Lara hanya dapat tersenyum. Meski ucapan Mas Gala terdengar bagai gombalan yang sangat klise, tetapi itu tetap berhasil membuat wajahnya memerah. Lara berusaha mencari topic pembicaraan lain agar dia bisa menyamarkan kesalahtingkahannya. Perlahan-lahan Lara mengangkat wajahnya dan menatap layar ponsel, Lara langsung disuguhkan oleh dua pasang mata cokelat yang sangat membuatnya terpesona.“Mas Gala?” Lontarnya.“Ya, sayang cantiknya Mas?” Ujar Mas Gala.Lara tergelak mendengar ucapan bucin yang kembali keluar dari mulut Mas Gala.“Kenapa mata Mas Gala cokelat?” Tanya Lara.“Semua mata orang di negara ini kan cokelat, Ra.” Jawab Mas Gala.“Masa sih, mataku enggak.” Ucap Lara.“Coba kamu litany dibawah sinar yang terang.”“Tapi mata Mas Gala walaupun nggak di bawah sinar yang terang, tetap cokelat. Cokelat jelas banget.” Ujar Lara.“Berarti mata Mas Gala cuma lebih terang aja dari yang lain. Keturunan kali, karena mata Ibu juga kayak gini warnanya.” Jelas Mas Gala.“Oh, ya?”“Iya.”“Kat
Setelah sistem lockdown di terapkan oleh pemerintah, semua warga (harusnya) menjalankan aktivitasnya di rumah. Tetapi sangat banyak masyarakat yang berontang mengecam sistem kerangkeng itu. Sangat banyak pekerjaan yang tidak mungkin bisa dijalankan jika hanya di rumah saja. Mungkin para pegawai tidak akan terlalu mempermasalahkan, karena pekerjaan mereka bisa dikerjakan di mana saja, asalkan terhubung dengan jaringan internet. Namun bagaimana dengan para pedagang kaki lima pinggir jalan? Mereka masih berusaha keras mencuri-curi kesempatan untuk berjualan dan semakin kerap dikejar-kejar petugas. Para buruh pabrik terkena PHK besar-besaran, sedangkan mereka harus memberikan ponsel pada anak-anaknya untuk belajar online. Masih banyak lagi profesi yang terancam dihilangkan sementara, entah sampai kapan pandemi ini berakhir. Masih banyak nyawa yang terancam, tingkat bunuh diri menjadi tertinggi pada enam bulan terakhir, semenjak sistem lockdown diberlakukan.Pemerintah seakan terjebak disi
“Lara harus mau juga Mas kasih sesuatu.” Ucap Mas Gala.Terdengar dari seberang telepon Lara tertawa kecil.“Okay, deal.” Balas Lara.“Udah larut malam, Ra. Tidur, ya?” Ucap Mas Gala, “walaupun besok nggak kemana-mana tapi kan tetap banyak yang harus dikerjakan.” Lanjutnya.“Iya, baik, Mas.” Jawab Lara, “Mas Gala juga tidur, ya.” Lanjutnya.“Mas nanti sayang.”“Nanti kapan?”“Nggak tahu kapan, sengantuknya aja.”“Mas Gala selalu gitu.” Dengus Lara yang kesal.“Gitu gimana, Ra?” Tanya Mas Gala.“Nggak pernah peduliin kesehatan.” Jawab Lara.Mas Gala tertawa kecil di seberang telepon.“Iya deh, sayang.” Ucapnya, “Mas coba tidur, ya.” Lanjutnya.“Gitu dong sekali-kali dengerin Lara.” Lontar Lara.“Iya, iya bawel. Jangan marah lagi, ya?”“Iya, Mas.”“Kiss me.” Ucap Mas Gala.“Hah? Apa?” Lara tidak percaya dengan apa yang didengarnya.“Good night, Ra.” Jawab Mas Gala dengan jawaban yang tak sebenarnya.“Oh, good night, Mas Gala.” Ujar Lara yang tak ingin memperdebatkannya.Telepon terputu
