Share

-Fragment 7-

Penulis: dylunaly
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Don’t use such strong words like hate, it only makes you look weak

Are you okay, Dhe?” Ahsan memecah keheningan yang tercipta sejak aku dan dia meninggalkan rumah dengan pertanyaan yang paling kubenci.

Sebelum ini tidak ada pembicaraan yang terjadi. Ahsan membiarkanku tenggelam dalam ruang sendiri yang aku bangun. Dia bahkan tidak berkomentar apa pun ketika aku memutar CD Yiruma yang sengaja aku tinggalkan di mobilnya. Padahal biasanya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak berkomentar dan mengejek selera musikku.

Fine,” akhirnya aku memilih untuk berbohong walau aku tahu kebohonganku ini percuma. Kami sudah menghabiskan begitu banyak waktu bersama hingga saling mengenal begitu dalam. Setiap kebohongan akan terlihat dengan jelas.

“Boleh gue minta lo berhenti bohong?” Datar.

Kapan terakhir kali aku mendengar Ahsan menggunakan nada suara seperti ini? Ah, hampir sepuluh tahun yang lalu. Ketika kami baru tinggal bersama dan aku pulang menjelang tengah malam.

“Gue tahu lo nggak baik-baik aja.”

“Kalau lo tahu ngapain lo nanya?” Aku melemparkan tatapan kesal ke arahnya, “Iya. Gue nggak baik-baik aja. Gue berantakan. Puas lo?”

Aku melihat senyum tipis terulas di wajahnya, “Mengakui masalah itu langkah awal buat nyari penyelesaiannya. Mau bahas sekarang?”

“Nggak,” aku kembali melempar pandangan ke luar jendela.

“Besok gue udah harus balik ke Hanoi. Lo mau curhat ke siapa?”

“Siapa bilang gue mau curhat?”

“Dhe, berhenti sok nggak butuh orang lain.” Ahsan mengacak rambutku, “Gue tahu lo nggak pernah suka sama sikap Alena yang selalu nyari perhatian bahkan di acara lo. Tapi biasanya itu nggak sampai bikin lo kayak gini.”

“Lo cowok tapi kepo banget, ya?” Aku masih berusaha terlihat tegar dan tidak membutuhkan orang lain. Walau Ahsan sebenarnya bukan orang lain. Sampai detik ini dan mungkin sampai selamanya, Ahsan adalah penyeimbang hidupku setelah Papa.

Komentarku membuat tawanya pecah, “Sialan lo.”

Aku memilih untuk membesarkan volume lagu lalu memejamkan mata. Bukan berusaha untuk tidur hanya sekadar berusaha menenangkan diri.

Ahsan benar. Aku terbiasa dengan Alena yang selalu mencuri perhatian. Tidak hanya itu, aku besar dengan satu pemahaman, Alena hanya akan bahagia jika spotlight mengarah kepadanya dan aku tidak pernah bermasalah dengan itu. Alena bebas menikmati spotlight yang diinginkan karena aku hanyalah bayang-bayangnya. Tapi apa yang dilakukannya malam ini berhasil membuatku berantakan. Pecah berkeping-keping.

Bukan aku tidak bahagia dengan kabar yang diumumkan Alena. Hanya saja sulit untuk ikut bahagia jika kabar itu di saat bersamaan menamparku keras. Menghancurkan harapan yang sempat muncul setelah aku berbicara dengan Papa tentang seseorang yang mencintaiku seutuhnya dan melihat kekurangan yang ada pada diriku sebagai sesuatu yang menyempurnakankun.

Harapan itu baru saja tumbuh. Alena menghancurkannya hingga tak bersisa.

Dan aku semakin membenci kesempurnaan yang dimiliki oleh Alena.

Alena dan dunianya yang sempurna.

“Lo benci Alena,” kalimat yang dilontarkan Ahsan membuat mataku seketika terbuka lalu melemparkan tatapan tajam ke arahnya.

“Kata siapa?”

