We are all dreamers, wanting to be completely out of touch with reality
Tanpa perlu menunggu hingga ujung tangga, aku tahu keinginanku tidak akan pernah terwujud. Di ujung tangga sahabat Mama, yang aku sebut para tante, sudah menunggu. Mereka semua terlihat sama karena mengenakan gaun dengan model yang nyaris serupa, jenis aksesoris yang sama ditambah dengan tatanan rambut yang semodel. Hanya Tante Rianti yang terlihat sedikit berbeda karena membiarkan rambutnya yang mulai dihiasi uban tidak tersentuh cat rambut. Sejak dulu Tante Rianti memang berbeda dan itu yang membuatku cukup dekat dengan beliau.
“Selamat ulang tahun, Sayang,” Tante Rianti memelukku, “Tante udah takut aja kamu nggak sempat pulang tepat waktu.”
“Nggak ada yang bisa melawan keinginan Mama, Tan,” aku tersenyum tipis.
“Kapan kamu nyusul Alena? Tahun ini kamu udah dua puluh lima, lho,” Tante Lilis yang kali ini menyapaku.
“Mohon doanya, Tante,” di saat seperti ini etika yang diajarkan Mama sejak aku kecil berhasil membuatku menjaga sopan santun.
“Calonnya mana? Kok nggak diajak?” Tante Ima ikut bertanya dengan nada penuh keingintahuan yang sama.
“Sesibuk apapun, seharusnya kalau pacar ulang tahun harus disempetin datang, dong,” Tante Sierra, aku ingat karena beliau tidak pernah lupa membawa kipas kain, “Setahun cuma sekali, lho!”
“Atau jangan-jangan calon kamu bule, ya? Kan sekarang kamu sering banget ke luar negeri terus masuk majalah sana,” seharusnya itu pujian tapi entah bagaimana nada yang digunakan membuatku merasa kalau itu merupakan sindiran.
“Sengaja mau buat kejutan, ya?”
“Jangan bikin kita penasaran, dong, Adhela.”
“Adhela, ada temannya Tante, nih. Anaknya baru balik dari Amerika. Udah PhD, lho. Kamu mau tante kenalin?” Rasa penasaran yang tadi menggantung di udara dengan cepat berganti menjadi rasa kasihan dan keinginan untuk menawarkan bantuan. Anak teman, temannya teman, sepupu jauh dan entah siapa lagi yang akan mereka tawarkan.
Smartphone-ku tiba-tiba berdering. Sambil menggumamkan rasa syukur aku langsung mengambilnya dari tas. Nomor yang tidak dikenal, biasa aku akan mengacuhkannya tapi kali ini tidak. Telepon ini akan menjauhkanku dari pada tante juga pertanyaan menyebalkan mereka.
“Maaf Tante, ada telepon masuk. Klien. Dhe permisi,” aku melemparkan senyum sebelum menjauh menuju teras, bagian paling sepi saat ini.
“Ya, halo,” aku menjawab sambil meletakkan bokongku pada ayunan rotan.
“Selamat malam, maaf kalau saya mengganggu tapi apa benar ini Adhela Dyahayu Prameswari?”
“Benar. Dengan siapa saya berbicara?” Aku menggunakan kakiku untuk menggerakan ayunan yang aku duduki.
“OMG! Ini beneran nomor kamu?! Aku kirain Papi bercanda waktu ngasih kartu nama kamu, ternyata beneran! Ya ampun, ini benar-benar kejutan yang menyenangkan!”
“Maaf aku…”
“Gosh. Sori, aku terlalu senang,” aku mendengar dia menarik napas, “Hai, aku Julia. Kamu masih inget bapak-bapak yang satu penerbangan denganmu? Itu Papi aku.”
Seketika aku dapat menebak siapa wanita bernama Julia yang saat ini meneleponku.
“Saya ingat. Tadi Pak,” aku berusaha mengingat namanya ketika aku sadar kalau aku tidak sempat berkenalan dengan beliau, “Maaf, tapi..”
“Andrew,” Julia memotong kalimatku, “Nama Papiku, Andrew.”
“Ah, iya. Pak Andrew tadi sempat cerita tentang Anda. Katanya Anda akan segera menikah.”
“Ya dan aku mau kamu merancang perhiasan untuk hari pernikahanku!” Lagi-lagi dia memotong ucapanku, “Bisa? Aku mohon, please bilang bisa, please?!”
