"A-Alzham?" Ilker terbata. Ajeng menganggukkan kepala. "Kenapa kamu pergi sama dia?" Ajeng mengedikkan bahu. "Karena Mas Alzham mengajak saya pergi." Jawab Ajeng dengan datarnya. Ilker tak bisa berkata-kata. Ia tidak bisa melarang Ajeng untuk tidak pergi dengan Alzham. Ia tidak punya hak untuk itu, sekalipun ia punya kuasa untuk melakukannya. "Kalau sudah selesai, saya pamit." Ucap Ajeng pada Ilker dan tanpa menunggu jawaban dia meninggalkan ruangan. Sepulang kerja, Ajeng menemui Halwa. Jika hari sebelumnya ia tidak pulang dengan Ilker karena pria itu yang melarangnya, hari ini dia tidak pulang dengan Ilker karena sudah ada janji dengan Halwa untuk pergi ke kontrakannya. Halwa dan Ajeng sepakat akan pergi ke hotel bersama. Terlebih, Puri, teman baik Halwa mengatakan kalau dia mau membantu Ajeng dan Halwa untuk berias di kontrakan. Mengingat selama ini Ajeng memang tidak bisa menggunakan make-up dan ia juga enggan ke salon karena takut didandani berlebihan, ia akhirnya mau ikut d
Ilker tahu, kini perhatian semua orang ada padanya. Bukan hanya keluarganya saja yang memenuhi ballroom itu, tapi juga rekanannya, investornya dan para karyawan yang diundang untuk perwakilan divisi. Sehingga sekalipun enggan, Ilker harus bersikap ramah padanya. "Tidak." Jawab Ilker, berusaha bersikap sesopan mungkin. "Kamu bisa lihat sendiri kalau acaranya bahkan belum dimulai." Lanjutnya lagi. "Bagus." Ucap gadis itu seraya merangkul lengan Ilker. "Mas gak keberatan kan kalau aku disini? Kebetulan aku gak punya pasangan malam ini." Lanjutnya dengan nada merajuk. Ilker tidak memberikan jawaban apapun. Ia juga tidak melepaskan tangan Ayeleen dari lengannya karena tak mau disebut tidak sopan. "Sial!" Desisan Mirza di sebelahnya membuat Ilker menoleh dan memandang ke arah yang sama ke mana Mirza memandang. Saat itulah Ilker terpaku di tempatnya. Mulanya, yang Ilker lihat adalah Halwa yang berjalan di samping Rayyan. Keduanya tampak serasi berjalan beriringan. Dan Ilker merasa geli
Ajeng terdiam. Bisakah ia melakukannya? Bisakah ia pergi meninggalkan kediaman Levent yang selama ini sudah seperti rumahnya? Bisa! Tentu saja ia bisa! Ajeng sudah terbiasa tinggal dimanapun, dan ia tidak perlu tinggal menetap di suatu tempat jika ia tidak ingin atau jika tidak ada orang yang menginginkannya. Dia bukan gadis yang tidak tahu malu yang harus terus menempel layaknya parasit. "Kalau memang itu yang harus saya lakukan, akan saya lakukan, Sir." Ucap Ajeng dengan tegas. "Bahkan jika Anda memerintahkan saya untuk menghilang, saya akan menghilang." Lanjutnya tanpa ragu. "Sial!" lagi-lagi Ilker menggerutukan kata itu dan itu membuat Ajeng semakin sakit hati, entah untuk alasan apa. "Dengarkan aku, Ajeng." Ilker mengulurkan tangan dan berniat untuk menyentuh lengan atas gadis itu, namun kemudian ia menarik kembali tangannya dan mengepalkannya di kedua sisi tubuhnya, membuat Ajeng semakin yakin kalau memang di mata pria itu dirinya itu sangat menjijikan. Ajeng melangkah mun
