisa melihat aura gelap Bian.Fio kembali bergidik ngeri kala dengan tiba-tiba pikiran buruk tentang Bian berseliweran tanpa henti. Dia meremas ujung kaosnya karena rasa tidak nyaman yang dia rasakan ketika berhadapan dengan Bian.“Apa kamu tadi melihat para panitia sedang memunguti beras yang berserakan di lantai dapur umum?” tanya Bian kemudian bersedekap.Suara Bian terdengar datar dan dingin. Fio merasa sedang diintimidasi oleh mantan kekasihnya tersebut.“Saya lihat, Kak,” jawab Fio pelan.Bian meng
“Silahkan membersihkan seluruh kamar mandi perempuan di bumi perkemahan ini sekarang juga!” kata Prisa dengan tegas.Fio mengepalkan kedua tangannya kala mendengar hukuman yang harus dia kerjakan. Dia sedikit mendongakkan wajahnya. Dia benar-benar kesal sekarang.“Kenapa semua kamar mandi, Kak? Bukankah itu terlalu berlebihan? Saya hanya kurang fokus dan itu juga tidak lama,” kata Fio dengan jantung yang bertalu-talu.Prisa menaikkan alisnya kemudian memasang wajah penuh amarah. “Kamu berani protes atas kebijakan panitia?!” suara Prisa terdengar lantang.“Karena saya rasa kesalahan saya tidaklah banyak dan saya rasa hukuman untuk saya tidaklah sebanding dengan kesalahan kecil yang saya buat,” sahut Fio dengan cepat.Prisa terlihat menampilkan raut wajah terkejut atas pernyataan Fio. Dia kemudian tertawa sinis. Fio menatap lawan bicaranya dengan wajah datar.“Prisa memang sangat menyebalka
Fio menyeka keringat yang sejak tadi sudah membanjiri dahinya dengan punggung tangan. Dia menatap jam tangannya dan menghela napas dalam. Pukul satu siang.“Waktu berjalan begitu cepat atau aku yang bergerak terlalu lambat?” Fio bergumam sambil menatap dua kamar mandi perempuan yang masih tersisa.Fio kemudian berjalan sambil menenteng ember berisi perlengkapan untuk membersihkan kamar mandi. Dia kembali mengelap peluh di dahinya. Cuaca siang itu terasa sangat panas dan perut Fio sudah mulai terasa lapar.Fio berjongkok di dalam kamar mandi dan mulai menggosok lantainya dengan sikat khusus yang digunakan untuk membersihkan kamar mandi. Lantai yang terbuat dari semen itu terlihat sudah mulai ditumbuhi lumut yang berwarna hijau.“Geser!”Fio berhenti menggerakkan gagang sikat di tangannya. Dia mendongak dan melihat Bian yang sedang berdiri dengan wajah datarnya. Fio menghela napas dalam.“Ini kamar mandi perempuan
Fio bisa melihat bagaimana interaksi Bian dan Prisa ketika acara api unggun sudah dimulai. Kedua manusia itu terlihat sangat cocok. Dan jelas saja hal tersebut membuat Fio merasa sangat iri. “Mereka pasangan yang serasi, kan?” Fio menoleh. Febby, gadis yang merupakan teman barunya itu terlihat sedang mengagumi pasangan yang membuat Fio merasa rendah diri itu. “Kak Prisa sangat cantik dan anggun, sedangkan kak Bian terlihat tampan dan juga berwibawa,” lanjut Febby tanpa melihat bagaimana raut wajah Fio berubah dengan cepat. “Kamu benar! Kak Prisa terlihat sangat cantik,” kata Fio tidak berbohong. “Dan Bian terlalu sempurna untukku,” lanjut Fio di dalam hati. Fio kemudian ikut bertepuk tangan tanpa tahu apa yang menarik dari penampilan yang baru saja dia tonton tanpa konsentrasi tersebut. Dia menatap penampilannya dari ujung kaki kemudian naik hingga ke dadanya. Dari segi gaya berbusaha, Fio jelas kalah dari Prisa. Fio selalu ber
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic
Bian memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dia ragu-ragu untuk datang ke acara keluarga Prisa. Rasanya dia hanya akan menjadi bahan olok-olokan saja di sana. Tapi dia sudah berjanji pada kekasihnya untuk datang. Acara ulang tahun pernikahan Tante Nilam, yang tak lain adalah adik kandung dari ayah Prisa. Bian memang sudah pernah bertemu dengan Nilam sebelumnya. Hanya saja pertemuannya tidak menyenangkan. Pemuda itu telah sampai di depan sebuah hotel bintang empat yang menjadi tempat acara. Bian merapikan kemejanya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia sedikit terlambat. Langkahnya terasa ringan dan tanpa beban. “Semoga mereka meminta Prisa untuk memutuskanku,” batinnya. Begitu kakinya menginjak lantai ballroom hotel, Bian merasa seperti sedang memasuki ruang persidangan. Banyak pasang mata menatapnya dengan wajah terheran-heran. Bagaimana tidak? Bian tidak mengenakan jas. Padahal di dalam undangan sudah tertulis dress code malam itu adalah jas berwarna hitam bagi pria dan gaun
Fio memilih menghindar jika tidak sengaja dia bertemu dengan Bian. Selama enam minggu mereka bahkan tidak pernah bertemu. Bukan hanya karena Fio yang mencoba menghindar, tapi juga karena Bian yang memilih untuk tidak menemui Fio lagi. Meski rasanya dia sangat ingin melihat kondisi gadis itu. Ada hal yang mengikat dirinya dengan Prisa dan dia tidak bisa melewati batas lagi. Sore itu, Fio tidak sedang baik-baik saja. Pandangannya mulai tidak fokus. Wajah pucatnya beberapa kali membuat beberapa teman yang ia lewati merasa cemas. Dan sesekali ada yang melihatnya sambil berbisik-bisik dan juga tertawa. Gadis itu kembali menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa kering. Tangannya mengusap dahi yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Perutnya sakit luar biasa. Tubuh gadis itu hampir oleng. Tapi dia beruntung karena seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat dari arah belakang. Fio meringis. Kemudian seseorang itu menuntunnya supaya duduk di bangku yang berada tak jauh dari tempat mere
Percakapannya dengan sang ibu terus saja berputar di kepala dan membuatnya harus berkali-kali menghela napas dalam. Bian tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Benaknya terus saja memikirkan hal yang mungkin terjadi kelak. Hatinya terus mencemooh dirinya yang dinilai sangat lemah. Bian tidak bisa membuktikan bahwa pilihannya untuk berada di Jogja adalah hal yang tepat. Oleh karena itu, dia memilih berbohong kepada ibunya.Pemuda itu bangkit berdiri dan meraih kotak rokok dan juga pemantik api dari atas meja. Dia berjalan menuju ke teras kamar kos dengan langkah gontai. Bian menyalakan rokoknya dan menikmati nikotin serta tar dari benda yang kini sudah menjadi teman setianya. Dulu, Fio selalu berpesan supaya dia tidak merokok. Kesehatannya sangat berharga dan Bian dengan mudahnya melanggar pesan Fio.Dia tidak mampu, dia memang lemah. Semua orang memandangnya sebagai mahasiswa teladan dan juga calon menantu idaman. Bian bahkan kini terkekeh geli mendengar t