Entah apa yang aku rasakan. Hatiku rasanya sangat sedih. Bukan karena kami berpisah. Tapi karena aku melihat dia sepanjang hari berada di taman dan diam saja di sana dengan tatapan kaku lurus ke depan. Aku menatapnya dari jendela kamar. Entah apa yang dia pikirkan sekarang, Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah aku harus menghampiri dia dan menanyakan hal itu?"Bu, sudah empat jam Bapak berada di taman dan tidak mau masuk. Apa yang harus saya lakukan. Saya takut Bapak kenapa-kenapa. Kondisinya masih sangat lemah dan sebaiknya ibu datang menemuinya meminta Bapak untuk masuk ke dalam."Mbok sudah lama bekerja dengan kami. Mengurus si kecil Ema dan Ana dari bayi hingga mereka sekarang sudah beranjak remaja. Tentu saja dia merasa tidak nyaman dengan keadaan di rumah ini. Semula kami terlihat sangat bahagia dan sekarang, kehidupan kami berbalik."Baiklah. Aku akan ke bawah dan membujuknya."Mbok sangat lega ketika melihat aku mengatakannya. Dia tersenyum kemudian menganggukkan kepala lalu
Mbok segera melakukan perintahku. Dia terlihat semeringah dan ikut merasa lega ketika aku memperlihatkan ekspresi tidak menegangkan seperti biasanya. Aku semakin bersemangat dan masuk kembali ke dalam kamarku. Menuju kamar mandi dan membersihkan tubuhku yang sangat gerah ini. Kemudian sepanjang malam aku bekerja dan mencari semua klien yang bisa mempekerjakan aku lagi sebagai pengacara handal. Walaupun aku masih saja belum menemukan apa pun. Hingga aku akhirnya terlelap sampai pagi di meja kerjaku."Bu, apakah sudah bangun? Bu, tolong buka pintu karena ini penting sekali."Aku mendadak terbangun ketika mendengar Mbok mengetuk pintu kamarku dengan sangat keras. Dengan cepat aku mengusap wajahku yang masih saja mengantuk. Kemudian segera membuka pintu kamar. Aku sangat heran melihat Mbok sangat cemas sekali."Ada apa, Mbok?" tanyaku cemas."Bapak tidak ada di kamarnya. Saya sudah mencarinya ke mana-mana dan masih saja tidak menemukan. Saya khawatir terjadi hal buruk kepada Bapak. Bahkan
Hari demi hari aku lalui sendirian di dalam rumahku ini. Aku sengaja mengurungkan niatku untuk memanggil kembar. Aku takut mereka akan menuju ke sini dan bertemu lagi dengan ayahnya yang selalu membuat keributan. Aku meminta tolong Ema untuk mengamati Mas Farus. Dan aku berharap dia bisa meredakan amarahnya dan keegoisannya itu. Enggak aku mendapatkan pesan dari Ema. Mas Farus sudah kembali ke rumahnya dan bertemu dengan ibunya. Aku sangat senang melihat hal itu.Lamunanku terkejut saat sahabatku itu memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Aku segera keluar dari kamar dan menuruni tangga lalu membuka pintu rumah. Menyambutnya dengan wajah semringah."Hmm, kau kelihatan sangat cantik. Tidak seperti biasanya yang sangat kucel seperti baju yang tidak dicuci berhari-hari. Bahkan tidak menggunakan make up sama sekali. Wajahmu pucat seperti mayat." Dia berkata dengan tertawa. Aku mencoba perutnya dan membuat dia berteriak, "aw, sakit. Dasar."Kami duduk di ruang tengah. Menikmati kudapan yan
Pesan itu benar-benar membuatku terkejut. Aku tidak menyangka pada saat aku sudah sendirian dan berusaha untuk melupakan semuanya, kini dia hadir dan masuk ke dalam kehidupanmu. Aku masih saja memandang pesan itu dan tidak menuliskan apa pun. Mana mungkin aku bisa menerima adik iparku setelah aku berjalan dengan kakaknya. Ini benar-benar tindakan konyol yang tidak akan pernah aku lakukan."Maya, apa aku boleh masuk?"Ema tiba-tiba datang ke rumahku dan membuyarkan lamunanku. Dengan tiba-tiba dia masuk ke kamar dan mengejutkanku dari belakang. Aku segera menutup ponselku dan meletakkan begitu saja di atas meja. Tentu saja Ema menatapku dengan sangat serius. Salah satu alisnya terangkat. Dia pasti akan menanyakan sesuatu dan aku tidak akan pernah menjawabnya."Katakan kepadaku, siapa dia dan kenapa denganmu?" Pertanyaan yang pastinya akan dia lontarkan sesuai dengan dugaanku. Aku masih terdiam dan tidak membahas apa pun."Kau mengejutkan aku. Datang dengan tiba-tiba dan pergi dengan see
