Pemuda berseragam SMA itu mulai cemas ketika ketukannya yang ke sekian kali pada pintu rumah di depannya tidak juga membuahkan hasil. “Fio?!” Bian memanggil nama kekasihnya.
Bian sudah hilang kesabaran. Dia menggedor pintu di depannya sambil terus memanggil nama Fio. Bian kemudian meraih gagang pintu di depannya. Dia memutuskan akan masuk ke dalam rumah Fio tanpa menunggu Fio membukakan pintu.
“Fio?!” Bian terus berjalan sambil memanggil nama Fio.
Tadi pagi pukul lima lebih lima belas menit, gadis itu mengirim pesan ke ponsel Bian. Pesan yang baru sempat di buka oleh Bian kala pagi menjelang. Dia tidak paham apa maksud pesan yang di kirimkan oleh Fio tersebut. Semuanya membuat Bian semakin cemas, apalagi rumah Fio benar-benar kosong pagi itu. Bahkan jam di dinding masih menunjukkan pukul enam kurang lima menit pagi.
Bian telah sampai di depan kamar Fio. Dia menoleh sejenak ke samping. Pintu kamar kedua orang tua Fio terbuka dan tid
Bian menunggu di luar UGD. Sedari tadi dirinya tidak bisa tenang barang sebentar saja. Pemuda itu sibuk meremas-remas jemarinya sambil menundukkan kepala. Dadanya masih bergemuruh hebat mendapati Fio yang tidak sadarkan diri di kamar mandi.Bapak baik hati yang merupakan tetangga Fio sudah pamit karena harus menghadiri rapat penting setelah sebelumnya menelepon papa Fio. Bian mendongak dan menatap lurus ke depan. Seandainya, dia hanya berpikir tentang seandainya yang nyatanya tidak pernah bisa dirinya dapatkan.“Kalau malam itu aku ke rumah kamu sesuai permintaanmu, pasti kamu tidak akan berbuat nekat seperti sekarang, kan?” Bian membatin pedih.Hari di mana seharusnya dirinya menjemput Fio sekolah harus di batalkan karena janjinya dengan Prisa. Fio tidak marah sama sekali. Gadis itu memilih pulang menggunakan angkutan umum. Tapi, Bian pikir Fio memang baik-baik saja ketika malam harinya Fio meminta Bian untuk datang ke rumah.Tidak ada yang a
“Jadi, kemana kamu tadi pagi?” Prisa, gadis yang terlihat menarik dengan kaos berwarna putih dan celana jeans-nya itu bersedekap di depan Bian.Bian menatap sekilas ke arah Prisa kemudian mencomot pisang gorengnya. “Aku ada urusan yang memang tidak bisa aku tinggalkan begitu saja.” Bian menggigit pisang goreng yang masih hangat buatan ibunya setelah meniupnya sebanyak dua kali.Prisa menghembuskan napasnya dalam. “Aku tahu kalau kamu dan juga Fio sama-sama membolos hari ini,” Prisa berkata sambil berjalan menuju bangku di samping Bian.Mereka kini di pisahkan oleh meja kecil sederhana yang di atasnya sudah ada dua gelas teh hangat dan juga sepiring pisang goreng sebagai kudapan. Bian hanya melirik ke arah Prisa sekilas saja. Dia kembali sibuk dengan pisang goreng yang sudah hampir habis.“Kenapa tidak menjawab?” Prisa terlihat tidak sabar.Bian menelan gigitan pisang goreng terakhirnya. Dia kemudian m
Bian memutuskan untuk pulang setelah Nadya datang ke rumah sakit. Fio mendiamkan dirinya setelah ucapan terakhir gadis itu yang membuat bibir Bian tertarik membentuk satu garis datar. Pemuda itu juga memilih diam dan hanya mengamati gerak-gerik Fio. Gadis itu seperti bukan Fio yang biasanya. Malam itu, Bian melihat sisi Fio yang lain yang tidak dirinya kenal dengan baik.Bian sedang berbaring di lapangan basket yang terletak persis di sebelah taman. Tempat yang biasa dia kunjungi bersama dengan Fio. Matanya menatap langit malam yang terlihat pekat dengan beberapa bintang yang menghiasi. Semilir angin malam mampu membuat benaknya berkelana mengingat memori yang akhir-akhir ini teruntai. Fio, kekasihnya itu memang tidak pernah siap dengan pertengkaran hebat kedua orang tuanya.Ah! Siapapun juga tidak akan pernah siap, itulah yang dulu juga di alami oleh Bian. Pemuda itu memejamkan matanya dan menghela napas dalam. Dia mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya. Tapi hal
