Hanya Fanala sendiri yang turun di halte itu. Macam biasa. Malam begini memang tak banyak yang berhenti di halte ini.
Ia agak terkejut mendapati ada seseorang laki-laki duduk di bangku halte dengan kepala tertunduk. Terlebih itu orang yang dikenalnya.
"Gathan?" panggil Fanala.
Laki-laki yang masih menggunakan seragam SMA itu mengangkat wajahnya. Menatap Fanala dengan mata yang biasanya berbinar namun kini tampak suram. Serta ada beberapa memar dan luka di wajah tampannya.
Fanala mendekat. "Muka lo kenapa?" Ada khawatir terkandung dalam kalimatnya.
"Lo gak mau ngelakuin adegan yang biasa ada di drama Korea, Fan?" ujar Gathan, tak mengacuhkan tanya yang ditujukan padanya.
Sepasang alis Fanala terangkat tipis. Gagal paham.
"Ngobatin luka gue," jawab Gathan atas tanya tanpa suara Fanala.
Fanala mendengus. Bisa-bisanya Gathan bercanda di saat s
"Dia gak mau liat muka gue, Sha," ulang Gathan untuk kesekian kalinya. "Harus berapa kali, sih, gue bilang?"Dua belas kali sehari dalam satu pekan ini Sasha berkata : 'Baikkan sama Radit sana, Than'. Sampai Gathan muak sekali."Terus lo bakal nurut aja gitu?" tanya Sasha. Ia terus mengekori Gathan. Kegiatannya belakangan ini adalah membordir Gathan dan Radit agar mau berbaikan. Padahal ia tak tahu dua sahabatnya itu bertengkar karena apa. Baik Gathan mau pun Radit kompak untuk bungkam."Gue--""Gue apa?" Tuk! Sasha terantuk. Ia mengusap keningnya yang membentur punggung Gathan. Manusia di depannya ini sungguh tak sadar diri bila sedang diikuti.Sasha memukul punggung Gathan seraya berkata, "Kasih tanda, sih, Than, kalo mau ngerem! Pengen banget gue tabrak."Tidak seperti biasanya bila dipukul Gathan suka bereaksi berlebihan, kali ini laki-laki itu diam saja. Penasaran, Sa
Fanala menahan ujung lengan kemeja sekolah Gathan ketika laki-laki itu melenggang keluar rumahnya bersama Sasha memimpin jalan.Gathan menghentikan langkahnya, "Kenapa?""Mau ngobrol-ngobrol gak, nanti malem?" tawar Fanala.Alis Gathan terangkat. Bingung. Tak penah-pernah Fanala sukarela mengajaknya mengobrol. Ada angin apa?"Gue tunggu, ya," putus Fanala, melepaskan tangannya dari kemeja Gathan. Membiarkan laki-laki itu kembali melangkah, mengekori Sasha yang telah jauh jaraknya.Dan malamnya Fanala betul-betul menanti Gathan. Dalam balutan hoodie belang berpadu celana jeans panjang, ia duduk di kursi bawah mahoni di sudut halaman. Diterangi cahaya lampu teras yang tak seberapa. Tangannya ia selipkan dalam saku, menghindar dari sejuknya angin malam ini.Fanala berharap Gathan segera datang. Namun seperti penantian pertamanya terhadap laki-laki itu, ia ke
Gathan menanti. Gerah sendiri. Ia heran kenapa mau-maunya ia mengikuti ide ini. Karena Fanala, Sasha yang kelewat antusias, atau ia yang memang tolol? Akankah seorang idola bisa memperbaiki sebuah persahabatan? Maksudnya, Radit kan tak sefanatik itu.Terdengar suara pintu aula di buka lalu di tutup sekali. Gathan pun berbalik. Tak ada yang dapat dilihatnya dengan topeng Yoona SNSD menutupi wajahnya. Ini ide Sasha, tentu saja. Kata Sasha, Radit kan tak mau bicara bila melihat tampangnya, jadi itu pasti tak berlaku bila wajah cantik Yoona yang menamengi. Ada-ada saja, bukan? Dan yang lebih ada-ada lagi, ia mau-mau saja mengikutinya.Tak ada suara lagi. Gathan pun segera bicara, "Dit?" takut-takut yang ditunggu malah keburu kabur.Bukannya jawaban yang diterima, malah derit pintu yang didapat. Tergesa Gathan menghela topengnya lepas. Dilihatnya Radit bersiap menyelipkan tubuhnya melewati celah pintu menuju ke luar aula.
