Sore hari setelah percakapan di kantor. Mirza, Halil dan Rayyan dengan sengaja datang berkunjung ke penthouse. Ketiga pria itu dengan sengaja menekan bel sebagai pemberitahuan alih-alih langsung masuk dengan menggunakan password yang mereka miliki. Dengan perasaan gugup, ketiganya saling pandang di depan pintu sampai kemudian pintu benar-benar dibuka dan Ilker muncul dari dalam dengan tatapan bingung terarah kepada adik dan dua saudara sepupunya. Melihat sosok Ilker saat ini dalam versi sebenarnya—karena selama ini mereka hanya melihat Ilker dari foto—membuat ketiga pria itu terpana. Ilker yang sekarang jelas memiliki tubuh lebih besar daripada lima tahun lalu, dan terlihat berantakan dengan rambut panjang yang digerai membuat ketiganya serentak berseru, "Wow..." dengan suara cukup kencang. Rayyan melangkah masuk ke dalam penthouse seraya menggelengkan kepala. "Gaya loe nyentrik banget, Bang." Komentarnya seraya menepuk bisep Ilker dan meremasnya pelan. "Berotot juga." Ucapnya de
Di kantor, Ajeng melihat rekan-rekannya tampak antusias dengan ponsel mereka. Hal yang tidak aneh sebenarnya mengingat jaman sekarang semua informasi bisa didapat dari ponsel, maka Ajeng mengerti kenapa mereka bisa begitu fokus dengan benda pipih itu. Namun yang membuatnya sedikit penasaran adalah saat mereka berbisik-bisik dan membawa nama Kralligimiz. Apa yang terjadi? Apa Kralligimiz sedang berada dalam masalah? Ajeng keluar dari lift dan melangkah menuju meja Halwa. Berbeda dengan sepanjang lobi dan perjalanannya menuju lift. Lantai dimana para petinggi perusahaan itu berada memang jauh lebih senyap. Orang-orang tidak bermain ponsel, namun tetap, mereka juga tengah berbisik dengan satu sama lainnya meskipun tak sekentara yang ia lihat tadi. "Kamu tahu info yang beredar?" Sabrina tiba-tiba mengajukan pertanyaan saat Ajeng baru saja sampai. Ajeng melirik Halwa, atasannya itu menggelengkan kepala pelan. "Info apa?" Tanya Ajeng ingin tahu. "Anak sulungnya Sir Adskhan, kakak ter
Ajeng menyandarkan punggungnya di pintu dengan tangan mencengkeram bagian depan handuk dengan erat. Jantungnya berdebar kencang. Napasnya memburu cepat. Melihat Ilker tadi, entah bagaimana membuatnya malu dan gugup. Ya Tuhan bagaimana bisa ia muncul di depan pria itu dalam keadaan setengah telanjang seperti ini? Ia benar-benar merasa malu. Di sisi lain, di luar pintu, Ilker juga masih belum melepaskan cengkeraman tangannya dari gagang pintu. Jantungnya sama, berdebar dengan teramat kencang. Ia menyandarkan dahinya di pintu dengan mata tertutup, namun sayangnya yang ia lihat malah bayang-bayang bahu dan leher Ajeng yang kecil, putih dan mulus. Ilker menelan ludah, berusaha untuk menghilangkan bayangan tubuh Ajeng yang membuat bagian bawahnya berdenyut nyeri begitu saja. Ia melepas pegangan dengan cepat seolah benda itu teramat panas dan melangkah menjauh. 'Ya Tuhan, aku sudah mulai gila.' Bisiknya dalam hati. 'Bagaimana bisa aku membayangkan tubuh gadis muda itu dengan begitu vul