“Kapan rencana pernikahan Anda? Maaf kalau pertanyaan ini bikin Anda tidak nyaman. Pertanyaan ini agar saya bisa…”
“Lima, tepatnya empat bulan dan dua minggu. Aku mohon kamu mau. Aku benar-benar suka hasil rancanganmu! Dan nggak banyak, cuma satu set perhiasan yang aku kenakan di acara resepsi dan sepasang cincin nikah. Nggak lebih.”
Sejujurnya aku masih belum sempat memeriksa agendaku. Tapi kali ini pikiranku sedang bisa diajak bekerja sama sehingga aku bisa mengingat berapa banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan sampai enam bulan ke depan.
“ Mbak Adhela, aku benar-benar…”
“Dhe.”
“Sori?”
“Dhe, Kamu cukup panggil aku Dhe. Nggak perlu embel-embel apa pun di depannya,” aku tidak pernah suka seseorang memanggilku mbak, ibu, atau apa pun.
“Gimana Dhe?” Suaranya penuh dengan harapan dan rasa cemas.
“Kalau cuma sepasang cincin dan satu set perhiasan aku masih mampu untuk mengerjakannya,” semoga aku tidak salah mengingat jumlah pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku tidak ingin mengecewakan siapa pun terutama klienku.
“AAH! Terima kasih, Mbak, eh, Dhe! Aku benar-benar bersyukur Papi kebetulan ketemu kamu pagi ini!”
“Nggak ada yang namanya kebetulan, Julia,” aku cukup menyukai kesan pertama yang aku dapat dari Julia hingga dengan cepat aku mengganti kata saya dengan aku dan Anda dengan kamu. Julia cerminan penduduk kota metropolitan. Berbicara dengan cepat, mengerti apa diinginkan dan bagaimana cara mendapatkannya. Tetapi ada kemanjaan yang berbalut kesopanan, “Aku juga senang karena kamu suka rancanganku. Bisa kita segera ketemu untuk ngomongin desainnya?”
“Oh! Karena terlalu senang aku sampai lupa kalau kita masih harus ngomongin desain dan detail lainnya. Aku punya banyak waktu luang, Dhe. Sesuaiin sama jadwalmu aja.”
“Besok?” Aku membutuhkan alasan untuk segera kembali ke Jakarta dan bertemu dengan klien adalah alasan terbaik yang tidak bisa dibantah oleh Mama, “Besok siang di studioku?”
“Gimana kalau kita ketemuan di daerah Kemang? Kebetulan besok aku ada meeting dengan wedding organizer dan kantor mereka di sekitar Kemang.”
“Studioku juga di daerah Kemang, kok. Lunch time?”
“Great! Nanti aku kabari kita ketemu di kafe apa. Maaf mengganggumu malam-malam, Dhe.”
“It’s okay. Senang berkenalan denganmu,” selain karena aku mendapatkan klien baru juga karena tanpa diketahuinya, Julia menyelamatkanku dari serangan para tante.
“See you tomorrow, Dhe,” kemudian dia memutuskan sambungan telpon.
Setelah memastikan kalau Julia sudah memutuskan telepon, aku menyimpan smartphone ke dalam tas lalu menarik napas panjang. Aku kembali menggunakan kaki untuk menggerakkan ayunan rotan. Sama sekali tidak ada keinginan untuk kembali ke pesta ulang tahunku. Menghabiskan waktu di teras, seorang diri, merupakan pilihan terbaik untuk saat ini. Jauh dari hiruk pikuk pesta membuatku perlahan merasa lebih nyaman. Ironis kalau mengingat pesta yang aku hindari adalah pesta ulang tahunku.
“Apa yang bikin tokoh utama pesta malam ini milih sendirian?” Suara yang sangat familiar dan yang paling ingin kudengar saat ini memecahkan ruang sendiri yang aku bangun.