“Bisakah Om membereskan semua urusan keluarga Om? Maaf kalau saya berbicara seperti ini, saya…” Bian menatap mata Anjar dengan sorot mata tegas. “Saya hanya tidak ingin Fio semakin terluka, putri Om bahkan sudah depresi melihat bagaimana Om dan Tante bertengkar hampir setiap hari.” Bian kemudian mengambil gelasnya dan meminum es jeruk dari sana hingga tersisa setengah gelas.“Om tahu, ini semua murni kesalahan Om di masa lalu, Rahma dan Fio adalah korban dari kelakuan brengsek Om dengan Melati.” Anjar mengusap wajahnya dengan gusar.“Melati?” Bian menaikkan alisnya tinggi.“Hmm.” Anjar menganggukkan kepalanya. “Melati adalah ibu kandung Fio.” Anjar menatap Bian dengan sorot penuh penyesalan.Bian menghela napas dalam. Dia tidak tahu jika keluarga yang terlihat sangat harmonis ternyata dapat menyimpan rapat sebuah rahasia besar di dalamnya. Sebuah rahasia yang bahkan hanya sekal
“Fio.” Melati berdiri di samping ranjang Fio dengan tatapan rindunya.Fio tersenyum. “Ibu,” suaranya terdengar sangat merdu di telinga Melati hingga membuat mata wanita itu mengabur karena air mata.Dada Melati membuncah kala mendengar Fio memanggilnya ibu. “Iya, ini Ibu, Nak.” Melati kemudian maju dan memeluk Fio dengan erat.Fio balas memeluk Melati. Mereka hanya berdua di ruangan itu. Anjar sengaja menunggu di luar ruangan untuk memberikan waktu kepada Fio dan juga Melati. Sementara Rahma, dia memilih menunggu di rumahnya. Setelah semuanya selesai, dia akan datang kembali ke rumah sakit.“Ibu senang kamu sudah sehat,” kata Melati.Wanita itu duduk di pinggiran ranjang Fio.“Fio senang bertemu dengan Ibu.” Senyum Fio terlihat tulus.Melati mengangguk. “Ibu lebih senang lagi karena bisa memeluk Fio.” Melati mengusap pipi Fio dengan sayang. “Fio, ikut Ibu pu
Fio menghirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya yang belakangan ini terus saja terasa sesak. Senyumnya terkembang sempurna.“Kamu sudah benar-benar baik-baik saja?” tanya Bian yang masih memasang wajah bahagianya karena Fio sudah kembali tersenyum.“Hmm.” Fio menoleh ke samping dan tersenyum. “Orang tuaku, mereka benar-benar menyayangiku,” kata Fio. “Aku pikir…” Fio menatap lurus ke depan. “Kemarin mereka hanya sedang frustasi hingga mengabaikanku dan bahkan berkata hal yang tidak seharusnya mereka katakan.” Fio tersenyum.“Manusia terkadang bisa lepas kendali jika sedang emosi, kamu harus bisa mengambil sikap bijak mulai sekarang, bunuh diri tidak menyelesaikan apapun.” Bian mengelus rambut Fio.Fio mengangguk. “Maaf,” katanya dengan sorot mata penuh penyesalan.“Kamu harusnya meminta maaf kepada dirimu sendiri, bukan denganku.” B
“Kenapa dia sampai memukulmu?” tanya Fio dengan dahi berkerut.Rey mengangkat bahunya. “Dia teman baikku ketika kami berada di bangku SMP.” Rey meminum es jeruknya.Mereka masih berada di warung bakso yang tidak jauh dari rumah Fio. Gadis itu terlihat melebarkan matanya. Dia bahkan baru tahu fakta terbaru dari seorang Bian, yang tidak lain adalah kekasihnya sendiri.“Lalu, kenapa dia memukulmu? Kamu tidak menjawab pertanyaanku yang satu ini.” Fio bersedekap.“Aku tahu dia mengacuhkanmu akhir-akhir ini,” kata Rey sambil menatap Fio dengan intens.Fio mengerutkan keningnya dalam. “Bagaimana kamu bisa tahu?” Karena seingat Fio, hanya Nadya yang mengetahui hubungannya dengan Bian yang sedang merenggang.“Nadya.” Rey tersenyum simpul.“Ah, sudah aku duga,” sahut Fio dengan cepat.“Dia brengsek, kan?” Rey terlihat tersenyum misterius.
