Kevin menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum memulai. "Pah, Mah masih ada sesuatu yang harus aku sampaikan, dan ini tidak akan mudah untuk didengar."Haris, yang lebih tenang, menatap putranya dengan sabar. "Katakan saja, Kevin. Apa pun itu, kami akan mendengarkan."Kevin menatap kedua orang tuanya, lalu mulai berbicara. "Gina... Dia sudah menikah lagi."Helena terdiam, tangannya bergetar di pangkuannya. Sementara Haris, yang tadinya terlihat tenang, mengernyitkan alis. "Menikah lagi? Dengan siapa?""Seorang pria bernama Gani," jawab Kevin dengan suara pelan. "Dia pengusaha besar, sangat berkuasa di pasar ekonomi. Gani memiliki pengaruh yang luas di banyak sektor."Helena menggigit bibirnya, matanya berkilau karena emosi yang mulai naik. "Gina sudah menikah? Dan kamu baru memberitahukan ini sekarang?"Kevin mengangguk. "Aku baru tahu belum lama ini. Gina tidak memberitahuku secara langsung, tapi aku menemukannya sendiri saat mencoba mencari tahu lebih banyak ten
Kevin berjalan memasuki ruang kantor dengan langkah mantap, namun di balik ketenangannya, ada gelombang emosi yang menguasai hatinya. Di depan pintu, Gina sedang menunggu. Dia adalah investor terbesar di perusahaan Kevin, dan pertemuan hari ini sangat penting untuk kelangsungan bisnisnya. Kevin tahu bahwa jika Gina menolak rencananya untuk mencicil pembayaran, perusahaan jagung yang ia pimpin akan terancam tenggelam dalam hutang yang semakin menumpuk. Namun, di luar masalah bisnis, ada hal lain yang mengganggu pikirannya—perasaan lama yang tak pernah benar-benar hilang terhadap Gina.Gina menyambut Kevin dengan senyum tipis, profesional dan berjarak, seperti biasa. Namun, Kevin bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda hari itu. Apakah Gina masih memiliki perasaan padanya seperti yang dikatakan oleh Papa Haris, ayahnya? Kevin berusaha menepis pikiran itu. Ini murni urusan bisnis, dan dia tak boleh terbawa emosi.Setelah duduk, Kevin dengan tenang menjelaskan kondisi perusahaannya. Dia m
Gina duduk di ruang tamu yang megah, menatap keluar jendela besar yang memamerkan pemandangan kota. Meskipun segala kemewahan dan kenyamanan ada di sekitarnya, pikirannya kacau. Sejak pertemuannya dengan Kevin beberapa waktu lalu, ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Perasaan yang dulu dia kira telah hilang ternyata masih mengakar dalam dirinya. Dan kini, ada satu hal lain yang menambah kekacauan dalam hidupnya—Amber. Amber adalah adik tiri suaminya, Gani. Gadis muda itu selalu tampil sempurna, dengan senyuman manis dan sikap penuh perhatian. Namun, Gina tahu ada sesuatu di balik sikap lembut Amber yang tampak polos. Amber bukan gadis lugu yang terlihat di permukaan. Gina merasakan hal itu setiap kali Amber berada di sekitar Kevin. Tatapan Amber yang terlalu sering diarahkan pada Kevin tidak mungkin diabaikan. Hubungan Gina dan Kevin memang sudah lama berakhir, namun hal itu tak mengubah kenyataan bahwa setiap kali dia melihat Amber mendekati Kevin, hatinya tersulut api cemburu. Ke
