Tampak Gabriel berdiri di tengah-tengah ruangan yang berwarna putih. Kepala pria itu bergerak dan kedua matanya menelusuri ruangan itu yang benar-benar tidak memiliki ujung apapun. Di mana ini?Kamu ada di mimpiku, Gabriel.Suara bisikan dari arah belakang itu membuat kepala Gabriel memutar cepat dan ia membalikkan tubuhnya. Kedua mata hitamnya melebar dan mengerjap cepat saat melihat sosok yang sedang berdiri di depannya.Yang ada di depannya adalah sosok seorang wanita yang berambut panjang sampai ke pinggang langsingnya. Rambutnya berwarna cokelat kemerahan dan tampak bercahaya. Wajahnya tidak terlihat jelas dan tampak tersembunyi di balik cahaya yang seolah datang dari arah belakangnya. Gabriel hanya dapat melihat bibirnya yang berwarna merah muda."Siapa kau? Bagaimana kau bisa menarikku ke dalam mimpimu?"Tiba-tiba saja, jubah yang tadinya dikenakan oleh wanita itu menghilang dan tubuhnya polos di depan pria itu. Terkejut, Gabriel berpaling dan ia baru akan berbalik saat wanita
Keluarga kecil Hamilton tengah menikmati sarapan pagi bersama di meja makan. Tampak ketiganya saling bersenda gurau dan mengobrol santai. "Oh ya, sayang. Aku baru ingat. Tolong siapkan hidangan untuk makan malam ya. Aku berencana untuk mengundang tetangga baru kita nanti."Sharon yang sedang membereskan piring-piring tampak menaikkan alisnya. "Oh? Kita punya tetangga baru? Siapa memangnya, Steve?""Claude Zimmerman. Aku sudah pernah menceritakan tentang pria itu padamu dulu kan?""Karyawanmu yang baru mutasi dari Amerika itu? Namanya 'Claude'?"Menahan senyumnya, Stephen mengangguk. "Benar, Sharon. Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan dan aku harap, kamu tidak mengatakan apapun nanti pada pria itu. Dia sudah cukup banyak tersinggung sejak hari pertamanya karena candaan orang di kantor."Menoleh pada anaknya, pria baya itu menatapnya cukup tajam. "Dan itu juga termasuk dengan dirimu, Thunder. Dia adalah atasanmu di kantor bukan?"Gabriel yang tadinya sedang melamun sedikit terkejut d
"Kat?"Sorot Zimmerman menjadi lebih ramah dan dia tersenyum. "Ya. Kau bisa memanggilnya Cat, Thunder."Baru tersadar saat mendengar suara pria gempal itu, Thunder mengangguk meminta maaf pada tamunya. Bukannya mempersilahkan untuk masuk, ia malah membiarkan mereka berdiri terlalu lama di teras depan."Ah, maafkan saya telah tidak sopan. Silahkan masuk, Tuan dan Nyonya Zimmerman."Menepuk pelan bahu Gabriel, Zimmerman menghela isteri dan juga anaknya untuk memasuki rumah besar itu. Saat ketiga tamunya berjalan pelan menuju ruang makan, kepala Gabriel bergerak mengikuti dan masih terpaku pada sosok anak perempuan yang tampak mengekor di belakang orangtuanya.Tiba-tiba anak perempuan itu berhenti dan membalikkan badannya, membuat Gabriel terkejut. Keduanya saling bertatapan dan sorot amber di mata Catherine tampak menajam. Sangat terlihat jelas sorot benci di dalamnya. Mendadak, anak itu mengangkat tangan kanannya dan memberikan tanda dengan jari tengahnya yang mengacung sangat tegak, m