Rasanya seperti baru kemarin Fio menjadi siswi baru di SMA Nusantara. Gadis itu tersenyum lebar di depan kamera. Anjar dan Rahma, kedua orang tua itu tengah berbahagia karena putri semata wayang mereka berhasil menyelesaikan sekolahnya.“Mama, sudah ya sesi foto-fotonya?” Fio mulai cemberut.“Sebentar lagi ya? Setelah ini, kamu ‘kan ke Jogja untuk kuliah, Mama hanya ingin mengambil banyak foto dengan anak Mama,” kata Rahma dengan wajah sendu.“Mama, Fio hanya akan kuliah di sana bukan pindah rumah selamanya.” Fio mencebik.Anjar hanya terkekeh geli dengan obrolan kedua orang penting di dalam hidupnya tersebut. Sesi foto tetap berlanjut seperti keinginan Rahma. Setelahnya, mereka makan di sebuah restoran untuk merayakan kelulusan Fio. Hanya makan bertiga dan itu adalah hal yang membuat Fio merasa sangat bahagia.“Kalau ada Bian pasti lebih rame ya, Fi?” Rahma kemudian meminum jus mangganya.
Bian menjalani hari-harinya dengan sepi. Bukan karena dia tidak memiliki teman tapi karena dia yang memilih menarik diri dari pergaulan. Entah sampai kapan, Bian tidak tahu. Dia butuh ruang dan waktu untuk menyendiri. Memikirkan masa depannya yang kini dipenuhi oleh bayangan utang kepada ayah Prisa.Tidak sedikit baginya tentu saja, mengingat biaya pengobatan adiknya yang juga tidak bisa dibilang murah. Bian sudah berusaha sampai dia menggadaikan harga diri dan cintanya. Sampai dia harus menjadi seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Anak muda yang masih mengenyam pendidikan di bangku kuliah itu harus bersedia menghapus mimpinya untuk bisa hidup bersama seseorang yang ia cinta suatu hari nanti.Tapi sepertinya itu tidak lagi menjadi masalah besar baginya, karena Prisa dengan senang hati memberikan jalan untuknya. Sesuai kesepakatannya dan ayah Prisa, hubungan yang selalu didambakan oleh gadis itu hingga membuatnya menjadi orang yang egois akan berakhi ketika Prisa terbukti berk
“Brengsek!” Pemuda itu melepaskan gagang pintu yang ia genggam.Dia bergerak mundur disertai dengan senyuman kecut yang kini menghiasi wajahnya. Wajah gadis itu terlihat pucat. Tangannya mencengkram erat selimut yang membelit tubuh telanjangnya. Sementara seorang pemuda lain terlihat buru-buru memakai celananya kembali.Bian terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala tak percaya. Dia datang dengan membawa makanan dan obat demam untuk kekasihnya. Setelah tiba di kota Jogja, dia mendapatkan kabar bahwa Prisa sedang sakit. Dia datang dengan membawa apa yang ia pikir dibutuhkan oleh gadis itu tanpa mengabari terlebih dulu.Ia pikir, Prisa akan senang dengan kedatangannya yang pasti akan mengejutkan dan perhatian yang ia berikan kepada gadis itu. Tapi, justru Bian yang terlihat terkejut dengan kejadian yang membuatnya cukup muak.“Bian, tunggu!” teriak gadis itu dengan wajah panik luar biasa.Prisa bangun dari atas ranjang dan berlari mengejar Bian yang sama sekali tidak mengindahkan pangg