“Berapa?” Tanya Lara.“Dua puluh …” Jawab Mas Gala terjeda, “Lima.” Lanjutnya.“Hah?”“Dua pulu lima.” Ujar Mas Gala, “Silisih usia kita sangat jauh, Ra. Dua puluh lima.” Lanjutnya.“Mas Gala bercanda kan?”‘I’m serious, Ra.”Lara terdiam, dia masih belum menerima bahwa pernyataan Mas Gala tadi bukan merupakan candaan. Itu konyol, pria dengan wajah seperti itu mengaku bahwa usianya nyaris lima puluh tahun. Benar-benar tak masuk akal, Lara kembali mengigat struktur wajah Mas Gala yang bahkan terlihat tidak jauh dari usia Lara sendiri. Dia sangat muda, saat tertawa tidak ada kerutan di kedua belah sisi matanya, apalagi uban-uban yang harusnya sudah bermunculan di usia seperti itu, meski bisa saja dia memakai semir rambut ataupun skincare anti aging. Tetapi semua itu tidak begitu penting dibandingkan keresahan Lara yang lain, soal omongan ibunya.“Jangan sekali-kali kamu menikah dengan pria yang paut usianya sangat jauh lebih tua, ibu tidak mau nasibmu sepertiku.” Kalimat ibunya itu tern
“Ra, are you ok?” Tanya Mas Gala.“Iya.”Mas Gala berdehem dan tertawa kecil.“Lara khawatir, ya?” Tanyanya. “Kamu tenang aja ya, Ra. Itu semua Mas rasakan sebelum kenal sama kamu, sebelum mencintai kamu. Sekarang semuanya udah berubah, kamu beda, Ra, kamu bisa mengubah cara pandang Mas terhadap dunia. Mas jadi paham sekarang, kalau Mas butuh wanita dan wanita itu kamu.” Jelas Mas Gala dengan panjang lebar.Lara teridam, tak mampu mendeskripsikan kegembiraan yang dirasakan setelah mendengar ucapan itu melalui kata-kata. Air matanya tak kuasa untuk jatuh, haru menyelimuti dadanya. Hanya suara sesenggukan yang terdengar oleh Mas Gala.“Lara nangis?” Tanya Mas Gala, “Kok nangis, sayang. Ada kata-kata Mas yang nyakitin kamu, ya, Ra?” Lanjutnya.“Enggak, Mas.” Jawab Lara, “Lara nangis karena terlalu bahagia punya kamu.” Lanjutnya.“Syukurlah.” Ucap Mas Gala. Meski Lara tak melihat, dia tetap melengkungkan senyuman.“Mas Gala, makasih, ya.” Ujar Lara.“No, Ra. Mas belum pantas menerima ucap
“Jangan lupa makan malam, ya, sayang.” Ketik Lara, lalu dia mengimkan pesan itu kepada Mas Gala.Malam itu, selepas mengerjakan semua tugasnya, baik tugas perkulihan maupun tugas pekerjaan, seperti biasa Lara ingin melepaskan penatnya dengan bercengkrama bersama Mas Gala. Sekarang tak ada lagi canggung ataupun sungkan jika Lara menghubunginya terlebih dahulu, karena hubungan mereka sudah berjalan satu tahun setengah. Namun, malam itu sedikit berbeda, Lara tak pernah mendapatkan balasan lebih dari setengah jam dan sekarang dia harus mendapati bahwa pesan yang dikirimnya dua jam lalu tak mendapat jawaban.Perasaan khawatir mulai menyelmuti hatinya, meski malam sudah cukup larut, Lara tak berminat untuk tidur, matanya masih menyala dan kepalanya di penuhi tanya. Lara terus-terusan coba menghubungi Mas Gala, menggunakan semua akun media sosialnya. Namun jawabannya nihil, semuanya tak mendapatkan jawaban. Mungkin saja jika rumah mereka tak berjarak begitu jauh, Lara pasti akan menemui p
Meski komunikasinya dengan Mas Gala semakin berkurang, Lara tak mengkhawatirkan apapun. Tentang kesetiaan itu, ia yakin Mas Gala bisa untuk dipercayai. Asalkan, menurut prinsipnya sibuk adalah hal yang wajar tetapi tidak sempat mengabari dalam waktu dua puluh empat jam adalah kemustahilan. Jadi sesingkat apapun pesan yang dibalaskan oleh Mas Gala ke ponselnya dalam satu, itu sudah lebih dari cukup untuknya.“Wah, udah mau jadi relawan. Berarti Lara udah semester enam, ya, semoga tahun depan udah jadi sarjana, ya. semoga besok hasil test-nya bagus dan Lara bisa lulus.”“Lara jaga kesehatan selalu, ya!”“Maaf mas baru sempat balas.”“Mas sayang Lara!”Deretan pesan beruntun itu masuk ke ponsel Lara pada pukul tiga dini hari, saat Lara terlelap dalam balutan selimutnya di kasur. Ia baru membacanya esok pagi dan itu seakan menjadi amunisi untuk menambah semangatnya mengikuti tes kesehatan. Lara semakin percaya diri bahwa dia akan lulus, terlebih dia tak sedang merasakan gejala-gejal
Melihat Bentara juga ada diantara mahasiswa yang tak dibagikan laporan hasil tesnya, Aria tidak berkomentar apa-apa, dia diam saja. Wajahnya tiba-tiba memucat. Nampaknya kali ini dia benar-benar panik. Mereka berlima melangkah memasuki ruangan kepala lab dengan membawa kekhawatiran yang sama; khawatir jika batal untuk mengikuti program relawan. Ruangan itu tak luas, di dalamnya sedang duduk seorang lelaki yang terlihat masih segar meski uban sudah hampir rata menyebar di kepalanya. Dia segera memasang maskernya saat menyadari kehadiran kelima mahasiswa itu. Dia tidak mungkin mempersilakan mereka untuk duduk karena kursi di ruangan itu hanya dua dan yang satunya sudah dia tempati untuk duduk.“Kalian tenang dulu, ya.” Ujarnya seolah menyadari arti dari kegusaran yang terpancar di mata kami berlima.Bagaimana aku bisa tenang? Batin Lara berkecamuk, keringat dingin mulai terasa membuat jemarinya licin. Dia melirik ke arah Aria, wajah temannya itu semakin pucat saja. Kemudian dia member
Mungkin hanya Lara yang bisa merasakan patah hati dan jatuh cinta sekaligus. Sekali waktu dia bisa menangis sejadi-jadinya, bahkan di tempat umum sekalipun saat mengingat kembali Mas Gala. Mereka tidak pernah lagi saling mengirim pesan setelah memutuskan untuk berpisah, rasanya seperti hampir gila menjalani hari-hari tanpa orang yang bahkan sebelumnya pun keberadaannya seperti tak ada. Entah jenis cinta macam apa yang melanda Lara ini.Namun di waktu lain, Lara merasakan sangat dimabuk cinta dengan Bentara. Hampir setiap hari mereka menghabiskan malam-malam panjang dengan saling menc*mbu. Lara tak pernah merasakan kenikmatan seperti yang Bentara suguhkan pada tubuhnya, pada hatinya. Bahkan jika dibandingkan dengan Gaga, yang merupakan orang pertama yang menyentuh Lara, Bentara jauh lebih baik dari segi apapun."Ra?" Gumam Bentara, di atas dada Lara."Ya?""Udah bisa sayang aku?" Tanyanya."Aku udah sayang kamu sejak kita makan cookies." Jawab Lara lalu tergelak."Kenapa nggak kentara
"Mau pakai baju?" Tanya Bentara, namun beberapa detik setelah kalimat itu terucap Bentara mengutuk dirinya sendiri karena mengajukan pertanyaan bodoh semacam itu."Iya." Jawab Lara. Lalu hendak memakai bajunya namun Bentara menyadari hal yang janggal."Sorry." Ucap Bentara lalu menyentuh br* yang Lara gunakan, "Ini basah, Ra, nggak dicopot aja?" Lanjutnya.Lara sama sekali tak terlihat keberatan saat Bentara menyentuh bagian itu."Tapi aku nggak ada gantinya." Jawab Lara, saat ini gadis itu tanpa malu-malu menatap wajah Bentara."Nggak apa-apa, dilepas aja nanti bajunya di download pakai sweater jeans aku yang tebal jadi nggak kentara." Ucap Bentara, meski nampak salah tingkah dia berusaha menatap kembali wajah Lara yang merona merah. "Dilepas, ya?" Ucapnya dengan lembut lalu mengusap-usap permukaan kulit di sekitar br* itu."Iya." Jawab Lara sambil mengangguk, napasnya sudah tidak beraturan.Tangan Bentara bergerak, membuka kait br* di punggung Lara. Sesuatu yang tadinya merekat kenc