Gina duduk di meja kerjanya, jemarinya yang lentik mengetuk-ngetuk permukaan kayu sambil mencoba fokus pada pekerjaan yang seharusnya selesai sejak tadi. Namun pikirannya tak bisa lepas dari Kevin—mantan yang tak pernah benar-benar pergi dari kehidupannya. Sejak Kevin mulai sering terlihat bersama Amber, adik tiri suaminya, Gani, api cemburu yang selama ini coba dia padamkan kini kembali menyala dengan ganas. Amber, gadis muda yang penuh pesona itu, diam-diam menyukai Kevin. Gina bisa merasakannya sejak pertama kali melihat cara Amber menatap Kevin dengan sorot mata penuh kekaguman. Dan Kevin, dengan caranya yang licik, tampaknya memanfaatkan situasi ini untuk membuat Gina semakin cemburu. Setiap kali mereka bertemu, ada tatapan penuh godaan dari Kevin yang membuat hati Gina bergejolak. Meski ia sudah menikah dengan Gani, kenyataan bahwa Kevin masih memiliki kekuatan untuk mempengaruhi emosinya membuat Gina semakin tertekan. Hari ini, Kevin berada di kantor Gina untuk sebuah rapat k
Namun yang mengejutkannya, Kevin tidak menolak. Bahkan, Kevin membalas ciuman itu dengan penuh gairah. Bibirnya menempel erat pada Gina, dan Gina bisa merasakan tubuhnya melemah. Kevin menahan Gina di tempat, lalu melepaskan ciuman itu dengan senyum puas di wajahnya. “Aku tahu kamu masih mencintaiku,” kata Kevin pelan, suaranya penuh kemenangan. “Kamu tak bisa membohongi dirimu sendiri, Gina. Kamu masih milikku.” Gina menarik napas dalam-dalam, lalu menampar Kevin dengan keras. “Aku tidak mencintaimu, Kevin! Ini semua salah! Aku tidak tahu kenapa aku melakukan ini!” Kevin hanya tersenyum, mengusap pipinya yang memerah akibat tamparan Gina. “Kamu boleh berkata apa saja, tapi tindakanmu berbicara lebih keras daripada kata-katamu. Kamu masih mencintaiku, Gina. Dan cepat atau lambat, kamu akan mengakui perasaan itu.” Gina menatap Kevin dengan kebencian yang membara di matanya. “Keluar dari ruangan ini sekarang juga!" serunya. Namun Kevin tak bergeming. Dia bangkit dari kursi
Malam itu, di ruang tamu rumah mereka yang sederhana, suasana terasa tegang. Gani duduk di sofa, menunggu Gina pulang. Raut wajahnya terlihat penuh pertanyaan dan sedikit cemas. Sudah berkali-kali dia menunggu momen yang tepat untuk berbicara dengan Gina tentang sesuatu yang terus menghantui pikirannya selama beberapa bulan terakhir, namun setiap kali dia mencoba, ada saja alasan yang membuatnya menahan diri.Gina tiba di rumah dengan langkah berat, bibirnya mencoba mengulum senyum yang tak sampai. Wajahnya terlihat letih, mungkin lebih dari biasanya, dan dia tahu Gani bisa melihat itu."Maaf, aku pulang terlambat," ujar Gina dengan suara rendah sambil menutup pintu perlahan.Gani menghela napas, mencoba menahan ketegangan yang mengendap di dadanya. "Tidak apa-apa, aku menunggu."Gina berjalan pelan ke arah sofa, duduk di samping Gani, namun tanpa menatapnya langsung. Hatinya masih kacau, pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuannya dengan Kevin tadi siang. Dia tak bisa berhenti memiki
Gina berjalan masuk ke rumah dengan perasaan kacau, masih memikirkan kejadian dengan Kevin sebelumnya. Gani menyambutnya di ruang tamu dengan senyum yang dipaksakan, tapi dia bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Malam itu terasa semakin berat bagi Gina, bukan hanya karena beban emosional yang terus menghantuinya, tapi juga rasa bersalah yang terus membayangi dirinya. Gani, suaminya yang selalu sabar, kini menuntut sesuatu yang sudah lama dia abaikan: haknya sebagai suami.“Gina, kita perlu bicara,” suara Gani terdengar berat, jauh dari nada lembut yang biasa dia gunakan.Gina menelan ludah, merasa ada badai yang akan datang. “Gani, aku... aku capek. Kita bicarakan nanti saja, ya?”"Tidak, Gina. Kita tidak bisa terus seperti ini." Gani berdiri dari tempat duduknya, menghampiri Gina yang tampak gugup. “Kita sudah menikah hampir empat bulan, tapi kamu terus menolak mendekatiku. Kamu menolak hakku sebagai suamimu."Gina menunduk, merasa tidak siap untuk membahas masalah ini sekaran