Sabtu pagi, dengan semangat baru, Ilker turun ke lantai bawah dan bersiap untuk sarapan. Kakaknya, beserta suami dan juga keponakan-keponakan Ilker. Kedua orangtua Ilker dan juga Ilsya rupanya sudah ada di bawah dan mengisi meja. Yang tidak ada adalah Mirza dan juga Ajeng. Ilker melangkah mendekati meja makan dan menyapa semua orang. Mengusap kepala putrinya dan mengecupnya lembut sebelum duduk. Kakak perempuannya, Syaquilla dan putri sulungnya Ayla sedang menyiapkan makanan di atas meja. Menduga kalau Ajeng juga turut membantu, Ilker melirik ke arah dapur kotor, namun sampai kakak dan keponakannya duduk, Ajeng tak juga muncul. "Kemana Mirza?" Tanya Ilker sebagai pancingan. Menduga kalau adiknya itu masih tidur di kamarnya. "Mirza sudah pergi tadi pagi-pagi sekali bersama Ajeng." Ibunya menjawab pertanyaan Ilker dengan nada datarnya. "Pergi? Dengan Ajeng?" tanyanya dengan dahi berkerut dalam. Ibunya menganggukkan kepala. "Kemana?" Tanyanya ingin tahu. "Ke apartemen." Jawab ibu
Bagi Ilker, Minggu berlalu dengan perasaan yang sama. Menyebalkan. Ajeng menghilang sejak pagi dan baru muncul kembali saat menjelang malam. Rasanya ingin sekali Ilker mendemo kampus Ajeng karena membiarkan mahasiswinya pulang sampai malam. Memangnya pihak kampus akan bertanggung jawab semisal dalam perjalanan pulang terjadi sesuatu pada mahasiswinya. Misal terjadi kecelakaan karena mahasiswinya mengantuk dan lalai dalam berkendara, apa mereka akan merasa bersalah? Ya, meskipun Ajeng tidak mengendarai kendaraan sendiri, tapi itu justru lebih mengkhawatirkan. Orang jahat banyak bertebaran diluar sana. Dan bagaimana jika salah satu dari mereka mengincar Ajeng? Tapi, Ilker juga tidak mungkin menawarkan diri mengantar ataupun menjemput Ajeng ke kampus tanpa membuat orang lain curiga. Sekalipun ia menggunakan khawatir sebagai alasannya, tetap saja itu membuat orang akan mengernyitkan dahi kepadanya. Mirza yang lebih dekat dengan gadis itu pun tidak melakukan hal yang sama, kenapa dia h
Ajeng memperhatikan seluruh ruangan dan bisa dikatakan dekorasinya tidak terlalu berbeda dengan dekorasi kantor Mirza. Di belakang meja kerja Ilker terdapat dinding kaca lebar yang menunjukkan pemandangan kota. Lemari tinggi berisi buku dan beberapa penghargaan. Entah itu sertifikat atau piala. Ajeng pernah mendengar kalau Ilker memang sering mendapatkan penghargaan dari sebuah kompetisi karena lagu-lagu yang dia ciptakan. Di sisi lain dinding terdapat sebuah pintu yang bentukannya hampir sama dengan pintu yang tadi dia lihat di lorong. Apakah itu studio khusus milik Ilker? Ajeng tidak tahu, tapi mungkin nanti dia akan tahu. "Papa akan pergi ke ruangan Papa, dan kamu bisa berdiskusi dengan Ajeng kalau memang ada yang harus kamu ubah." Ucap Sir Adskhan yang membuat Ajeng kembali fokus pada situasi saat itu. "Dia ada disini untuk membantumu." Lanjutnya seraya memandang Ajeng. Ajeng menganggukkan kepala sebagai tanggapan. "Kita bisa menunda pengumuman sampai kamu siap." Ucap Sir Adsk
Kumpulan orang-orang pun dibubarkan. Ilker, Mirza, ayahnya dan para asisten juga meninggalkan aula dan berjalan menuju lift secara beriringan. Tentu saja, Ayeleen turut mengikuti mereka dan terus menempel pada Ilker sementara Ajeng dan Halwa berdiri di baris paling belakang dengan buket bunga besar berada dalam pelukannya. Ajeng berusaha untuk menutup hidungnya. Dia bukannya tidak suka bunga. Dia suka dengan bunga, hanya saja entah darimana, entah dari pembungkus bunga atau bunga itu sendiri, menguarkan aroma parfum yang sangat kuat dan itu membuat Ajeng merasa pusing. Ia tidak mungkin membuang bunga itu karena itu bukan miliknya, tapi berlama-lama memegangnya pun ia merasa tak sanggup. Saat pintu lift terbuka. Sir Adskhan dan asistennya, Mirza, Ilker, Ayeleen juga asisten Ayeleen masuk. Berikutnya Halwa dan Sabrina turut masuk. Namun saat Ajeng hendak masuk, keberadaannya dan buket bunga besar dalam pelukannya justru akan membuat ruang terasa semakin sempit. Karena itulah, alih-a
