E
Aku semakin bergetar melihat kondisi Maria. Dia ... benar-benar sangat menderita. Tidak aku sangka dia akan seperti ini. Dia wanita hebat dan sangat anggun. Sikap arogan dan kekuatannya, sama sekali tidak terlihat saat ini. Dia berubah sangat lemah. Tidak berdaya."Ema, aku mau melakukan sesuatu. Tunggu di sini.""Maya--" teriak Ema yang tidak aku hiraukan. Aku keluar dari kamar dan menghubungi seseorang."Ayolah, angkat," gumamku kesal. Berkali-kali aku menghubunginya, tapi tetap tidak bisa. Dia harus mengetahui kondisi Maria. Dia harus bertanggung jawab.Aku menyerah dan memutuskan kembali masuk ke dalam kamar Maria. Wanita itu masih saja berputar-putar menggunakan gaun pengantin putih yang dia kenakan. Diam-diam aku mengabadikan itu di video di dalam ponselku, lalu mengirimkan kepada seseorang."Maya, apa yang kau lakukan? Kenapa kau melakukan itu?" bisik Ema dengan pelototan tajam."Seseorang harus tahu keberadaan Maria. Aku mengirimnya dan dia harus melihat hal itu," balasku.Kam
Aku keluar kamar Maria ketika itu dan segera menghubungi Mas Farus. Aku harus memberitahukan keadaan Maria kepadanya. Dia harus bertanggung jawab dengan keadaan Maria. Awalnya aku mengira dia tidak akan pernah datang ke sini. Mungkin karena video yang aku kirimkan itu, dia akhirnya berubah pikiran dan menuju ke sini. Aku sangat lega melihat Kehadirannya."Maria?" ucapnya semakin terkejut. Dia berusaha melangkah cepat menghampiri Maria yang seketika terduduk dibantu ibunya. "Kenapa kau seperti ini? Banyak sekali lelaki yang bisa membutuhkan bahagia dan bukan diriku. Aku sudah lumpuh dan memakai kaki palsu. Aku tidak pantas berada di sebelahmu, Maria," lanjut Mas Farus sambil memeluk Maria.Aku semakin tersenyum, begitu juga dengan Ema. Kami melihat sebuah drama yang sangat romantis di dalam ruangan ini. Maria tersenyum dan menatap lelaki di hadapannya dengan penuh cinta. Begitu juga dengan mantan suamiku yang membalas tatapan itu dan berkali-kali mengusap rambut Maria dengan sangat lem
Aku semakin tidak percaya saat dia mengatakan itu. Aku harus sadar dan tidak bisa terbuai dengan itu. "Aku harap kau bisa menjalani kehidupanmu dengan baik. Selamat tinggal."Aku menutup ponsel dan segera memasukkannya ke dalam tas kembali. Ema mengangkat kedua tangannya lalu menggelengkan kepala kemudian berkacak pinggang di hadapanku. Dia mengikuti aku masuk ke dalam mobilnya kembali dan kita tidak jadi masuk ke dalam kafe itu. Entah kenapa aku tidak ingin masuk ke dalam kembali dan hanya ingin pulang menemui kedua anakku."Sebaiknya kita pulang saja. Hah, aku tidak mau apa pun saat ini," ucapku sambil menggunakan sabuk pengaman."Cinta ... oh cinta. Membuat kita bisa menahan lapar dan kantuk. Ah, sial. Maya, kau berhutang kepadaku. Aku sangat mengantuk sekali dan aku mau secangkir kopi di rumahmu," ucapnya dengan melirik sinis. Aku tertawa mendengarnya. Dia pun akhirnya juga tertawa.Aku sangat bahagia melihat kembar menyambutku bersama ibuku. Mereka berdua berlari ke arahku sambi
