Aida bertanya dengan terkejut, "Nyonya, kamu mau ke mana pada saat ini?"Clara menundukkan kepalanya. Bulu matanya tampak bergetar ringan. Tak lama kemudian, dia berucap seraya menyunggingkan senyuman, "Semuanya sudah hampir berakhir. Aku akan segera bebas."Aida tidak memahami perkataannya. Hanya saja, Aida tahu bahwa Clara pasti memiliki rencana sekarang. Seperti halnya dia yang berani mengamputasi kaki dan mengangkat rahim Benira. Aida benar-benar kagum dengan tindakannya. Hal itu membutuhkan keberanian yang luar biasa. Padahal, dulu Clara bahkan tidak berani membunuh ayam.Aida memanggil sopir dan membantunya mengganti pakaian. Setelah itu, Aida mengambil syal bulu domba berwarna gelap dan melilit Clara dengan sangat rapat. Dia berucap dengan sedih, "Aku temani Nyonya, ya? Aku nggak bisa tenang."Clara memegang tangan Aida dengan lembut. Dia ragu-ragu sejenak sebelum berujar, "Anak ini punya cacat bawaan. Bagaimanapun, dia memang nggak bisa dilahirkan apalagi dibesarkan."Usai mend
Satya segera menahan tangannya.Clara langsung melepaskannya. Dia berjalan keluar dengan langkah cepat, tanpa keraguan sedikit pun. Dia juga tidak meneteskan air mata untuk Satya. Pria yang telah berkhianat dan berselingkuh tidak pantas membuatnya menangis lagi.Clara hanya pergi begitu saja. Dia berjalan di lorong. Tubuhnya kedinginan sehingga dia merapatkan mantelnya di tubuhnya ....Dari belakang, terdengar suara Satya yang hampir putus asa. "Clara!"Clara pun berbalik dan menatapnya. Dia berbicara pelan, "Jangan mendekat. Satya ... jangan kemari. Di titik ini, apa kamu masih akan bilang kita bisa hidup bahagia bersama? Satya, apa menurutmu bisa? Kamu kira ada wanita mana yang bisa? Kecuali wanita itu sama sekali nggak suka padamu. Dia hanya mau uang dan tubuhmu ... tapi aku nggak bisa.""Satya, aku nggak bisa. Ketika bersamamu dan menikahimu dulu, aku berharap bisa bersamamu selama sisa hidupku. Kalau nggak bisa, nggak masalah juga. Paling nggak, kita berpisahlah baik-baik. Paling
Satya tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menatap Clara dalam diam. Pikirnya, Clara pasti sudah lama menyiapkan kata-kata ini. Menurut Satya, Clara pasti juga sudah lama memutuskan untuk bercerai dan meninggalkannya. Clara tidak pernah percaya Satya bisa memberikan seluruh hatinya. Wanita itu juga tidak pernah berpikir untuk bersama dengannya selamanya.Beberapa saat kemudian, Clara berujar lagi dengan suara rendah, "Serahkan Joe padaku."Satya merangkul bahu Clara. Dia tidak mengatakan iya ataupun tidak. Sejujurnya, dia juga tahu betul bahwa hubungan mereka sudah tidak bisa dilanjutkan. Dari kata-kata Clara, Satya tidak bisa mendengar sedikit pun jejak perasaan atau kerinduan. Tidak pula terdengar amarah dan kecemburuan.Satya tidak berani membayangkan, apa yang membuat cinta Clara padanya pupus tak bersisa. Clara berkata bahwa dia tidak mencintai Satya lagi, tidak menginginkannya lagi.Saat keduanya terdiam, seorang pelayan datang membawa ponsel dan berkata bahwa Benira menelepon. Pe
Satya ingin mengatakan sesuatu, tetapi tenggorokannya seakan-akan terkunci. Setelah beberapa lama, akhirnya dia berkata dengan suara serak, "Kamu bisa pergi setelah salju berhenti. Anggap saja ini masa nifasmu. Tenanglah, aku akan keluar saat fajar. Karena akta nikah kita diurus di Kota Aruma, pengajuan akta cerai juga harus diajukan di sana. Joe dan anak itu bisa ikut kamu. Jaga mereka baik-baik ...."....Satya tidak mampu mengungkapkan gundah di hatinya. Dia tahu bahwa keputusan ini dibuat dengan terlalu terburu-buru. Dia juga tahu betul, jika dia mempertimbangkannya lagi, dia tidak akan melepaskan Clara. Hanya saja, Clara menginginkan kebebasan. Wanita itu tidak ingin berada di sisinya lagi.Pelukan terakhir dari Satya tidak mengandung gelora hasrat seperti dahulu. Ini hanyalah pelukan terakhirnya sebagai suami kepada istrinya. Mulai besok, mereka sudah bukan pasangan suami istri.Satya memeluk tubuh rapuh Clara erat-erat. Kemudian, dia membisikkan sesuatu yang belum pernah dia kat
