Kaiva sedang duduk di ruang tunggu rumah sakit, jari-jarinya menggenggam erat boneka beruang yang selalu ia bawa ke mana-mana. Kali ini, dia tidak hanya ditemani oleh babysitter-nya seperti biasa, tetapi juga oleh Gina, ibunya. Gina duduk di sebelahnya, mencoba menenangkan diri sementara pikirannya masih berputar tentang Kaiva dan hubungannya dengan Gani. Sementara itu, Gani sendiri sedang dalam perjalanan untuk menyusul mereka.Kaiva terlihat tidak sabar, matanya terus melirik ke arah pintu ruang tunggu. "Mama, kapan Om Beruang datang lagi?" tanyanya polos, menggoyangkan kakinya dengan penuh harapan.Gina mengerutkan dahi, sedikit bingung. "Om Beruang? Siapa yang kamu maksud, sayang?""Om yang baik itu, Mama. Yang aku temui waktu di rumah sakit dulu. Dia selalu bawa aku permen dan cerita lucu. Aku kangen sama dia," jawab Kaiva, matanya berbinar-binar penuh kegembiraan ketika berbicara tentang pria misterius itu.Gina masih belum bisa memecahkan siapa sosok "Om Beruang" yang dimaksud
Suasana di rumah sakit sore itu terasa tenang, hanya terdengar sesekali suara roda kursi rumah sakit berderit melintasi koridor. Gina berjalan cepat, tangan kirinya memegang tangan kecil Kaiva, gadis mungil berusia lima tahun yang sedang sakit. Mereka baru saja selesai menemui dokter, dan Gina hendak membawa Kaiva pulang. Namun, langkah Gina terhenti seketika ketika matanya menangkap sosok yang familiar di ujung koridor.Kevin.Wajahnya tampak tegang, sorot matanya langsung terarah pada Gina dan Kaiva. Sekilas, tubuhnya membeku, seolah-olah melihat hantu dari masa lalu. Gina juga tidak bisa menghindari perasaan yang tiba-tiba mencengkeram hatinya—Kevin, pria yang pernah begitu berarti dalam hidupnya, pria yang membuat hidupnya berantakan, kini berdiri hanya beberapa meter darinya."Alexa?" panggil Kevin, suaranya serak dan penuh keraguan. Matanya tidak bisa berpaling dari Kaiva, gadis kecil yang menggenggam erat tangan Gina.Gina menghela napas panjang. Sudah lama ia menunggu saat ini
"Aku hamil dan ini adalah anakmu." Alexa tampak gugup, tangannya gemetar memegang testpack yang menunjukan garis dua menandakan dirinya positif. Di depannya, tampak seorang pria dengan tubuh tegap menunjukkan raut wajah kesal setelah mendengar ucapan Alexa. Pria itu adalah Kevin, seorang CEO perusahaan raksasa di kota Jakarta yang juga adalah anak dari rekan bisnis ayah Alexa. Selain itu, Kevin adalah cinta pertama Alexa. Kevin menggeleng dengan keras. Merasa muak dengan jebakan yang dimainkan oleh perempuan licik di hadapannya ini. "Tidak! Kamu hanya mencari cara untuk masuk ke dalam keluargaku!" Alexa tidak kuasa menahan air mata yang mulai menetes sambil meremas perutnya. Alexa mengakui dirinya begitu bodoh, karena terlena dengan rayuan Kevin saat pria itu sedang dikuasai oleh obat perangsang sehingga menyerahkan tubuhnya begitu saja. Alexa tidak menyangka bahwa hubungan satu malam itu, akan langsung membuahkan. Dirinya juga berusaha untuk menyembunyikan kehamilan
Seharusnya malam pengantin akan menjadi malam romantis. Tapi, hal itu tidak berlaku bagi Alexa. Sesampainya mereka di kamar pengantin, Kevin justru segera mengganti pakaiannya dan bergegas untuk keluar dari sana. "Kamu mau pergi ke mana?"Alexa yang masih berdiri di tengah kamar dengan gaun pengantin mencoba untuk menghentikan Kevin. Kevin menatapnya dengan pandangan dingin, "Itu bukan urusanmu," jawabnya singkat. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Kevin membuka pintu kamar dan pergi begitu saja, meninggalkan Alexa yang berdiri terpaku. Alexa terduduk di tepi ranjang, perasaan hancur dan kesepian melanda hatinya. Ia memeluk dirinya sendiri, menangis tanpa henti, merasakan kehampaan yang menyakitkan di malam yang seharusnya menjadi momen terindah dalam hidupnya. Malam itu, setelah membersihkan diri. Alexa nyaris tidak bisa tidur. Ia terjaga, menantikan kepulangan Kevin. Jam telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Alexa terbangun ketika mendengar suara pintu kamarnya terbuk
