Ilker terbangun dengan disorientasi waktu. Sejenak ia menduga bahwa saat ini ia sedang berada dalam mimpi. Bagaimana bisa dia berada di kamar yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan? Tapi kemudian ia ingat bahwa semalam, tanpa paksaan dan dalam kondisi pikiran yang jernih, ia menawarkan diri untuk mengantarkan Ajeng dan Ilsya kembali ke kediaman kedua orangtuanya. Ilker mengerang. Kenapa ia melakukan tindakan impulsif seperti ini? Kenapa ia tidak memikirkan konsekuensi dari apa yang dia lakukan? Sekarang ia harus bagaimana? Ia berlari selama lima tahun terakhir ini. Dan alih-alih kembali untuk memohon maaf kepada kedua orangtuanya, ia malah memilih untuk bersembunyi. Lalu karena sebuah dorongan tak jelas, entah itu karena Ilsya atau Ajeng, ia kembali ke rumah kedua orangtuanya. Apa yang harus dilakukannya jika ia bertemu dengan kedua orangtuanya nanti? Penjelasan apa yang bisa dijabarkannya pada mereka? Apa yang harus ia katakan pada mereka? Bisakah ia menghadapi kedua oran
Ajeng hampir saja terlambat sampai ke Kralligimiz. Entah bagaimana dalam perjalanannya, rantai motor yang ia tumpangi tiba-tiba saja putus di tengah jalan yang membuatnya mau tak mau harus memesan ojek online untuk bisa sampai ke kantor. Pak Soleh berkali-kali meminta maaf dan merasa bersalah pada Ajeng, tapi apa mau dikata, namanya juga musibah. Sesampainya ia di meja Halwa, Ajeng kembali dibuat terkejut karena atasannya itu tiba-tiba saja memperkenalkan Ajeng pada sosok gadis bertubuh tinggi, berbadan bagus dan berpenampilan menarik—cenderung seksi di mata Ajeng—sebagai calon penggantinya. "Sabrina, ini Ajeng. Dia akan bekerja bersama kita juga disini." Ucap Halwa saat memperkenalkan Ajeng pada calon penggantinya itu. Ajeng tak mau mengakuinya, namun sejujurnya ia merasa risih dengan tatapan menilai yang diberikan Sabrina padanya. Apa ini perasaannya saja, atau memang teman barunya itu tidak menyukai keberadaan Ajeng disana? Ajeng juga bisa melihat sorot menilai di mata Halwa
Sore hari setelah percakapan di kantor. Mirza, Halil dan Rayyan dengan sengaja datang berkunjung ke penthouse. Ketiga pria itu dengan sengaja menekan bel sebagai pemberitahuan alih-alih langsung masuk dengan menggunakan password yang mereka miliki. Dengan perasaan gugup, ketiganya saling pandang di depan pintu sampai kemudian pintu benar-benar dibuka dan Ilker muncul dari dalam dengan tatapan bingung terarah kepada adik dan dua saudara sepupunya. Melihat sosok Ilker saat ini dalam versi sebenarnya—karena selama ini mereka hanya melihat Ilker dari foto—membuat ketiga pria itu terpana. Ilker yang sekarang jelas memiliki tubuh lebih besar daripada lima tahun lalu, dan terlihat berantakan dengan rambut panjang yang digerai membuat ketiganya serentak berseru, "Wow..." dengan suara cukup kencang. Rayyan melangkah masuk ke dalam penthouse seraya menggelengkan kepala. "Gaya loe nyentrik banget, Bang." Komentarnya seraya menepuk bisep Ilker dan meremasnya pelan. "Berotot juga." Ucapnya de
Di kantor, Ajeng melihat rekan-rekannya tampak antusias dengan ponsel mereka. Hal yang tidak aneh sebenarnya mengingat jaman sekarang semua informasi bisa didapat dari ponsel, maka Ajeng mengerti kenapa mereka bisa begitu fokus dengan benda pipih itu. Namun yang membuatnya sedikit penasaran adalah saat mereka berbisik-bisik dan membawa nama Kralligimiz. Apa yang terjadi? Apa Kralligimiz sedang berada dalam masalah? Ajeng keluar dari lift dan melangkah menuju meja Halwa. Berbeda dengan sepanjang lobi dan perjalanannya menuju lift. Lantai dimana para petinggi perusahaan itu berada memang jauh lebih senyap. Orang-orang tidak bermain ponsel, namun tetap, mereka juga tengah berbisik dengan satu sama lainnya meskipun tak sekentara yang ia lihat tadi. "Kamu tahu info yang beredar?" Sabrina tiba-tiba mengajukan pertanyaan saat Ajeng baru saja sampai. Ajeng melirik Halwa, atasannya itu menggelengkan kepala pelan. "Info apa?" Tanya Ajeng ingin tahu. "Anak sulungnya Sir Adskhan, kakak ter
