Home / Fantasi / Tiga Mayat Satu Takdir / Bab 33: Pertarungan Dua Ancaman

Share

Bab 33: Pertarungan Dua Ancaman

Author: Pok Jang
last update Last Updated: 2025-03-17 00:16:49

Lorong luas Perpustakaan Tersegel bergema dengan suara berderit dari rak-rak kayu raksasa yang bergerak, dinding batu tua dipenuhi ukiran kuno yang berkilau samar di bawah cahaya hijau dan biru lendir yang bergetar di langit-langit. Udara terasa berat, bau logam dan tinta usang bercampur aroma asam dari parasit gelap yang melayang cepat, sayap tipis mereka berdengung seperti serangga haus.

Kael berdiri di tengah ruangan, tangannya menyala dengan energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat**, matanya biru tajam menatap parasit yang mencoba melahap rak. Sarah dan Laila berdiri di sisinya, wajah mereka tegang, tangan mereka siap dengan energi ungu. Murphy mengangkat pedangnya, energi emas berkilau samar, matanya cokelat dari penyamaran kristal penuh kewaspadaan.

"Kita harus cepat," kata Kael, suaranya rendah tapi tegas, tangannya mengepal memegang peta kulit dari lendir. "Parasit ini fokus ke rak—Sarah, ilusi untuk tarik perhatian mereka. Laila, arahkan kami. Murphy, serang yang mendeka
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 34: Parasit yang Membesar

    Lorong tengah Perpustakaan Tersegel bergema dengan suara gemuruh dan geraman, dinding batu tua yang dingin bergetar pelan di bawah tekanan pertarungan yang kacau. Cahaya hijau dan biru dari lendir di langit-langit memantul di rak-rak kayu raksasa yang bergerak, menciptakan kilauan aneh yang menyelinap ke setiap sudut. Udara penuh bau asam dari lendir, logam tua, dan darah hitam yang menyengat, membuat tenggorokan terasa terbakar. Kael berdiri dengan tangan siap, energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat** bergetar di jemarinya, matanya biru tajam menatap parasit gelap yang melayang ke lorong belakang. Sarah dan Laila berdiri di sisinya, wajah mereka pucat penuh kebingungan, sementara Murphy menggenggam pedangnya erat, energi emas berkilau samar, matanya cokelat dari penyamaran kristal melirik ke arah lendir kecil yang bergoyang panik di dekat mereka. "Apa yang terjadi?" bisik Sarah, suaranya bergetar saat matanya ungu samar menatap parasit gelap itu, yang kini melayang ke arah gero

    Last Updated : 2025-03-17
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 35: Pertarungan Terakhir Parasit Raksasa

    Lorong tengah Perpustakaan Tersegel bergema dengan suara benturan keras dan raungan yang memekakkan telinga. Dinding batu tua yang dingin dan berlumut bergetar hebat seolah akan runtuh di bawah tekanan pertarungan yang kian brutal. Cahaya hijau dan biru yang dulu memenuhi langit-langit dari lendir kini meredup, digantikan oleh kilauan gelap yang mencekam dari **parasit raksasa**, tubuhnya hitam pekat membengkak hingga menyentuh langit-langit. Sayapnya yang tipis dan bergetar berdengung seperti ribuan lebah marah. Udara terasa tebal dan menyengat, aroma asam lendir bercampur dengan bau darah hitam serigala jadian yang membusuk serta logam tua yang berkarat, menciptakan kabut tipis yang menusuk paru-paru hingga terasa terbakar. Kael berdiri di tengah ruangan, napasnya tersengal dan berat, keringat menetes membasahi wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar namun tetap menyala dengan energi hijau kehitaman **Racun Tiga Mayat**, matanya biru tajam berkilat penuh tekad meski bayangan kelel

    Last Updated : 2025-03-17
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 36: Gelombang Sonik Laila

    Lorong tengah Perpustakaan Tersegel terasa seperti medan perang yang membeku dalam ketegangan. Dinding batu tua yang dingin dan berlumut bergetar pelan oleh gema pertarungan sebelumnya, serpihan kayu dari rak-rak raksasa yang hancur berserakan di lantai yang retak. Udara dipenuhi bau asam lendir yang menyengat, darah hitam serigala jadian yang membusuk, dan logam tua yang berkarat, menciptakan kabut tebal yang menyesakkan dada. Parasit gelap raksasa masih berjuang dalam kepompong cair lendir raksasa. Sayapnya berdengung liar dengan suara yang memekakkan, tubuhnya hitam pekat berkilauan seperti minyak hidup yang bergetar penuh amarah. Lendir raksasa yang menyelimutinya kini meleleh perlahan. Cairan hijau dan birunya memudar jadi abu-abu kusam, menetes ke lantai dengan suara licin yang menyedihkan, meninggalkan bercak basah yang menguap menjadi asap tipis. Kael berlutut di lantai, napasnya tersengal berat. Energi sihirnya habis sehingga ia hanya bisa bersandar ke dinding batu yang di

    Last Updated : 2025-03-18
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 37: Lendir yang Kekenyangan

    Lorong tengah Perpustakaan Tersegel terbungkus dalam keheningan yang mencekam setelah pertarungan sengit, dinding batu tua yang dingin dan berlumut masih bergema pelan oleh getaran terakhir. Serpihan kayu dari rak-rak raksasa yang hancur berserakan di lantai yang retak dan basah oleh darah hitam serigala jadian. Udara terasa tebal dan menyengat, bau asam lendir yang meleleh bercampur dengan aroma darah busuk dan logam tua yang berkarat, menciptakan kabut tipis yang menusuk hidung hingga tenggorokan terasa kering. Parasit gelap raksasa, yang kini terkulai di lantai dalam kepompong lendir cair yang menipis, tak lagi bergerak. Tubuhnya hitam pekat menyusut perlahan, sayapnya yang berdengung kini diam seperti reruntuhan yang patah. Laila berdiri di tengah, tubuh kecilnya gemetar hebat, matanya cokelat besar berkaca-kaca oleh kelelahan saat ia mengerahkan kekuatan terakhirnya. Ia menutup mata, pendengaran supernya menangkap aliran darah hitam yang kacau di tubuh parasit, dan dengan n

    Last Updated : 2025-03-18
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 38: Transformasi Lendir Kecil

    Lorong tengah Perpustakaan Tersegel terbungkus keheningan yang rapuh. Dinding batu tua yang dingin dan berlumut memantulkan bayangan samar dari rak-rak kayu raksasa yang bergerak pelan, seolah tak terganggu oleh pertarungan sengit yang baru berakhir. Udara terasa dingin dan lembap, bau asam lendir yang meleleh perlahan memudar, digantikan aroma logam tua yang berkarat dan darah hitam serigala jadian yang mulai mengering di lantai yang retak. Kael duduk bersandar ke dinding, napasnya masih tersengal tapi lebih teratur, tangannya gemetar saat ia mengeluarkan roti kering dan botol air dari karung bekal. Matanya yang biru, meski lelah, tetap waspada menatap lendir kecil yang terbaring di dekat sisa tubuh parasit gelap, tubuhnya yang bening berkilau samar seolah masih mencerna energi besar yang diperolehnya. Sarah duduk di sisinya; rambut pirangnya kusut menempel di dahi pucatnya. Tangannya sibuk merobek kain dari mantelnya untuk membalut pundak Murphy yang berdarah. "Pegang diam, Murp

    Last Updated : 2025-03-19
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 39: Duel di Lorong dan Lorong Rahasia

    Lorong gelap Perpustakaan Tersegel bergema dengan suara benturan keras dan geraman yang menggetarkan, dinding batu tua yang berlumut bergetar hebat hingga serpihan kecil berjatuhan dari langit-langit. Udara dipenuhi bau logam tua yang berkarat dan tanah basah, dicampuri aroma samar darah hitam yang masih membekas dari pertarungan sebelumnya. Di tengah kegelapan, monster berkepala kambing berdiri marah, tubuhnya besar berotot dan tertutup bulu hitam kusut, tanduk melengkungnya berkilau samar di bawah cahaya redup, matanya merah menyala penuh nafsu membunuh. Sabit raksasanya menggores lantai dengan bunyi logam menusuk telinga, meninggalkan bekas dalam yang mengeluarkan percikan api kecil saat ia melangkah maju, geramannya mengguncang udara seperti guntur. Dua sosok muncul dari bayang-bayang gelap, menghalangi jalannya—paman misterius dan wanita misterius. Paman itu berdiri tegak, mantel hitamnya menyatu dengan kegelapan, belatinya berkilau samar di tangan kanannya, matanya dingin sep

    Last Updated : 2025-03-19
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 40: Perjalanan ke Tebing dan Bangunan Kuno

    Lorong rahasia di balik rak buku raksasa terasa dingin dan sempit. Dinding batu tua yang kasar ditumbuhi lumut basah dan licin. Udara di sana pengap, berbau tanah lembap bercampur aroma kayu lapuk yang samar. Semua itu menciptakan suasana suram yang membuat mereka sulit bernapas. Kael berjalan paling depan, mantelnya melambai pelan tertiup angin dingin yang mengalir dari arah depan. Sepasang mata birunya yang tajam menatap ke dalam kegelapan dengan penuh kewaspadaan. Tangannya dalam keadaan siaga, meski energi sihir dalam tubuhnya masih terasa lemah. Sarah dan Laila mengikuti rapat di belakangnya. Rambut pirang Sarah dan rambut cokelat gelap milik Laila menempel pada dahi mereka yang pucat karena keringat. Langkah kedua gadis itu hati-hati, menghindari lantai batu yang tidak rata. Murphy berjalan di belakang mereka, pundaknya terbalut kain yang bernoda darah. Pedangnya masih tersarung, namun tangan pria itu tetap waspada di dekat gagang senjata. Napasnya terdengar sesak akibat luka

    Last Updated : 2025-03-20
  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 41: Menaklukkan Arus Deras

    Angin dingin bertiup kencang di puncak tebing, membawa aroma segar air tawar bercampur bau tanah basah dari sungai deras di bawah. Cahaya matahari yang redup menyelinap di sela-sela awan tebal, memantulkan kilauan samar di permukaan air hitam yang berputar ganas. Gemuruh arusnya menggema hingga ke dinding batu curam, mengirim getaran halus ke kaki Kael dan kelompoknya. Di seberang sungai, sebuah gunung menjulang megah, puncaknya terselimut kabut tipis. Di lerengnya berdiri teguh bangunan kuno; dinding batunya dipenuhi ukiran simbol penyihir yang telah pudar dimakan waktu, atapnya retak namun tetap berdiri kokoh seperti penjaga abadi. Itulah tujuan akhir yang mereka kejar sejak memasuki wilayah Perpustakaan Tersegel. Kael berdiri tegak di bibir tebing, mantelnya berkibar pelan diterpa angin. Matanya yang biru menyipit, menatap tajam ke arah sungai sambil menggenggam erat peta kulit di tangannya—sebuah peta yang kini diam setelah selesai menunjukkan arah. Napasnya masih berat akibat p

    Last Updated : 2025-03-20

Latest chapter

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 98 – Harta Tersembunyi dan Bahaya di Balik Lorong

    Begitu pintu tersembunyi itu terbuka, pandangan mereka langsung disambut oleh pemandangan yang membuat napas tercekat. Di balik dinding batu yang tampak polos itu tersembunyi sebuah ruangan rahasia—penuh dengan bekalan yang ditumpuk tinggi, seolah-olah gudang ini sengaja dipersiapkan untuk menghadapi bencana besar. Murphy melangkah lebih dulu, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan harta karun. "Apa... semua ini... bekalan?" gumamnya penuh kekaguman, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihat. Rak demi rak dipenuhi makanan kering, roti keras, daging asap, buah-buahan awet. Lebih dalam ke ruangan itu, barisan peti kayu besar tersusun rapi, masing-masing terisi potion beraneka warna, senjata dari logam berkualitas, serta perlengkapan perang—baju zirah, busur, anak panah, bahkan beberapa gulungan mantra. "Apakah ini milik Ordo Umbra?" bisik Murphy, suaranya bergetar antara takjub dan girang. "Kenapa mereka menyembunyikannya di tempat seperti ini?" Suaranya menggantung

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 97: Serangan Senyap dan Rahasia Tersembunyi

    Lorong rahasia itu menggigil dalam kegelapan. Dinding-dinding batu kasar, dingin dan basah, memantulkan gema langkah cepat Kael, Paman Peter, dan Lyra. Bau tanah lembap bercampur amis darah baru—sisa penjaga luar yang mereka tumbangkan—menguar, bercampur dengan kabut ungu ilusi yang membelai ujung lorong seperti hantu lapar. Di kejauhan, kapten Ordo Umbra berdiri terhuyung. Sosoknya tinggi, berjubah hitam seperti perwujudan malam, pedangnya berkilau redup dalam cahaya sihir. Matanya liar, terperangkap dalam labirin halusinasi yang menggerogoti nalar. Tiga anak buahnya, kehilangan kendali, saling menyerang membabi buta, dentang pedang mereka memekik di ruang sempit itu. Kael mengatupkan rahangnya, menarik napas pelan, lalu mengompresi sihir Racun Melemahkan di telapak tangannya. Mata birunya menyipit, fokus memburu detik yang tepat. “Paman, cek ujung lorong. Pastikan tak ada yang lain!” bisiknya. Suaranya tegas, tapi ada getar kecemasan yang tak bisa ia sembunyikan. Paman Peter men

