Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah kanopi hutan Aethel, membawa kehangatan lembut yang kontras dengan dinginnya malam sebelumnya. Di tepi sungai yang baru mereka lewati, kelompok Kael akhirnya bisa bernapas lega setelah berhari-hari dipenuhi ketegangan. Aroma tanah basah dan kayu tua bercampur dengan bau samar abu dari bulu phoenix Profesor Aldos, yang kini berdiri megah di dekat mereka, sayap apinya meredup menjadi bara lembut. Burung raksasa itu seolah menjadi benteng hidup, menjaga mereka dari ancaman yang masih mengintai di kejauhan, memberikan waktu berharga untuk beristirahat. Kael duduk bersandar pada batu besar, lengan kanannya yang terluka terasa kaku di bawah perban yang mulai kotor. Luka dari serangan beruang magis masih menyisakan denyutan samar, tapi ia menahan keluh kesakitan demi menjaga semangat kelompoknya. Sarah mengatur kayu bakar kecil, menyalakan api sederhana dengan sihirnya, sementara Laila membantu membagi daging monyet yang Sophia bawa—bekal
Cahaya matahari tengah hari menyelinap melalui kanopi tebal hutan Aethel, membentuk bercak-bercak emas yang bergetar di tanah berlumut di bawah kaki mereka. Angin sepoi-sepoi membawa aroma daun basah dan kayu tua, sedikit meredakan ketegangan yang masih menempel di hati Kael dan kelompoknya setelah perpisahan dengan Profesor Aldos. Sungai luas kini jauh di belakang, dan peringatan sang profesor—untuk bersembunyi di desa terdekat—mendorong langkah mereka lebih cepat. Bau samar asap phoenix masih tercium di udara, tapi kini bercampur dengan sesuatu yang lebih liar, seperti bulu basah dan tanah yang baru digali, membuat Kael mengernyit waspada. Kael memimpin di depan, matanya biru memindai hutan dengan hati-hati, tangannya yang baru sembuh berkat potion Aldos kini lebih lincah menggenggam bola lendir Sophia di saku mantelnya. Sarah berjalan di sisinya, langkahnya pelan tapi penuh kewaspadaan, sementara Murphy mengikuti di belakang, pedangnya terselip di sarung tapi jemarinya tak perna
Hutan Aethel membungkus reruntuhan kecil dalam kesunyian yang tegang, hanya dipecah oleh bisikan angin yang menyelinap melalui daun-daun lelet dan suara langkah musuh yang kini mendekati. Kael dan kelompoknya merapat di balik semak tebal, napas mereka ditahan, tubuh mereka menyatu dengan bayang-bayang pohon. Aroma logam tajam dari pemburu Crimson dan bau tinta kering bercampur darah dari Ordo Umbra memenuhi udara, menciptakan ketegangan yang nyaris terasa di kulit. Dua kelompok itu berdiri di dekat altar, hanya beberapa meter dari tempat persembunyian mereka, tapi tak saling bersekutu—mata mereka saling menatap penuh curiga. Pemimpin Ordo Umbra, wanita berambut putih pendek dengan mata dingin, melangkah maju, tangannya menyentuh altar dengan jemari pucat. “Desa itu punya jejak penyihir kuno—kita harus sampai ke sana sebelum mereka,” katanya, suaranya tajam seperti pisau, matanya melirik ke arah pemburu Crimson dengan jijik. Salah satu anak buahnya, pria bertubuh kurus dengan juba