Fio berdiri di depan teras rumahnya yang sekarang terasa asing baginya. Setelah acara pemakaman Nara selesai, dia tak langsung pulang. Gadis itu membantu Ningsih mengurus acara tiga harian terlebih dahulu. Sampai malam menjelang, Fio masih bertahan di sisi Ningsih yang akhirnya memperlihatkan ketidakberdayaannya sebagai seorang manusia biasa. Wanita paruh baya itu sesekali meneteskan air mata meski tidak diiringi dengan isak tangis. Tapi, Fio tahu bahwa di dalam hati Ningsih semuanya terasa begitu berat dan nyaris tak mampi ia topang.“Kenapa tidak masuk?”Fio menoleh. “Kamu masih di sini?” Fio terkejut dan segera menatap motor Bian yang ternyata masih ada di luar pagar rumahnya.Bian mengangguk. “Aku baru saja akan pergi tapi aku lupa mengatakan sesuatu padamu.”Fio mengerutkan kening dalam. “Apa?” tanyanya.Di bawah langit tanpa bintang, Bian menatap Fio dengan wajah sendunya. Dia menghela napas dalam dan menunduk sejenak. Pemuda itu terkekeh pelan.“Lucu sekali, ya? Sejauh apapun k
Malam itu benar-benar menjadi malam terakhir Bian mengobrol dengan Fio. Gadis itu tidak mau lagi membuka akses untuknya meski hanya untuk menyapa. Hal itu terbukti saat Bian tanpa sengaja berjumpa dengan Fio di kantin kampus. Bian yang sudah menyiapkan diri untuk sekedar tersenyum dan menyapa Fio mengurungkan niat kala dia melihat Fio memilih menundukkan kepalanya supaya tidak perlu menatapnya. Bian bertahan dengan kebimbangan hati yang masih menyelimutinya. Dia terus menemani Prisa hari demi hari meski tidak ada satu hari yang ia lewati tanpa teringat semua kenanganya bersama Fio. Dia menguatkan hatinya. Dia terus membisikkan satu kalimat yang berhasil membuatnya menguatkan pundaknya lebih dari sebelumnya. Semua demi Ibu dan adikku. “Halo?” Suara pria itu terdengar seiring dengan langkah kakinya yang semakin pelan. Isak tangis dari seberang telepon berhasil membuat detak jantungnya dua kali lebih cepat dari biasanya. Dia membeku di tempat saat ibunya mengatakan hal yang paling ia
“Tidak semudah itu, Fi!” sahut Bian dengan wajah tak terima. “Aku tidak mungkin membuat kamu ikut memikirkan masalahku sementara aku tahu kamu juga punya masalahmu sendiri,” lanjut pemuda itu. Fio hanya diam. Dia hanya mampu menghela napas berat. Semuanya sudah terjadi dan tidak akan pernah bisa diputar kembali. Tidak ada yang bisa Fio lakukan selain pasrah dengan fakta yang ia dapatkan. “Sudahlah! Sepertinya juga tidak ada gunanya kita berdebat,” ucap Bian. Fio mengangguk mengerti meski hatinya terasa sesak. “Bian?” panggil Fio. Bian menoleh. “Hm?” “Setelah malam ini, aku mungkin tidak akan pernah memberikan kamu kesempatan lain lagi. Jadi, Bi…” Fio tidak berani menatap mata mantan kekasihnya meski hanya lima detik saja. “Kembalilah kepada dia yang sudah kamu pilih. Aku akan menemukan bahagiaku sendiri jadi kamu juga harus bahagia.” Setelah mengatakan kalimat itu, Fio bergegas berdiri di depan pintu dan meminta Bian untuk pulang secara baik-baik. Baginya, dia tidak bisa lagi mem
Setelah selesai makan, Bian dan Fio hanya saling diam. Fio merasa tidak ada hal penting yang harus ia katakan kepada Bian. Sementara Bian, pemuda itu ingin sekali mengatakan hal yang sebenarnya pada mantan kekasihnya. Di perjalanan menuju ke kos Fio, Bian memikirkan hal di luar nalarnya selama ini. Taruhannya sangat besar dan dia bisa saja menyesal di kemudian hari.Tapi, dia tidak akan pernah tahu jika mencoba sesuatu mungkin akan mendatangkan hal yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Bian meneguk ludah dengan pandangan yang ia alihkan kepada gadis cantik bernama lengkap Fiona Ruby Cantika itu.“Fi,” ucapnya serupa bisikan.Suaranya seperti malu-malu untuk keluar. Bian gugup dan juga bingung bagaimana harus memulai pembicaraannya. Dia hanya tersenyum saat Fio menoleh dan menatapnya dalam diam. Gadis itu menunggu kalimat yang hendak Bian lontarkan kepadanya.“Aku ingin bicara sesuatu kepadamu.” Bian memantapkan hatinya. “Tapi…” dia menggantung ucapannya. “Mungkin apa yang akan aku bic
