Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 60: Reruntuhan Hutan dan Bisikan Musuh

Share

Bab 60: Reruntuhan Hutan dan Bisikan Musuh

Author: Pok Jang
last update Huling Na-update: 2025-03-30 11:55:45

Cahaya matahari tengah hari menyelinap melalui kanopi tebal hutan Aethel, membentuk bercak-bercak emas yang bergetar di tanah berlumut di bawah kaki mereka. Angin sepoi-sepoi membawa aroma daun basah dan kayu tua, sedikit meredakan ketegangan yang masih menempel di hati Kael dan kelompoknya setelah perpisahan dengan Profesor Aldos.

Sungai luas kini jauh di belakang, dan peringatan sang profesor—untuk bersembunyi di desa terdekat—mendorong langkah mereka lebih cepat. Bau samar asap phoenix masih tercium di udara, tapi kini bercampur dengan sesuatu yang lebih liar, seperti bulu basah dan tanah yang baru digali, membuat Kael mengernyit waspada.

Kael memimpin di depan, matanya biru memindai hutan dengan hati-hati, tangannya yang baru sembuh berkat potion Aldos kini lebih lincah menggenggam bola lendir Sophia di saku mantelnya. Sarah berjalan di sisinya, langkahnya pelan tapi penuh kewaspadaan, sementara Murphy mengikuti di belakang, pedangnya terselip di sarung tapi jemarinya tak perna
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Kaugnay na kabanata

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 61: Desa yang Terselubung dan Pertempuran Malam

    Hutan Aethel membungkus reruntuhan kecil dalam kesunyian yang tegang, hanya dipecah oleh bisikan angin yang menyelinap melalui daun-daun lelet dan suara langkah musuh yang kini mendekati. Kael dan kelompoknya merapat di balik semak tebal, napas mereka ditahan, tubuh mereka menyatu dengan bayang-bayang pohon. Aroma logam tajam dari pemburu Crimson dan bau tinta kering bercampur darah dari Ordo Umbra memenuhi udara, menciptakan ketegangan yang nyaris terasa di kulit. Dua kelompok itu berdiri di dekat altar, hanya beberapa meter dari tempat persembunyian mereka, tapi tak saling bersekutu—mata mereka saling menatap penuh curiga. Pemimpin Ordo Umbra, wanita berambut putih pendek dengan mata dingin, melangkah maju, tangannya menyentuh altar dengan jemari pucat. “Desa itu punya jejak penyihir kuno—kita harus sampai ke sana sebelum mereka,” katanya, suaranya tajam seperti pisau, matanya melirik ke arah pemburu Crimson dengan jijik. Salah satu anak buahnya, pria bertubuh kurus dengan juba

    Huling Na-update : 2025-03-30
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 62: Bayang Sekutu dan Luka Musuh

    Malam di desa kecil itu berubah menjadi kekacauan berdarah, cahaya bulan sabit tipis memantul di genangan darah dan bilah senjata yang berkilau. Api obor berkobar liar, membakar udara dengan aroma kayu terbakar dan daging hangus, sementara jeritan pertempuran menggema di antara rumah-rumah kayu sederhana. Kael dan kelompoknya tetap bersembunyi di balik semak terakhir di tepi desa, matanya biru menyipit menatap warga desa yang bertarung ganas melawan Ordo Umbra dan pemburu Crimson. Kekuatan mental emas warga bersinar terang, kontras dengan mental ungu pemimpin kedua kelompok musuh yang berkobar penuh ancaman. Kael menggertakkan gigi, pikirannya berputar penuh kebingungan. “Kita bantu atau lari?” bisik Murphy di sisinya, pedangnya erat di tangan, nadanya tegang tapi siap bertindak. Sarah menatap Kael, matanya ungu menyala samar, “Mereka terlalu kuat—tapi kita tak tahu siapa yang benar di sini.” Laila mengisyaratkan keraguan dengan gerakan tangan cepat, sementara Sophia memandang deng

    Huling Na-update : 2025-03-31
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 63: Desa Buronan dan Jejak Akademi

