Canda dan gelak tawa itu terdengar lagi. Membuatku rindu akan suasana sebelum tragedi kematian seniorku itu. Aku adalah bagian dari anak-anak kost yang bebas, menjalani hidup seringan kapas, tanpa tanggung jawab dan beban berlebihan. Lima hari kerja, dua hari kuliah. Jika mendapat jatah jaga malam, siangnya aku balas dendam. Tidur sepanjang hari seperti kelelawar.Jika perut meminta haknya, tinggal berjalan ke warung nasi depan, atau janjian makan di tempat lain jika bosan, menyesuaikan gaji yang kuterima setiap bulan. Selebihnya disisihkan untuk keperluan kuliah.Jika ada senior yang memiliki tempat praktik dan kekurangan tenaga, aku akan dengan suka rela membantu dan mendapat upah lelah.Just that simple.Lalu sekarang, inikah pernikahan yang orang-orang katakan indah itu?Aku keluar setelah melipat mukena dan sajadah. Dua orang penghuni kamar lain seketika histeris mengetahui aku sudah pulang.“Ayuk Airiiin!” jerit mereka bersamaan.Keduanya lantas bangkit dan berlari menyongsongku
Hape di tangan kutatap dengan nanar dan memencet nomor Bang Sam sekali lagi dan lagi, tetapi tidak ada respon kali ini.Siapa perempuan itu? Si rambut pirang? Apa mungkin? Ah, tidak. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dia, toh, datang ke rumah untuk mencari setelah Bang Sam saat laki-laki itu sudah menghilang beberapa hari.Otakku kembali riuh oleh pertanyaan-pertanyaan yang menyerang dengan masif. Tangisku tumpah sudah. Mengumpat dan mengutuki diri, menyesali diri kenapa tadi harus menghidupkan hape dan berinisiatif meneleponnya. Bang Sam memang masih hidup, tetapi teka-teki dan rahasia yang dia simpan semakin membingungkan dan berputar-putar menyesaki kepala.Kutatap nanar hape yang masih berpendar dengan air mata yang memburam, lalu memencet tombol blokir.Cukup. Cukup sudah aku berhubungan dengan laki-laki sialan itu.**Tiap hari, Ibu menelepon, mengirim pesan, dan melakukan panggilan video. Beliau pasti mengkhawatirkan keadaanku. Ada beberapa pesan juga dari Amak, betapa beliau m
Aku mengulurkan tangan pada perempuan yang terlihat tidak senang saat laki-laki di depannya memanggilku dengan panggilan yang mungkin terdengar istimewa.“Saya mahasiswa yang dulu pernah praktik di Bangsal Anak.” Aku sodorkan tangan dan dia seperti segan untuk meraihnya. Wajahnya terlihat kurang percaya.“Kita pernah ketemu kok, Mbak. Pas Mbak Indira awal masuk ke Bangsal.”Ia mengangguk-angguk saat aku menerangkan lebih lanjut.“Kuliah di sini juga, Mbak?” tanyaku heran. Setahuku, dia baru datang saat penempatan pegawai negeri, jadi rasanya sangat mustahil kalau dia mahasiswa juga di sini.“Bukan. Jemput suami.”“Suami?” Suaraku sedikit meninggi dengan keterkejutan luar biasa. Semudah itu saja ternyata. “Sejak kapan? Dak bilang-bilang Abang.”Aku melirik Bang Idam yang blingsatan.“Sudah tiga bulan.”“Tiga bulan? Wah, selamaat!” Aku bertepuk tangan sambil melirik laki-laki yang sekarang tertunduk. Jelas sudah semua kini, kenapa dia begitu mudah melepaskan tanpa sedikit pun bargaining
Di terbelalak sesaat sebeliLaki-laki yang tampak rapuh setiap kali tersudut itu tertunduk dengan posisium akhirnya menunduk, masih mencangkung di depanku.“Bukan begitu ceritanya, Sayang. Nanti Abang jelaskan di rumah. Please. Abang malu kalau teman-teman Adek mendengar masalah rumah tangga kita.”Betapapun kami berusaha memelankan suara, bocah-bocah perempuan di dalam pasti ingin tahu dengan apa yang terjadi. Kenapa aku pindah dan Bang Sam menjemput kemudian hari. Bagaimana pun aku berusaha menutupi, keretakan itu sudah terjadi. Siapa saja akan mudah melihatnya.Reni cs beberapa kali terdengar kasak-kusuk dan mondar-mandir mengintip. Bayangan mereka sesekali tertangkap ekor mata meski pintu yang tertutup korden posisinya ada di sampingku duduk.“Masalah rumah tangga kita? Abang yang bermasalah. Bukan kita.”“Adeek.”Dia kembali menumpukan kedua tangannya pada sofa di sisi kiri kananku. Mengunciku sekali lagi.“Toloong. Ayo, kita pulang. ”Aku menggeleng dan balik menatapnya.“Lalu, p