Tak habis pikir. Kenapa Mas Farus ingin berbicara denganku empat mata. Dan ini berhubungan dengan Febri? Aku menganggukkan kepala dan menyetujui hal ini. Sementara Ema menarik lenganku dan menggelengkan kepala."Maya, jangan," cegahnya. "Hei, kalian sudah bercerai dan tidak pantas jika bertemu berdua saja. Apa kalian tidak tahu, banyak sekali gosip yang akan menghampiri kalian? Lagipula Maria baru saja sembuh maksud aku sedikit sembuh dari penyakitnya saat ini. Gara-gara mantan suamimu itu mendatangi dia dan memberikan kasih sayang kembali. Lalu apa jadinya jika dia melihat kalian Bertemu berdua saja? Ini tidak akan pernah aku biarkan." Ema masih menarikku. Dia kini berada di hadapan Mas Farus yang masih terdiam menatap kami."Farus, kalau ingin berbicara dengannya lebih baik kita pergi dari sini dan berbicara di luar saja. Tapi aku tetap berada di antara kalian. Sekarang sahabatku ini sudah menjalani kehidupan yang lebih baik. Jangan sampai kau merusaknya lagi. Aku tidak akan pernah
Dia merestui aku? Apa maksudnya? Aku tidak bisa. Ini tidak mungkin aku lakukan. Aku segera beranjak dan ingin meninggalkan semua. Aku tidak mau terjun ke dalam masalah yang pastinya akan semakin rumit. Aku tidak mau membuat masalah. Pasti masalah akan semakin rumit jika aku menuruti mereka. Masyarakat tidak akan pernah menerima hubungan kita dengan baik. Dan ini pasti akan ada hubungannya dengan kembar. Mereka sekali lagi akan mendapat bully yang di sekolah. Apa yang akan terjadi kepada kembar. Mereka pasti akan mengatakan kepada mereka kalau ibunya benar-benar jahat."Jangan konyol. Aku tidak mau dan itu tidak akan terjadi. Sekarang lebih baik urusi dirimu sendiri. Jangan mencampuri urusanku," ucapku dengan sedikit membentak. Semua pelanggan bahkan menatapku. Ema tidak diam saja. Dia segera menarik ku kembali untuk duduk tenang di sana. Aku sebaiknya menuruti sahabatku itu. Apalagi manajer cafe itu hampir saja menuju ke arah meja kami."Kau itu tenang saja. Semuanya harus kamu tangga
Aku tidak tahu apakah ini pertanda baik atau bukan. Yang jelas dia sudah menjelaskan semuanya dengan sangat berani seperti itu. Bahkan ketika aku melihat media sosial ku, semua yang sudah merudungku dengan sangat jelek kini berbalik memujiku.Aku masih menatap televisi itu dan sedikit meneteskan air mata. Apakah ini awal dari kebahagiaanku? Sebuah kebahagiaan yang akhirnya aku dapatkan setelah selama ini menjalani penderitaan yang sangat membuatku sakit hati.Perlahan aku menekan tombol hijau dan menerima panggilan dari Febri. Selalu meninggalkan ruangan tengah dan menuju halaman di belakang rumahku. Mereka semua sebenarnya tahu aku menerima panggilan dari siapa dan membiarkannya."Halo, Febri," ucapku dengan pelan.(Maya. Aku melihat berita pagi ini dan temanku memberitahukan kepadaku. Tidak aku sangka ternyata kakakku membuka semua rahasia yang selama ini aku pendam. Maya apa yang ku pikirkan sekarang?)Bahkan dia sekarang memanggilku dengan sebutan nama. Aku berusaha mengatasi semu
Jerman? Kenapa harus negara itu? Ini benar-benar sesuatu yang sama sekali tidak masuk akal. Banyak sekali negara di dunia ini. Namun, kenapa harus Jerman?"Pak, kenapa harus Jerman? Apa ... tidak ada tujuan lain?" tanyaku dengan sangat cemas.Ini sangat tidak baik. Kenapa aku harus menuju sebuah negara di mana ada Febri di sana. Memang Jerman adalah sebuah negara yang sangat luas. Tidak mungkin aku bertemu dengannya di sana."Dia lahir di sana. Apa kau mau mengganti akta kelahirannya? Kau akan ke Berlin sampai kasus ini selesai. Jangan membantah dan selesaikan tugasmu. Semua sudah selesai. Tiket pesawat dan penginapanmu akan diatur oleh klien. Sekearang keluar dan persiapkan semua.""Pak, apa bisa aku mengajak Ema?"Dia sejenak menatapku kemudian mengambil ponselnya. Menghubungi klien itu dan sepertinya aku akan mendapatkan kabar bagus karena dia tersenyum dan segera menutup ponselnya kembali."Aku tidak bisa bekerja sendiri dan aku membutuhkan seseorang untuk membantuku. Ini adalah k