    Udara malam di desa kecil itu masih terasa berat, membawa aroma darah kering dan kayu terbakar yang tersisa dari pertempuran sebelumnya. Cahaya bulan sabit tipis menyelinap melalui celah-celah rumah kayu, menerangi warga desa yang berdiri di tengah mayat musuh, mata mereka emas bersinar penuh curiga menatap Kael dan kelompoknya. Kael melangkah maju, tangannya terangkat menunjukkan tak ada ancaman, suaranya tenang meski ada getar canggung dari pertemuan tak terduga ini. “Kami sedang dalam misi Akademi,” jelasnya, matanya biru bertemu tatapan wanita petani yang masih memegang pisau berdarah. “Profesor Aldos meminta kami istirahat di desa ini sebelum lanjutkan misi—kami lihat kedua kelompok itu dalam perjalanan, dan memilih datang malam ini agar tak bentrok dengan mereka. Tapi sepertinya, seperti biasa, sesuatu yang tak diinginkan selalu terjadi jika mereka ada di suatu tempat.” Wanita itu menurunkan pisaunya perlahan, napasnya lega meski tatapannya tetap tajam. Pria tua dengan k

    Huling Na-update : 2025-03-31
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 64: Makhluk Hutan dan Jalan Rahasia

    Sinar matahari pagi perlahan menyelinap melalui celah-celah kanopi hutan belakang Akademi Baseus, membawa kehangatan tipis yang menyapu aroma tanah basah dan daun kering di bawah langkah Kael dan kelompoknya. Udara terasa segar setelah malam panjang di desa buronan, dan desiran daun yang tertiup angin lembut mengisi keheningan di antara mereka. Desa itu kini jauh tertinggal, tersembunyi di lembah kecil, warga-warganya kembali ke rutinitas petani sederhana—kedok yang menyamarkan kekuatan mental emas mereka. Menyadari bahwa mereka berada di wilayah hutan belakang Akademi Baseus, meski perjalanan ke akademi masih jauh, Kael merasakan harapan baru di depan. Dia melangkah di depan, mantelnya bergoyang ringan tertiup angin, matanya yang biru memindai hutan dengan hati-hati. “Kami sudah dekat Baseus sekarang,” katanya, suaranya rendah namun teguh, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang yang lain. “Tapi kami harus lebih kuat sebelum sampai—musuh takkan menunggu.” Sarah melangkah di sisi

    Huling Na-update : 2025-04-01
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 65: Pintu Rahasia dan Bayang Merah

    Sinar matahari pagi perlahan menyelinap melalui celah-celah kanopi hutan belakang Akademi Baseus, membawa kehangatan tipis yang menyapu aroma lumut basah dan getah pohon di sekitar Kael dan kelompoknya. Angin lembut berdesir di antara daun-daun raksasa, mengisi keheningan dengan suara samar, namun ada ketegangan halus yang menggantung di udara—seolah hutan ini menahan napas, menyimpan rahasia yang menanti saatnya terbongkar. Kael berdiri di dekat lubang sempit yang baru saja digali tupai bersayap, matanya biru menyipit penuh rasa ingin tahu. Lubang itu terselip di balik lumut tebal yang menyelimuti akar pohon besar, terlalu kecil untuk dilalui, namun ada daya tarik misterius yang membuatnya sulit berpaling. “Aku ingin masuk ke laluan ini,” katanya pelan, suaranya rendah namun teguh, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang yang lain. “Tapi lubangnya kecil sekali—bagaimana caranya?” Sarah berlutut di sisinya, jari-jarinya menyentuh lumut dingin yang licin, Mata Sihir-nya menyala samar

    Huling Na-update : 2025-04-01
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 66: Lorong Rahasia dan Terobosan Master

    Lorong rahasia di bawah Akademi Baseus menyambut Kael dan kelompoknya dengan udara dingin yang membawa aroma tanah basah dan batu tua. Cahaya samar dari dinding berlumut hanya mampu menerangi beberapa langkah di depan, sementara kegelapan menyelimuti lorong-lorong bercabang yang tampak tak berujung. Labirin itu terasa hidup, bergetar pelan seolah memiliki napas sendiri, siap menyesatkan siapa saja yang tak memiliki pengalaman atau kemampuan untuk menemukan jalan keluar. Kael melangkah di depan, matanya biru menyipit mencoba menembus bayang-bayang yang tebal. “Lorong ini terlalu banyak,” katanya pelan, suaranya rendah namun teguh. “Kalau kami salah pilih, mungkin tak pernah keluar.” Sarah mengangguk di sisinya, Mata Sihir-nya menyala samar, energi ungu berkilau di pupilnya saat memindai dinding-dinding berliku. “Aku rasa ini bukan labirin biasa—ada sesuatu yang mengacaunya,” ujarnya, nadanya tenang namun penuh kewaspadaan. Untungnya, tupai bersayap yang kini dinamai Molly oleh Sophia

    Huling Na-update : 2025-04-02
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 67: Bayang Phoenix dan Rahasia Ungu

    Di dalam ruangan kecil berdinding simbol sihir kuno, energi terus menderu, benang-benang ungu dan emas berkilauan mengelilingi Kael dan Murphy dalam gelombang liar yang perlahan mencari keseimbangan. Sementara itu, di luar, Profesor Aldos berdiri di tengah ruangan utama rumahnya, jubah hitamnya bergoyang pelan tertiup angin yang menyelinap melalui celah-celah kayu. Dia melirik Sarah dan Laila, yang tengah memegang buku teknik yang baru diberikannya, lalu menghela napas. “Aku harus pergi sekarang—dewan Nexus menunggu,” katanya, suaranya dalam dan serak. “Kalian baca dulu buku itu, aku tak akan lama.” Sarah mengangguk, jari-jarinya menyentuh sampul bukunya. “Aku akan mulai dari sini,” ujarnya pelan, matanya ungu menyala samar penuh minat. Laila memandang bukunya dengan mata cokelat besar, tangannya bergerak lembut membukanya, tapi sebelum mereka bisa tenggelam dalam bacaannya, kegaduhan tiba-tiba menggema dari luar—suara kepakan sayap yang tajam bercampur cicitan panik Molly dan peki

    Huling Na-update : 2025-04-02
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 68: Terobosan dan Bayang Kekhawatiran

    Malam melingkupi rumah kayu Aldos dengan sunyi yang tebal, bayang-bayang hutan ilusi bergoyang pelan di luar jendela, diterangi cahaya bulan yang temaram. Di dalam ruangan kecil berdinding simbol sihir kuno, energi ungu dan emas masih menderu, mengelilingi Kael dan Murphy dalam pusaran liar yang bergetar hingga ke lantai kayu. Sarah dan Laila, yang menunggu di ruangan utama, duduk di dekat meja tua, sepiring roti kering dan semangkuk sup sederhana terhidang di antara mereka. Cahaya lilin memantul lembut di wajah mereka, sementara buku teknik dari Aldos terbuka di pangkuan masing-masing, halaman-halaman kertas tua berderit saat dibalik. Sarah menyeruput supnya, matanya ungu melirik bukunya sesekali. “Aku rasa ini bisa bantu aku lihat lebih jauh,” katanya pelan, suaranya rendah namun penuh rasa ingin tahu. Laila mengangguk, matanya cokelat besar memandang bukunya dengan fokus, jari-jarinya menyentuh kertas seolah menyerap setiap kata tentang frekuensi sonik. Mereka makan dalam kehe

    Huling Na-update : 2025-04-03

Pinakabagong kabanata

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 101 — Hutan Labirin Racun

    Paman Peter kembali ke rumah persembunyian mereka dengan nafas memburu. Wajahnya yang biasanya santai kini mengeras penuh ketegangan. “Aku dapat kabar buruk,” katanya, begitu masuk. “Banyak kelompok lain yang bergerak ke area terlarang Akademi Vitrum. Lebih dari yang kita perkirakan.” Kael yang sedang membentangkan peta langsung menoleh. “Seberapa banyak?” “Sedikitnya sepuluh kelompok. Dan mereka bukan kelompok biasa,” jawab Paman Peter cepat. “Ada kelompok pemburu bayaran, kelompok murid senior, bahkan rumor tentang orang-orang yang bukan dari akademi.” Kata-katanya membuat ruangan menjadi berat. Murphy bersiul pelan. “Wah, ini lebih parah dari waktu di area terlarang Baseus. Setidaknya waktu itu kita tahu apa yang akan kita hadapi,” gumamnya. Paman Peter mengangguk. “Area ini tidak pernah dieksplorasi ratusan tahun. Tidak ada peta akurat sebelumnya. Kita baru saja beruntung mendapatkan salinan peta lama. Tapi tetap saja, apa yang menunggu di dalam... siapa yang tahu?” Semua o

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 100 — Awan Gelap di Atas Vitrum

    Sambil menunggu waktu malam untuk beraksi, Kael memanggil Paman Peter ke sudut ruang, jauh dari pendengaran yang lain. Dengan suara rendah, ia meminta bantuan sang paman untuk bergerak lebih awal—mengamati situasi di sekitar Akademi Vitrum. Kekhawatiran menekan dada Kael. Ia butuh lebih dari sekadar kesiapan; ia butuh informasi. Terutama tentang kelompok-kelompok bayangan yang mungkin muncul saat Ordo Cahaya membuka pintu area terlarang yang selama ini tersembunyi dari dunia. Akademi Vitrum menyimpan lebih dari sekadar reruntuhan tua. Adanya keterlibatan penyihir kuno dalam sejarahnya telah menarik perhatian banyak pihak. Ordo Cahaya—seperti biasa—bergerak atas nama 'pencerahan', namun Kael tahu lebih baik. Di balik topeng suci mereka, tersembunyi ambisi rakus terhadap Batu Sihir, artefak kuno yang diyakini mampu mengubah nasib siapa pun yang memilikinya. Tak hanya Ordo Cahaya. Organisasi bayangan, para pemburu artefak, bahkan keluarga-keluarga bangsawan yang haus kekuasaan, semua

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 99 — Bayangan di Kota

    Suasana mencekam membebat udara di ruangan kecil itu. Hanya bunyi detak jarum jam tua dan napas yang tertahan memenuhi kesunyian. Setiap detik berlalu terasa seperti tarikan waktu yang tak berujung, menekan dada mereka dengan rasa waswas yang makin berat. Kael duduk bersandar di dinding, matanya tajam menatap pintu, seolah berusaha menembusnya dengan pandangan. Sarah merapatkan jubahnya, telapak tangannya mengepal di atas lutut. Laila menggenggam erat tangan Sophia yang duduk di sebelahnya, sementara Murphy berulang kali mengetuk lantai dengan ujung sepatunya tanpa sadar. Setengah jam berlalu, penuh ketegangan membeku. Akhirnya, langkah kaki berat mendekat dari kejauhan. Mereka semua menahan napas. Ketukan tiga kali di pintu—kode yang sudah mereka sepakati. Pintu dibuka perlahan, memperlihatkan sosok Paman Peter dengan wajah tegas. Matanya menyapu seluruh ruangan, memastikan tidak ada yang terluka atau panik. "Rumah itu aman," katanya, suaranya berat namun membawa kelegaan. "Tapi

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 98 – Harta Tersembunyi dan Bahaya di Balik Lorong

    Begitu pintu tersembunyi itu terbuka, pandangan mereka langsung disambut oleh pemandangan yang membuat napas tercekat. Di balik dinding batu yang tampak polos itu tersembunyi sebuah ruangan rahasia—penuh dengan bekalan yang ditumpuk tinggi, seolah-olah gudang ini sengaja dipersiapkan untuk menghadapi bencana besar. Murphy melangkah lebih dulu, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan harta karun. "Apa... semua ini... bekalan?" gumamnya penuh kekaguman, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Rak demi rak dipenuhi makanan kering, roti keras, daging asap, buah-buahan awet. Lebih dalam ke ruangan itu, barisan peti kayu besar tersusun rapi, masing-masing terisi potion beraneka warna, senjata dari logam berkualitas, serta perlengkapan perang—baju zirah, busur, anak panah, bahkan beberapa gulungan mantra. "Apakah ini milik Ordo Umbra?" bisik Murphy, suaranya bergetar antara takjub dan girang. "Kenapa mereka menyembunyikannya di tempat seperti ini?" Suaranya menggantung

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 97: Serangan Senyap dan Rahasia Tersembunyi

    Lorong rahasia itu menggigil dalam kegelapan. Dinding-dinding batu kasar, dingin dan basah, memantulkan gema langkah cepat Kael, Paman Peter, dan Lyra. Bau tanah lembap bercampur amis darah baru—sisa penjaga luar yang mereka tumbangkan—menguar, bercampur dengan kabut ungu ilusi yang membelai ujung lorong seperti hantu lapar. Di kejauhan, kapten Ordo Umbra berdiri terhuyung. Sosoknya tinggi, berjubah hitam seperti perwujudan malam, pedangnya berkilau redup dalam cahaya sihir. Matanya liar, terperangkap dalam labirin halusinasi yang menggerogoti nalar. Tiga anak buahnya, kehilangan kendali, saling menyerang membabi buta, dentang pedang mereka memekik di ruang sempit itu. Kael mengatupkan rahangnya, menarik napas pelan, lalu mengompresi sihir Racun Melemahkan di telapak tangannya. Mata birunya menyipit, fokus memburu detik yang tepat. “Paman, cek ujung lorong. Pastikan tak ada yang lain!” bisiknya. Suaranya tegas, tapi ada getar kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan. Paman Peter men

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 96: Serangan Senyap di Lorong Rahasia

    Hutan Eldoria terbungkus kegelapan malam, hanya suara raungan monster samar dan gemerisik dedaunan yang mengisi udara. Kabut tipis menyelimuti tanah, menyembunyikan langkah Kael, Paman Peter, dan Sophia saat luncur lendir Sophia meluncur diam, membawa mereka menuju bukit utara. Luncur itu, licin namun kokoh seperti ular hidup, bergerak tanpa suara, menghindari ranting dan batu dengan presisi. Kael berjongkok di depan, tangannya meremas kantong ruang, matanya biru memindai bayang-bayang, sihir racunnya berdengung pelan di nadinya. Paman Peter, jubahnya menyala samar oleh rune kamuflase, menatap ke depan, alisnya berkerut mengingat luka pedang bayang kemarin. Sophia, matanya merah berkilat di bawah tudung, mengendalikan luncur, bibirnya melengkung tipis, seolah menikmati ketegangan. Mereka berhenti di tepi bukit, bersembunyi di balik pohon raksasa yang akarnya menjalar seperti jaring. Di depan, mulut lorong rahasia—lubang batu tersembunyi di sisi bukit, ditutupi lumut dan rune samar—d

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 95: Perburuan dan Lorong Rahasia

    Malam di hutan Eldoria berlalu dengan damai, meski raungan monster sesekali menggema di kejauhan, menggetarkan dedaunan pohon-pohon raksasa. Gua markas kelompok Kael, tersembunyi di balik akar kuno dan lumut tebal, tetap aman. Kabut lendir Sophia, yang diciptakan secara sporadis di mulut gua, menghilangkan bau mereka, menipu hidung monster yang berkeliaran. Api unggun meredup, hanya menyisakan bara hangat, dan kelompok tidur nyenyak, energi mereka pulih setelah hari penuh ketegangan. Pagi menyapa dengan sinar fajar yang menyelinap melalui celah-celah hutan, membangunkan kelompok dengan aroma sup jamur dan roti panggang yang disiapkan Paman Peter. “Bangun, makan dulu sebelum kerja!” katanya, wajahnya kerut tapi matanya cokelat penuh semangat, mengaduk panci di unggun. Kael, yang sudah bangun, memeriksa kantong ruangnya, memastikan bekal darurat aman. “Kita habiskan daging kering dulu,” katanya tenang, matanya biru fokus. “Hari ini kita akan pergi memburu monster yang bisa dimakan,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 94: Kantong Ruang dan Ancaman Identitas

    Hutan Eldoria menyelimuti malam dengan kegelapan tebal, hanya suara jangkrik dan dedaunan bergoyang yang memecah sunyi. Di celah pohon-pohon raksasa, di mana lumut tebal menutup tanah dan akar kuno menjalar, ketegangan menyelimuti kelompok Kael dan empat murid akademi Vitrum. Jubah abu-abu murid-murid itu kotor darah, potion hijau di tangan pemimpin perempuan menyala samar, matanya cokelat penuh curiga. Murphy, pedang sihirnya terangkat, mendengus marah, amarahnya membara atas “pengkhianatan” murid Vitrum yang kabur. Udara terasa berat, seperti menanti percikan api meledakkan pertempuran baru. Pemimpin perempuan Vitrum, rambut cokelat terikat, mengangkat tangan, suaranya goyah tapi tegas. “Berhenti! Kami tahu kalian marah karena kami kabur tadi. Tapi kami tak punya pilihan—potion kami habis, kami tak bisa lawan lagi. Jika tetap di sana, kami cuma jadi sasaran serangan kalian atau penyerang lain. Kami minta maaf jika membuat kalian marah.” Ia menundukkan kepala, tanda tulus, diiku

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 93: Potion dan Ketegangan Hutan

    Hutan di luar Eldoria berguncang oleh ledakan, pohon-pohon raksasa bergoyang, daun-daun berjatuhan seperti hujan. Raungan dan jeritan samar bergema, diselingi dentuman keras yang makin mendekat ke gua markas kelompok Kael. Api unggun di gua meredup, asap sup jamur Paman Peter masih menguar, tapi semua berdiri waspada, tangan mencengkeram senjata atau sihir. Molly dan Vale, kini pulih sepenuhnya pasca-evolusi, berkicau tajam, sisik zamrud dan bulu hijau mereka berkilau, cakar dan angin siap. Kael menatap kegelapan hutan, matanya biru menyipit. “Ledakan itu bukan sembarang pertempuran,” katanya tegang. “Kita cari tahu apa itu—dan apakah ancaman untuk kita. Molly, Vale, kalian ikut. Yang lain, formasi rapat, siap serang.” Ia mengangguk ke Lyra, yang botol airnya menyala samar, dan Sophia, yang lendirnya bergetar di tangan, matanya cokelat menyala antusias. Mereka keluar dari gua, langkah hati-hati, menyusuri hutan lebat. Akar-akar kuno menjalar di tanah, lumut tebal menutup batu, ud

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status