Berarti sudah dua jam laki-laki keras kepala itu ada di sana. Teras yang dilingkup beberapa rumah warga dan menyisakan jalan setapak yang hanya muat dilewati satu motor, membuat tempat itu terlindung dari pandangan orang-orang yang melintas hanya sesekali.Bagi keluarga yang datang berkunjung dengan kendaraan roda empat, mereka hanya bisa memarkirkan kendaraan di tepi jalan, menumpang pada pemilik warung makan langganan anak-anak kost atau masjid yang ada di seberang jalan.Aku mendengkus kesal. Amarah yang baru saja lerai kembali terpantik, bersama sedikit rasa iba yang lindap begitu saja. Tampias hujan yang membasahi lantai teras pasti membuat celana Bang Sam lembab. Udara dingin, menjadikan semuanya menjadi lengkap.Entah kenapa kekhawatiran itu datang begitu saja.Meski demikian, aku menguatkan hati untuk tidak goyah. Bang Sam harus belajar menyelesaikan masalah bukan dengan memasang tampang memelas.Keberadaannya kini jadi sangat mengganggu pikiranku, mengganggu kenyamanan penghu
Bang Sam menggeliat. Meregangkan badan dan telentang. Perlahan matanya terbuka, lalu menatapku.“Astaghfirullah!” Sekali lagi aku beristighfar. “Ngapain, coba?” tanyaku tidak habis pikir.Perlahan, Bang Sam duduk dan menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan. Gimana tidak pegal? Dia yang terbiasa tidur di kasur empuk kualitas nomor satu, tiba-tiba berbaring lesehan berselimut angin malam nyaris tanpa alas. Semalaman.“Kan, lah Abang bilang, dak nak balek kalau adek dak ikut balek,” jawabnya tanpa tekanan, seolah-olah yang dia lakukan adalah sebuah kewajaran.“Masuk! Subuh dulu.”Mau tidak mau aku sedikit menurunkan ego. Jangan sampai perseteruan suami istri ini menjadi konsumsi publik dan Abah kena getahnya, menjadi buah bibir seantero kota.Selekasnya, Bang Sam bangkit dan melenggang masuk, meninggalkan rasa jengkel pada perempuan yang berdiri mematung, masih di depan pintu. Sehingga aku terpaksa mengikutinya meski mulut mencucu.“Yang mana?” Dia berbalik, menyadari tidak tahu pintu ya
Pada jam bezuk pertama, ruang rawat inap yang kutempati seketika ramai. Amak, Abah, Bapak, dan Ibu datang bersamaan. Serantang masakan rumah mereka bawa serta. Gulai tauco dan lontong ketupat yang Ibu bawa memancing selera makanku kembali. Aku bangkit dengan air liur yang mendadak terbit, setelah berkali-kali gagal makan dengan baik. Beruntung morning sickness-ku ini masih dalam batas wajar.“Kapan kau balek, Sam?” tanya Ibu sambil sibuk mengiris lontong ke dalam piring.“Kemarin petang, Buk.”“Dia cuma singgah ke rumah sebentar, laju pergi lagi. Pagi-pagi nelpon aku, katanya Airin masuk rumah sakit. Paniklah kami serumah.” Amak yang kini menanggapi. “Laju kami kabari Mamak Airin,” lanjutnya.Jadi, saat kukatakan minggat dari rumah, ternyata ampuh membuat Bang Sam pulang. Dia hanya mampir sebentar dan langsung mencariku ke kost-an.Bukankah lebih bijak menjaga yang masih utuh daripada merangkai yang sudah jatuh? Bentuknya mungkin sama tetapi retakan itu tidak akan hilang. Selamanya.