"Aku akan melamarmu pada Raia atau Rianna. Aku akan menikah denganmu." Ucap Ilker tegas yang seketika membuat Ajeng terbelalak dan berdiri dari tempatnya. "Tidak!" Jawab Ajeng dengan suara tercekik. Gadis itu terlihat begitu panik. Ilker berdiri dari duduknya dan memandang Ajeng dengan bingung. Begitupun sebaliknya Ajeng. Ia memandang Ilker dengan tatapan takut. "Apa maksudmu?" Tanya Ilker heran. Ia tidak menduga akan mendapatkan penolakan secepat itu. Dan jujur, ego Ilker sedikit terluka saat mendengarnya. "Anda tidak boleh melakukan itu." Perintah Ajeng dengan tegas. Matanya masih memancarkan ketakutan. "Ajeng, setelah apa yang terjadi.." Ilker berusaha menjelaskan namun Ajeng memotongnya dengan cepat. "Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa, Sir." Perintahnya lagi yang membuat Ilker seketika shock dan memandangnya tak percaya. "Tidak terjadi apa-apa?!" Tanya Ilker kaget. Ia lagi-lagi merasa tersinggung. Setelah hal luar biasa yang terjadi diantara mereka, bagaimana bisa Aje
Sejak malam itu, Ajeng benar-benar menjaga jarak dari Ilker. Saat di kantor, ia berusaha berkomunikasi dengan Ilker sesingkat yang ia bisa. Dan saat di rumah, ia juga berusaha untuk tidak berada di ruangan yang sama hanya berduaan saja. Dan saat akhir pekan, dimana ia kuliah, barulah Ajeng merasa bisa bernapas lega. Tapi jika Ajeng bisa bernapas lega, maka berbeda halnya dengan Ilker. Selama beberapa hari terakhir ia merasa sangat lelah selalu kucing-kucingan dengan Ajeng. Gadis itu bersikap begitu dingin padanya dan bahkan tak mau menatapnya, tapi hal itu bukannya meringankan nafsunya, namun justru malah membuat pikirannya semakin liar. Bayangan bercumbu dengan Ajeng di kantor setiap ada kesempatan membuat tubuh Ilker sakit. Dan saat berada di rumah, membayangkan mengurung Ajeng di kamarnya ataupun kamar gadis itu kembali membuatnya frustasi. Ilker benar-benar merasa menjadi seorang maniak seks, dan ia menderita karena itu. Dan sekarang, saat Ajeng tidak ada di rumah karena haru
Ajeng masuk ke rumah lewat jalan belakang seperti biasa. Sekalipun ia harus berjalan memutar cukup jauh, ia tidak keberatan karena ia merasa memang asalnya dari sana. Dia bukan keluarga inti dan merasa tidak pantas masuk lewat jalan depan seperti yang lainnya. Dengan kepala berdenyut nyeri ia menyapa asisten rumah tangga yang kebetulan ada disana. Ajeng mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat. "Kamu baik-baik aja, Jeng?" Tanya Bu Lia, wanita berusia pertengahan empat puluhan itu dengan tatapan khawatir. Ajeng tersenyum dan menganggukkan kepala. "Baik, Bu. Kayaknya aku mau flu." Jawab Ajeng apa adanya. Hidungnya memang terasa gatal dan tenggorokannya sakit. Ditambah dengan kepalanya berdenyut membuat Ajeng yakin kalau dia terkena virus flu yang sedang mewabah di kampus saat ini. "Mau minum obat?" Tanya Bu Lia lagi. Ajeng menganggukkan kepala. Ajeng mendekati Bu Lia yang sedang mencarikannya obat dan menerimanya. "Obat ini bikin ngantuk, kalo habis minum pasti tidur. Kalo k
Ajeng menggesekkan pipinya pada sebuah permukaan yang terasa keras namun hangat. Apa ini? Tanyanya masih dengan mata terpejam. Tangannya terangkat untuk bisa lebih merasakan tekstur bulu itu. Benda yang dia sentuh itu lembut dan bergerak. Tidak selembut permukaan sarung bantalnya, apalagi selembut boneka beruang milik Ilsya. Telapak tangan Ajeng semakin naik ke atas sampai tangannya sejajar dengan pipinya dan Ajeng merasakan bulu-bulu itu tidak setebal rambut. Ia bisa merasakan deru di telinganya dan pipinya bergerak naik turun dengan agak cepat. Ajeng mengernyit. "Apa kau sengaja melakukan ini untuk menggodaku?" Suara geraman seseorang membuat kernyitan Ajeng semakin dalam. "Ya Tuhan, Ajeng, berhenti menyentuhku seperti itu!" perintah seseorang dengan gigi terkatup. Ajeng kini mengenali suaranya dan seketika ia terbelalak. Hal yang pertama kali dilihatnya adalah telapak tangannya ada di atas dada Ilker. Terkejut, Ajeng seketika bergerak mundu