Malam di desa kecil itu berubah menjadi kekacauan berdarah, cahaya bulan sabit tipis memantul di genangan darah dan bilah senjata yang berkilau. Api obor berkobar liar, membakar udara dengan aroma kayu terbakar dan daging hangus, sementara jeritan pertempuran menggema di antara rumah-rumah kayu sederhana. Kael dan kelompoknya tetap bersembunyi di balik semak terakhir di tepi desa, matanya biru menyipit menatap warga desa yang bertarung ganas melawan Ordo Umbra dan pemburu Crimson. Kekuatan mental emas warga bersinar terang, kontras dengan mental ungu pemimpin kedua kelompok musuh yang berkobar penuh ancaman. Kael menggertakkan gigi, pikirannya berputar penuh kebingungan. “Kita bantu atau lari?” bisik Murphy di sisinya, pedangnya erat di tangan, nadanya tegang tapi siap bertindak. Sarah menatap Kael, matanya ungu menyala samar, “Mereka terlalu kuat—tapi kita tak tahu siapa yang benar di sini.” Laila mengisyaratkan keraguan dengan gerakan tangan cepat, sementara Sophia memandang deng
Udara malam di desa kecil itu masih terasa berat, membawa aroma darah kering dan kayu terbakar yang tersisa dari pertempuran sebelumnya. Cahaya bulan sabit tipis menyelinap melalui celah-celah rumah kayu, menerangi warga desa yang berdiri di tengah mayat musuh, mata mereka emas bersinar penuh curiga menatap Kael dan kelompoknya. Kael melangkah maju, tangannya terangkat menunjukkan tak ada ancaman, suaranya tenang meski ada getar canggung dari pertemuan tak terduga ini. “Kami sedang dalam misi Akademi,” jelasnya, matanya biru bertemu tatapan wanita petani yang masih memegang pisau berdarah. “Profesor Aldos meminta kami istirahat di desa ini sebelum lanjutkan misi—kami lihat kedua kelompok itu dalam perjalanan, dan memilih datang malam ini agar tak bentrok dengan mereka. Tapi sepertinya, seperti biasa, sesuatu yang tak diinginkan selalu terjadi jika mereka ada di suatu tempat.” Wanita itu menurunkan pisaunya perlahan, napasnya lega meski tatapannya tetap tajam. Pria tua dengan k
Sinar matahari pagi perlahan menyelinap melalui celah-celah kanopi hutan belakang Akademi Baseus, membawa kehangatan tipis yang menyapu aroma tanah basah dan daun kering di bawah langkah Kael dan kelompoknya. Udara terasa segar setelah malam panjang di desa buronan, dan desiran daun yang tertiup angin lembut mengisi keheningan di antara mereka. Desa itu kini jauh tertinggal, tersembunyi di lembah kecil, warga-warganya kembali ke rutinitas petani sederhana—kedok yang menyamarkan kekuatan mental emas mereka. Menyadari bahwa mereka berada di wilayah hutan belakang Akademi Baseus, meski perjalanan ke akademi masih jauh, Kael merasakan harapan baru di depan. Dia melangkah di depan, mantelnya bergoyang ringan tertiup angin, matanya yang biru memindai hutan dengan hati-hati. “Kami sudah dekat Baseus sekarang,” katanya, suaranya rendah namun teguh, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang yang lain. “Tapi kami harus lebih kuat sebelum sampai—musuh takkan menunggu.” Sarah melangkah di sisi
Sinar matahari pagi perlahan menyelinap melalui celah-celah kanopi hutan belakang Akademi Baseus, membawa kehangatan tipis yang menyapu aroma lumut basah dan getah pohon di sekitar Kael dan kelompoknya. Angin lembut berdesir di antara daun-daun raksasa, mengisi keheningan dengan suara samar, namun ada ketegangan halus yang menggantung di udara—seolah hutan ini menahan napas, menyimpan rahasia yang menanti saatnya terbongkar. Kael berdiri di dekat lubang sempit yang baru saja digali tupai bersayap, matanya biru menyipit penuh rasa ingin tahu. Lubang itu terselip di balik lumut tebal yang menyelimuti akar pohon besar, terlalu kecil untuk dilalui, namun ada daya tarik misterius yang membuatnya sulit berpaling. “Aku ingin masuk ke laluan ini,” katanya pelan, suaranya rendah namun teguh, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang yang lain. “Tapi lubangnya kecil sekali—bagaimana caranya?” Sarah berlutut di sisinya, jari-jarinya menyentuh lumut dingin yang licin, Mata Sihir-nya menyala samar
Lorong rahasia di bawah Akademi Baseus menyambut Kael dan kelompoknya dengan udara dingin yang membawa aroma tanah basah dan batu tua. Cahaya samar dari dinding berlumut hanya mampu menerangi beberapa langkah di depan, sementara kegelapan menyelimuti lorong-lorong bercabang yang tampak tak berujung. Labirin itu terasa hidup, bergetar pelan seolah memiliki napas sendiri, siap menyesatkan siapa saja yang tak memiliki pengalaman atau kemampuan untuk menemukan jalan keluar. Kael melangkah di depan, matanya biru menyipit mencoba menembus bayang-bayang yang tebal. “Lorong ini terlalu banyak,” katanya pelan, suaranya rendah namun teguh. “Kalau kami salah pilih, mungkin tak pernah keluar.” Sarah mengangguk di sisinya, Mata Sihir-nya menyala samar, energi ungu berkilau di pupilnya saat memindai dinding-dinding berliku. “Aku rasa ini bukan labirin biasa—ada sesuatu yang mengacaunya,” ujarnya, nadanya tenang namun penuh kewaspadaan. Untungnya, tupai bersayap yang kini dinamai Molly oleh Sophia
'Udara di dalam gubuk kecil desa tersembunyi terasa berat, seolah aura samar dari kain yang dipegang Alice menekan dinding-dinding kayu yang lapuk. Cahaya senter sihir Lyra memantul di permukaan kain itu, memperlihatkan detail yang membuat Kael dan kelompoknya tersentak serentak. Kain terlihat buruk itu bukan sekadar potongan kain—ia adalah peta, ditulis dengan tinta kuno yang berkilau samar, garis-garisnya membentuk lorong-lorong dan simbol yang asing namun penuh makna. Yang paling menarik perhatian Kael adalah simbol penyihir kuno. “Jadi, sekarang jelas kenapa Ordo Cahaya menargetkan desa kecil ini,” kata Kael, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. Matanya biru menyipit, menelusuri simbol itu dengan hati-hati. “Desa ini menyembunyikan sesuatu milik penyihir kuno. Alice, bolehkah aku lihat lebih dekat?” Dia mengulurkan tangan, nada suaranya tegas namun tak memaksa. Alice mengangguk polos, menyerahkan kain itu tanpa ragu. Baginya, kain itu tak lebih dari warisan kepala desa, tak be
Cakar tajam pemimpin serigala bayangan melesat menuju dada Murphy, kilau maut di ujungnya memantulkan cahaya bulan yang temaram. Kabut di sekitar mereka bergoyang hebat, seolah merasakan ancaman kematian yang mendekat. Murphy, terlambat mengangkat pedangnya, hanya bisa menatap dengan mata melebar, napasnya tersendat. Kelompok Kael menahan napas, ketegangan menyelimuti mereka—nasib Murphy tergantung pada detik itu. Tiba-tiba, dentuman keras memecah udara. Tetesan air tajam Lyra dan gelombang sonik Laila, yang tak pernah berhenti menargetkan punggung monster itu, menghantam sasaran bersamaan. Luka dalam terbuka di kulit hitam legamnya, darah hitam muncrat, dan serigala bayangan menjerit kesakitan, tubuhnya terhuyung. Cakarnya meleset, hanya menggores bahu Murphy, meninggalkan sayatan berdarah namun tak mematikan. Murphy tersentak, melompat mundur dengan cepat, wajahnya pucat tapi penuh syukur. Perubahan terjadi secepat kilat. Racun melemahkan Kael, yang selama ini menyelimuti tubu