“Kali ini gue minta lo untuk berhenti bohong, Dhe,” Ahsan melirikku sekilas, “Gue pengin lo jujur sama diri lo sendiri. Bertahun-tahun gue ngelihat lo bohongin diri lo sendiri. Sekarang waktunya lo belajar kalau lo berhak untuk ngerasa benci sama Alena. Lo berhak untuk nggak suka dan marah sama kelakuannya.”

“Alena kakak gue, San. Gue nggak punya alasan buat benci sama dia.”

“Yakin?” Nada suaranya terdengar tidak percaya, “Lagian kata siapa sesama saudara nggak bisa saling benci? Nonton berita, Neng, banyak saudara saling bunuh di luar sana.”

“Jadi dalam pikiran lo, gue seburuk itu? Gue ini adik yang mau bunuh kakaknya sendiri, gitu?!” Emosiku tersulut.

“Nggak seekstrim itu, sih. Tapi gue yakin kalau lo terus-terusan kayak gini biasa aja lo hilang akal dan bunuh Alena.”

“ARGH! Please, San, lo kebanyakan nonton serial TV, deh,” aku berusaha untuk tertawa walau terdengar sengau.

“Mungkin,” nada suaranya kembali serius, “Tapi maksud gue, lo harus belajar untuk nunjukin emosi lo. Alena sama orang tua lo berhak tahu kalau selama ini lo nggak baik-baik aja. Marah kalau lo ngerasa harus marah. Teriak kalau lo ngerasa itu bakan bikin lo ngerasa lebih baik. Setelah itu, bangun hubungan yang baru tanpa rasa marah dan benci. Itu lebih sehat buat lo.”

“Kenapa gue harus dengerin omongan lo, San? Hubungan lo sama orang tua lo berantakan.” Seperti yang sudah aku katakan, kami saling mengenal dengan dalam hingga tahu cara terbaik untuk menghunuskan pisau dan mengorek luka terdalam, luka yang paling kami hindari.

“Masalah gue sama bokap beda,” gagal. Kali ini Ahsan tidak terpancing, “Gue sama bokap nggak akur karena gue nggak mau nerusin usaha beliau. Tapi di luar itu, hubungan kita baik-baik aja. Gue suka cerita tentang kerjaan ke bokap, bokap juga gitu. Kalau lo,” dia mengalihkan pandangannya, “Lo nggak jujur bahkan sama diri lo sendiri.”

“Sok tahu,” aku melengos dan kembali mengalihkan perhatianku ke luar jendela.

Ahsan tidak membalas komentarku. Dia bahkan tidak melirikku sama sekali. Dari caranya menggenggam kemudi aku tahu kalau saat ini Ahsan sedang berusaha menahan emosinya. Dia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan beberapa kali menyalip mobil yang ada di depan kami.

Saat ini rasanya aku ingin berteriak dan meminta Ahsan untuk bertukar posisi denganku. Salah satu kebiasaan buruk sepupuku ini adalah melampiaskan emosinya di jalan raya. Seperti sekarang. Menyalip semua mobil yang ada di depan walau ruang yang ada hampir tidak memadai dan memacu mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Untung saja jalur yang kami lalui saat ini terbilang lengang. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau saat ini kami berada di jalur sebaliknya.

Aku menarik napas panjang beberapa kali lalu memutuskan untuk kembali memejamkan mata. Berusaha untuk tidak memperhatikan lalu lintas dan percaya sepenuhnya pada kemampuan mengendarai mobil yang dimiliki Ahsan. Selain itu aku juga memilih untuk menghayati permainan piano Yiruma, pianis asal Korea Selatan yang sangat aku gandrungi. Biasanya permaianan pianonya berhasil membuat emosiku tenang dan stabil.

Perkenalanku dengan Yiruma berlangsung tidak sengaja. Ketika sedang mencari CD lagu instrumen di A****n, salah satu albumnya terlihat olehku. Berawal dari rasa penasaran aku membeli album pertamanya, First Love, dan denting pertama langsung membuatku jatuh cinta. Album pertamanya merupakan sebuah koleksi balada piano yang indah tentang kedekatan dan menggugah berbagai emosi ketika mendengarkannya. Sejak itu aku mengoleksi seluruh albumnya.

Setiap lagu ciptaan Yiruma selalu berhasil menghadirkan berbagai emosi. Ketika mendengarkannya kita seakan dikelilingi oleh berbagai emosi dan kenangan masa lalu. Mengingatkan pengalaman jatuh cinta yang manis tapi juga pahit, perasaan damai ketika tertidur di bawah pohon yang teduh, tawa yang hadir di tengah hujan dan berbagai kenangan lainnya. Untukku pribadi, permainan piano Yiruma istimewa karena seakan menggambarkan apa yang tidak bisa aku deskripsikan melalui kata. Menggambarkanku yang penuh dengan kompleksitas.  Dan setiap kali mendengar permainan piano Yiruma seakan berubah menjadi bisikan yang mengingatkan tentang keberadaan cinta yang meminta untuk ditemukan.

Tanpa aku sadari air mata sudah menjejak di pipi. Aku tahu kali ini aku menangis bukan karena permainan piano Yiruma. Tapi karena ssesuatu yang berbeda. Kenangan masa lalu yang diam-diam menyergap dan menghadirkan perih yang tak terhingga.

Kenangan yang merupakan campuran aroma rumah sakit yang tajam dan selalu mengingatkanku pada aroma kesedihan dan nyeri yang tidak pernah hilang bahkan hingga sekarang. Juga… ekspresi Alena.

Bab terkait

  • The (Un)Completed   -Fragment 8-

    I can't...I never can't show you my weakness “Alena nggak salah, San,” aku berbisik. Tidak peduli apakah Ahsan mendengarnya atau tidak. Aku hanya harus mengucapkannya agar aku meyakininya sebagai kenyataan. “Gue tahu. Lo selalu bilang kalau nggak ada yang salah. Itu takdir,” Ahsan menataku dengan lembut, “Tapi bukan berarti lo harus terus-terusan bohong kalau lo baik-baik aja, Dhe. Gue tahu kalau lo marah sama Alena. Dan, walau gue males ngakuiannya tapi gue juga tahu kalau Alena ngerasa bersalah sama lo. Sampai sekarang.” Alena merasa bersalah? Ini sesuatu yang baru untukku. “Kalau lo mau marah, marah. Teriak ke Alena. Biarin Alena tahu apa yang lo rasain. Tapi habis itu, udah. Baikan lagi.” “Aku nggak pengin ngelakuin itu.” Kalimat yang baru saja keluar dari mulutku penuh dengan kebohongan. Aku sering ingin berteriak untuk menyalahkan Alena. Membiarkannya merasa sedikit saja dari apa yang aku

  • The (Un)Completed   -Fragment 9-

    I like being alone, but lately I've been so alone and it hurtsAku menatap Ahsan tidak percaya, “Lo ngomong apa?!”“Gue bilang lo menyedihkan,” lagi-lagi Ahsan menggunakan nada suara itu. Nada suara yang selalu membuatku merasa terintimidasi dan ingin membela diri. Menunjukkan kalau aku tidak seperti ucapannya.“Lo bilang gue menyedihkan?! Setelah semua yang berhasil gue lakuin lo masih bisa bilang gue menyedihkan?!” Emosiku kembali tersulut.“Nggak ada yang lebih menyedihkan dari yang pakai topeng kayak lo,” Ahsan menantang dengan membalas tatapanku, “Persetan dengan apa yang berhasil lo lakuin, selama lo nggak jujur ke diri lo sendiri, buat gue lo itu menyedihkan. Persis kayak pengecut yang sembunyi di balik pencapaiannya dan nggak berani nunjukin sosok aslinya.”“Gue nggak yang kayak lo bilang!” Mungkin Ahsan benar tapi aku tidak ingin mengakui

  • The (Un)Completed   -Fragment 10-

    Those who do not know what love is likened it to beautyAku mengeluarkan cermin dan memeriksa penampilanku untuk kesekian kalinya. Bukan untuk memeriksa riasanku tapi memastikan kalau aku berhasil menyembunyikan mata yang sembab karena terlalu banyak menangis, aroma air mata dan keringat yang lengket di sekujur tubuhku sudah tidak tercium lagi. Pertemuan pertama dengan klien baru tentu harus memberikan kesan sempurna untuk meyakinkan mereka, bukan sebaliknya.Tadi pagi aku menghabiskan sepanjang pagi untuk mengompres mataku menggunakan irisan mentimun, menyegarkan wajah dengan menggunakan masker kesukaanku yang berorama mint dan tea tree selain itu aku juga berulang kali menggosok dan menyabuni seluruh tubuhku. Berulang kali hingga aku yakin sisa air mata dan keringat tidak lagi tersisa. Aku melakukannya untuk menghilangkan jejak kejadian di malam hari ulang tahunku.Aku beruntung karena kemarin Julia tiba-tiba menghubungi

  • The (Un)Completed   -Fragment 11-

    Maybe if I fall in love with my depression it will leave me too“Halo, kamu Dhe, bukan?” seorang gadis berpenampilan tanpa cela bertanya sambil berdiri di samping mejaku dan aku refleks memutuskan sambungan telpon yang untungnya belum diangkat oleh Alena.Gadis berwajah sedikit oriental menatapku dengan penasaran. Rambut hitamnya tergerai sempurna seakan dia baru saja melangkah keluar dari salon. Gaun yang dikenakannya seakan memang dirancang dan dijahit khusus untuknya. Pas tanpa ada lipatan berarti yang menganggu. Melihat dari desainnya tebakanku gaun itu keluaran rumah mode Herve Leger. Sepasang sepatu dengan warna senada gaun dan oversized bag dari Bottega Veneta melengkapi penampilannya. Penampilannya membuatku sedikit terintimidasi tapi senyum yang terulas di bibirnya membuatku lebih rileks.“Hai. Iya, aku Dhe,” aku menjawab sambil berdiri dan mengelap ujung jariku menggunakan tisu.&ld

  • The (Un)Completed   -Fragment 12-

    I'm tired. I want to give up“Boleh email foto ini ke aku?” Aku mengembalikan smartphone Julia.Dia menerima smartphone dengan tatapan bingung.“Itu bisa jadi inspirasi untuk cincin kalian,” aku tidak berhasil menahan godaan untuk menikmati sepotong éclair lagi.“Done,” Julia kembali menyimpan smartphone-nya, “Apa lagi yang kamu butuhin sebelum bisa mulai proses pengerjaan? Kalau masalah budget nggak usah kamu pikirin. Anggap aja unlimited.”“Serius?” Mataku melebar. Bukan pertama kali aku mendapatkan klien yang memiliki budget tidak terbatas tetapi tetap saja tidak membuatku terbiasa.“Serius. Selama aku suka desainnya, no probs.”“Hm, oke,” aku bergumam dan menghabiskan éclair sebelum melanjutkan ucapanku, “Dari obrolan kit

  • The (Un)Completed   -Fragment 13-

    Sometimes, one person can make your world up and down“Jadi, kenapa desainer perhiasan?” Bernard, pria kharismatik dengan penampilan sempurna walau geraknya terkesan kemayu, melemparkan pertanyaan berikutnya.Ya, aku sedang diwawancarai oleh salah satu majalah lifestyle ternama Indonesia. Seperti biasa, mereka memilihku untuk mengisi rubrik “Inspiring Woman”. Sebenarnya aku hampir saja melewatkan janji wawancara ini. Untung aku memiliki asisten seperti Ann yang selain cekatan juga tidak pernah ragu untuk memaksaku jika dibutuhkan. Tadi pagi telpon bertubi-tubi darinya membangunkanku. Setelah itu hanya hitungan menit dia sudah berada di rumah merangkap workshop-ku. Sambil berteriak menyuruhku bersiap dia memilih pakaian yang harus aku kenakan juga menyiapkan koleksi yang dibutuhkan untuk mengisi rubrik “Hot Items” majalah ini. Tidak peduli sudah sebesar apa jenama yang aku miliki, sedik