"Apa yang kalian lakukan?!" Pekikan panik yang disertai dengan debaman pintu membuat Ilker seketika menyembunyikan Ajeng di balik tubuhnya.Ajeng gemetar di belakang tubuh Ilker. Ia teramat sangat mengenal suara itu dan ia benar-benar takut dibuatnya. Sementara Ilker, dia pun terkejut karena tidak menyangka akan kedatangan tamu di pagi hari seperti ini."U-Uncle? Apa yang Uncle lakukan disini?" Tanya Ilker kaget pada adik sepupu ayahnya itu."Siapa orang yang ada di belakangmu, Ilker?" Pria itu balik bertanya pada Ilker dengan suara rendah yang membuat Ilker dan Ajeng seketika bergidik ngeri."I-ini. Dia..""Jangan sembunyikan dia dari Uncle." Perintah pamannya lagi dengan gigi terkatup."Uncle.. dia.."Paman Ilker mendekat dengan langkah cepat, mencengkeram lengan Ilker dan menariknya berdiri sehingga pria berusia awal tujuh puluh tahun itu bisa melihat sosok yang sedang Ilker sembunyikan.
"TA-TAPI MAS.." Ajeng mendesis lirih saat merasakan kecupan Ilker di lehernya."Hmm?" Tanya Ilker tanpa menjauhkan bibirnya dari leher Ajeng, mengendusnya seolah sedang membaui tubuh wanita itu."Sampai kapan kita akan disini?" Tanya Ajeng gugup. Sisa kewarasannya mulai membuatnya takut akan anggapan orang-orang terhadap hubungan mereka nantinya. Ia sangat tidak suka jika orang berdesas-desus tentang dirinya.Ya, mereka memang sudah menikah. Meskipun surat-surat resmi mereka belum keluar, tapi tetap saja mereka sudah halal untuk selalu bersama kapanpun dan dimanapun.Meski demikian, Ajeng masih belum siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang melihatnya nanti.Bayangkan saja, apa yang akan dipikirkan oleh resepsionis Ilker, atau sekretaris pria itu besok saat melihat Ajeng keluar dari kantor Ilker di pagi atau siang atau mungkin sore hari tanpa pernah melihatnya masuk?Atau bertanya-tanya dimana keberadaannya dan apa yang dil
AJENG MERINTIH PELAN. Ia merasa sekujur tubuhnya terasa ngilu. Ia ingin bangun tapi rasa ngilu di tubuhnya malah membuatnya ingin meringkuk lebih lama.Matanya perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah jendela kaca lebar dengan tampilan sinar-sinar kecil yang indah.Apa diluar sedang ada pesta kembang api? Tanyanya pada diri sendiri. Tapi sinar-sinar itu tidak bergerak layaknya kembang api pada umumnya.Ajeng semakin mengetatkan selimutnya dan memilih untuk melihat pemandangan itu lebih lama."Sudah bangun?" Pertanyaan bernada lirih rendah itu membuat Ajeng sadar kalau dia tidak sendirian. Seketika ingatannya kembali masuk. Adegan demi adegan yang ia lakukan beberapa jam sebelumnya membuat Ajeng membelalakkan mata.Ia menoleh, dan melihat Ilker sedang duduk di belakangnya. Pria itu tengah menunduk dan memandang ke arahnya. Tangannya yang besar terulur perlahan dan menyibak rambut Ajeng."Sudah baikan?" Tanyanya lagi seraya menyent