I'm slowly drowning and you won't even notice“Ahsan!” Aku segera bangun dan berlari ke arahnya lalu memeluknya erat.Kedekatanku dengan Ahsan bahkan mengalahkan kedekatanku dengan Alena. Padahal Ahsan hanyalah seorang sepupu dan selisih usia kamu cukup jauh, lima tahun. Tapi jarak usia ditutupi oleh bintang dan dunia desain, dua hal yang paling kamu suka. Selain itu ketika SMA aku juga berbagai apartemen dengannya. Aku sengaja memilih sekolah di Jakarta untuk menjauh dari Alena dan melupakan kejadian buruk itu sementara Ahsan karena ingin membuktikan diri kepada orang tuanya kalau dia bisa sukses sekalipun melepas kesempatan mewarisi bisnis keluarga.“Selamat ulang tahun, Dhe!” Ucapan ulang tahun yang ingin aku dengar. Ucapan yang tulus dan tidak mengandung pertanyaan atau keingintahuan yang berlebih.“Makasih, San,” aku tersenyum lebar menatapnya, “Email gue nggak lo balas! Eh, mal
Don’t use such strong words like hate, it only makes you look weak“Are you okay, Dhe?” Ahsan memecah keheningan yang tercipta sejak aku dan dia meninggalkan rumah dengan pertanyaan yang paling kubenci.Sebelum ini tidak ada pembicaraan yang terjadi. Ahsan membiarkanku tenggelam dalam ruang sendiri yang aku bangun. Dia bahkan tidak berkomentar apa pun ketika aku memutar CD Yiruma yang sengaja aku tinggalkan di mobilnya. Padahal biasanya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar dan mengejek selera musikku.“Fine,” akhirnya aku memilih untuk berbohong walau aku tahu kebohonganku ini percuma. Kami sudah menghabiskan begitu banyak waktu bersama hingga saling mengenal begitu dalam. Setiap kebohongan akan terlihat dengan jelas.“Boleh gue minta lo berhenti bohong?” Datar.Kapan terakhir kali aku mendengar Ahsan menggunakan nada suara seperti ini? Ah,
I can't...I never can't show you my weakness “Alena nggak salah, San,” aku berbisik. Tidak peduli apakah Ahsan mendengarnya atau tidak. Aku hanya harus mengucapkannya agar aku meyakininya sebagai kenyataan. “Gue tahu. Lo selalu bilang kalau nggak ada yang salah. Itu takdir,” Ahsan menataku dengan lembut, “Tapi bukan berarti lo harus terus-terusan bohong kalau lo baik-baik aja, Dhe. Gue tahu kalau lo marah sama Alena. Dan, walau gue males ngakuiannya tapi gue juga tahu kalau Alena ngerasa bersalah sama lo. Sampai sekarang.” Alena merasa bersalah? Ini sesuatu yang baru untukku. “Kalau lo mau marah, marah. Teriak ke Alena. Biarin Alena tahu apa yang lo rasain. Tapi habis itu, udah. Baikan lagi.” “Aku nggak pengin ngelakuin itu.” Kalimat yang baru saja keluar dari mulutku penuh dengan kebohongan. Aku sering ingin berteriak untuk menyalahkan Alena. Membiarkannya merasa sedikit saja dari apa yang aku
I like being alone, but lately I've been so alone and it hurtsAku menatap Ahsan tidak percaya, “Lo ngomong apa?!”“Gue bilang lo menyedihkan,” lagi-lagi Ahsan menggunakan nada suara itu. Nada suara yang selalu membuatku merasa terintimidasi dan ingin membela diri. Menunjukkan kalau aku tidak seperti ucapannya.“Lo bilang gue menyedihkan?! Setelah semua yang berhasil gue lakuin lo masih bisa bilang gue menyedihkan?!” Emosiku kembali tersulut.“Nggak ada yang lebih menyedihkan dari yang pakai topeng kayak lo,” Ahsan menantang dengan membalas tatapanku, “Persetan dengan apa yang berhasil lo lakuin, selama lo nggak jujur ke diri lo sendiri, buat gue lo itu menyedihkan. Persis kayak pengecut yang sembunyi di balik pencapaiannya dan nggak berani nunjukin sosok aslinya.”“Gue nggak yang kayak lo bilang!” Mungkin Ahsan benar tapi aku tidak ingin mengakui