"Nih, Dit," Gathan bersuara, menyodorkan sekaleng minuman dingin yang berembun.Radit santai saja seolah tak mendengar suara Gathan, iris matanya juga tak bergarak barang se-nano-mili pun seperti Gathan adalah makhluk tak kasat mata. Ia sibuk dengan ponselnya, bermain game atau entah apalah. Pokoknya sok sibuk sekali.Sasha yang miris melihat kejadian itu menyambar minuman yang disuluhkan Gathan. Ia membukanya, lalu disuluhkan pada Radit yang menerima tanpa banyak kata.Gathan mendengus, namun tak protes. Ia duduk saja di sisi Radit. Dan tahu apa yang dilakukan manusia satu itu? Dia bergeser sampai membuat Sasha hampir jatuh dari kursi yang mereka duduk."Dit!" lengking Sasha, beranjak berdiri, menghardik Radit yang memasang wajah polos."Sorry," lirih Radit."Gak capek apa sih lo giniin Gathan?! Heran gue! Katanya udah baikan tapi masih kayak gini!"
"Belajar-belajar sana, Than!" suruh Fanala. "Senin mau UN bukannya belajar malah nelepon mahasiswi yang banyak tugas mulu.""Mahasiswi yang lagi banyak tugas mau aja sih ngangkat telepon padahal katanya sibuk." Gathan tersenyum. Taruhan, Fanala pasti kesal sekali di ujung sambungan sana.Ngomong-ngomong belakangan ini mudah sekali membuat emosi Fanala tersulut. Ia pikir gadis itu tengah PMS. Fanala jadi segalak singa sekaligus semenggemaskan bayi panda. Sehingga makin menyenangkan menggodanya.Menurut Sasha, Fanala jadi galak bukan karena PMS karena katanya, Kak Nala orangnya gak gitu. Jadi Sasha pikir itu pasti sebab tragedi hujan-hujanan itu, Fanala malu.Lain Sasha, lain pula Radit. Radit berpendapat Fanala jadi galak dan suka menghindar karena ia sudah terlalu muak dengan Gathan--memang tak dapat diharapkan sudut pandang Radit dapat menyenangkan hati."Gu
Sudah lebih dari setengah jam Karel meninggalkan kediaman Fanala. Sahabatnya itu pulang paling terlambat dibanding lain, sementara Gathan yang tercepat.Sekarang nyaris pukul sepuluh. Fanala tengah rebah di kamarnya, menatap langit-langit. Ia memikirkan Gathan. Sekarang sudah larut, tak mungkin kan Gathan masih menunggu di halte? Itu juga bila laki-laki itu tak cuma sekedar bergurau tadi.Fanala memejamkan mata, bersiap tidur mengingat esok ada kuliah pagi. Untuk sejenak wajahnya tenang. Kemudian perlahan kernyitan mulai muncul di atara alisnya seiringin suara detak jam yang kian nyaring. Sampai puncaknya, ia mendadak duduk dan meraih ponsel. Dengan cepat menekan nomor Gathan."Halo?" Gathan bersuara di seberang sana. "Karel belum pulang, Fan?""Udah," jawab Fanal. Kok, tiba-tiba ia bingung mau berkata apa. Kenapa ia jadi mudah eror begini sih sekarang?!"Buruan, gih,
Semakin ia tumbuh dewasa banyak kebahagian dan kesenangan yang mengabur, pudar, bahkan benar-benar hilang. Dan Radit mulai paham mungkin itu memang bagaimana proses pendewasaan berjalan, atau skenerio hidupnya memang mesti begitu--barangkali penulis kurang menyukainya. Namun ia mulai terbiasa--walau tetap tak bisa terima. Tapi kenapa saat ia mulai terbiasa ia langsung dihadapkan pada mimpi terburuk macam ini. Mimpi yang tak bisa ia hadapi.Hari ini semua terasa baik. Banyak tawa, banyak hal manis yang patut diingat selamanya. Lalu tiba-tiba ia dijejalkan hal terpahit yang tak sanggup ia kecap. Hal yang harus ia terima dengan air mata, gigil tubuh yang seketika dingin nyaris beku, dan perasaan bahwa dunia baru saja menenggelamkannya di lubang yang tak akan pernah bisa ia panjat keluar.Kenapa?Apa dunia harus seseimbang itu untuknya? Ia baru saja tertawa lepas sejenak, lalu sekejap kemudian ia harus menangis tak terkendali.
Dalam dua hari, dunia Gathan berubah seketika. Ia kacau. Seolah dunia berbalik menyerangnya. Dan ia tersudut.Kamarnya gelap, terkunci, membuat satu-satunya orang yang tetap kukuh berdiri di sisinya ia buat khawatir setengah mati. Tapi memangnya apalagi yang bisa dilakukan remaja delapan belas tahun jika ada di posisinya? Satu perasaan bersalah saja cukup membuat seseorang tak tahan, dan ini lebih dari satu.Gathan membuat Fanala terluka hingga nyawanya kini terancam, kondisinya bisa memburuk kapan saja. Gathan tahu ibunya tersangkut, walau tak secara langsung pada kematian ibu sahabatnya. Gathan tak ada menemani Radit ketika dunia ramaja malang itu luluh lantak. Dan semalam Radit berpamitan padanya. Hanya berpamitan tanpa memberi keterangan, membuat Gathan makin tenggelam dalam perasaan bersalahnya. Kata 'seandainya' pun jadi favoritnya kini.Seandainya malam itu ia tak mengajak Fanala pergi, gadis itu tak akan terluka. S
"Mau lo hitungin berapa kali juga, jumlah bunga matahari itu gak akan bertambah, Fan," ujar Gathan yang baru datang, melihat Fanala di tengah hari bolong ini berjongkok di hadapan pot-pot bunga mataharinya. Ia kemudian duduk di bangku di bawah rimbun pepohonan, bersandar santai.Fanala menoleh, membuat rambutnya yang sebahu itu bergoyang pelan. Matanya mendelik pada Gathan. "Tahu gue, tuh! Gue cuma memastikan gue gak salah hitung. Lagian lo ngapain sih ke sini? Jomblo lo, hari Minggu gini gak ada kerjaan?""Sewot banget sih, Fan. Gue tahu hari ini panas, tapi jangan marah-marah mulu lah. Cepet tua nanti, gak cantik lagi.""Apaan sih lo!" Wajah Fanala merah padam karena gombalan najis Gathan itu. Sejak ia tahu jika laki-laki yang lebih cocok jadi adiknya itu memyukainya, Fanala jadi sering merasa malu dekat-dekat dengan. "Duduk sini, Fan," ujar Gathan, menepuk bangku kosong di sisinya. "Panas kan di situ."Fanala berdehem sebelum bangkit berdiri lalu duduk di sisi Gathan. Ia heran, in
Sasha meletakkan satu buket bunga matahari di atas makam yang ditutup marmer hitam. Ia berjongkok di sisi makam itu, membersihkan daun-daun kering yang jatuh di atas nisan."Sayang, ya, Than, lo baru pulang setelah gak gue gak bisa ngajak lo main lagi. Padahal banyak yang pengen gue lakuin bareng sama lo kalo pulang lebih awal."Sudah setahun lebih Gathan meninggal. Sasha amat terpukul saat itu. Ia bahkan sempat pingsan dua kali ketika jasad Gathan tiba di Jakarta. Setelah delapan tahun pergi, Gathan pulang tinggal nama. Pedih sekali rasanya."Than, di sana gak ada Kak Nala, kan?" tanya Sasha, menepis air matanya yang jatuh tanpa diminta. "Kita di sini masih terus nyari Kak Nala walaupun polisi udah nyerah. Kak Nala terakhir terlihat di cctv terminal yang gak jauh dari pantai. Dan gak ada petunjuk lagi setelah itu. Kadang-kadang, saat gue kehilangan harapan, gue sering bertanya-tanya apa Kak Nala ada di laut? Apa dia terjebak di dasar lautan? Kesepian."Sebetulnya menyimpulkan bila K