Kabut yang menyelimuti di jalan perlahan menipis di sekitar pemimpin Tim Serigala Bayangan, seolah terdorong oleh hawa panas yang memancar dari tubuhnya yang berubah. Cahaya suci yang sebelumnya menyilaukan kini meredup, memperlihatkan sosok mengerikan yang membuat kelompok Kael terpaku kaget. Tubuhnya, yang kini menjulang lebih dari tiga meter, tak lagi menyerupai manusia suci Ordo Cahaya—bulu hitam legam menyelimuti kulitnya yang membesar, cakarnya panjang dan berkilau seperti mata pedang, dan matanya menyala merah darah, penuh dendam. Wajahnya, yang tersisa dari bentuk manusia, terdistorsi dengan taring mencuat, menyerupai monster serigala jadian dari legenda gelap Aethel. “Sial!” seru Murphy, suaranya penuh kejutan bercampur ketegangan. “Tak ada yang bilang pemimpin Tim Serigala Bayangan bisa jadi monster serigala jadian! Kau tak lagi suci seperti Ordo Cahaya—kalian lebih mirip kelompok monster jadian!” Pedangnya terangkat, energi emasnya berkilat, tapi ada getar kecil di tanga
Malam menyelimuti tepi sungai dengan kegelapan yang tebal dan dingin, seolah langit sendiri menahan napas di atas perkemahan kecil kelompok Kael. Api unggun berkelip lemah, nyala oranye kecilnya berjuang melawan bayang-bayang yang merayap dari hutan di sekitar, menciptakan tarian gelap dan terang yang tak menentu. Kael dan Murphy saling bertatapan, mata mereka mencerminkan kewaspadaan tajam saat Paman Peter menyebut “Serigala Bayangan.” Nama itu bergema seperti lonceng maut di telinga mereka—tunggangan serigala adalah simbol Ordo Cahaya, ordo terkuat di Aethel, dan Tim Serigala Bayangan adalah kelompok pemburu elitnya, dikenal tak kenal ampun dalam memburu buronan atau siapa pun yang mereka anggap sesat. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, sementara Murphy menggenggam pedangnya lebih erat, jari-jarinya memutih di gagangnya. “Jadi, akhirnya kita terlibat langsung dengan Ordo Cahaya?” gumam Murphy, nada sinisnya bercampur pasrah yang pahit. “Kita tak pernah cari merek
Kegelapan malam menyelimuti perkemahan kecil di tepi sungai, hanya diterangi oleh nyala api unggun yang berkelip lemah. Nyala api itu seolah takut menantang bayang-bayang yang merayap di sekitar. Angin malam membawa aroma rumput basah dan darah kering, bercampur dengan bau samar tanah yang baru digali.Kelompok Kael berdiri tegang, kekuatan sihir mereka siap untuk dilepaskan, mata mereka memindai kegelapan saat bunyi langkah kuda yang tak wajar mendekat. Laila memeluk Molly erat, getaran sonik di lengan Molly masih bergetar samar, sementara Vale bertengger di dahan pohon, sayapnya terlipat dengan waspada.Tiba-tiba, dari balik bayang pohon, sesuatu muncul—bukan ancaman mengerikan seperti yang mereka bayangkan, tetapi pemandangan yang membingungkan sekaligus mengejutkan. Seekor kuda ramping tersandung masuk ke lingkaran cahaya api, kakinya gemetar. Tubuhnya dipenuhi luka berdarah hingga bulu cokelatnya tampak hitam pekat.Di punggungnya, sosok berjubah gelap terkulai tak sadarkan diri,
Gerbong kuda melaju menjauh dari hutan pertempuran, roda kayunya berderit pelan di jalan tanah yang kini lebih rata, meninggalkan aroma darah dan kematian yang membusuk di belakang. Beberapa kilometer berlalu, angin siang membawa bau daun kering dan tanah basah, perlahan mengusir ketegangan yang menempel di hati kelompok Kael. Di langit, Vale melayang tinggi, sayap abu-abunya memotong udara tanpa suara, matanya tajam memindai horizon yang membentang luas. Pekikan peringatannya tak terdengar, tanda bahaya belum mengintai lagi, dan napas lega akhirnya keluar dari dada mereka, meski bayang penyihir jiwa masih menggantung di pikiran. “Huh…” Murphy bersandar di dinding gerbong, tangannya menyeka keringat dingin di dahi. “Aku masih berdebar memikirkan jadi target penyihir jiwa yang tak kita kenal. Kau benar, Kael—kita tak bisa meremehkan musuh lemah lagi. Bisa jadi ada pendukung mengerikan di balik mereka.” Nada suaranya serius, matanya cokelat tua menatap kosong ke lantai kayu, bayangan