"Apakah aku sudah benar-benar jatuh cinta pada Bentara?""Tidak, tidak! Tidak mungkin!""Tapi kenapa aku membiarkannya mencium tanganku?"Semua pertanyaan-pertanyaan itu dikeluarkan Lara untuk dirinya sendiri. Dia membanting tubuhnya di atas kasur, pikirannya melayang ke saat di mana Bentara mencium tangannya. Jantungnya kembali berdegup kencang, rasa bahagia terasa meluap-luap di dadanya. Itu pasti karena dia sudah jatuh cinta, kenyataan itu tidak mungkin lagi terbantahkan."Oh, apa yang aku lakukan, apakah ini sudah termasuk berkhianat?" Gumamnya.Lara langsung meraih ponselnya, dia segera mengetikkan sesuatu untuk dikirim pada Mas Gala, tak peduli pesan-pesan lamanya tak dibalas."I miss you, Mas. Kamu sebenarnya di mana?" Pesan itu terkirim ke nomor Mas Gala, dengan perasaan yang tak menentu Lara tetap menunggu balasan pesan itu. Lalu dia bertanya pada dirinya apakah isi pesan itu memang benar karena dia rindu, ataukah hanya rasa bersalahnya pada Mas Gala karena Lara telah berken
"Oh iya, hati-hati, ya. Jangan terlalu malam diantar pulangnya." Jawab ibu Lara."Iyaa tante."."Bu, Lara jalan dulu, ya.""Iya sayang."Mereka berdua kemudian memasuki mobil Bentara, lalu beranjak pergi. Ibu Lara baru menutup pintu rumahnya saat Lara dan Bentara sudah pergi."Kenapa tiba-tiba ngajakin ke luar?" Tanya Lara."Nggak apa-apa sih, cuman belum biasa aja." Jawab Bentara dengan jawaban yang menggantung."Belum biasa?" Tanya Lara."Belum biasa lama-lama nggak ngeliat kamu."Lara tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya diam dan memalingkan wajahnya ke luar jendela, berusaha menutupi pipinya yang memerah.Tak berselang lama akhirnya mereka tiba di kedai cookies yang dimaksud oleh Bentara."Yakin belum pernah ke sini?" Tanya Bentara saat mereka baru saja duduk di bangku pengunjung kedai itu."Belum." Lara menggelengkan kepalanya."Mau pesan apa dong?""Kamu aja yang pesenin, yang menurut kamu enak.""Siap, tunggu sini ya." Ucap Bentara lalu berdiri untuk memesan makanan.Tak lam
Bus itu mulai melaju, bergerak perlahan meninggalkan desa yang mengukir sejuta kenangan meski Lara hanya sejenak berada di sana. Lara selalu merasa bahwa ada sesuatu yang tertinggal meski sudah berkali-kali dia mengecek ulang barng-barangnya sebelum berangkat tadi, mungkin karena separuh hatinya sudah tertinggal dan menetap di desa itu selama-lamanya. Lara teringat akan seseorang yang membuatnya kemudian mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mulai mengetik sesuatu.“Mas Gala, kamu apakabar? Hari ini Lara pulang, Mas, pengaadian Lara di desa itu sudah selesai. Lara udah maafin kamu dan maaf karena Lara udah abaikan chat kamu berhari-hari. Lara mau perbaiki semuanya. Semoga setelah Lara udah nggak program relewan lagi, masalah-masalah yang muncul di hubungan kita selama aku program bisa mereda. Lara masih sayang, sangat sayang sama Mas Gala, tak ada yang berubah seperti pertama kali Lara jatuh cinta sama kamu.” Pesan itu dikirimkan ke nomor Mas Gala.Bersamaan dengan terkirimnya pesan it
"Buat Rachel, menurut aku kamu nggak pernah nyebelin, selalu baik. Buat Baham, kamu juga baik dan keliatan banget peduli sama semua orang di regu ini. Kalau Adrian, aku nggak tahu hal apa yang positif di kamu, tapi itu nggak bikin aku benci sama kamu meskipun kita sering berantem. Buat Bentara, please ya, lain kali kalo negur nggak usah pakai bentak-bentak. Kalau buat Jul, kamu jangan terlalu baik sama cewek soalnya cewek itu gampang baper." Tutup Aniya."Gila ya, unek-unek terpendam banget kayaknya, semua keburukan terkuak di sini." Cibir Adrian, "Tapi nggak apa-apa sih, bagus malah, Aniya yang paling jujur. Bisa dicontoh nih " Lanjutnya."Adrian, kamu tahu nggak sih no interupsi? Ya udah kayaknya dari tadi udah mau ngomong kan, silakan sekarang giliran kamu." Ujar Lara."Kalau aku sih nggak akan banyak ngomong, cuma mau berterima kasih sama memohon maaf sebanyak-banyaknya sama kalian semua." Ujar Adrian."Yee sekali nggak disuruh ngomong nyerocos terus sekali di suruh ngomong pelit