Setelah para tamu pergi, tampak keluarga Hamilton berkumpul kembali di ruang keluarga. Sharon menatap anaknya dengan senyuman masam saat Stephen menceritakan kejadian di ruang kerjanya. Tangan wanita itu terulur dan mengacak-acak rambut anaknya yang hitam legam."Jangan lakukan itu lagi, Thunder. Dan aku yakin kalau kamu akan menyesal, setelah mendengar ceritaku."Tatapan Gabriel bertanya-tanya, termasuk Stephen. "Memangnya ada cerita apa, sayang? Kalian mengobrol apa saja tadi?"Tubuh Sharon menyender pada kursi di belakangnya. Mereka bertiga duduk berselonjor dengan beralaskan karpet tebal. Sebelum akhirnya ia berbicara, tampak tarikan nafasnya yang dalam dan terasa berat."Sayang?" Stephen mengusap-usap bahu isterinya yang terlihat sedikit tertekan itu.Sharon menoleh pada suaminya dan tersenyum. Tangannya mengusap pipi pria itu lembut. "Aku tidak apa-apa, sayang. Hanya cerita Tatiana tadi sedikit membuatku kaget.""Memangnya dia menceritakan apa?""Kalian tahu kalau anak Claude da
"La-la-la-la-la... Wel, well, Michael... Atas kehormatan apa aku bisa mendapatkan kunjunganmu yang sangat tidak terduga ini, di istanaku yang kumuh ini?"Suara rendah dan menyebalkan pria di depannya ini, membuat seluruh bulu-bulu di tubuh Michael berdiri. Rambutnya bahkan menjadi jabrik hanya karena mendengar suara magis itu.Pria di depannya yang sedang duduk di singgasananya itu memakai jubah hitam panjang. Rambutnya lurus dan hitam. Tatapan matanya berwarna merah darah terlihat malas. Dagunya mendongak dan salah satu tangannya yang berada di bawah dagunya, terlihat berkuku panjang berwarna hitam yang lancip."Mana Gabriel...? Seharusnya dia yang datang, dan bukannya menyuruh pembantunya untuk menemuiku. Sungguh tidak sopan sekali..."Kembali tubuh Michael bergetar, bukan karena takut tapi memang getaran dari suara orang di depannya ini yang memberikan reaksi otomatis ke tubuhnya."Hentikan cosplay-mu, Apollyon! Kau sangat tidak cocok berpenampilan dan bersuara seperti itu! Segeral
"Gabriel?"Kedua mata hitam itu akhirnya mengerjap dan menolehkan kepalanya. Terlihat pandangannya masih belum memberikan ekspresi apapun, tapi Michael yakin kalau rekannya itu cukup shock dengan ceritanya."Apollyon yang mengatakannya sendiri?""Ya. Dia bahkan mengajakku ke taman bunganya, tidak seperti biasanya. Ternyata yang ingin diceritakannya merupakan rahasia yang ditutupnya rapat selama ini, bahkan dari para dewa.""Apa yang akan dilakukan oleh mereka kalau tahu jiwa itu masih berkeliaran di sini?"Tatapan Michael tajam pada temannya. "Mereka akan memusnahkannya. Karena kalau dari cerita Apollyon, jiwa silver itu memang ditakdirkan untuk mengorbankan nyawanya demi kebahagiaan para umat manusia, yang bahkan mereka bukanlah pengikutnya. Dan warna sebenarnya adalah kuning emas, mirip dengan kita. Tapi karena kejadian pusaran itu, dia berubah menjadi silver dan ia pun menjadi terjebak dalam lingkaran takdir tidak berujung. Sampai sekarang.""Dia tidak akan bisa memiliki reinkarnas
Menyadari situasi yang mulai di luar kontrolnya, Gabriel berusaha melepaskan genggaman Catherine tapi anak itu malah semakin erat memegangnya. Sekuat tenaga Gabriel berusaha menahan laju n*fsu di tubuhnya. Rohnya mulai bergejolak liar saat ini. Dan di saat ia hampir saja kehilangan kontrol dirinya, tiba-tiba terdengar suara halus dari arah belakangnya. "Gabriel?"Panggilan itu membuat kepala Gabriel menoleh dan di depannya, tampaklah sosok seorang pria berambut merah dan berjubah cokelat panjang, sedang berdiri dan mulai berjalan mendekatinya dari belakang."Apollyon...?"Kepala Jesselyn meneleng, berusaha melihat siapa pun yang menarik perhatian Gabriel dengan tiba-tiba. Kedua alisnya berkerut dalam saat tidak melihat siapa pun di belakang pria muda itu. Baru saja wanita itu membuka mulutnya, saat gerakannya tiba-tiba terlihat berjalan sangat lambat. Apollyon telah mengontrol waktu yang sedang berjalan di dunia, dengan membuat dimensi lain di dalamnya.Masih menatap Apollyon, Gabri