Kevin berlari tanpa henti, menyusuri jalanan yang semakin gelap. Dia tidak peduli pada tatapan orang-orang yang melihatnya dengan rasa heran. Pikirannya hanya terfokus pada satu hal—menemukan Gina. Hatinya penuh dengan kegelisahan dan ketakutan akan kehilangan. Setiap langkahnya terasa semakin berat, terutama karena dia tahu kesalahan yang sudah dia buat. Seberapa jauh dia harus berlari sebelum segalanya terlambat?Dia tak bisa membiarkan Gina—atau Alexa, seperti yang sebenarnya dia ketahui—menghilang dari hidupnya lagi. Sejak dia pertama kali menyadari bahwa Gina adalah Alexa, wanita yang pernah dia cintai tetapi dia abaikan, perasaannya semakin kacau. Kevin tahu dia telah menyakiti Alexa bertahun-tahun lalu, dan sekarang kesalahan yang sama terulang lagi.Setelah berlari tanpa arah, Kevin tiba di tepi pantai yang sepi. Hanya suara deburan ombak yang menemani keheningan malam. Dan di sana, di kejauhan, dia melihat sosok yang sangat dia kenal. Gina—atau lebih tepatnya Alexa—duduk di a
Setelah kejadian malam itu, Gina dan Kevin merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Bukan dalam bentuk jarak, tetapi sebaliknya—perasaan saling pengertian dan kedekatan yang lebih mendalam. Gina, yang semula dibelenggu oleh kecurigaan dan rasa cemburu, kini merasa lega. Kevin, di sisi lain, merasakan beban yang terangkat karena tidak lagi harus menyembunyikan rencana kejutan untuk ulang tahun istrinya.Beberapa hari kemudian, ulang tahun Gina tiba. Kevin sudah merencanakan acara kejutan kecil di rumah mereka. Sejak insiden di mana Gina mengetahui tentang kalung berlian itu, Kevin berusaha memberikan lebih banyak perhatian. Ia pulang lebih awal, membantu di rumah, dan sering kali memastikan mereka memiliki waktu berkualitas bersama, meski hanya sekadar menonton film atau berjalan-jalan di sekitar lingkungan mereka. Gina pun mulai merasa lebih tenang dan percaya pada Kevin, berusaha membuang jauh-jauh rasa cemburu yang sempat mengganggunya.Malam ulang tahun Gina dimulai d
Beberapa hari kemudian, Gina merencanakan untuk mengikuti Kevin. Ia telah mengumpulkan cukup keberanian, dan perasaan curiga yang membebani pikirannya semakin sulit diabaikan. Malam itu, Gina mengatur alarm di ponselnya dengan pelan, lalu menunggu saat Kevin pulang terlambat seperti biasanya. Ketika Kevin akhirnya tiba di rumah, ia tampak lelah seperti biasa, menjelaskan bahwa rapat berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan.Gina berusaha menahan diri, pura-pura tersenyum dan memberikan pelukan hangat. Namun, pikirannya sudah penuh dengan rencana. Ia bertekad untuk mencari tahu apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar "proyek kerja" antara Kevin dan Karla.Keesokan harinya, Gina mengamati Kevin dengan cermat saat ia bersiap-siap pergi ke kantor. Sesaat setelah Kevin keluar dari rumah, Gina segera menyusul, memastikan jaraknya cukup jauh sehingga Kevin tidak akan menyadari bahwa ia sedang diikuti. Jantungnya berdebar kencang sepanjang perjalanan. Gina mencoba menenangkan diri, me