Those who do not know what love is likened it to beautyAku mengeluarkan cermin dan memeriksa penampilanku untuk kesekian kalinya. Bukan untuk memeriksa riasanku tapi memastikan kalau aku berhasil menyembunyikan mata yang sembab karena terlalu banyak menangis, aroma air mata dan keringat yang lengket di sekujur tubuhku sudah tidak tercium lagi. Pertemuan pertama dengan klien baru tentu harus memberikan kesan sempurna untuk meyakinkan mereka, bukan sebaliknya.Tadi pagi aku menghabiskan sepanjang pagi untuk mengompres mataku menggunakan irisan mentimun, menyegarkan wajah dengan menggunakan masker kesukaanku yang berorama mint dan tea tree selain itu aku juga berulang kali menggosok dan menyabuni seluruh tubuhku. Berulang kali hingga aku yakin sisa air mata dan keringat tidak lagi tersisa. Aku melakukannya untuk menghilangkan jejak kejadian di malam hari ulang tahunku.Aku beruntung karena kemarin Julia tiba-tiba menghubungi
Maybe if I fall in love with my depression it will leave me too“Halo, kamu Dhe, bukan?” seorang gadis berpenampilan tanpa cela bertanya sambil berdiri di samping mejaku dan aku refleks memutuskan sambungan telpon yang untungnya belum diangkat oleh Alena.Gadis berwajah sedikit oriental menatapku dengan penasaran. Rambut hitamnya tergerai sempurna seakan dia baru saja melangkah keluar dari salon. Gaun yang dikenakannya seakan memang dirancang dan dijahit khusus untuknya. Pas tanpa ada lipatan berarti yang menganggu. Melihat dari desainnya tebakanku gaun itu keluaran rumah mode Herve Leger. Sepasang sepatu dengan warna senada gaun dan oversized bag dari Bottega Veneta melengkapi penampilannya. Penampilannya membuatku sedikit terintimidasi tapi senyum yang terulas di bibirnya membuatku lebih rileks.“Hai. Iya, aku Dhe,” aku menjawab sambil berdiri dan mengelap ujung jariku menggunakan tisu.&ld
I'm tired. I want to give up“Boleh email foto ini ke aku?” Aku mengembalikan smartphone Julia.Dia menerima smartphone dengan tatapan bingung.“Itu bisa jadi inspirasi untuk cincin kalian,” aku tidak berhasil menahan godaan untuk menikmati sepotong éclair lagi.“Done,” Julia kembali menyimpan smartphone-nya, “Apa lagi yang kamu butuhin sebelum bisa mulai proses pengerjaan? Kalau masalah budget nggak usah kamu pikirin. Anggap aja unlimited.”“Serius?” Mataku melebar. Bukan pertama kali aku mendapatkan klien yang memiliki budget tidak terbatas tetapi tetap saja tidak membuatku terbiasa.“Serius. Selama aku suka desainnya, no probs.”“Hm, oke,” aku bergumam dan menghabiskan éclair sebelum melanjutkan ucapanku, “Dari obrolan kit
Sometimes, one person can make your world up and down“Jadi, kenapa desainer perhiasan?” Bernard, pria kharismatik dengan penampilan sempurna walau geraknya terkesan kemayu, melemparkan pertanyaan berikutnya.Ya, aku sedang diwawancarai oleh salah satu majalah lifestyle ternama Indonesia. Seperti biasa, mereka memilihku untuk mengisi rubrik “Inspiring Woman”. Sebenarnya aku hampir saja melewatkan janji wawancara ini. Untung aku memiliki asisten seperti Ann yang selain cekatan juga tidak pernah ragu untuk memaksaku jika dibutuhkan. Tadi pagi telpon bertubi-tubi darinya membangunkanku. Setelah itu hanya hitungan menit dia sudah berada di rumah merangkap workshop-ku. Sambil berteriak menyuruhku bersiap dia memilih pakaian yang harus aku kenakan juga menyiapkan koleksi yang dibutuhkan untuk mengisi rubrik “Hot Items” majalah ini. Tidak peduli sudah sebesar apa jenama yang aku miliki, sedik
We accept the love we think we deserveSelama beberapa saat Satria terlibat dalam pembicaraan serius. Tidak ingin mengganggu atau membuat dia berpikir kalau aku mencuri dengar percakapannya, akumemutuskan untuk memperhatikan interior restosan ini. Aku memutar pandangan, siang ini Thamnak tidak terlalu ramai. Hanya separuh meja yang terisi. Tapi seluruh wanita yang ada di restoran ini sedang memandangi Satria. Walau begitu pria itu sama sekali tidak terusik. Mungkin dia sudah terbiasa atau mungkin, walau kemungkinan ini sangat kecil, Satria tidak menyadarinya.Entah sudah berapa menit aku habiskan untuk memperhatikan sekitar dan Satria masih belum selesai dengan pembicaraan melalui ponsel. Entah kenapa aku mulai kesal. Buat apa dia mengajakku makan siang kalau dia sibuk entah dengan siapa? Kekesalan itu dengan cepat berubah menjadi kebingungan, kenapa aku harus kesal? Bukankah aku tadi tidak senang dengan ajakan Satria?Demi Tuh