Pesan itu terdengar berkali-kali. Entah kenapa dia menghubungiku di saat seperti ini. Bahkan ini belum genap satu bulan aku bercerai dengan kakaknya. Walaupun ternyata dia hanya menanyakan bagaimana kabarku dan kedua anakku, aku tetap tidak akan pernah membiarkannya untuk masuk ke dalam kehidupanmu. "Ema, aku baru 20 hari bercerai dengan kakaknya. Kenapa aku harus menanggapi semua pesannya? Ini bukan masalah bagaimana aku harus membuka hatiku atau tidak. Tapi aku memiliki hati yang harus aku jaga. Lagi pula aku juga tidak ingin kedua anak menganggapku sangat buruk. Bagaimana jika mereka tahu aku dekat dengan adik ayah mereka. Ini sangat konyol sekali. Dan lupakan saja." "Ah, sangat menyebalkan." Kali ini aku terkejut ketika mendengar nada lain di dalam ponselku. Aku sekarang melihat siapa yang menghubungiku dan ternyata itu adalah orang tua Melisa. Ema menganggukkan kepala dan meminta aku untuk segera menerima panggilan itu. Dengan hati yang bergetar aku segera menerimanya. Mungkin
Aku semakin bergetar melihat kondisi Maria. Dia ... benar-benar sangat menderita. Tidak aku sangka dia akan seperti ini. Dia wanita hebat dan sangat anggun. Sikap arogan dan kekuatannya, sama sekali tidak terlihat saat ini. Dia berubah sangat lemah. Tidak berdaya."Ema, aku mau melakukan sesuatu. Tunggu di sini.""Maya--" teriak Ema yang tidak aku hiraukan. Aku keluar dari kamar dan menghubungi seseorang."Ayolah, angkat," gumamku kesal. Berkali-kali aku menghubunginya, tapi tetap tidak bisa. Dia harus mengetahui kondisi Maria. Dia harus bertanggung jawab.Aku menyerah dan memutuskan kembali masuk ke dalam kamar Maria. Wanita itu masih saja berputar-putar menggunakan gaun pengantin putih yang dia kenakan. Diam-diam aku mengabadikan itu di video di dalam ponselku, lalu mengirimkan kepada seseorang."Maya, apa yang kau lakukan? Kenapa kau melakukan itu?" bisik Ema dengan pelototan tajam."Seseorang harus tahu keberadaan Maria. Aku mengirimnya dan dia harus melihat hal itu," balasku.Kam
Aku keluar kamar Maria ketika itu dan segera menghubungi Mas Farus. Aku harus memberitahukan keadaan Maria kepadanya. Dia harus bertanggung jawab dengan keadaan Maria. Awalnya aku mengira dia tidak akan pernah datang ke sini. Mungkin karena video yang aku kirimkan itu, dia akhirnya berubah pikiran dan menuju ke sini. Aku sangat lega melihat Kehadirannya."Maria?" ucapnya semakin terkejut. Dia berusaha melangkah cepat menghampiri Maria yang seketika terduduk dibantu ibunya. "Kenapa kau seperti ini? Banyak sekali lelaki yang bisa membutuhkan bahagia dan bukan diriku. Aku sudah lumpuh dan memakai kaki palsu. Aku tidak pantas berada di sebelahmu, Maria," lanjut Mas Farus sambil memeluk Maria.Aku semakin tersenyum, begitu juga dengan Ema. Kami melihat sebuah drama yang sangat romantis di dalam ruangan ini. Maria tersenyum dan menatap lelaki di hadapannya dengan penuh cinta. Begitu juga dengan mantan suamiku yang membalas tatapan itu dan berkali-kali mengusap rambut Maria dengan sangat lem
Aku semakin tidak percaya saat dia mengatakan itu. Aku harus sadar dan tidak bisa terbuai dengan itu. "Aku harap kau bisa menjalani kehidupanmu dengan baik. Selamat tinggal."Aku menutup ponsel dan segera memasukkannya ke dalam tas kembali. Ema mengangkat kedua tangannya lalu menggelengkan kepala kemudian berkacak pinggang di hadapanku. Dia mengikuti aku masuk ke dalam mobilnya kembali dan kita tidak jadi masuk ke dalam kafe itu. Entah kenapa aku tidak ingin masuk ke dalam kembali dan hanya ingin pulang menemui kedua anakku."Sebaiknya kita pulang saja. Hah, aku tidak mau apa pun saat ini," ucapku sambil menggunakan sabuk pengaman."Cinta ... oh cinta. Membuat kita bisa menahan lapar dan kantuk. Ah, sial. Maya, kau berhutang kepadaku. Aku sangat mengantuk sekali dan aku mau secangkir kopi di rumahmu," ucapnya dengan melirik sinis. Aku tertawa mendengarnya. Dia pun akhirnya juga tertawa.Aku sangat bahagia melihat kembar menyambutku bersama ibuku. Mereka berdua berlari ke arahku sambi
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus