Band itu bernama: The Sunday. Dan setelah Fanala dengarkan baik-baik, semua lirik lagu The Sunday itu tentang sesuatu yang sedih walau terkadang musiknya menghentak-hentak. Fanala tak habis pikir, kenapa Arbii menyukai band semacam ini. Band yang sangat tak terkenal menurutnya. Bahkan venue konser mereka sangat mungil untuk ukuran "konser". Terlebih, tema-tema lagu mereka yang mellow sangat tak sesuai dengan kepribadian Arbii yang ceria."Cabik-cabiklah tubuhkuuuuuRobek-robeklah hatikuuuuuBayanganku akan tetap menemaniiiii...muSampai dunia menjadi debuuuu."Fanala menoleh pada Arbii yang berteriak-teriak penuh penghayatan bersama para penonton lainnya. Menciptakan siasana riuh rendah yang nyaris menenggelamkan suara vokalis perempuan di depan sana. Apa jangan-jangan karena itu Arbii suka sekali dengan The Sunday, dia naksir dengan vokalisnya?Gadis yang bernyanyi di atas panggung itu Fanala kira seumuran dengannya. Hanya saja tubuhnya lebih kecil. Penampilannya khas anak band: agak
Fanala menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Ia gugup sekali. Ini pertama kalinya ia pergi ke pasar pada malam hari setelah delapan tahun lama.Bulir-bulir keringat dingin rasanya mulai tumbuh di pelipisnya. Tangannya dan kakinya pun terasa agak gemetar. Tak hanya gugup, ia juga merasa takut."Kenapa?" tanya Arbii yang sudah berdiri di sisi pintu yang ia telah bukakan untuk Fanala. "Kalo kamu capek gak apa-apa, kita lain kali aja ke sininya," ujarnya penuh pengertian. Tangannya bertengger di pundak Fanala setelah mengusap kepala Fanala sekilas."Aku baik-baik aja, kok," ucap Fanala sebelum menjejak turun dari mobil. "Yuk!" Ia berpegangan pada lengan Arbii untuk menguatkan diri."Kamu beneran gak apa-apa?" Sekali lagi Arbii bertanya, ingin lebih memastikan. Ia tak mau memaksa Fanala jika gadis itu memang tak sanggup atau bahkan tak ingin.Fanala menyunggingkan senyum di bibirnya, mencoba meyakinkan Arbii bahwa ia baik-baik saja. Arbii tak tahu dan tak perlu tahu jika pasa
"Radit..."Untuk sesaat tak ada lagi yang bersuara setelah Sasha menyebut nama itu. Hanya deru hujan yang terus mengisi kekosongan di antara dua sosok yang kini membeku.Sasha tak tahu harus bagaimana menghadapi harapannya yang hacur tak bersisa setelah delapan tahun ia pupuk tanpa jeda. Malam ini ia menemukan apa yang ia cari bertahun-tahun ini, namun malam ini juga, di bawah hujan yang jatuh, ia kehilangan yang baru saja ia temukan. Lagi, ia menemukan hanya untuk kehilangan.Sedangkan Radit pun tak mampu berkata apa pun ketika dihadapkan pada sosok yang telah lama ia tinggalkan. Ia sudah lupa bagaimana Radit yang lama akan bereaksi saat sahabat perempuan satu-satunya terdiam di bawah hujan saat ia membawa payung di tangannya. Sebab kini ia bukan Radit lagi. Radit sudah lama mati, terkubur bersama jasad ibunya delapan tahun yang lalu. Kini ia adalah Saga. Seorang suami dari Kalania dan ayah dari... Sashachilla Hania... kecil."Sha..." gumam Radit, namun tak tuntas. Ucapannya disela
"Mas Gathan mau tambah lagi rotinya?" tanya Kinanti.Mas Gathan menggeleng. Kinanti pun hanya mengangguk kecil. Belakangan ini Mas Gathan jadi pendiam sekali. Dulu jika Kinanti menanyainya perasaan serupa Mas Gathan sering menimpalinya galak, seperti: "Saya punya tangan, bisa ngambil sendiri" atau "Kamu kira saya sarapan sebanyak apa, sih?". Namun kini—sejak mengamuk terakhir kali—Mas Gathan jarang sekali bicara, apa lagi marah-marah.Ternyata Kinanti lebih suka Mas Gathan yang galak dan sarkastis daripada Mas Gathan yang pendiam bagai orang yang tak selera hidup begini. Bahkan makan pun, Kinanti kira Gathan sama sekali tak merasakan apa yang dikunyahnya. Karena kemarin, Kinanti membuat nasi goreng dan menambahkan kecap, lupa bila Mas Gathan sangat tak suka kecap. Saat sudah disajikan, ia baru sadar, dan iti sudah terlambat. Pagi kemarin, ia sudah sangat siap diteriaki oleh Mas Gathan, apalagi—seperti hari ini—mimi Mas Gathan belum pulang karena sedang giliran sif malam dan penginapa
Fanala bangun dalam keadaan haus luar biasa. Segera saja ia duduk lalu menyambar segelas air putih di atas nakas dan menandaskannya hingga tak lagi bersisa, mengabaikan nyeri pada kerongkongannya. Setelah tak merasa haus lagi, ia mulai menyadari matanya yang terasa sangat berat dan sulit dibuka. Matanya pasti bengkak. Bagaimana tidak bengkak, ia menangis berjam-jam, hingga jatuh tertidur.Fanala mengacak-acak rambutnya frustrasi saat mengingat kembali bila semalam ia memperburuk hubungannya dengan Mama.Aish!Ia membentur-benturkan kepalanya pada bantal yang ada di pangguannya. Kenapa juga ia harus terpancing semalam? Tapi bagaimana ia tidak terpancing coba? Mama memojokkan Gathan. Ia tidak terima bila ada yang memojokkan Gathan. Gathan itu korban.Perhatian Fanala teralihkan oleh dering ponselnya. Menoleh ke sana kemari mencari keberadaan ponselnya yang semalam ia bawa tidur. Setelah mengangkat semua bantar dan melempar selimut ke lantai, akhirnya ia menemukan ponselnya di ujung kasu
Karina pulang lebih cepat dari kantor untuk datang ke acara syukuran ulang tahun Chacha. Sebelum pulang ia menyempatkan dirinya ke toko anak-anak terlebih dahulu, mencari hadiah untuk anak kecil favoritnya itu. Dan pilihannya jatuh pada boneka barbie bergaun merah muda.Sempat terpikir oleh Karina untuk menelepon Sasha dan bertanya apa dia ingin membelikan soesuatu untuk Chacha karena sejak kali pertama bertemu Sasha sudah sangat memuja Chacha. Namun saat ia sudah hendak menekan kontat Sasha, ia teringat pada kenyataan jika Chacha adalah anak Radit! Cepat-cepat ia mengurungkan niatnya.Hari ini Bandung cerah sekali. Bahkan pada pukul empat sore matahari masih bersinar sangat terik seperti pukul satu siang. Berbeda sekali dengan kemarin saat hujan turun sepanjang hari dan baru reda kenjelang pagi tadi. Seolah semesta berkonspirasi membuat pertemuan Sasha dan Radit —atau Saga—menjadi lebih dramatis sekaligus tragis. Bersama hujan yang jatuh, harapan Sasha pun luruh. Hiya! Seharusnya ia
Bab 63Kak Elma membawanya ke sebuah kedai kopi tak jauh dari komplek perumahannya. Memang tak jauh, tapi tetap saja. Fanala agak merasa pakaiannya ini agak kurang layak untuk duduk mengobrol di sini. Di mana orang-orang berpakaian rapi untuk bertemu dengan klien, teman lama, atau kekasih mereka. Sedangkan di sini Fanala nampak sangat lusuh dengan kaos gobrong dan celana pendek usangnya, juga sanda jepitnya yang sudah menipis. Apalagi wajahnya yang kusam setelah pingsan dan muntah-muntah di pasar malam dan belum mandi sejak kemarin sore. Belum lagi rambut lepeknya ini hanya dicepol asal, alhasil anak rambutnya yang berminyak keluar-keluar dari ikatan. Sungguh tampilan yang mengenaskan untuk kedai kopi se-fancy ini!"Mau ngobrolin apa, Kak?" tanya Fanala setelah menyesap sedikit cappuccino-nya. Setelah pasrah dengan penampilan kucelnya, Fanala hanya berharap asam lambungnya tak naik gara-gara minum kopi padahal belum makan sejak menyantap nasi goreng seafood semalam."Soal kamu sama Ar
"Kita mau makan di mana, sih?" tanya Fanala. Rasanya sudah lama sekali mereka berkendara tapi belum sampai juga. Lama yang dihitungnya tidak termasuk dengan waktu yang mereka habiskan saat terjebak macet, hanya waktu saat mobil bergerak saja. "Bogor? Atau Bandung? Atau jangan-jangan Jogja lagi!" seru Fanala histeris. Aneh sekali, tadi dia tak punya semangat hidup, tapi dua jam bersama sahabatnya membuatnya menjadi lebih berapi-api. Tapi setelah ia ingat-ingat lagi, sejak dulu dia memang begitu. Saat sedang sedih atau stres dan harus berhadapan dengan orang lain, ia cerderung pendiam dan bicara secukupnya, namun di hadapan Karel, ia cenderung makin berisik saat sedang stres atau sedih."La, lo lagi sedih, ya? Atau lagi depresi? Heboh banget," tanya Karel. Ia pun menyadari kehebohan Fanala merupakan sesuatu yang ganjil. Wajah saja sih, mereka berteman sudah lebih dari dua puluh tahun! Jika Arbii mengenali kepribadian dan kebiasaan Fanala dari mengamati, Karel mengenali kepribadian dan k
"Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in
Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K
"Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka
Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp
Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun
"Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau
Sebagimana biasanya saat seseorang akan mengundurkan diri, akan ada waktu tunggu selama sebulan sebelum benar-benar off work. Waktu satu bulan itu akan digunakan perusahaan untuk mencari kandidat penggantinya dan Fanala harus mendelegasikan tugas-tugasnya pada penggantinya nanti.Saat sarapan tadi, Bang Dwiki sama sekali tak mencoba membujuknya, beliau hanya bertanya apa alasannya ingin mengundurkan diri. Dan saat Fanala menjelaskan alasannya, Bang Dwiki langsung menyetujui keputusannya dan menerima pengunduran dirinya. Namun Bang Dwiki berkata jika suatu saat nanti Fanala ingin kembali, ia akaj dengan senang hati menerimanya kembali bekerja untuk perusahaannya.Jadi kini Fanala mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedikit lebih ringan, ada beban yang telah terangkat. Ia sudah menyelesaikan masalah dengan kantor. Sekarang ia akan menyelesaikan masalah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan Arbii dan keluarga laki-laki itu, dan terakhir masalah Karel dan Vira. Setelah itu ia be
Fanala turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Jangan ditanya ia tidur atau tidak. Jawaban itu langsung nampak pasa kantong matanya yang menghitam. Meski lelah luar biasa dan tak dapat tertidur sama sekali semalam, Fanala berusaha berjalan senormal mungkin menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Lama Fanala berada di kamar mandi sebab sejak kemarin ia sama sekali belum membersihkan diri. Ia bahkan menyempatkan diri untuk memakai lulur badar dan masker rambut juga scrubing wajah. Ia burusaha terlihat seperti Fanala yang biasa. Fanala yang rapi, bersih, dan terawat baik. Kacaunya pikirannya tak perlu lah tampak lagi dari penampilan luarnya. Cukup kemarin saja. Hari ini ia harus sudah tampak seperti biasanya.Selepas keluar dari kamar mandi, Fanala langsung mengaplikasikan rangkaian produk perawatan kulit pada wajahnya sebelum wajahnya benar-benar kering. Kemudian ia mengeringkan rambutnya lalu menatanya menjadi sesikit bergelombang. Setelah rambutnya rapi dan wajahnya terpoles make
Karel agak terkejut saat Sasha membukakan pintu bahkan sebelum kakinya menyentuh teras rumah. Ia lebih terkejut lagi mendapati semua anggota keluarganya yang tinggal di rumah ini masih tergaja dan duduk-duduk di ruang tamu. Ini rumah mereka baru saja kedatangan tamu atau mereka sedang menunggunya pulang? Ia akan sangat terharu bilang mereka memang sedang menunggunya pulang. Apalagi dengan Vira yang sudah beberapa hari ini bersikap dingin pasanya."Nungguin aku pulang?" tanya Karel setelah melewati ambang pintu yang telah dikatup Sasha kembali."Gak usah pede banget," cela Sasha dari balik punggung Karel."Terung ngapain belum pada tidur dan malah ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Karel heran. Mana mungkin tidak? Setiap kali ia sungguhan lembur dan pulang malam, rumah pasti sudah gelap dan semua orang telah terlelap—ya, kecuali Vira. Namun Vira pun akan menunggunya di kamar, bukan di ruang tamu macam sekarang."Tante Rieke masuk rumah sakit," sahut Bunda. Wajahnya berkerut cemas. Hal itu