“MAKSUDNYA?" Tanya Ajeng bingung.Ilker duduk di tepian tempat tidur dan tersenyum. "Maksudnya, serahkan dirimu padaku. Disini, saat ini juga. Aku tidak akan mengambil keperawananmu, Ajeng. Kamu yang harus menyerahkannya padaku." Ucapnya masih dengan senyum nakalnya yang membuat Ajeng bukan hanya terbelalak tapi terpaksa menelan ludah dengan susah payah."Me-menyerahkan keperawanan?" Tanya Ajeng bingung.Ilker mengangguk pelan. "Aku tidak akan menyentuhmu, tapi kamu yang akan menyentuhku." Ucapnya dengan senyum miring di wajahnya. "Lupakan cara konvensional dimana suami yang selalunya mengambil keperawanan istri. Kali ini, aku ingin kamu memerawani dirimu sendiri, denganku." Ucap Ilker lagi."Ta-tapi bagaimana?" Tanya Ajeng bingung."Bercintalah denganku, dengan caramu." Lanjut Ilker lirih.Mendengar kata bercinta membuat kewanitaan Ajeng berdenyut dan memanas. Ia sudah membayangkan bagaimana rasanya bercinta sejak dimalam pertama Ilke
AJENG BERDIRI tepat di depan gedung Kralligimiz. Kepalanya mendongak memandang bangunan tinggi itu. Entah sudah keberapa kali ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. Sekarang, saat ia berada di depan gedung, kakinya terasa sangat berat untuk melangkah.Ini bukan hal yang benar. Gumamnya pada diri sendiri seraya memutar badan, hendak berjalan menuju gerbang.Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi dia bisa bicara pada Ilker? Tanyanya lagi dan kembali memutar badan menghadap depan gedung.Ini terlalu impulsif. Lanjutnya lagi seraya menggelengkan kepala kembali memutar tubuhnya.Tapi ia sudah melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk sampai di kantor ini, tidak mungkin dia pergi begitu saja tanpa bicara dengan Ilker.Mereka harus menyelesaikan masalah 'Istri Papa' ini dan membuat Ilsya tenang. Jika tidak, llsya bisa benar-benar tidak mau pulang. Terlebih keinginan bocah kecil itu sangat didukung oleh kakak Ajeng, Rianna."
SESUATU YANG HANGAT terasa membelai bagian bawah tubuh Ajeng. Secara naluriah Ajeng bergerak mundur mendekati benda hangat yang berdenyut di bagian bawah bokongnya. Usapan dan remasan lembut juga ia rasakan di bagian dada yang membuatnya melenguh lirih."Sshhh.. jangan berisik, nanti Ilsya bangun." Bisik seseorang tepat di telinga kanannya. Seketika mata Ajeng terbelalak terkejut. Tubuhnya yang sejak tadi menggeliat sekarang berubah menjadi kaku. Ia membuka mata dan melihat Ilsya yang tertidur lelap tepat di hadapannya.Bantal yang tadi ia gunakan rupanya telah berganti menjadi lengan kekar berbulu milik Ilker yang kini telapak tangannya menyusup masuk ke dalam kaus yang Ajeng kenakan yang sepertinya sejak tadi mulai bermain dengan payudaranya sementara tangan lain pria itu—seperti biasa—menyusup masuk ke dalam celananya."Sir, apa yang Anda lakukan?" bisik Ajeng lirih tanpa berani menoleh."Menyentuhmu, tentu saja. Menurutmu apa lagi
AJENG TERBANGUN saat matahari sudah cukup terik. Ia benar-benar terkejut, pasalnya selama bekerja di kediaman Adskhan-Caliana ia tidak pernah terlambat atau bangun sampai sesiang ini.Dengan segera Ajeng bangkit dan membersihkan diri.Bagaimana ini? Pikirnya dalam hati. Para asisten di kediaman Adskhan-Caliana pasti menduga dirinya besar kepala karena kini, setelah menikah dengan Ilker, Ajeng berubah menjadi pemalas. Padahal bukan itu yang diinginkan dan diniatkan oleh Ajeng.Setelah menikah dengan Ilker, Ajeng justru ingin tetap sama atau mungkin menjadi lebih rajin daripada sebelumnya.Ajeng turun ke lantai satu dan langsung melangkah masuk menuju dapur kotor. Saat pintu terbuka, kegiatan yang sedang dilakukan para asisten terhenti seketika.Dua pasang mata memandang langsung ke arahnya. Awalnya dengan ekspresi terkejut, dan lama-lama berubah menjadi senyum jahil dan siulan rendah meledek."Ekhem, yang habis unboxing kayaknya keca