Aku berpamitan kepada kembar dan Ibu. Sebenarnya aku berat sekali meninggalkan mereka. Sedangkan aku tidak tahu kapan aku akan kembali ke Indonesia. Walaupun ibuku sudah memastikan aku jika aku tidak perlu mengkhawatirkan kedua anakku. Mertuaku yang mengetahui tentang kepergianku pun juga meyakinkan kepadaku jika kembar akan berada dalam pengawasannya. Bahkan mantan suamiku pun akan selalu mengawasi kembar dan mengurus mereka."Aku sangat senang kau bisa bangkit. Aku berharap kau bisa menjalani kehidupanmu dengan baik. Aku akan menjaga anak kita dan kau tidak perlu khawatir." Mas Farus datang ke rumah tiba-tiba saat aku akan menuju bandara bersama Ema.Kami menuju ke halaman belakang rumah dan berbicara empat mata di sana. Dia masih saja memberikan tatapan sayu. Sebenarnya aku tak kuasa untuk berbicara dengannya lagi dan membahas masa lalu kelam itu. Tapi sepertinya aku harus berbicara kepadanya agar dia benar-benar tidak mengingatku lagi."Mas. Kau sebaiknya menikahi Maria dan kembal
Dengan sangat lantang Febri mengucapkan janji pernikahan itu di depan semua orang. Aku semakin meneteskan air mata ketika penghulu itu mengesahkan pernikahan kami. Sekarang aku sudah resmi menjadi istrinya. "Maya, kau sangat cantik sekali. Maksudku ... istriku," ucapnya dengan pelan sebelum dia mengecup keningku dan memasang cincin itu dijemari manisku.Semua orang bertepuk tangan melihat kebahagiaan kami. Mas Farus dan Maria menatap kami dengan berpelukan. Akhirnya kami memiliki pasangan masing-masing. Mungkin, perceraian itu bukan akhir yang buruk. Tapi, awal dari kehidupan kita untuk memperoleh pasangan yang bisa membahagiakan keluarga yang akan dibangun nantinya.Pesta terjadi dengan sangat meriah. Aku dan Febri selalu saja saling memandang dan berpelukan di depan semua orang tanpa canggung. Ibuku dan ibu mertuaku, serta kembar dan sahabatku Ema yang sekarang sudah bertunangan dengan pasangannya, tak pernah mengalahkan pandangannya sama sekali dariku. Begitu juga dengan orang tu
Indonesia, Negara yang sangat indah. Kami berempat akhirnya menginjakkan kaki di negara ini. Menuruni pesawat dengan sangat gembira. Tidak ada rasa canggung, dan perasaan dendam.Yang lebih mengejutkan kami semua keluarga sudah menjemput di bandara dan mengetahui kami pasti akan pulang. Keluarga lengkap yang akhirnya dipenuhi tawa."Ibu, Ayah, aku mau menunjukkan sesuatu. Aku akan memperoleh penghargaan dari Pak Walikota. Karena aku sudah memenangkan pertandingan bergengsi dan akan mewakili Indonesia saat berlomba di Singapura nanti." Ema menyodorkan sebuah dokumen. Aku sangat terkejut saat membacanya. Itu adalah sertifikat penghargaan sebagai juara lomba olimpiade sains terbaik di Indonesia. Dan dia bersama Ana akan mewakili Indonesia untuk bertarung melawan negara Asia."Kalian memang benar-benar sangat luar biasa. Ibu dan Ayah sangat bangga kepada kalian. Dan ... ini adalah hadiah terbaik yang Ibu terima." Aku memeluk kembar dengan sangat erat. Febri mendekati mereka kemudian ikut