“Kau semangat nian, laju dak nampak lagi ada orang lain di ruangan ini.”Dia tersenyum kikuk meski kemudian mengulurkan tangan. Bau parfum yang lembut seketika menguar dari tubuhnya. Membuatku teringat wejangan ustadz di surau bahwa tidak boleh seorang perempuan memakai wewangian yang sampai tercium orang lain apalagi lawan jenis.Secara langsung itu seperti bentuk undangan yang menggoda syahwat. Dan kurasa … itu ada benarnya.“Dini, Yuk. Karyawan di kantor Abang.”Dengan terpaksa aku menyambutnya dan menyadari bahwa telapak tangan perempuan yang menyebut namanya Dini itu dingin dan gemetaran.“Di kantor biasa manggil Abang juga?” tanyaku penuh selidik.Dia terbatuk meski akhirnya mengangguk.“Formal sekali.” Sengaja kuberi tekanan saat mengatakan itu sambil melirik laki-laki yang duduk di ranjangnya dengan tatapan kaku, ke arahku.“Ayuk sakit juga?” tanyanya mengalihkan kecanggungan di antara kami. Melihat selang infus yang bertengger di tanganku, harusnya dia tidak perlu bertanya.“
Sepulang dari kampus, aku kembali ke ruko setelah mampir sebentar ke cabang laundry ke dua di dekat tempat kerja. Aku duduk termenung di lantai dua. Mengingat dan meresapi lagi apa yang tadi pagi Bu Suji katakan.“Kita tidak bisa selalu menjadi malaikat bagi orang lain. Berikan pada ahlinya. Biar mereka yang menyelesaikannya. Cerita sama mertua Bu Airin. Ini bukan perkara aib, tetapi Ibu harus tetap waras, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini.”“Tapi, Bu ….”“Saya belum terlalu yakin sebab menegakkan diagnosa memang tidak hanya mengambil dari sumber kedua. Tetapi saran saya, cari pertolongan, jangan dipendam sendirian. Ini bukan lagi perkara menutup aib, tetapi menjaga kewarasan.”Aku menarik napas berat. Perpisahan, apapun namanya, bukanlah cita-cita bagi setiap perempuan. Tetapi mengingat kelakuan Bang Sam dan Amak, tak urung membuatku bergidik. Benar kata Bu Suji, mengerikan jika harus bertahan lebih lama lagi.Kuedarkan pandangan sekali lagi. Aku putuskan untuk tinggal di sini,
Kalau tidak ingat sedang di kampus, ingin rasanya aku menjerit. Dada rasanya sakit sekali. Sehingga aku hanya tergugu dan meratapi diri, kenapa dipertemukan dan harus menikah dengan laki-laki model begini.Bu Suji segera mendekat dan mendekapku yang terus mengigil sambil menangis.“Saya udah dak kuat lagi, Ibuu. Toloong. Saya udah dak kuat.” Aku merintih seperti anak kecil. Sementara, Bu Suji diam dan hanya membiarkanku terus menumpahkan air mata di bahunya.Cukup lama aku terisak, namun rasanya belum juga hilang rasa sakit yang mengoyak harga diriku begitu dalam.Bu Suji segera bangkit dan aku berpaling ke arah tembok saat seseorang terdengar mengetuk pintu. Aku berusaha menyembunyikan wajah dari siapa pun yang berdiri di depan situ.“Assalamualaikum, Ibu. Sekarang jam kebidanan psikologi sama Bu Suji di ruang 3B lantai tiga.” Seorang mahasiswa terdengar menjemput beliau untuk mengajar. Ternyata sudah satu jam kami mengobrol dan tidak terasa waktu beranjak begitu cepat.“Waalaikumuss
Pagi-pagi sekali, indekost gempar. Sebab ada seorang ibu hamil yang kabur dari rumah suaminya dan kembali terdampar, di kontrakan mereka.“Maaf, ngrepotin kalian lagi,” ujarku penuh sesal. Tetapi bukannya marah, mereka justru excited. berceloteh tentang kebahagiaan bahwa nanti bakal ada bayi yang bisa jadi hiburan. “Senanglah kami, Yuk. Ada yang bisa dimainin balek kami dari kuliah.”Andai saja Bang Sam bisa seperti mereka ini, yang memberi tanpa perhitungan dan meminta ganti rugi.Makanan segera terhidang, meski mereka beli dari lapak pagi sarapan di depan gang. Nasi kuning dengan telur balado dan teh hangat. Bungkusan sejumlah kepala yang sekarang menghuni kost. Rame dan riuhnya mereka sedikit melipur lara hati.Panggilan telepon dari Bang Sam terhitung belasan kali sampai jam satu malam tadi. Aku menghapusnya tanpa ada keinginan untuk menelepon balik. Buat apa. Baginya, aku hanyalah perempuan hina. Setelah Amak menuduh dengan tuduhan keji, sekarang anaknya setali tiga uang. Sama s
Reaksi Bang Sam sungguh membuatku geram. Bisa-bisanya dia berpikir senaif itu. Apa dia kira semua orang seperti dirinya yang dengan mudah bermain mata?Perang mulut tidak lagi terhindarkan. Ini adalah keributan kedua meski belum genap satu tahun umur pernikahan kami. Bagaimana bisa dia berpikir, aku akan macam-macam dengan perut sebesar ini? Usahaku membantunya, mengurus rumah, melunasi hutang, mencukupi kebutuhan, justru dibalas dengan kecurigaan yang tidak masuk akal.Meski tidak ada lagi rasa hormatku, aku tetap melayani semua kebutuhannya. Mengurus anaknya, menyiapkan pakaian, makan, dapur dan lain sebagainya. Lalu ini balasannya? Bagaimana pun aku menjelaskan, Bang Sam tetap kukuh menuduh, bahwa aku masih mencintai Bang Idham. Sengaja tidak mengganti judul proposal demi bertemu dengan mantan. padahal proposal itu sudah di acc pembimbing sebelum tragedi kematian Ayuk Fatma.Dia lalu mengotak-atik ponselku dan duduk diam terpaku di sofa, membiarkan gemuruh di dadaku semakin bertal
Seperti tidak punya daya, Bang Sam duduk dan mulai makan, ditingkahi anak-anaknya yang sibuk berebut mainan. "Maem dulu, Bang, Dek. Nanti lagi mainnya." Dengan lembut, Bang Sam menegur anak-anaknya. Barangkali sedang mode kalem, dia melayani kedua anak bujang dengan telaten dan sabar. Ekor matanya sesekali melirikku yang duduk di seberang meja. Aku sibuk mengaduk susu hangat yag sudah larut semenjak tadi. Sibuk dengan pikiranku sendiriMembiarkannya makan sambil melayani Zain dan Zidan."Papa, ada tulangnya." Zidan menyodorkan piringnya. Sepotong pesmol ikan mas memang harus hati-hati disiangi, sebab durinya banyak dan kecil-kecil sekali. Belum selesai Bang Sam membersihkan duri lauk milik Zidan, si sulung pun tidak tinggal diam. "Punya Abang juga."Bang Sam menghela napas, lalu menarik piring Zain juga ke hadapannya. Sementara aku pura-pura tidak peduli. Cepat-cepat kuhabiskan susu dan berdiri."Dak makan dulu, Adek?""Sudah tadi," jawabku cepat, meski aku belum makan malam, mel
Wajah tampan itu kini berubah menyeramkan. Pongah. Arogan. Menyebalkan. Aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa lama. Sepertinya, ada yang salah dengan otaknya.“Kenapa? Laki-laki boleh menikah lebih dari satu, Dek.”“Tau. Tapi bukan seperti itu konsepnya. Bukan begitu cara mencari dan menyelami sifat seorang perempuan.”“Jadi, cari istri macam dapetin Adek? Perempuan macam Adek? Yang keras kepala, kerja dak izin suami. Lancang buka-buka hape suami? Istri yang suudzon bae sama suami? Gitu?”Astaghfirullah. Kenapa sekarang justru aku yang salah? Bukannya kemarin dia bilang menikah karena cinta sama aku.“Asal Adek tau, Abang kenal mereka sebelum kita menikah. Abang niat berhenti karena punya Amanda. Tapi, kan dak secepat itu.”“Kan, tinggal bilang putus, apa susahnya?”“Kasian, Dek. Mereka manusia, punya perasaan.”“Dan, Abang? Dak merasa bersalah Ayuk sampai nekat melakukan vaginolpasty demi Abang? Karena sudah merasa dak sempurna sampai lakinya sibuk cari gebetan? Dak pedul