Supir mengantarkan mereka ke Askim Elbise, butik milik sepupu Ilker. Hanira, wanita cantik pemilik butik tampak berdiri menyambut Ilker dan Ajeng di depan pintu. "Suatu kehormatan untuk menyambut kedatangan Anda, Sir Ilker." Ucapnya dengan nada berlebihan seraya mencium pipi Ilker. "Langsung saja ke ruanganku." Ucap Hanira pada Ilker yang berjalan lebih dulu. "Atau kau mau fitting di atas?" Tanyanya lagi namun Ilker menggelengkan kepala. Pria itu melangkah lebih dulu menuju ruangan Hanira dimana asisten Hanira sendiri sudah ada disana. Jika saja Ajeng tidak mengenal mereka, tentu ia akan berpikir sikap Hanira menyambut Ilker itu terlalu mesra. Untung saja suami wanita tersebut tidak ada disana, karena kalau ada, Ajeng yakin akan ada adegan cemburu berlebihan yang tampak disana. "Bagaimana harimu?" Tanya Hanira pada Ajeng seraya melakukan hal yang sama, mengecup pipinya. Ilker melangkah lebih dulu ke dalam butik sementara Ajeng dan Hanira berjalan beriringan. "Cukup baik." Jawab Aje
"TA-TAPI MAS.." Ajeng mendesis lirih saat merasakan kecupan Ilker di lehernya."Hmm?" Tanya Ilker tanpa menjauhkan bibirnya dari leher Ajeng, mengendusnya seolah sedang membaui tubuh wanita itu."Sampai kapan kita akan disini?" Tanya Ajeng gugup. Sisa kewarasannya mulai membuatnya takut akan anggapan orang-orang terhadap hubungan mereka nantinya. Ia sangat tidak suka jika orang berdesas-desus tentang dirinya.Ya, mereka memang sudah menikah. Meskipun surat-surat resmi mereka belum keluar, tapi tetap saja mereka sudah halal untuk selalu bersama kapanpun dan dimanapun.Meski demikian, Ajeng masih belum siap untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang yang melihatnya nanti.Bayangkan saja, apa yang akan dipikirkan oleh resepsionis Ilker, atau sekretaris pria itu besok saat melihat Ajeng keluar dari kantor Ilker di pagi atau siang atau mungkin sore hari tanpa pernah melihatnya masuk?Atau bertanya-tanya dimana keberadaannya dan apa yang dil
AJENG MERINTIH PELAN. Ia merasa sekujur tubuhnya terasa ngilu. Ia ingin bangun tapi rasa ngilu di tubuhnya malah membuatnya ingin meringkuk lebih lama.Matanya perlahan terbuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah jendela kaca lebar dengan tampilan sinar-sinar kecil yang indah.Apa diluar sedang ada pesta kembang api? Tanyanya pada diri sendiri. Tapi sinar-sinar itu tidak bergerak layaknya kembang api pada umumnya.Ajeng semakin mengetatkan selimutnya dan memilih untuk melihat pemandangan itu lebih lama."Sudah bangun?" Pertanyaan bernada lirih rendah itu membuat Ajeng sadar kalau dia tidak sendirian. Seketika ingatannya kembali masuk. Adegan demi adegan yang ia lakukan beberapa jam sebelumnya membuat Ajeng membelalakkan mata.Ia menoleh, dan melihat Ilker sedang duduk di belakangnya. Pria itu tengah menunduk dan memandang ke arahnya. Tangannya yang besar terulur perlahan dan menyibak rambut Ajeng."Sudah baikan?" Tanyanya lagi seraya menyent