Waktu ternyata benar-benar tak terasa jika kita terus bercakap-cakap sepanjang perjalanan. Akhirnya mereka semua tiba di rumah Pak Sepuh pada pukul sebelas malam. Di desa Mandala, orang-orang tidak perlu mengunci pintu rumahnya karena desa itu aman dari maling. Karena itulah mereka semua tidak perlu repot-repot harus membangunkan Pak Sepuh dan Bu Marta untuk bisa masuk ke dalam rumah.Mereka segera membersihkan diri, meskipun sudah mencoba sekuat tenaga untuk tidak berisik agar tak mengganggu Pak Sepuh dan Bu Marta tapi akhirnya mereka berisik juga apalagi saat Aniya bertemu dengan Adrian dan saling berebut untuk mendahului masuk ke kamar mandi.Semua lelah seakan sudah mencapai puncaknya saat itu, sehingga mereka semua jatuh tertidur tak lama setelah badannya tersentuh kasur.Lara yang sudah hampir tertidur melirik ke arah ponselnya yang bergetar dan itu adalah panggilan dari Mas Gala. Dalam keadaan setengah sadar Lara mengambil ponselnya dan menyentuh tombol reject, lalu jatuh terti
Itu adalah destinasi terakhir dalam trip perpisahan mereka. Sebenarnya Bila sudah mengusulkan untuk menambah satu hari lagi karena masih banyak destinasi wisata lain di tempat itu yang belum mereka kunjungi. Tetapi Lara tak bisa lagi, tubuhnya sudah tidak kuat untuk menambah liburan yang melelahkan itu meskipun cuma satu hari.Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang saat itu ke desa Mandala. Saat mereka mulai beranjak, malam baru saja jatuh sempurna di belahan bumi tempat mereka berpijak."Pelan-pelan aja, guys. Jangan ada yang ngebut ya. Yang penting kita bisa sampai tujuan dengan selamat." Baham memberi instruksi kepada teman-temannya sebelum mereka berangkat.Di perjalanan pulang itu, mereka tidak selalu berada dalam jarak berdekatan seperti saat pergi. Itu karena semuanya sudah hafal jalan pulang tidak seperti saat mereka berangkat.Performa Aniya dalam berkendara semakin menurun. Dia beberapa kali hampir celaka, untung tak ada teman-temannya yang lain yang melihat selain Lara yan
Sesampainya di sana, nenek Adrian ternyata tidak ada di rumahnya. Beruntung waktu itu tante Adrian yang rumahnya bersebelahan dengan neneknya sedang berada di rumah. Jadi, mereka beristirahat dan memasak makan siang mereka di sana.Mereka di sambut dengan anj*ng yang terus menggonggong saat hendak masuk ke dalam rumah itu. Lara yang memiliki trauma dengan hewan itu karena pernah dikejar hingga tersungkur waktu kecil, menjadi sangat takut saat hendak masuk ke rumah tante Adrian. Lara terus-menerus meremas baju Aulia dari belakang."Ra, ambilin charger aku dong di motorku." Celetuk Bentara dengan entengnya, tentu saja Bentara tahu Lara takut dengan anj*ng dan dia ingin menggodanya."Dih, kenapa jadi aku yang disuruh." Jawab Lara."Bukan nyuruh, Ra. Aku minta tolong." Ujar Bentara."Aku takut keluar, Ben. Hp aku aja low juga tapi aku tapi nggak apa-apa dari pada aku harus ketemu anj*ng itu." Jawab Lara.Bentara tertawa terbahak-bahak dan dengan gemas dia mengacak-acak rambut Lara. Bila d