"Kamu yakin, Thunder?"Sharon yang sedang mengoleskan salep di pelipis anaknya bertanya pelan dan hati-hati. Ia berusaha agar suaranya tidak terdengar oleh Catherine, yang saat ini sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton.Gabriel yang sedang duduk di depannya, balas berbisik pada ibunya. "Aku yakin, mam. Aku mendengarnya sendiri. Suaranya halus. Tapi setelah itu, dia tidak mengatakan apapun lagi, meski aku sudah mencobanya."Merapihkan bekas-bekas kapas dari atas meja makan dan membuangnya, Sharon kemudian menutup kotak obatnya. Ia kembali memperhatikan anak perempuan kecil yang masih tampak asyik dengan tontonannya. "Kalau memang benar, Tatiana pasti akan sangat senang sekali. Dia dan suaminya mulai putus asa karena selama hampir 2 tahun ini, belum ada kemajuan yang berarti dari terapi anak itu.""Menurutku, lebih baik kita tidak mengatakannya dulu pada bibi Tatiana, mam. Aku tidak mau membuatnya kecewa, apalagi kalau benar aku hanya salah dengar tadi."Tersenyum simpul, Sharo
= Suatu waktu, di suatu tempat. Nun jauh di sana ="Apa yang sedang kau lakukan di sini?""Tidak ada.""Kau sedang menatap siapa?""Tidak ada."Jawaban menyebalkan itu membuat Hermes kesal, dan ia malah semakin mengintip. Dewa pria itu sedikit mendorong bahu dewa wanita yang ada di sebelahnya, dan langsung bersiul saat berhasil melihat apa yang dari tadi dipandangi oleh rekannya ini."Malaikat...? Kau naksir salah satunya?"Raut Pandora sama sekali tidak berubah. Ia masih menyender santai di pohon dan menatap nun jauh di sana pemandangan yang hanya dapat dilihat oleh mata keduanya. Dalam pandangan mereka, terlihat sosok dua orang malaikat. Satu berambut hitam dan lainnya merah. Keduanya tampak saling berdebat tentang sesuatu, dan tampak si merah kesal dengan si hitam yang terlihat bermuka datar.Memanyunkan bibirnya, Hermes menoleh pada Pandora yang hanya membalasnya dengan muka datar."Mana yang kau suka. Yang hitam atau yang merah?"Wanita itu tidak menjawab, membuat Hermes makin pe
"Gabriel, the supreme. Apakah masih ada lagi yang ingin dirimu tanyakan pada-Ku?"Gabriel mengangkat kepalanya dan ia menggeleng pelan. "Tidak Yang Maha Kuasa lagi Maha Pendengar dan Maha Segala Tahu. Aku Gabriel, telah sangat puas dengan jawaban-Mu. Tidak ada lagi keraguan dalam hatiku. Aku telah mengambil keputusan.""Kau memang telah mengambil keputusan, Gabriel. Jauh sebelum kau bertanya pada-Ku. Dan terpujilah semua langkah yang kau ambil, karena jiwa kasih sayangmu membuatmu menjadi seorang yang tidak egois dan sangat memikirkan orang lain. Kau telah menjalankan tugasmu dengan sangat baik. Lakukan semua menurut kehendak hatimu, karena hatimu telah dituntun oleh nuranimu. Ingatlah itu."Dan setelah itu, gaung mistis itu pun menghilang. Langit perlahan berubah menjadi cerah meski awan-awan masih mengelilingi langit, pertanda kalau mendung masih belum akan berakhir. Raphael yang tadinya terbang di angkasa pun pelan turun dan menjejakkan kakinya di permukaan. Tampak kedua matanya ya