“MAKSUDNYA?" Tanya Ajeng bingung.Ilker duduk di tepian tempat tidur dan tersenyum. "Maksudnya, serahkan dirimu padaku. Disini, saat ini juga. Aku tidak akan mengambil keperawananmu, Ajeng. Kamu yang harus menyerahkannya padaku." Ucapnya masih dengan senyum nakalnya yang membuat Ajeng bukan hanya terbelalak tapi terpaksa menelan ludah dengan susah payah."Me-menyerahkan keperawanan?" Tanya Ajeng bingung.Ilker mengangguk pelan. "Aku tidak akan menyentuhmu, tapi kamu yang akan menyentuhku." Ucapnya dengan senyum miring di wajahnya. "Lupakan cara konvensional dimana suami yang selalunya mengambil keperawanan istri. Kali ini, aku ingin kamu memerawani dirimu sendiri, denganku." Ucap Ilker lagi."Ta-tapi bagaimana?" Tanya Ajeng bingung."Bercintalah denganku, dengan caramu." Lanjut Ilker lirih.Mendengar kata bercinta membuat kewanitaan Ajeng berdenyut dan memanas. Ia sudah membayangkan bagaimana rasanya bercinta sejak dimalam pertama Ilke
AJENG BERDIRI tepat di depan gedung Kralligimiz. Kepalanya mendongak memandang bangunan tinggi itu. Entah sudah keberapa kali ia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. Sekarang, saat ia berada di depan gedung, kakinya terasa sangat berat untuk melangkah.Ini bukan hal yang benar. Gumamnya pada diri sendiri seraya memutar badan, hendak berjalan menuju gerbang.Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi dia bisa bicara pada Ilker? Tanyanya lagi dan kembali memutar badan menghadap depan gedung.Ini terlalu impulsif. Lanjutnya lagi seraya menggelengkan kepala kembali memutar tubuhnya.Tapi ia sudah melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk sampai di kantor ini, tidak mungkin dia pergi begitu saja tanpa bicara dengan Ilker.Mereka harus menyelesaikan masalah 'Istri Papa' ini dan membuat Ilsya tenang. Jika tidak, llsya bisa benar-benar tidak mau pulang. Terlebih keinginan bocah kecil itu sangat didukung oleh kakak Ajeng, Rianna."
SESUATU YANG HANGAT terasa membelai bagian bawah tubuh Ajeng. Secara naluriah Ajeng bergerak mundur mendekati benda hangat yang berdenyut di bagian bawah bokongnya. Usapan dan remasan lembut juga ia rasakan di bagian dada yang membuatnya melenguh lirih."Sshhh.. jangan berisik, nanti Ilsya bangun." Bisik seseorang tepat di telinga kanannya. Seketika mata Ajeng terbelalak terkejut. Tubuhnya yang sejak tadi menggeliat sekarang berubah menjadi kaku. Ia membuka mata dan melihat Ilsya yang tertidur lelap tepat di hadapannya.Bantal yang tadi ia gunakan rupanya telah berganti menjadi lengan kekar berbulu milik Ilker yang kini telapak tangannya menyusup masuk ke dalam kaus yang Ajeng kenakan yang sepertinya sejak tadi mulai bermain dengan payudaranya sementara tangan lain pria itu—seperti biasa—menyusup masuk ke dalam celananya."Sir, apa yang Anda lakukan?" bisik Ajeng lirih tanpa berani menoleh."Menyentuhmu, tentu saja. Menurutmu apa lagi
AJENG TERBANGUN saat matahari sudah cukup terik. Ia benar-benar terkejut, pasalnya selama bekerja di kediaman Adskhan-Caliana ia tidak pernah terlambat atau bangun sampai sesiang ini.Dengan segera Ajeng bangkit dan membersihkan diri.Bagaimana ini? Pikirnya dalam hati. Para asisten di kediaman Adskhan-Caliana pasti menduga dirinya besar kepala karena kini, setelah menikah dengan Ilker, Ajeng berubah menjadi pemalas. Padahal bukan itu yang diinginkan dan diniatkan oleh Ajeng.Setelah menikah dengan Ilker, Ajeng justru ingin tetap sama atau mungkin menjadi lebih rajin daripada sebelumnya.Ajeng turun ke lantai satu dan langsung melangkah masuk menuju dapur kotor. Saat pintu terbuka, kegiatan yang sedang dilakukan para asisten terhenti seketika.Dua pasang mata memandang langsung ke arahnya. Awalnya dengan ekspresi terkejut, dan lama-lama berubah menjadi senyum jahil dan siulan rendah meledek."Ekhem, yang habis unboxing kayaknya keca
"MAU KEMANA?" Tanya Ilker dengan nada dingin yang membuat bulu kuduk Ajeng merinding seketika."A-anu..""Jadi kau berniat untuk tidur terpisah denganku?" Tanya Ilker lagi dengan alis bertaut dan tatapan dinginnya yang membuat Ajeng menelan ludah dengan susah payah."Bu-bukan begitu, Sir. Aku...""Sir?" Seru Ilker dengan nada yang cukup tinggi. "Kau memanggilku, suamimu, dengan sebutan Sir?" Tanya Ilker dengan nada tak suka.Ajeng dibuat semakin serba salah karenanya. "A-anu.. itu..." Kenapa Ajeng mendadak menjadi gagap seperti ini? Ini seperti bukan dirinya. Keluhnya dalam hati."Ikuti aku." Perintah Ilker dan tanpa menunggu jawaban Ajeng, pria itu berjalan menjauh, melangkah menuju kamarnya sendiri.Ilker membuka pintu dan menahannya tetap terbuka, menunggu Ajeng menyusulnya.Dengan jantung berdebar kencang tak karuan, Ajeng melangkah masuk ke dalam kamar dan sesaat setelahnya, Ilker menutup pintu d
ILKER BERDIRI dengan perasaan tak menentu. Ia gelisah sepanjang malam memikirkan pernikahannya dengan Ajeng.Ini bukan pernikahan pertamanya, tapi tetap saja, mau tak mau ia harus mengakui kalau ia merasa gugup.Pagi hari, dua sepupunya sudah datang menjemputnya. Mengatakan kalau mereka takut Ilker berubah pikiran di detik-detik terakhir dan memilih untuk lari sebelum pernikahan dilangsungkan.Gila. Random sekali pikiran mereka. Kalau memang Ilker ingin lari, kenapa dia tidak lari dari berhari-hari yang lalu? Pikirnya sinis.Dia justru sangat siap menghadapi pernikahan ini, terlebih membayangkan pembalasan dendam yang akan ia lakukan pada Ajeng setelahnya membuat ia tidak bisa menghilangkan senyum licik di wajahnya.Ilker mandi dengan santai, tidak terburu-buru meskipun para sepupunya memintanya demikian.Walau bagaimanapun, sekalipun pernikahan ini akan dilangsungkan secara sederhana, Ilker tetap ingin terlihat sempurna.Saat melangk
PERNIKAHAN BERLANGSUNG.Pagi hari Ajeng dijemput oleh mobil keluarga dan kemudian dibawa ke rumah sakit dimana Tuan Adskhan dirawat.Ya, pernikahan Ajeng dan Ilker memang akan dilaksanakan di rumah sakit, secara sederhana dan hanya dihadiri oleh anggota keluarga.Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, pernikahan Ajeng dan Ilker akan dilakukan secara agama terlebih dulu, baru kemudian didaftarkan di KUA, atau mungkin sebenarnya saat ini sudah di daftarkan, Ajeng tidak tahu.Sampai saat Ajeng dijemput, orangtua angkat Ajeng tidak banyak bicara. Ajeng tahu, sampai saat ini ayah angkatnya masih tidak memberikan restu pada Ilker untuk meminangnya. Tapi Ajeng berpikir kalau ini semua dia lakukan untuk kebaikan semua orang, untuk kebaikan ayah angkatnya sendiri. Karena Ajeng yakini, jauh di lubuk hatinya, ayah angkatnya itu ingin Tuan Adskhan kembali sehat.Setelah menengok Tuan Adskhan sejenak, Ajeng kemudian digiring ke salah satu kamar tidu