Aku sangat gugup ketika mengetahui orang tua Melisa menghubungiku. Bahkan aku sangat bergemetar saat akan menerima panggilan itu. Febri menggenggam erat telapak tanganku dan menganggukkan kepala. Dia memberikan semangat agar aku bisa menerima panggilan itu tanpa ada rasa gugup. Perlahan aku menekan tombol hijau yang berarti aku akan berbicara dengannya."Halo, bagaimana kabar kalian? Apa ada hal penting yang harus aku ketahui?" tanyaku dengan pelan. Aku menekan tombol speaker agar Febri juga mendengar apa pun yang akan kami bicarakan.(Aku menghubungimu karena aku ingin membicarakan hal yang sangat penting. Maria, ya ... ini ada hubungannya dengan Maria.)Aku spontan menatap Febri dengan sangat cemas. Aku sebenarnya tidak ingin mengurusi masalah apa pun yang ada hubungannya dengan Maria."Tuan. Apa yang harus aku lakukan? Apakah terjadi sesuatu kepada Maria? Aku sebenarnya tidak mau mengurusi sesuatu yang berhubungan dengannya lagi. Aku tidak mau ada masalah yang membuat aku akan bert
Dia terpaku saat mendengar ucapan ku barusan. Dia ... menekan dadanya. Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir memutari kamar itu. Aku tidak mengerti apa yang sudah dia lakukan. Aku mengulurkan tangan ke arahnya dan dia segera mendekatiku kembali lalu mencengkeram tanganku itu dengan sangat kuat."Sakit ...," rintihku pelan dan membuat dia segera melepaskannya."Maafkan aku. Aku ... aku benar-benar tidak percaya mendengar ucapan kamu barusan. Aku ... sudah menunggumu selama 1 tahun ini." Dia berkata dengan sangat gugup seperti itu. Dia kembali berjalan mondar-mandir memutari kamar ini kemudian memegang kepalanya dan masih saja terlihat sangat panik."Kamu ini kenapa? Sangat lucu sekali. Apa aku melakukan kesalahan sampai kau seperti itu?" tanyaku dengan tatapan yang sangat serius. Sekali lagi dia mendekatiku dan menarik kursi lalu duduk tepat di sebelah ranjangku."Maafkan aku. Ah, aku tidak percaya. Masih saja tidak percaya mendengar ucapanmu barusan. Apakah kau mau mengulanginya
Aku merasakan melayang. Aku hanya melihat kabut putih di hadapanku. Namun, ada sosok yang tersenyum ke arahku dan melambaikan tangan. Aku segera mendekati sosok itu. Tidak Aku percaya dia adalah ayahku yang sudah meninggal karena sakit."Ayah ..."Aku memeluknya dengan sangat erat dan menangis. Aku selama ini selalu merindukan sosoknya. Tapi dia meninggalkanku sejak aku kecil. Aku bersama dengan ibuku saja."Kau ... sangat luar biasa. Ayah akan selalu berada di sebelahmu. Kau harus hidup dengan kebahagiaan. Ibumu sangat menyayangimu, dan Ayah juga seperti itu."Dia memandangku dengan sangat tampan. Mengenakan jas putih seperti seorang pengantin. Aku saja menangis dan terus memeluknya. Aku sangat merindukan dirinya."Ayah, aku ingin bersamamu. Aku tidak sanggup hidup sendiri. Ayah, jangan tinggalkan aku.""Kau masih memiliki banyak waktu di dunia. Bangunlah dan sadarlah. Ayah akan selalu berada di sebelahmu.""Ayah!"Aku semakin berteriak ketika dia tiba-tiba menghilang bersama dengan
Aku semakin tidak mengerti. Ada apa ini? Semua keluargaku berlari menghampiriku. Anehnya, Ema membawa satu koper dan itu adalah milikku."Ibu, untung saja kami menemukanmu. Ah, napasku sangat sesak sekali terus berlari menyusulmu. Untung tadi kami melihat mobilmu dan meminta seseorang untuk membawanya ke sini. Kenapa Ibu naik go-jek?" tanya Ema dengan napas sesak dan berusaha mengaturnya."Aduh Maya, kau ini larinya kaya vampir. Kencang banget. Aku bawa kopermu yang sangat berat ini. Aduh, tanganku rasanya mau patah." Ema memberikan koper itu kepadaku. Aku masih saja tidak mengerti dengan semua ini."Kenapa kalian? Dan ... untuk apa koper ini?" tanyaku sambil melotot ke semua orang yang malah tersenyum menatapku."Mas, ada apa ini? Kau tidak apa-apa? Kau sangat berkeringat." Aku masih kebingungan menatap semua orang yang masih saja tidak menjawab perkataanku. "Ayolah, ada apa ini?" lanjutku sambil bersedekap dan menatap mereka dengan sangat serius."Maya, kami semua ingin kau pergi me