Hutan di sekitar gerbong Kael membisu dalam keheningan yang mencekam, hanya bunyi roda kayu yang berderit dan derap kaki kuda yang memecah udara siang. Cahaya matahari tersaring melalui kanopi tebal, membentuk bercak-bercak emas yang bergoyang di tanah berlumut, namun suasana terasa dingin, seolah alam sendiri menahan napas. Di dalam gerbong, tangan Kael bergetar samar, siap melontarkan kabut hijau kehitaman dari Racun Melemahkan, sementara Murphy mencengkeram pedangnya, otot-ototnya tegang menanti saat melompat keluar. Mereka belum bertindak—Kael menahan mereka, matanya biru tertuju pada Laila, menunggu informasi pasti tentang musuh yang mengintai. Laila duduk tegang, matanya hitam terpejam rapat, getaran soniknya mengalir halus mencoba menangkap suara-suara di balik semak. Wajahnya pucat, kerutan kecil di dahinya menunjukkan konsentrasi penuh, sementara Molly, tupai naga kecil di pangkuannya, meringkuk diam seolah merasakan bahaya. Lyra, di sisi lain, mengetuk dinding gerbong pe
Langit di atas hutan membentang luas, biru cerah dengan awan tipis yang berarak lamban, sementara Vale, elang abu-abu milik Sarah, melayang tinggi mengikuti gerbong kuda usang yang berderit di bawahnya. Sayapnya memotong angin dengan irama tenang, mata tajamnya memindai hamparan hijau yang bergoyang pelan tertiup angin siang.Gerbong kelompok Kael bergoyang di jalan tanah berbatu, roda kayunya yang miring mengeluarkan bunyi berdecit keras, sengaja dibuat mencolok untuk menyamarkan kemewahan di dalamnya. Aroma tanah kering dan daun basah menyelinap melalui celah-celah dinding luar yang bobrok, bercampur dengan wangi samar kayu cendana dari interior gerbong yang empuk.Di dalam, Lyra duduk bersila di kursi berlapis kain merah, tangannya memegang secuil roti kering sisa sarapan. Kael meliriknya, matanya biru penuh perhitungan. “Jelaskan situasi di kota pohon Luminus,” pintanya, suaranya tegas namun tenang. “Kami perlu tahu apa yang harus diperhatikan di sana.”Lyra menarik napas pelan, m
Pagi menyelimuti Teluk Senja dengan cahaya lembut, matahari baru terbit membentuk garis emas tipis di ufuk laut yang tenang. Angin sepoi-sepoi membawa aroma garam dan kayu basah dari dermaga, bercampur dengan bau samar ikan segar yang diangkut pedagang pagi. Kelompok Kael melangkah ke dek kapal Lyra, kayu di bawah kaki mereka berderit pelan, masih hangat dari sisa malam. Lyra telah menunggu di sana, berdiri di sisi meja kayu sederhana yang kini dipenuhi sarapan—roti gandum, keju lunak, dan buah beri merah yang berkilau di bawah sinar matahari. Berbeda dari malam sebelumnya, Lyra tampak lebih sederhana, mengenakan tunik cokelat tua dan mantel tipis tanpa hiasan emas, rambutnya diikat longgar seolah siap untuk perjalanan jauh. Kael memandangnya dengan alis sedikit terangkat, matanya biru menangkap perubahan itu. “Apakah kau sudah menyangka kami akan setuju kau bergabung?” tanyanya, nadanya penuh perhitungan namun tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu. Lyra tersenyum tipis, matan