"MAU KEMANA?" Tanya Ilker dengan nada dingin yang membuat bulu kuduk Ajeng merinding seketika."A-anu..""Jadi kau berniat untuk tidur terpisah denganku?" Tanya Ilker lagi dengan alis bertaut dan tatapan dinginnya yang membuat Ajeng menelan ludah dengan susah payah."Bu-bukan begitu, Sir. Aku...""Sir?" Seru Ilker dengan nada yang cukup tinggi. "Kau memanggilku, suamimu, dengan sebutan Sir?" Tanya Ilker dengan nada tak suka.Ajeng dibuat semakin serba salah karenanya. "A-anu.. itu..." Kenapa Ajeng mendadak menjadi gagap seperti ini? Ini seperti bukan dirinya. Keluhnya dalam hati."Ikuti aku." Perintah Ilker dan tanpa menunggu jawaban Ajeng, pria itu berjalan menjauh, melangkah menuju kamarnya sendiri.Ilker membuka pintu dan menahannya tetap terbuka, menunggu Ajeng menyusulnya.Dengan jantung berdebar kencang tak karuan, Ajeng melangkah masuk ke dalam kamar dan sesaat setelahnya, Ilker menutup pintu d
ILKER BERDIRI dengan perasaan tak menentu. Ia gelisah sepanjang malam memikirkan pernikahannya dengan Ajeng.Ini bukan pernikahan pertamanya, tapi tetap saja, mau tak mau ia harus mengakui kalau ia merasa gugup.Pagi hari, dua sepupunya sudah datang menjemputnya. Mengatakan kalau mereka takut Ilker berubah pikiran di detik-detik terakhir dan memilih untuk lari sebelum pernikahan dilangsungkan.Gila. Random sekali pikiran mereka. Kalau memang Ilker ingin lari, kenapa dia tidak lari dari berhari-hari yang lalu? Pikirnya sinis.Dia justru sangat siap menghadapi pernikahan ini, terlebih membayangkan pembalasan dendam yang akan ia lakukan pada Ajeng setelahnya membuat ia tidak bisa menghilangkan senyum licik di wajahnya.Ilker mandi dengan santai, tidak terburu-buru meskipun para sepupunya memintanya demikian.Walau bagaimanapun, sekalipun pernikahan ini akan dilangsungkan secara sederhana, Ilker tetap ingin terlihat sempurna.Saat melangk
PERNIKAHAN BERLANGSUNG.Pagi hari Ajeng dijemput oleh mobil keluarga dan kemudian dibawa ke rumah sakit dimana Tuan Adskhan dirawat.Ya, pernikahan Ajeng dan Ilker memang akan dilaksanakan di rumah sakit, secara sederhana dan hanya dihadiri oleh anggota keluarga.Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, pernikahan Ajeng dan Ilker akan dilakukan secara agama terlebih dulu, baru kemudian didaftarkan di KUA, atau mungkin sebenarnya saat ini sudah di daftarkan, Ajeng tidak tahu.Sampai saat Ajeng dijemput, orangtua angkat Ajeng tidak banyak bicara. Ajeng tahu, sampai saat ini ayah angkatnya masih tidak memberikan restu pada Ilker untuk meminangnya. Tapi Ajeng berpikir kalau ini semua dia lakukan untuk kebaikan semua orang, untuk kebaikan ayah angkatnya sendiri. Karena Ajeng yakini, jauh di lubuk hatinya, ayah angkatnya itu ingin Tuan Adskhan kembali sehat.Setelah menengok Tuan Adskhan sejenak, Ajeng kemudian digiring ke salah satu kamar tidu