Malam itu, meski Kevin sudah berusaha meyakinkannya, Gina masih tak bisa sepenuhnya mengusir rasa cemas yang menyelimuti hatinya. Setelah Kevin tertidur di sampingnya, Gina terjaga dalam kegelapan, pikirannya terus memutar ulang percakapan mereka. Hatinya gelisah. Sesuatu di balik senyum ramah Karla dan reaksi Kevin yang canggung saat melihatnya di kafe tidak bisa ia abaikan.Beberapa hari berlalu, dan Gina mulai memperhatikan perubahan kecil dalam perilaku Kevin. Ia menjadi lebih sering pulang terlambat, selalu dengan alasan pekerjaan atau rapat mendadak. Setiap kali Gina mencoba mengajak Kevin berbicara tentang perasaannya, Kevin akan menjawabnya dengan nada lembut namun penuh penjelasan logis, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, semakin banyak Kevin beralasan, semakin Gina merasa dirinya diabaikan.Suatu malam, ketika Kevin kembali terlambat lagi, Gina memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia tidak bisa lagi duduk diam dan menunggu sesuatu terjadi. Setelah anak-anak ti
Gina tidak langsung mendekati Kevin dan Karla. Ia berdiri dari kejauhan, memperhatikan suaminya tertawa lepas dengan wanita lain—wanita dari masa lalunya. Hati Gina berdebar keras, sementara pikirannya dipenuhi berbagai pikiran yang berkecamuk. Ia tahu, sebagai seorang istri, Kevin selalu jujur padanya, dan Gina berusaha untuk mempercayai suaminya. Tapi melihat kedekatan Kevin dengan Karla membuat hatinya tak tenang. Gina menggenggam erat tasnya, mencoba meredam emosi yang mulai naik.Saat Gina akan berbalik pergi, tanpa disadari, tatapan Kevin tertuju padanya. Wajahnya berubah seketika—senyum yang tadi mengembang kini tergantikan oleh keterkejutan. Karla, yang menyadari perubahan ekspresi Kevin, mengikuti arah pandangannya dan juga melihat Gina."Hei, Gina?" sapa Kevin dengan nada ragu. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Gina berusaha tersenyum meski hatinya tak menentu. "Aku hanya mampir sebentar untuk mengejutkanmu, mungkin kita bisa makan siang bersama," katanya pelan, mencoba terde
Kehidupan Kevin dan Gina setelah liburan di desa berjalan kembali ke ritme kota besar. Kevin tenggelam dalam pekerjaannya sebagai eksekutif di perusahaan besar, sementara Gina sibuk mengurus Keiva dan Keanu serta menjalankan bisnis kecil yang ia mulai dari rumah. Mereka masih sering mengenang momen indah di desa, dan meski topik tentang anak ketiga jarang dibicarakan lagi, Kevin tidak pernah benar-benar melupakannya.Suatu sore, saat Gina sedang menyiapkan makan malam, Kevin tiba-tiba menerima telepon dari perusahaannya. Ada proyek besar yang memerlukan perhatiannya, dan rapat mendadak dijadwalkan. "Gina, aku harus ke kantor sebentar, ada rapat penting yang harus kuhadiri," katanya sambil mengambil jasnya."Rapat lagi?" tanya Gina sedikit kecewa, tapi ia tahu pekerjaan Kevin memang selalu menuntut. "Baiklah, tapi jangan pulang terlalu larut ya."Kevin tersenyum dan mencium keningnya sebelum berangkat. "Aku akan segera pulang. Aku janji."Di kantor, Kevin disambut dengan atmosfer yang
Kevin dan Gina memutuskan untuk menghabiskan liburan mereka bersama kedua anak mereka, Keiva dan Keanu, di sebuah desa kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Desa itu terletak di kaki gunung, dengan pemandangan yang menakjubkan dan udara yang sejuk. Bagi mereka, ini adalah kesempatan untuk melepas penat, bersantai, dan menikmati kebersamaan sebagai keluarga. Hari pertama di desa dimulai dengan sarapan yang sederhana namun lezat. Gina memasak roti panggang dengan selai buatan sendiri, sementara Kevin sibuk membantu Keiva dan Keanu bersiap-siap untuk berjalan-jalan. Keiva, yang kini berusia lima tahun, sangat antusias untuk menjelajahi desa dan melihat hewan-hewan di peternakan terdekat. Keanu, yang baru berusia satu tahun, juga tampak senang meskipun ia belum mengerti banyak tentang petualangan yang menunggu. Pagi itu, mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi bunga liar. Kevin menggandeng tangan Keiva, sementara Gina menggendong Keanu yang terus tertawa melihat ku