The strongest hearts have the most scars Ini bukan kencan. Sepanjang perjalanan dari kantor majalah ke Kemang aku berulang kali mengingatkan diriku dengan mengulang kalimat itu di kepalaku. Berulang kali. Ini tentu saja bukan kencan. Tapi entah bagaimana ini terasa seperti kencan. Aku diam-diam melirik ke Satria yang ada di sebelahku. Pria itu seperti biasa terlihat menggoda walau kali ini hanya mengenakan kaos putih dan celana jins hitam. Konsentrasi Satria sepenuhnya pada jalan raya yang hari ini terlihat sepi. Mungkin karena ini akhir pekan dan sebagian besar warga Jakarta memilih menghabiskan waktu di luar kota atau mal. Perutnya melilit. Bukan karena telat makan siang tapi karena dia takut membayangkan menghabiskan waktu berdua bersama Satria. Sendirian. Kenapa tadi aku mengiyakan ajakan Satria? Sepanjang sesi pemotretan aku berhasil menghindar. Setelah sapaan Satria
So I’ll wait when you want to talk to me, or not“Kamu punya masalah denganku?” Satria meletakkan kedua tangan di pintu lift seakan menahan agar pintu lift tidak segera tertutup.Aku menggeleng canggung.Kenapa pria ini mengajukan pertanyaan itu?!Sejujurnya, aku tahu kenapa pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.Pemotretan baru saja berakhir. Berjam-jam aku harus berada satu ruangan dengan pria itu dan menahan mataku agar tidak terus menerus menatapnya. Hari ini, sama seperti beberapa minggu yang lalu, dia mengenakan kaos hitam dan ripped jeans. Aku tidak tahu mengapa perpaduan pakaian itu dan Satria berhasil membuat jantungku seakan ingin melompat keluar dari jantungku.Sedetik setelah melihat pria itu pagi ini, aku memutuskan berada sejauh mungkin dan menghindari Satria sebaik mungkin adalah pilihan terbaik. Setiap kali dia mendekat, aku akan berpindah dan berusaha mencari sesuatu
We tease and irritate each other, but can't live without each otherAhsan menggelengkan kepala, “Gue yakin dia tertarik sama gue. Bisalah gue lihat dari gesture-nya kalau dia lagi di dekat gue. Cuma kayaknya dia tahu kalau gue terkenal tukang main, nggak pernah serius, jadi dia milih buat jaga jarak sejauh mungkin. Gue gila sendiri gimana caranya bisa bikin dia percaya kalau kali ini gue serius. Gue bener-bener serius, Dhe. Kalau dia mau, besok juga siap ketemu orang tuanya dan bawa dia ketemu Papa sama Mama. Nikah besok juga nggak masalah. Beneran. Cuma ya gitu.”“Ini pertama kalinya lo curhat tentang cewek sampai segininya, San,” aku tersenyum, “Lo bener, ini karma lo.”“Sialan. Bukannya bantuin lo malah ngata-ngatain gue.”“Habisnya, jangankan bikin dia percaya, gue aja masih nggak percaya kalau lo beneran serius kali ini. Dan,” aku terbahak, “Ya T
Even if you don't go back to the past, it will come back to you until you let go of itNamanya Jerry Chua. Kekasihku ketika menyelesaikan kuliah di Singapura. Tidak ada yang istimewa kecuali kami sudah berpacaran selama tiga tahun dan aku begitu mempercayainya. Aku bahkan berpikir hubungan kami akan berakhir dengan sebuah lamaran dan pernikahan. Aku dan kenaifanku. Begitu percaya dan cintanya aku pada Jerry hingga memutuskan untuk jujur dan menceritakan diriku seutuhnya kepadanya. Aku ingat kalau aku sempat membanggakan Jerry di depan Ahsan karena pria itu tidak berubah bahkan setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Itu juga yang membuatku semakin yakin kalau Jerry akan segera melamarku.Enam bulan sebelum kelulusanku, mimpi terbaikku berubah menjadi mimpi buruk. Aku tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan Jerry dengan salah seorang sahabatku.***“Kamu serius dengan Adhela?” Pertanyaan itu membuatku m