Menjelang Dzuhur, seluruh rangkaian acar selesai, meninggalkan kenangan pahit bagi sebagian orang. Maksudku, bagi perempuan-perempuan itu.Mereka mundur diri satu persatu dengan muka ditekuk, kecuali perempuan berambut merah. Satu-satunya yang mendatangi Bang Sam dengan tatapan menantang.Dia justru duduk tepat di depan kami sambil menikmati kudapan. Santai sekali. Atau berusaha santai. Sebab dia tampak menarik napas panjang berkali-kali.Bang Sam semakin blingsatan. Mau kabur dilihat Abah dan banyak orang, tetap berada di tempat dia sepertinya akan diserang. Perempuan berambut emas itu berkali-kali menatap Bang Sam dengan tajam. Tidak terlalu lama setelah itu, seluruh undangan telah pulang. Perempuan itu bangkit dan berjalan keluar, aku mengawasinya. Dia duduk di atas motor dan menyulut sebatang rokok. Sementara bagian katering sibuk membenahi bekas prasmanan.Azan Zhuhur berkumandang, Abah dan Amak izin pulang duluan. Mereka mengajak Bapak dan Ibu serta. Tidak ada lagi yang terting
Ruang bagian depan ruko sudah ditata sedemikian rupa. Makanan kudapan, buah, juga menu utama sudah dipesan dari katering setempat. Sederhana saja. Sekadar pengumuman kepada sekitar bahwa sebuah unit usaha laundry sudah buka. Sebagian teman-teman kerjaku, teman kampus, dan karyawan Abah turut diundang.Papan karangan bunga dari instansi tempatku bekerja dan perusahaan Abah, sudah cukup menjadi wakil marketing bahwa usaha ini berada dalam naungan Abah.Ahad. Pukul sepuluh pagi.Aku beberapa kali melirik jam tangan yang melingkar di tangan. Bang Sam meski terlihat enggan, terpaksa datang karena paksaan Abah. Seego apa pun laki-laki itu, di depan orangtuanya, dia mati kutu. Bang Sam tidak punya nilai tawar.Orang yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Jarak rumah Bu Rere di Pasir Putih memang agak sedikit jauh dari tempatku membuka usaha. Ibarat, satunya belok kiri dan yang lain belok kanan, sementara rumah Abah ada di tengah. Kemudian, hingga acara dimulai, batang hidung perempuan i
Sejak pergulatan malam itu dan dia tidak bisa lagi mengelak, aku dan Bang Sam saling diam. Pura-pura tidak melihat kalau berpapasan atau mengerjakan sesuatu di sebuah ruang. Tidak sia-sia aku memegang sabuk hitam karate. Olahraga yang kugeluti semenjak SMU. Meski setelah menikah, baju dogi itu hanya menjadi penghuni almari di indekost. Berdebu dan usang.Beberapa kali Sempai Dody menanyakan ketidakhadiranku dan hanya kujawab dengan ucapan maaf. Minimal, dari hasil binaannya itu, Bang Sam mati kutu di bawah tendangan mae geri-ku, meski refleks.Banyak hal yang yang terpaksa kurelakan demi memenuhi wasiat Ayuk Fatma dan meikahi suaminya. Lelaki yang sebenarnya separuh ... entah. Amak yang kini tidak frontal hanya beberapa kali tersenyum saat melintas. Di samping khawatir aku mengadu kepada Abah perihal sertifikat rumah, barangkali dia juga tidak bisa lagi membela Bang Sam. Anak kesayangannya justru yang banyak ulah. Pertengkaran kami malam itu, menampik tuduhan bahwa aku yang mengeja