"Udah bisa dihubungi Kak Nalanya, Dek?" tanya Bunda, muncul di pintu belakang. Sejak pagi beliau memintanya menghubungi Kak Nala karena beliau juga tak bisa menghubunginya."Belum, Bun. Masih gak aktif," sahut Sasha yang sedang duduk di beranda belakang, menonton Ayah membersihkan kandang burung-burung peliharaanya.Bunda mengernyit khawatir. "Kak Nala gak kenapa-kenapa kan ya? Bunda jadi khawatir.""Bunda udah selesai masaknya?" tanya Ayah."Iya," sahut Bunda."Beresin aja makanan yang mau dikasi ke Nala. Nanti Ayah sama Sasha yang anterin ke sana," ucap Ayah. Membuat Bunda berbalik masuk ke dalam, membereskan makanan yang ia buat untuk Kak Nala. Makanan itu jugalah yang jadi alasan Bunda mencoba menghubungi Kak Nala sejak pagi."Dua minggu yang lalu, Kak Nala ke sini mau ngapain, Dek?" tanya Ayah. Beliau menggantung kembali kandang-kandang burung yang sudah bersih."Mau ngomong sama Vira. Tapi Adek gak nanya ke Kak Nala sama Vira mereka ngomongin apa. Nanti dikira kepo lagi. Tapi ka
Sasha membawa Radit menjauh dari rumahnya. Ia tak ingin laki-laki itu bertemu dengan anggota keluarganya. Ini saja ia harus menjelaskan pada Kak Nala tentang Radit dan memintanya tak memberi tahu pada Kak Karel."Mau ngapain sih lo?" tanya Sasha setelah bukam sepanjang perjalanan menuju taman komplek yang sepi ini. Ia duduk di salah satu bangku mendahului Radit.Radit mengikuti Sasha, duduk di sisi gadis itu. Tanpa menyadari kedekatan yang ia ciptakan membuat jantung Sasha berdebar tak santai. "Elo sih gue telepon gak diangkat, gue chat gak dibaca.""Lo yang ngapain nelepon dan nge-chat gue?!" ucapa Sasha galak, mencoba bersuara lebih keras dari degup jantungnya. "Lo kan takut banget tuh ketahuan sama istri lo," cibirnya."Gue takut karena gue sayang sama Kala, Sha. Kalania, nama istri gue.""Gue gak pengen tahu nama istri lo," balas Sasha ketus.Hening. Radit tampaknya tak siap akan sikap Sasha yang begitu tak acuh padanya. Gadis dengan pandangan terluka yang ia lihat malam itu tamp
Setelah hari itu, Arbii beberapa kali berusaha menghubunginya, namun Fanala tak pernah mengangkatnya. Laki-laki itu bahkan datang ke rumah dan kantornya, menunggunya hingga larut, tapi Fanala tetap kukuh tak mau menjumpainya. Meski merasa kasihan, Fanala cukup keras hatinya mengingat ini untuk kebaikan Arbii itu sendiri.Selama dua minggu belakangan ini, Fanala sangat menyadari jika satu persatu hubungannya putus atau merenggang parah. Pertama, dengan kedua orang tuanya, yang tak pernah lagi menghubunginya atau dihubungi olehnya sejak Papa mengabari mereka telah tiba di Surabaya. Lalu, hubungan pekerjaannya yang di ujung tanduk, hanya tinggal dua minggu tersisa sebelum hubungan itu benar-benar putus. Kemudian, hubungannya dengan Arbii dan keluarganya yang kini tinggal kenangan. Dan kini hubungannya dengan Karel lah yang harus diputuskan.Fanala menghela napas, sebelum menghubungi Karel untuk memberi tahu laki-laki itu jika ia tengah berada di lobi kantornya. Karel yang ia minta turun
"Fan, aku agak telat gak apa-apa, ya? Kamu belum berangkat, kan?""Iya, gak apa-apa, Ar. Santai aja.""Oke. Tinggal satu janji lagi kok, abis itu aku langsung berangkat.""Iya, Ar."Fanala memutuskan sambungan dan meletakkan ponselnya di sisi ice americano-nya yang sudah tak lagi telalu dingin. Ya, ia berbohong pada Arbii tentang keberangkatannya. Ia sudah tiba di tempat janjian mereka sekitar setengah jam yang lalu. Ia hanya tak mau Arbii merasa tak enak karena membiarkannya menunggu. Cafe tempat Fanala kini berada kian ramai oleh pengunjung yang berpakaian rapi. Ia menduga mereka seperti dirinya—pegawai kantoran yang baru pulang kerja. Namun meski cafe itu mulai ramai, Fanala masih dapat mendengar jelas lagu yang tengar diputar: If Tomorrow Never Comes. Lagu favorit Gathan. Lagu pertama yang ia tahu dari laki-laki itu.Ini sudah kali kedua Fanala mengunjungi cafe ini, dan dua kali juga ia mendengar lagu ini diputar di sini. Entah ini kebetulan, pemiliknya memang suka lagu ini, atau
Sebagimana biasanya saat seseorang akan mengundurkan diri, akan ada waktu tunggu selama sebulan sebelum benar-benar off work. Waktu satu bulan itu akan digunakan perusahaan untuk mencari kandidat penggantinya dan Fanala harus mendelegasikan tugas-tugasnya pada penggantinya nanti.Saat sarapan tadi, Bang Dwiki sama sekali tak mencoba membujuknya, beliau hanya bertanya apa alasannya ingin mengundurkan diri. Dan saat Fanala menjelaskan alasannya, Bang Dwiki langsung menyetujui keputusannya dan menerima pengunduran dirinya. Namun Bang Dwiki berkata jika suatu saat nanti Fanala ingin kembali, ia akaj dengan senang hati menerimanya kembali bekerja untuk perusahaannya.Jadi kini Fanala mengendarai mobilnya pulang dengan perasaan sedikit lebih ringan, ada beban yang telah terangkat. Ia sudah menyelesaikan masalah dengan kantor. Sekarang ia akan menyelesaikan masalah dengan orang tuanya. Selanjutnya dengan Arbii dan keluarga laki-laki itu, dan terakhir masalah Karel dan Vira. Setelah itu ia be
Fanala turun dari ranjang pada pukul lima pagi. Jangan ditanya ia tidur atau tidak. Jawaban itu langsung nampak pasa kantong matanya yang menghitam. Meski lelah luar biasa dan tak dapat tertidur sama sekali semalam, Fanala berusaha berjalan senormal mungkin menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri.Lama Fanala berada di kamar mandi sebab sejak kemarin ia sama sekali belum membersihkan diri. Ia bahkan menyempatkan diri untuk memakai lulur badar dan masker rambut juga scrubing wajah. Ia burusaha terlihat seperti Fanala yang biasa. Fanala yang rapi, bersih, dan terawat baik. Kacaunya pikirannya tak perlu lah tampak lagi dari penampilan luarnya. Cukup kemarin saja. Hari ini ia harus sudah tampak seperti biasanya.Selepas keluar dari kamar mandi, Fanala langsung mengaplikasikan rangkaian produk perawatan kulit pada wajahnya sebelum wajahnya benar-benar kering. Kemudian ia mengeringkan rambutnya lalu menatanya menjadi sesikit bergelombang. Setelah rambutnya rapi dan wajahnya terpoles make
Karel agak terkejut saat Sasha membukakan pintu bahkan sebelum kakinya menyentuh teras rumah. Ia lebih terkejut lagi mendapati semua anggota keluarganya yang tinggal di rumah ini masih tergaja dan duduk-duduk di ruang tamu. Ini rumah mereka baru saja kedatangan tamu atau mereka sedang menunggunya pulang? Ia akan sangat terharu bilang mereka memang sedang menunggunya pulang. Apalagi dengan Vira yang sudah beberapa hari ini bersikap dingin pasanya."Nungguin aku pulang?" tanya Karel setelah melewati ambang pintu yang telah dikatup Sasha kembali."Gak usah pede banget," cela Sasha dari balik punggung Karel."Terung ngapain belum pada tidur dan malah ngumpul-ngumpul di sini?" tanya Karel heran. Mana mungkin tidak? Setiap kali ia sungguhan lembur dan pulang malam, rumah pasti sudah gelap dan semua orang telah terlelap—ya, kecuali Vira. Namun Vira pun akan menunggunya di kamar, bukan di ruang tamu macam sekarang."Tante Rieke masuk rumah sakit," sahut Bunda. Wajahnya berkerut cemas. Hal itu