She is someone who bears her worries aloneMorning yoga class yang ditawarkan Padma Hotel Bandung untuk seluruh tamu mereka adalah alasan kenapa aku menyetujui tawaran Ahsan untuk menghabiskan akhir pekan di sini. Selain karena Ahsan berjanji akan memesan kamar dengan pemandangan terbaik yang ada di hotel ini. Ah, untuk yang belum tahu atau bahkan belum pernah mendengar tentang Padma Hotel Bandung, hotel ini memiliki poin plus pada lokasi bangunan yang di kelilingi hutan hijau yang memberikan pengalaman berbeda dan tidak dapat ditemukan di hotel lain di sekitar Bandung. Pemiliknya memanfaatkan potensi itu dengan sempurna. Bangunan hotel dirancang dengan baik sehingga setiap kamar memiliki pemandangan langsung ke lembah hijau, infinity pool juga dek kayu tempat aku duduk sejak kelas yoga selesai lima belas menit yang lalu.Aku menarik napas panjang dengan pelan lalu melakukan child pose. Walau tidak melakuk
I should stop dreaming, because in my dreams, you're actually mineKapan terakhir kali aku seperti ini? Shit! Dia calon suami Julia, Dhe!!Julia seakan tidak menyadari kalau aku mendadak merasa tidak nyaman ketika dia menyebut nama calon suaminya. Tidak ingin membuat suasana menjadi canggung, sekuat tenaga aku berusaha untuk mengatur perasaanku. Demi Tuhan, Dhe! “Sama keluarga aku nggak dipercaya nyetir sendiri. Alasan Papi, sih, aku belum terbiasa dengan lalu lintas di Jakarta. Terus selama di London juga aku ke mana-mana naik Tube. Jadi terpaksa Satria harus rela jadi supirku. Kadang-kadang nggak tega, sih, karena kerjaannya juga nggak bisa sering-sering ditinggal, tapi pas aku bilang mau naik taksi daring dia malah ngomel-ngomel sendiri. Jadi,” Julia mengangkat bahu, “Aku nurut aja.”See, Dhe? Hubungan mereka sempurna. Jangan sampai aku merusaknya hanya karena k
You say you wanna let go, but put on another weight Sebelum naik ke lantai atas aku menyempatkan diri untuk menyapa para pengrajin yang semua terlihat tekun mengerjakan pekerjaan masing-masing. Aku juga sempat mengobrol selama beberapa menit bersama Pak Mo, memastikan kalau seluruh pekerjaan akan selesai tepat waktu juga membahas mengenai beberapa batu permata yang menarik minatku. Walau sudah tua dan tidak pernah mengenyam pendidikan yang berhubungan dengan perhiasan atau merancang secara formal, pengalaman dan selera Pak Mo tidak bisa diabaikan. Sedikit banyak aku selalu menganggap beliau sebagai mentorku. “Non Adel!” di seluruh dunia hanya satu orang yang memanggilku Non Adel, Bu Sum, istri Pak Mo. Sapaan beliau membuatku tertahan di tengah tangga, “Non, iki lho,” beliau mengulurkan piring yang ditutupi tisu, “Tadi Ibu bikin pecelnya kebanyakan. Ini buat Non. Dimakan, ya!” “Matur suwun, Bu,” aku tersenyum m
My heart is right in my hands. Not yours. Aku mematikan laptop sambil memejamkan mata lalu memijit batang hidungku pelan. Walau sudah bertahun-tahun menggunakan komputer dan laptop tapi sampai sekarang aku masih tidak terbiasa menggunakannya dalam waktu lama. Mataku akan perih setelah bekerja selama beberapa saat di depan laptop, seperti sekarang. Sejak pagi aku disibukkan dengan membuat jadwal dan linimasa pekerjaan agar para pengrajin dapat memenuhi tenggat waktu dan seluruh pekerjaan berjalan dengan sempurna. Mengecewakan klien, baik karena desain yang tidak cocok atau tidak berhasil menepati tenggat waktu adalah sesuatu yang tidak aku inginkan sampai terjadi. Sekuat tenaga aku berusaha agar hal itu tidak terjadi. Dan bulan ini membutuhkan usaha ekstra keras untuk memenuhi seluruh pekerjaan yang masuk. Beberapa pekerjaan memang sudah bisa mulai dikerjakan oleh para pengrajin tapi aku masih harus menyelesaikan setidaknya empat rancan