Aida langsung menyindir, "Ya, dia kesayanganmu!"Kemudian, Aida bangkit untuk pergi dan tidak lupa membawa mangkuknya. Jika tahu seperti ini, dia tidak akan memberinya makan.Namun, Aida tetap harus berkemas. Ketika melewati kamar, Aida berjalan sepelan mungkin supaya tidak mengganggu Clara.Ternyata, Clara tidak tidur. Aida menggaruk kepalanya, lalu berkata dengan terbata-bata, "Tu ... Tuan menyuruhku ... merapikan ruang ganti."Clara tersenyum tipis dan menyahut, "Maksudmu koper, 'kan?"Mata Aida sontak memerah. Dia menyeka air mata, lalu berujar sembari terisak-isak, "Aku kira semua sudah membaik saat melihat kalian begitu akur belakangan ini. Hasilnya malah menjadi seperti ini."Clara tidak menjelaskan, hanya menyuruh Aida merapikan kopernya. Setelah membereskannya, Aida membawa koper ke ruang kerja, tetapi Satya sudah tidak berada di sana.Satya berada di kamar tidur Joe. Sinar matahari yang lembut menyinari wajah Joe. Satya berjongkok sambil mengelus wajah mungil putranya. Dia ti
Di dalam vila, suasana di ruang tamu tampak harmonis. Para pelayan meletakkan 2 mangkuk mie di atas meja makan beserta kue 3 tingkat yang terlihat indah.Hari ini adalah ulang tahun Benira yang ke-34. Dia sengaja keluar dari rumah sakit lebih awal untuk merayakan ulang tahunnya dengan Satya.Di luar sana, salju masih turun. Salju ini sudah turun selama setengah bulan sehingga seluruh Barline seolah-olah ditutupi oleh salju.Benira menggerakkan kursi rodanya dan datang ke belakang Satya. Dia memeluk Satya dan berucap dengan lembut, "Satya, kuharap salju ini nggak akan berhenti, jadi kamu akan terus berada di sisiku. Ini bukan mimpi, 'kan? Kamu benar-benar ingin menceraikannya untuk bersamaku?"Aku takut semua ini cuma mimpi. Kalau benar begitu, aku lebih memilih untuk nggak bangun dan terus terjebak dalam mimpi indah ini."Benira memeluk Satya dengan erat, lalu meneruskan dengan bahagia, "Asalkan kamu bersedia tinggal di sisiku, aku akan memaafkan semua kesalahanmu. Yang penting kamu me
Benira yang berada di depan dapur mendengar semuanya. Dia berang hingga sekujur tubuhnya gemetar.Jika itu dulu, Benira pasti sudah maju untuk menampar kedua pelayan itu, lalu mengusir mereka. Namun, dia tidak berani melakukannya sekarang karena khawatir Satya menganggap dirinya memperlakukan bawahan dengan kasar. Dia takut Satya marah.Benira mengepalkan tangan dengan erat sampai kukunya menusuk dagingnya. Sesaat kemudian, dia baru menggerakkan kursi rodanya dan pergi.Kedua pelayan itu menyadari keberadaan Benira dan merasa cukup panik. Salah satunya langsung berkata, "Nggak perlu takut. Dia sudah cacat, nggak bakal bisa apa-apa. Kalau dia berani macam-macam, kita pura-pura nggak dengar saja waktu dia mau pergi ke toilet. Kalau sudah nggak tahan, dia bakal pipis di celana!"Pelayan yang satu lagi pun tertawa mendengarnya. Dengan begitu, Benira ditertawakan oleh kedua pelayannya sendiri.Benira kembali ke ruang tamu. Dia ingin sekali menangis, apalagi mengamuk. Namun, dia tidak ingin
Clara memberinya waktu. Satya biasanya ahli dalam membujuk wanita, tetapi kali ini malah tidak bisa berkata-kata. Meminta maaf saja tidak akan cukup jika dibandingkan dengan penderitaan yang dialami oleh Clara selama ini.Pada akhirnya, Satya tidak meminta maaf ataupun melontarkan gombalan tidak berguna. Dia hanya bertanya dengan suara serak, "Gimana kondisimu? Kapan kamu akan pulang ke Kota Aruma?"Clara terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara rendah, "Mungkin lusa hari. Penerbangan akan normal kembali setelah salju berhenti turun.""Kamu bakal pulang ke Kota Aruma atau Kota Brata?" tanya Satya buru-buru karena khawatir Clara tidak akan memberitahunya.Tanpa disangka, Clara membalas dengan tenang, "Kota Aruma. Kita belum bercerai, 'kan? Aku bakal menunggumu di sana untuk mengurus prosedur cerai."Satya merasa tidak nyaman karena Clara terus membahas tentang perceraian. Setelah terdiam cukup lama, Satya tidak membantah karena ini memang pilihannya sendiri.Satya menyahut dengan s