"Bagaimana dia?""Berhasil. Seharusnya.""Seharusnya?""Azrael yang datang.""Malaikat maut? Dia sendiri yang akan menyerahkannya? Pada Tuan Michael?""Ya. Sepertinya begitu. Sekarang Tuan Michael sedang menunggu kedatangan Tuan Gabriel."Kepala salah satu dari mereka menunduk dalam. "Kalau yang ini tidak berhasil juga..."D*sahan nafas berat terdengar dari sebelahnya. "Jiwa itu hanya akan menghilang. Dan-""Dan apa?"Suara yang sangat berat terdengar di belakang mereka, membuat keduanya langsung menoleh kaget dan menundukkan kepalanya hormat. "Tuan Gabriel.""Ambrosio. Persephone. Kembali kalian berdua yang menyambutku."Masih menunduk, Ambrosio menjawab pelan. "Tuan Michael sudah menunggu Anda, Tuan Gabriel."Tampak kepala Gabriel mengangguk. "Di taman suci? Azrael juga hadir?""Ya, Tuan Gabriel. Mereka sudah menunggu kedatangan Anda di sana."Sejenak suasana hening dan ketika Ambrosio mengangkat kepalanya, ia tertegun melihat seraut senyum lembut terpatri di bibir pria yang dikenal
Under my dreamsI see the other sideI am the space of moonlightUnder your doorAnd you come to meet meSay you knew me beforeAnd when i'm lying by your headYou put your body into mine (Gregorian - Dark Side)***"Kat.""Gabe."Tampak dua sosok yang saling berpandangan dalam ruangan putih itu. Sosok sang wanita terbalut jubah panjang berwarna ungu gelap dan sang pria masih berbalut dengan jubah putihnya. Keduanya berdiri saling berhadapan dengan tangan yang saling bertautan. Senyum tampak terpatri di bibir mereka dan untuk sesaat, dua orang itu saling memandang sosok masing-masing dengan intens. Dua pasang mata itu bergerak-gerak penuh emosi ketika akhirnya pandangan mereka kembali bertemu.Salah satu tangan Kat mengelus pipi Gabriel yang kencang dan bersih tanpa jenggot."Sudah lama sekali aku tidak melihat sosokmu yang seperti ini, Gabe..."Perkataan itu membuat Gabriel terkekeh. "Sudah lama sekali kita tidak bertemu seperti ini, Kat."Kat mengangguk. "Ya. Terakhir melihatmu saa
Dalam sebuah taman yang indah, tampak sesosok pria yang tinggi dan berbadan tegap sedang mengamati bunga-bunga yang bermekaran di sana. Ia juga mengelus bunga tulip berwarna putih. Bunga kesukaannya. Dan pria berambut hitam itu tampak melamun. Ia melamun tapi bibirnya tersenyum samar. Raut wajahnya terlihat bercahaya dan bahagia. "Kau masih di sini?"Pertanyaan itu membuat kepala Gabriel mengangguk pelan, dan orang di belakangnya mendengus."Di saat aku menginginkan kau untuk segera pergi, kau masih betah berada di sini.""Aku hanya menikmati taman indahmu. Mengaguminya. Apakah kau mau aku untuk mendustakan anugerah yang telah diberikan oleh-Nya?"Kembali dengusan itu terdengar. "Tapi apakah kau harus menikmatinya di sini? Di tamanku ini? Kau bisa langsung pergi ke taman Uriel dan menikmati keindahan taman hijaunya di sana!""Tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan tamanmu ini, Apollyon. Kau diberkahi sepasang tangan dingin untuk menumbuhkan sesuatu yang indah.""Aku tersanjung den
"Jadi, kamu sudah serius akan menikahinya, Dec?"Saat ini, Gabriel sedang bersama dengan Declan di dalam ruangan kerja. Tampak keduanya duduk di sofa sambil menikmati teh, juga kue yang disajikan oleh isterinya serta calon menantunya.Meletakkan cangkir tehnya, kepala Declan mengangguk. "Ya, pap. Aku dan Angie sudah bersama sejak dua tahun ini. Aku juga sudah bertemu dengan keluarganya, dan latar belakang mereka cukup baik.""Mereka dari keluarga pebisnis juga?"Tampak Declan menggeleng pelan. "Mereka dari keluarga biasa, pap. Ayahnya Angie bekerja di perusahaan konstruksi sebagai engineer. Ibunya seorang psikolog. Adik Angie sekarang mengambil jurusan arsitektur dan akan lulus tahun depan. Ia juga sudah bekerja di sebuah perusahaan konsultan di Amerika sana sejak masih kuliah. Angie sendiri sekarang bekerja sebagai supervisor HC di HGC sudah sejak lima tahun ini. Mereka memang bukan dari keluarga kaya, tapi terpelajar." "Jadi dia bawahanmu di sana?"Pipi Declan tampak merona dan pri
"Kamu sudah baikan dengan Evan?""Kapan memangnya aku marahan dengan anak itu?""Gabe..."Sadar nada isterinya yang geram, Gabriel segera memeluk pinggang Kat dan mengusel-usel kepalanya di d*da wanita itu yang empuk dan hangat."Aku sudah bicara dengannya, honey. Semua sudah beres. Sekarang, usap-usap kepalaku."Menurut, Kat pun mengelus lembut kepala suaminya. Ia berhati-hati agar tidak sampai menyentuh bagian yang terluka. Meski seharusnya ia telah pulang, tapi Gabriel bersikeras agar dirinya dapat menginap di rumah sakit. Untungnya ruang rawat VVIP memiliki tempat tidur yang cukup luas, membuat mereka berdua leluasa untuk dapat berbaring tanpa saling mendorong. Seperti sekarang ini.Selama beberapa saat, Kat mengusap-usap kepala suaminya. Tampak pandangannya melamun."Gabe...?""Ya...?""Mengenai masalah Burton. Kamu yakin sudah beres?"Semakin memeluk erat pinggang Kat, pria itu mengangguk."Burton dan Luzt sudah dipenjara, honey. Meski mungkin jaringan pengedarnya masih belum te
"Benar dia tidak apa-apa, dokter?""Tidak ada gumpalan darah dalam kepalanya, Ny. Hamilton. Dan dari pemeriksaan, tidak ada retakan atau kerusakan yang parah karena kecelakaan itu. Tuan Hamilton hanya mengalami luka-luka luar saja. Ia cukup beruntung memiliki reaksi yang baik dan melakukan gerakan yang tepat. Jika tidak, mungkin saja akan ada cedera yang lebih fatal pada dirinya dan juga puteranya.""Tapi kenapa sampai sekarang dia belum sadar, dokter? Ini sudah hampir dua hari.""Kita hanya bisa berdoa saja, Nyonya. Karena meski secara medis tidak ada masalah tapi sebagai manusia, dokter juga punya keterbatasan. Dan yang perlu dingat, meski masih sangat bugar tapi Tuan Hamilton sudah berusia 60 tahun. Tentu fisiknya tidak akan sama dengan kondisinya 20 tahun yang lalu. Akan butuh waktu bagi tubuhnya untuk recovery yang kita juga masih memonitornya sampai dengan hari ini."Kepala Kat menunduk, dan ia kembali bertanya dengan suara pelan. "Apakah-"Belum juga kalimat Kat selesai, dari a
"Aku ingin mengajakmu bertaruh, Apollyon."Saat ini, Apollyon dan Gabriel sedang bermain catur di taman bunga pria berambut merah itu. Melihat dari posisi bidaknya, tampaknya ia yang akan memenangkan pertandingan ini."Bertaruh? Kau yakin?""Ya."Pria berambut merah itu terkekeh arogan. Ia memindahkan salah satu bidak dengan santai di depannya. Setelahnya, ia menyenderkan punggungnya santai di kursi dan mengangkat kedua tangannya sombong."Baiklah. Aku menyukai pertaruhan, karena aku selalu menjadi pemenangnya. Apa yang kau inginkan?"Kepala Gabriel mengangguk dan ia menggerakkan bidaknya di papan catur."Kalau aku memenangkan pertandingan ini, maka aku akan memberikan tepukan sayang di pipimu."Mendengar itu, kedua alis Apollyon berkerut. "Tepukan sayang? Apa itu?""Kau akan mengetahuinya saat aku memenangkan pertandingan ini. Bagaimana? Kau takut?"Tantangan yang menyebalkan itu berhasil menyulut kemarahan Apollyon. "Ayo! Siapa takut! Tapi sebaliknya, kalau aku yang memenangkan pert