Pernikahan kedua Kevin dan Gina yang sederhana namun penuh makna benar-benar menjadi awal baru bagi mereka. Setelah bertahun-tahun menghadapi berbagai ujian, mereka akhirnya bisa hidup bersama, kali ini dengan hati yang lebih terbuka dan ikatan yang lebih kuat. Mereka tak hanya memulai kembali kehidupan sebagai pasangan, tetapi juga sebagai orang tua dari dua anak, Keiva dan Keanu.Minggu-minggu setelah pernikahan mereka dipenuhi dengan kebahagiaan yang tiada tara. Keiva, putri pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sangat gembira dengan kehadiran adik laki-lakinya. Setiap hari, dia selalu ingin membantu Gina merawat Keanu, mulai dari menghiburnya saat menangis hingga ikut mengganti popok. Keiva tampak sangat menyayangi adiknya, dan ini membuat Kevin serta Gina semakin bahagia melihat kasih sayang yang tumbuh di antara anak-anak mereka.Suatu pagi yang cerah, Kevin dan Gina duduk di teras rumah mereka yang nyaman, mengamati Keiva bermain dengan Keanu yang masih berbaring di kere
Hari itu adalah salah satu hari paling membahagiakan dalam hidup Gina dan Kevin. Setelah bertahun-tahun terpisah oleh berbagai masalah, mereka akhirnya bisa bersama lagi. Gina sudah berjuang keras menghadapi masa-masa sulit, dan kini dia bisa merasakan kebahagiaan sejati. Kevin, yang selama ini dipenuhi dengan penyesalan dan rasa bersalah, akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menebus semua kesalahan dan memulai kembali hubungan mereka dari awal. Mereka berdua sedang duduk di ruang tamu rumah mereka, berbicara tentang masa depan, tentang rencana-rencana yang akan mereka jalani bersama sebagai sebuah keluarga. Gina tersenyum hangat sambil memegang perutnya yang sudah besar. Dia tengah hamil, dan hanya tinggal beberapa minggu lagi sampai kehamilan itu mencapai puncaknya. Kevin, yang duduk di sampingnya, menggenggam tangan Gina dengan penuh kasih sayang, membayangkan masa depan mereka bersama dengan anak yang akan segera lahir. "Rasanya seperti mimpi, Kev," kata Gina dengan mata yang
Kevin duduk di meja kerjanya dengan senyum tipis, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan terbaru dari Gina. Sudah beberapa hari ini dia berpura-pura menjadi "Alex," sosok yang dia ciptakan untuk membuat kejutan kepada Gina. Hubungan mereka yang baru saja kembali pulih membuat Kevin ingin melakukan sesuatu yang istimewa untuk menunjukkan bahwa dia benar-benar berkomitmen. Namun, dia tahu Gina tidak akan menyangka bahwa Alex dan Kevin adalah orang yang sama. Itu adalah bagian dari kejutan yang dia rencanakan.Gina, di sisi lain, mulai merasa aneh dengan perhatian yang diberikan Alex kepadanya. Alex, yang tiba-tiba muncul di hidupnya, selalu mengirim pesan yang hangat dan penuh perhatian, sesuatu yang sebenarnya mengingatkannya pada Kevin. Meski hatinya masih terfokus pada Kevin, kedekatan dengan Alex membuat Gina sedikit bingung dan gelisah. Dia tidak ingin memberi kesan kepada Kevin bahwa dia tertarik pada pria lain, tetapi semakin lama, perhatian dari Alex semakin sulit diabaikan