Hari Minggu tanpa terasa tiba dengan begitu cepat. Sudah seminggu ini pula, Alexa dan Kevin tidur dengan pisah kamar. Selain itu, Alexa bahkan sulit untuk merasakan kehadiran Kevin di rumah ini semenjak pernikahan mereka. Kevin selalu pulang larut malam dan berangkat pagi sekali. Alexa merasa bahwa Kevin selalu menghindarinya. Padahal Alexa hanya berharap setidaknya mereka bisa mengobrol sesekali. Bekal yang selalu disiapkan oleh Alexa untuk Kevin pun selalu tidak pernah dibawa dan dibiarkan bertengger di meja makan. “Ingat, jangan beritahu mereka bahwa kita pisah kamar,” bisik Kevin membuat Alexa mengangguk pelan. Keduanya kini menyambut kedatangan orang tua mereka yang baru saja tiba. Alexa memaksakan diri untuk tersenyum, menunjukan bahwa semuanya baik-baik saja. Setelah berpelukan dan saling menanyakan kabar satu sama lain. Alexa mempersilahkan para orangtua untuk sarapan. Pagi tadi Alexa sudah memasak untuk menyambut kedatangan mereka. Di meja makan nampak beberapa hid
"Selamat pagi.Bagaimana kabarmu hari ini?" Alexa tersenyum tipis merespon sapaan dokter kandungan yang menyapa dengan penuh keramahan begitu dirinya masuk ke dalam ruangan. Pagi ini, adalah jadwal pemeriksaan kandungan Alexa. Meskipun wajah Kevin nampak enggan untuk mengantarnya, namun pria itu kini tetap ikut masuk ke dalam ruangan bersama Alexa tanpa sepatah kata pun. Dokter mulai memeriksa perut Alexa. Dengan lembut, dokter menggerakkan alat USG di atas perutnya, hingga menampilkan gambar janin di layar. "Usia kandunganmu, saat ini sudah berusia 7 minggu. Lihat, ini dia bayi kalian, semua terlihat normal dan sehat. Jantungnya berdetak kuat." Alexa menatap layar dengan mata berkaca-kaca, perasaan bahagia dan lega memenuhi hatinya. Ia menoleh ke arah Kevin, berharap melihat kilasan kebahagiaan di wajahnya. Namun, Kevin hanya duduk dengan ekspresi datar, matanya tidak tertuju pada layar melainkan pada ponselnya. "Alexa, pastikan kamu tetap minum vitamin yang sudah saya resepkan
Nora kembali ke kantor setelah beberapa minggu cuti. Dirinya sengaja melarikan diri karena tidak sanggup untuk melihat pernikahan Kevin bersama wanita lain. Terutama karena wanita itu adalah Alexa. Nora berjalan melewati lorong-lorong dengan langkah percaya diri, matanya memindai setiap sudut ruangan, mencari sosok yang sudah lama dirindukannya. Akhirnya, ia melihat Kevin di sudut ruang kerjanya, sibuk dengan dokumen-dokumen di mejanya. Dengan senyum tipis, Nora masuk ke dalam ruangan dan mendekati meja Kevin. "Kevin, lama tak bertemu," sapa Nora dengan suara lembut. Kevin mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil begitu melihat Nora. "Bagaimana kabarmu?" Kevin menjawab dengan anggukan singkat, sebelum kembali bertanya balik kepada Nora. "Bagaimana liburanmu?" "Liburannya tentu saja tidak menyenangkan. Bagaimana aku bisa bahagia ketika kekasihku sendiri menikah dengan wanita lain?" jawab Nora dengan mata berkaca-kaca. Nora menarik napas dalam-dalam, seolah-olah sedang mengumpul
Suara dering ponsel, memecah konsentrasi Kevin. Ia mengalihkan pandangan sejenak dari tumpukan dokumen di meja kerjanya dan menatap layar ponsel. Melihat nama Mamanya, Kevin kemudian mengangkat telepon. "Ada apa, Ma?" jawab Kevin dengan suara datar. "Kevin, bagaimana kabarmu? Kalian sudah bersiap, bukan?" Suara lembut ibunya terdengar di seberang telepon, penuh perhatian seperti biasa. Kevin menegakkan tubuhnya, merasakan bingung dengan pertanyaan itu. "Bersiap?" tanyanya penuh kebingungan. "Apa kamu sudah mempersiapkan semuanya untuk honeymoon?" tanya ibunya dengan nada ceria, seolah mengharapkan kabar baik. Honeymoon? Pikiran Kevin berputar cepat. Seingatnya belum ada lagi percakapan lanjutan mengenai hal itu antara dirinya dan Alexa. "Honeymoon? Sejak kapan?" ucapnya kepada sang Ibu. Ibunya terdiam sejenak, seolah terkejut dengan ketidaktahuannya. "Mama dan Papa sudah memberikan tiketnya kepada Alexa. Kamu tidak tahu?" tanya sang Ibu dengan rasa penasaran. Kevin menghe