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 96: Serangan Senyap di Lorong Rahasia

    Hutan Eldoria terbungkus kegelapan malam, hanya suara raungan monster samar dan gemerisik dedaunan yang mengisi udara. Kabut tipis menyelimuti tanah, menyembunyikan langkah Kael, Paman Peter, dan Sophia saat luncur lendir Sophia meluncur diam, membawa mereka menuju bukit utara. Luncur itu, licin namun kokoh seperti ular hidup, bergerak tanpa suara, menghindari ranting dan batu dengan presisi. Kael berjongkok di depan, tangannya meremas kantong ruang, matanya biru memindai bayang-bayang, sihir racunnya berdengung pelan di nadinya. Paman Peter, jubahnya menyala samar oleh rune kamuflase, menatap ke depan, alisnya berkerut mengingat luka pedang bayang kemarin. Sophia, matanya merah berkilat di bawah tudung, mengendalikan luncur, bibirnya melengkung tipis, seolah menikmati ketegangan. Mereka berhenti di tepi bukit, bersembunyi di balik pohon raksasa yang akarnya menjalar seperti jaring. Di depan, mulut lorong rahasia—lubang batu tersembunyi di sisi bukit, ditutupi lumut dan rune samar—d

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 95: Perburuan dan Lorong Rahasia

    Malam di hutan Eldoria berlalu dengan damai, meski raungan monster sesekali menggema di kejauhan, menggetarkan dedaunan pohon-pohon raksasa. Gua markas kelompok Kael, tersembunyi di balik akar kuno dan lumut tebal, tetap aman. Kabut lendir Sophia, yang diciptakan secara sporadis di mulut gua, menghilangkan bau mereka, menipu hidung monster yang berkeliaran. Api unggun meredup, hanya menyisakan bara hangat, dan kelompok tidur nyenyak, energi mereka pulih setelah hari penuh ketegangan. Pagi menyapa dengan sinar fajar yang menyelinap melalui celah-celah hutan, membangunkan kelompok dengan aroma sup jamur dan roti panggang yang disiapkan Paman Peter. “Bangun, makan dulu sebelum kerja!” katanya, wajahnya kerut tapi matanya cokelat penuh semangat, mengaduk panci di unggun. Kael, yang sudah bangun, memeriksa kantong ruangnya, memastikan bekal darurat aman. “Kita habiskan daging kering dulu,” katanya tenang, matanya biru fokus. “Hari ini kita akan pergi memburu monster yang bisa dimakan,

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 94: Kantong Ruang dan Ancaman Identitas

    Hutan Eldoria menyelimuti malam dengan kegelapan tebal, hanya suara jangkrik dan dedaunan bergoyang yang memecah sunyi. Di celah pohon-pohon raksasa, di mana lumut tebal menutup tanah dan akar kuno menjalar, ketegangan menyelimuti kelompok Kael dan empat murid akademi Vitrum. Jubah abu-abu murid-murid itu kotor darah, potion hijau di tangan pemimpin perempuan menyala samar, matanya cokelat penuh curiga. Murphy, pedang sihirnya terangkat, mendengus marah, amarahnya membara atas “pengkhianatan” murid Vitrum yang kabur. Udara terasa berat, seperti menanti percikan api meledakkan pertempuran baru. Pemimpin perempuan Vitrum, rambut cokelat terikat, mengangkat tangan, suaranya goyah tapi tegas. “Berhenti! Kami tahu kalian marah karena kami kabur tadi. Tapi kami tak punya pilihan—potion kami habis, kami tak bisa lawan lagi. Jika tetap di sana, kami cuma jadi sasaran serangan kalian atau penyerang lain. Kami minta maaf jika membuat kalian marah.” Ia menundukkan kepala, tanda tulus, diiku

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 93: Potion dan Ketegangan Hutan