Aku segera melepaskan pelukanku. Tak percaya dia seperti anak kecil yang marah begitu saja dan tidak mendengar penjelasanku. "Dia semakin cemburu. Biarkan saja dan jangan mengejarnya. Mungkin dia mengira kita masih menjalin hubungan. Apakah kau mencintainya?"Dia kembali menanyakan hal itu. Sementara ibunya juga menatapku sangat tajam dan menunggu aku menjawab semua pertanyaan itu."Mungkin saat ini aku sebaiknya tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Aku akan berkonsentrasi dengan karirku. Jadi ... tidak perlu mengurusi suatu hal yang tidak harusnya kau pikirkan.""Dia adikku dan aku ingin kau bersamanya. Selama ini aku sudah berbuat curang. Membuat dia menyembunyikan kebenaran dan menyembunyikan perasaan yang seharusnya dia ungkapkan. Kali ini aku akan membantunya untuk mendekatimu. Tapi, aku harus memastikan apakah kau mencintainya atau tidak. Karena qku tidak ingin dia sakit hati.""Aku akan mencintai dia jika dia mau menerima aku apa adanya dan mempercayai aku. Karena ... Aku
Aku tak percaya dia datang. Febri memeriksanya dengan sangat serius. Aku perlahan masuk ke dalam. Mas Farus tersenyum dengan wajahnya yang sangat pucat. Beberapa suster membantu Febri untuk memeriksa kakaknya. Aku sangat lega melihat pandangan yang berada di hadapanku sekarang."Nyonya, Anda sebaiknya keluar dulu. Dokter masih memeriksa. Mereka membutuhkan konsentrasi." Salah satu suster mendekatiku dan menarikku untuk keluar kamar. Aku mengganggukan kepala dan segera keluar kamar."Ibu senang kau datang. Ibu tidak percaya kau ternyata pulang lebih cepat. Bagaimana keadaanmu Maya?" Ibu Febri tiba-tiba datang dari belakang. Aku segera menolehkan pandangan dan memasang senyuman. Kemudian aku memeluknya dan menariknya untuk duduk di kursi tepat di depan kamar."Saya baik-baik saja. Apakah Ibu baik-baik saja?" tanyaku masih saja dengan tersenyum. Dia menganggukkan kepala dan sedikit merapikan rambutku yang berantakan. Dia masih saja menyayangiku walaupun aku tidak menjadi menantunya lagi.
Ema semakin berteriak saat mengetahui aku menerima panggilan itu. Febri masih terdiam dan tidak berbicara apa-apa."Apa? Baiklah aku akan ke sana," ucapku kemudian menutup ponsel. "Aku harus pergi," lanjutku singkat. Aku segera meninggalkan mereka. "Maya, kalau kau keluar dari ruangan ini. Berarti kau bukan jodohku," ucap Febri membuatku menghentikan langkah. Aku segera menolehkan kepala ke arah dia."Kalau kau mencintai seseorang. Berarti kau harus percaya kepadanya. Bukan menghakimi seperti ini."Aku menatap tajam dan aku meninggalkannya. Ema mengikuti aku dengan kesal. Dia menarik lenganku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Aku pun menolehkan pandangan ke arahnya."Seharusnya kau tidak bisa seperti ini. Farus akan selalu membuatmu sengsara. Apa kau tidak ingat 3 ranjang suamiku? Apa kau lupa dengan semua perbuatannya?"Aku menampis tangannya yang mencengkram lenganku. Kemudian aku menatap tajam."Aku selalu ingat. Dan aku tidak akan pernah bisa melupakan itu semua. Tapi, aku harus