Ajeng menyandarkan punggungnya di pintu dengan tangan mencengkeram bagian depan handuk dengan erat. Jantungnya berdebar kencang. Napasnya memburu cepat. Melihat Ilker tadi, entah bagaimana membuatnya malu dan gugup. Ya Tuhan bagaimana bisa ia muncul di depan pria itu dalam keadaan setengah telanjang seperti ini? Ia benar-benar merasa malu. Di sisi lain, di luar pintu, Ilker juga masih belum melepaskan cengkeraman tangannya dari gagang pintu. Jantungnya sama, berdebar dengan teramat kencang. Ia menyandarkan dahinya di pintu dengan mata tertutup, namun sayangnya yang ia lihat malah bayang-bayang bahu dan leher Ajeng yang kecil, putih dan mulus. Ilker menelan ludah, berusaha untuk menghilangkan bayangan tubuh Ajeng yang membuat bagian bawahnya berdenyut nyeri begitu saja. Ia melepas pegangan dengan cepat seolah benda itu teramat panas dan melangkah menjauh. 'Ya Tuhan, aku sudah mulai gila.' Bisiknya dalam hati. 'Bagaimana bisa aku membayangkan tubuh gadis muda itu dengan begitu vul
Sabtu pagi, dengan semangat baru, Ilker turun ke lantai bawah dan bersiap untuk sarapan. Kakaknya, beserta suami dan juga keponakan-keponakan Ilker. Kedua orangtua Ilker dan juga Ilsya rupanya sudah ada di bawah dan mengisi meja. Yang tidak ada adalah Mirza dan juga Ajeng. Ilker melangkah mendekati meja makan dan menyapa semua orang. Mengusap kepala putrinya dan mengecupnya lembut sebelum duduk. Kakak perempuannya, Syaquilla dan putri sulungnya Ayla sedang menyiapkan makanan di atas meja. Menduga kalau Ajeng juga turut membantu, Ilker melirik ke arah dapur kotor, namun sampai kakak dan keponakannya duduk, Ajeng tak juga muncul. "Kemana Mirza?" Tanya Ilker sebagai pancingan. Menduga kalau adiknya itu masih tidur di kamarnya. "Mirza sudah pergi tadi pagi-pagi sekali bersama Ajeng." Ibunya menjawab pertanyaan Ilker dengan nada datarnya. "Pergi? Dengan Ajeng?" tanyanya dengan dahi berkerut dalam. Ibunya menganggukkan kepala. "Kemana?" Tanyanya ingin tahu. "Ke apartemen." Jawab ibu
Bagi Ilker, Minggu berlalu dengan perasaan yang sama. Menyebalkan. Ajeng menghilang sejak pagi dan baru muncul kembali saat menjelang malam. Rasanya ingin sekali Ilker mendemo kampus Ajeng karena membiarkan mahasiswinya pulang sampai malam. Memangnya pihak kampus akan bertanggung jawab semisal dalam perjalanan pulang terjadi sesuatu pada mahasiswinya. Misal terjadi kecelakaan karena mahasiswinya mengantuk dan lalai dalam berkendara, apa mereka akan merasa bersalah? Ya, meskipun Ajeng tidak mengendarai kendaraan sendiri, tapi itu justru lebih mengkhawatirkan. Orang jahat banyak bertebaran diluar sana. Dan bagaimana jika salah satu dari mereka mengincar Ajeng? Tapi, Ilker juga tidak mungkin menawarkan diri mengantar ataupun menjemput Ajeng ke kampus tanpa membuat orang lain curiga. Sekalipun ia menggunakan khawatir sebagai alasannya, tetap saja itu membuat orang akan mengernyitkan dahi kepadanya. Mirza yang lebih dekat dengan gadis itu pun tidak melakukan hal yang sama, kenapa dia h
Ajeng memperhatikan seluruh ruangan dan bisa dikatakan dekorasinya tidak terlalu berbeda dengan dekorasi kantor Mirza. Di belakang meja kerja Ilker terdapat dinding kaca lebar yang menunjukkan pemandangan kota. Lemari tinggi berisi buku dan beberapa penghargaan. Entah itu sertifikat atau piala. Ajeng pernah mendengar kalau Ilker memang sering mendapatkan penghargaan dari sebuah kompetisi karena lagu-lagu yang dia ciptakan. Di sisi lain dinding terdapat sebuah pintu yang bentukannya hampir sama dengan pintu yang tadi dia lihat di lorong. Apakah itu studio khusus milik Ilker? Ajeng tidak tahu, tapi mungkin nanti dia akan tahu. "Papa akan pergi ke ruangan Papa, dan kamu bisa berdiskusi dengan Ajeng kalau memang ada yang harus kamu ubah." Ucap Sir Adskhan yang membuat Ajeng kembali fokus pada situasi saat itu. "Dia ada disini untuk membantumu." Lanjutnya seraya memandang Ajeng. Ajeng menganggukkan kepala sebagai tanggapan. "Kita bisa menunda pengumuman sampai kamu siap." Ucap Sir Adsk