Bian memacu motornya dengan kecepatan sedang. Dia ragu-ragu untuk datang ke acara keluarga Prisa. Rasanya dia hanya akan menjadi bahan olok-olokan saja di sana. Tapi dia sudah berjanji pada kekasihnya untuk datang. Acara ulang tahun pernikahan Tante Nilam, yang tak lain adalah adik kandung dari ayah Prisa. Bian memang sudah pernah bertemu dengan Nilam sebelumnya. Hanya saja pertemuannya tidak menyenangkan. Pemuda itu telah sampai di depan sebuah hotel bintang empat yang menjadi tempat acara. Bian merapikan kemejanya sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia sedikit terlambat. Langkahnya terasa ringan dan tanpa beban. “Semoga mereka meminta Prisa untuk memutuskanku,” batinnya. Begitu kakinya menginjak lantai ballroom hotel, Bian merasa seperti sedang memasuki ruang persidangan. Banyak pasang mata menatapnya dengan wajah terheran-heran. Bagaimana tidak? Bian tidak mengenakan jas. Padahal di dalam undangan sudah tertulis dress code malam itu adalah jas berwarna hitam bagi pria dan gaun
Fio memilih menghindar jika tidak sengaja dia bertemu dengan Bian. Selama enam minggu mereka bahkan tidak pernah bertemu. Bukan hanya karena Fio yang mencoba menghindar, tapi juga karena Bian yang memilih untuk tidak menemui Fio lagi. Meski rasanya dia sangat ingin melihat kondisi gadis itu. Ada hal yang mengikat dirinya dengan Prisa dan dia tidak bisa melewati batas lagi. Sore itu, Fio tidak sedang baik-baik saja. Pandangannya mulai tidak fokus. Wajah pucatnya beberapa kali membuat beberapa teman yang ia lewati merasa cemas. Dan sesekali ada yang melihatnya sambil berbisik-bisik dan juga tertawa. Gadis itu kembali menelan ludah karena tenggorokannya yang terasa kering. Tangannya mengusap dahi yang mulai mengeluarkan keringat dingin. Perutnya sakit luar biasa. Tubuh gadis itu hampir oleng. Tapi dia beruntung karena seseorang menangkap tubuhnya dengan cepat dari arah belakang. Fio meringis. Kemudian seseorang itu menuntunnya supaya duduk di bangku yang berada tak jauh dari tempat mere
Percakapannya dengan sang ibu terus saja berputar di kepala dan membuatnya harus berkali-kali menghela napas dalam. Bian tidak bisa memejamkan matanya barang sebentar saja. Benaknya terus saja memikirkan hal yang mungkin terjadi kelak. Hatinya terus mencemooh dirinya yang dinilai sangat lemah. Bian tidak bisa membuktikan bahwa pilihannya untuk berada di Jogja adalah hal yang tepat. Oleh karena itu, dia memilih berbohong kepada ibunya.Pemuda itu bangkit berdiri dan meraih kotak rokok dan juga pemantik api dari atas meja. Dia berjalan menuju ke teras kamar kos dengan langkah gontai. Bian menyalakan rokoknya dan menikmati nikotin serta tar dari benda yang kini sudah menjadi teman setianya. Dulu, Fio selalu berpesan supaya dia tidak merokok. Kesehatannya sangat berharga dan Bian dengan mudahnya melanggar pesan Fio.Dia tidak mampu, dia memang lemah. Semua orang memandangnya sebagai mahasiswa teladan dan juga calon menantu idaman. Bian bahkan kini terkekeh geli mendengar t