  • The (Un)Completed   -Fragment 14-

    Life is so full of unpredictable beauty and strange surprises “Sebenarnya kami tidak pernah melakukan photoshoot di akhir pekan kayak hari ini. Ini spesial.” “Oh ya? Kenapa? Jangan bilang ini karena aku,” seingatku, Ann memang mengajukan akhir pekan untuk wawancara dan pemotretan karena jadwalku minggu ini cukup padat. Selain tambahan pekerjaan dari Julia, aku juga baru saja menerima pesanan dari salah seorang selebritas untuk merancang head piece kembar yang akan dikenakan di photo session pertama bersama bayinya yang akan lahir empat bulan lagi. “Tentu saja karena Anda,” dia tertawa, “Selain itu karena fotografernya juga hanya bisa melakukan pemotretan di akhir pekan. Dia termasuk fotografer terbaik di bidangnya. Sayangnya dia cuma menerima order di akhir pekan.” Aku menaikkan kedua alis. Setengah tidak percaya kalau fotografer yang dibicarakannya sebagus itu dan karena menurutku dia terlalu

  • The (Un)Completed   -Fragment 15-

    Some good, some not too goodSatria.Demi apa kalau fotografer ini adalah Satria?!Sedikit pun aku tidak pernah menduga kalau fotografer ini adalah Satria. Dia terlihat berbeda dengan Satria yang aku temui seminggu yang lalu di Huize Van Wely. Dan itu membuat tubuhku bereaksi. Ada sesuatu pada dirinya yang membuatku tertarik. Bukan pertama kalinya aku merasakan ketertarikan fisik sekuat ini tetapi sekarang dia bahkan tidak berhasil mengingat kapan dia mengalaminya.Jika minggu lalu dia terlihat fashionable dengan kemaja biru yang dilapis cardigan biru dongker dan celana jeans hitam dengan sepatu oxford berwarna cokelat, saat ini dia memang mengenakan pakaian yang lebih santai tapi entah bagaimana, dia yang saat ini lebih menarik perhatianku. Seakan ini adalah apa adanya dia.Minggu lalu Satria memancarkan aura maskulin yang kuat walau aku tidak terlalu memperhatikannya karena

Bab terbaru

  • The (Un)Completed   -Fragment 24-

    We accept the love we think we deserveSelama beberapa saat Satria terlibat dalam pembicaraan serius. Tidak ingin mengganggu atau membuat dia berpikir kalau aku mencuri dengar percakapannya, akumemutuskan untuk memperhatikan interior restosan ini. Aku memutar pandangan, siang ini Thamnak tidak terlalu ramai. Hanya separuh meja yang terisi. Tapi seluruh wanita yang ada di restoran ini sedang memandangi Satria. Walau begitu pria itu sama sekali tidak terusik. Mungkin dia sudah terbiasa atau mungkin, walau kemungkinan ini sangat kecil, Satria tidak menyadarinya.Entah sudah berapa menit aku habiskan untuk memperhatikan sekitar dan Satria masih belum selesai dengan pembicaraan melalui ponsel. Entah kenapa aku mulai kesal. Buat apa dia mengajakku makan siang kalau dia sibuk entah dengan siapa? Kekesalan itu dengan cepat berubah menjadi kebingungan, kenapa aku harus kesal? Bukankah aku tadi tidak senang dengan ajakan Satria?Demi Tuh

  • The (Un)Completed   -Fragment 23-

    The strongest hearts have the most scars Ini bukan kencan. Sepanjang perjalanan dari kantor majalah ke Kemang aku berulang kali mengingatkan diriku dengan mengulang kalimat itu di kepalaku. Berulang kali. Ini tentu saja bukan kencan. Tapi entah bagaimana ini terasa seperti kencan. Aku diam-diam melirik ke Satria yang ada di sebelahku. Pria itu seperti biasa terlihat menggoda walau kali ini hanya mengenakan kaos putih dan celana jins hitam. Konsentrasi Satria sepenuhnya pada jalan raya yang hari ini terlihat sepi. Mungkin karena ini akhir pekan dan sebagian besar warga Jakarta memilih menghabiskan waktu di luar kota atau mal. Perutnya melilit. Bukan karena telat makan siang tapi karena dia takut membayangkan menghabiskan waktu berdua bersama Satria. Sendirian. Kenapa tadi aku mengiyakan ajakan Satria? Sepanjang sesi pemotretan aku berhasil menghindar. Setelah sapaan Satria

  • The (Un)Completed   -Fragment 22-

    So I’ll wait when you want to talk to me, or not“Kamu punya masalah denganku?” Satria meletakkan kedua tangan di pintu lift seakan menahan agar pintu lift tidak segera tertutup.Aku menggeleng canggung.Kenapa pria ini mengajukan pertanyaan itu?!Sejujurnya, aku tahu kenapa pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.Pemotretan baru saja berakhir. Berjam-jam aku harus berada satu ruangan dengan pria itu dan menahan mataku agar tidak terus menerus menatapnya. Hari ini, sama seperti beberapa minggu yang lalu, dia mengenakan kaos hitam dan ripped jeans. Aku tidak tahu mengapa perpaduan pakaian itu dan Satria berhasil membuat jantungku seakan ingin melompat keluar dari jantungku.Sedetik setelah melihat pria itu pagi ini, aku memutuskan berada sejauh mungkin dan menghindari Satria sebaik mungkin adalah pilihan terbaik. Setiap kali dia mendekat, aku akan berpindah dan berusaha mencari sesuatu

  • The (Un)Completed   -Fragment 21-

    We tease and irritate each other, but can't live without each otherAhsan menggelengkan kepala, “Gue yakin dia tertarik sama gue. Bisalah gue lihat dari gesture-nya kalau dia lagi di dekat gue. Cuma kayaknya dia tahu kalau gue terkenal tukang main, nggak pernah serius, jadi dia milih buat jaga jarak sejauh mungkin. Gue gila sendiri gimana caranya bisa bikin dia percaya kalau kali ini gue serius. Gue bener-bener serius, Dhe. Kalau dia mau, besok juga siap ketemu orang tuanya dan bawa dia ketemu Papa sama Mama. Nikah besok juga nggak masalah. Beneran. Cuma ya gitu.”“Ini pertama kalinya lo curhat tentang cewek sampai segininya, San,” aku tersenyum, “Lo bener, ini karma lo.”“Sialan. Bukannya bantuin lo malah ngata-ngatain gue.”“Habisnya, jangankan bikin dia percaya, gue aja masih nggak percaya kalau lo beneran serius kali ini. Dan,” aku terbahak, “Ya T

  • The (Un)Completed   -Fragment 20-

    Even if you don't go back to the past, it will come back to you until you let go of itNamanya Jerry Chua. Kekasihku ketika menyelesaikan kuliah di Singapura. Tidak ada yang istimewa kecuali kami sudah berpacaran selama tiga tahun dan aku begitu mempercayainya. Aku bahkan berpikir hubungan kami akan berakhir dengan sebuah lamaran dan pernikahan. Aku dan kenaifanku. Begitu percaya dan cintanya aku pada Jerry hingga memutuskan untuk jujur dan menceritakan diriku seutuhnya kepadanya. Aku ingat kalau aku sempat membanggakan Jerry di depan Ahsan karena pria itu tidak berubah bahkan setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Itu juga yang membuatku semakin yakin kalau Jerry akan segera melamarku.Enam bulan sebelum kelulusanku, mimpi terbaikku berubah menjadi mimpi buruk. Aku tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan Jerry dengan salah seorang sahabatku.***“Kamu serius dengan Adhela?” Pertanyaan itu membuatku m

  • The (Un)Completed   -Fragment 19-

    She is someone who bears her worries aloneMorning yoga class yang ditawarkan Padma Hotel Bandung untuk seluruh tamu mereka adalah alasan kenapa aku menyetujui tawaran Ahsan untuk menghabiskan akhir pekan di sini. Selain karena Ahsan berjanji akan memesan kamar dengan pemandangan terbaik yang ada di hotel ini. Ah, untuk yang belum tahu atau bahkan belum pernah mendengar tentang Padma Hotel Bandung, hotel ini memiliki poin plus pada lokasi bangunan yang di kelilingi hutan hijau yang memberikan pengalaman berbeda dan tidak dapat ditemukan di hotel lain di sekitar Bandung. Pemiliknya memanfaatkan potensi itu dengan sempurna. Bangunan hotel dirancang dengan baik sehingga setiap kamar memiliki pemandangan langsung ke lembah hijau, infinity pool juga dek kayu tempat aku duduk sejak kelas yoga selesai lima belas menit yang lalu.Aku menarik napas panjang dengan pelan lalu melakukan child pose. Walau tidak melakuk