    Hutan di luar Eldoria berguncang oleh ledakan, pohon-pohon raksasa bergoyang, daun-daun berjatuhan seperti hujan. Raungan dan jeritan samar bergema, diselingi dentuman keras yang makin mendekat ke gua markas kelompok Kael. Api unggun di gua meredup, asap sup jamur Paman Peter masih menguar, tapi semua berdiri waspada, tangan mencengkeram senjata atau sihir. Molly dan Vale, kini pulih sepenuhnya pasca-evolusi, berkicau tajam, sisik zamrud dan bulu hijau mereka berkilau, cakar dan angin siap. Kael menatap kegelapan hutan, matanya biru menyipit. “Ledakan itu bukan sembarang pertempuran,” katanya tegang. “Kita cari tahu apa itu—dan apakah ancaman untuk kita. Molly, Vale, kalian ikut. Yang lain, formasi rapat, siap serang.” Ia mengangguk ke Lyra, yang botol airnya menyala samar, dan Sophia, yang lendirnya bergetar di tangan, matanya cokelat menyala antusias. Mereka keluar dari gua, langkah hati-hati, menyusuri hutan lebat. Akar-akar kuno menjalar di tanah, lumut tebal menutup batu, ud

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 92: Abu Monster dan Ledakan Hutan

    'Dek kapal terbang bergetar hebat, perisai sihir birunya berkedip redup, retakan rune di lambung menyala lemah. Tujuh puluh wyvern dan puluhan monster terbang—burung raksasa berkepala tiga, kelelawar bersisik api—menukik ganas, cakar dan api sihir mereka menghantam perisai, suara dentuman mengguncang udara. Kapten, wajahnya pucat, mencengkeram kemudi, teriakan paniknya tenggelam oleh raungan wyvern. Kael berdiri di tengah dek, keringat membasahi dahinya, tangan kanannya memegang bebola sihir racun hijau gelap, sebesar tinju, berdenyut ganas dengan kilatan hitam, aura mematikannya menyelimuti semua. “Kapten! Saat aku menyerang, kecepatan maksimal!” teriak Kael, suaranya tegas meski napas tersengal, energi sihirnya nyaris habis. Kapten mengangguk cepat, tangannya memutar roda kemudi, rune di lambung kapal menyala terang, membakar cadangan energi sihir. “Semua pegang erat!” teriaknya, suaranya melengking ketakutan. Lyra, Sarah, Laila, Murphy, dan Sophia menjauh, mata mereka terkunc

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 91: Luncur Lendir dan Bebola Racun

    Langit fajar di kaki gunung dipenuhi bayang hitam ratusan wyvern, sayap mereka selebar lima meter menghantam udara, raungan mengerikan mengguncang hutan. Sisik hitam mereka berkilau, mata merah menyala seperti bara, kekuatan setara penyihir master terpancar dari setiap gerakan. Di belakang kelompok Kael, dari mulut gua, raungan troll dan jeritan goblin mendekat, cakar dan kapak mereka bergema di lorong batu. Terjepit antara monster darat dan wyvern di langit, kelompok Kael—lelah setelah tiga jam bertempur, energi sihir menipis—berdiri di tepi kehancuran. Kael menarik napas dalam, matanya biru menyipit, pikirannya berpacu. “Kita tak bisa lawan semua,” katanya tegas, nadanya penuh perhatian meski keringat membasahi dahinya. “Sarah, Laila, Murphy—bawa Molly dan Vale ke kapal terbang sekarang. Sarah, gunakan ilusimu sembunyikan kalian. Kami akan tarik perhatian monster.” Ia melirik Molly dan Vale, yang lemah pasca-evolusi, tubuh dua meter mereka didukung oleh kekuatan Sarah dan Laila

  • Tiga Mayat Satu Takdir    Bab 90: Badai Monster dan Kepungan Wyvern

    Cavern raksasa di perut gunung bergetar oleh raungan dan dentang pertempuran. Kristal biru dan hijau di dinding memantulkan cahaya keemasan dari batu inti serangga raksasa, yang berdenyut seperti jantungan di altar batu. Ratusan monster—troll berkulit batu, goblin licik dengan tombak berkarat, laba-laba batu berduri, ular perak dengan sisik berkilau—bertempur sengit di sekitar, darah hijau dan merah membanjiri lantai, cakar dan taring saling robek demi rebut batu inti emas itu. Udara menyesakkan, penuh sihir kuno dan bau kematian. Kelompok Kael berdiri di tepi cavern, jantungan mereka berdetak kencang saat Molly dan Vale ambruk, tubuh kecil mereka gemetar hebat. Cahaya hijau samar menyelinap dari bulu Vale dan sisik Molly, bercampur dengan denyut emas dari batu inti, seolah energi itu mengalir ke dalam mereka. Gerombolan monster tiba-tiba berhenti, mata kuning dan merah mereka beralih ke Molly dan Vale, raungan marah menggema—mereka pikir kedua hewan kecil itu mencuri energi batu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status