  • The (Un)Completed   -Fragment 18-

    I should stop dreaming, because in my dreams, you're actually mineKapan terakhir kali aku seperti ini? Shit! Dia calon suami Julia, Dhe!!Julia seakan tidak menyadari kalau aku mendadak merasa tidak nyaman ketika dia menyebut nama calon suaminya. Tidak ingin membuat suasana menjadi canggung, sekuat tenaga aku berusaha untuk mengatur perasaanku. Demi Tuhan, Dhe! “Sama keluarga aku nggak dipercaya nyetir sendiri. Alasan Papi, sih, aku belum terbiasa dengan lalu lintas di Jakarta. Terus selama di London juga aku ke mana-mana naik Tube. Jadi terpaksa Satria harus rela jadi supirku. Kadang-kadang nggak tega, sih, karena kerjaannya juga nggak bisa sering-sering ditinggal, tapi pas aku bilang mau naik taksi daring dia malah ngomel-ngomel sendiri. Jadi,” Julia mengangkat bahu, “Aku nurut aja.”See, Dhe? Hubungan mereka sempurna. Jangan sampai aku merusaknya hanya karena k

  • The (Un)Completed   -Fragment 17-

    You say you wanna let go, but put on another weight Sebelum naik ke lantai atas aku menyempatkan diri untuk menyapa para pengrajin yang semua terlihat tekun mengerjakan pekerjaan masing-masing. Aku juga sempat mengobrol selama beberapa menit bersama Pak Mo, memastikan kalau seluruh pekerjaan akan selesai tepat waktu juga membahas mengenai beberapa batu permata yang menarik minatku. Walau sudah tua dan tidak pernah mengenyam pendidikan yang berhubungan dengan perhiasan atau merancang secara formal, pengalaman dan selera Pak Mo tidak bisa diabaikan. Sedikit banyak aku selalu menganggap beliau sebagai mentorku. “Non Adel!” di seluruh dunia hanya satu orang yang memanggilku Non Adel, Bu Sum, istri Pak Mo. Sapaan beliau membuatku tertahan di tengah tangga, “Non, iki lho,” beliau mengulurkan piring yang ditutupi tisu, “Tadi Ibu bikin pecelnya kebanyakan. Ini buat Non. Dimakan, ya!” “Matur suwun, Bu,” aku tersenyum m

  • The (Un)Completed   -Fragment 16-

    My heart is right in my hands. Not yours. Aku mematikan laptop sambil memejamkan mata lalu memijit batang hidungku pelan. Walau sudah bertahun-tahun menggunakan komputer dan laptop tapi sampai sekarang aku masih tidak terbiasa menggunakannya dalam waktu lama. Mataku akan perih setelah bekerja selama beberapa saat di depan laptop, seperti sekarang. Sejak pagi aku disibukkan dengan membuat jadwal dan linimasa pekerjaan agar para pengrajin dapat memenuhi tenggat waktu dan seluruh pekerjaan berjalan dengan sempurna. Mengecewakan klien, baik karena desain yang tidak cocok atau tidak berhasil menepati tenggat waktu adalah sesuatu yang tidak aku inginkan sampai terjadi. Sekuat tenaga aku berusaha agar hal itu tidak terjadi. Dan bulan ini membutuhkan usaha ekstra keras untuk memenuhi seluruh pekerjaan yang masuk. Beberapa pekerjaan memang sudah bisa mulai dikerjakan oleh para pengrajin tapi aku masih harus menyelesaikan setidaknya empat rancan

DMCA.com Protection Status