Setibanya di kamar, Emely langsung menyadari ada yang berbeda dari sikap Blue. Pria itu tampak diam, bahkan cenderung dingin. Biasanya, saat mereka berduaan, Blue selalu aktif—entah dengan memeluk, mencium, atau sekadar menggodanya hingga sering membuatnya kesal. Namun kali ini, Blue hanya berdiri dengan ekspresi datar, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat.Emely mengerutkan dahi, rasa penasaran mulai menguasainya. "Kamu kenapa?" tanyanya akhirnya, tak sanggup lagi menahan diri. Dengan cepat, ia meraih lengan kekar Blue, memaksa pria itu menoleh dan menatapnya.Blue menghela napas pelan sebelum menjawab dengan suara dingin, "Tidak ada apa-apa."Jawaban itu bukannya membuat Emely lega, justru menambah kebingungannya. Dahi gadis itu semakin berkerut, pikirannya sibuk menebak-nebak. ‘Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia berubah seperti ini?’ batinnya bertanya-tanya.Ketika Blue tampak hendak menjauh, Emely dengan sigap mempererat genggamannya di lengan pria itu. Ia menatapnya d
Emely terpaku saat pria yang disebutkan namanya naik ke atas panggung. Han Jae-Min, dengan setelan jas hitam yang sempurna, memiliki aura yang sangat memikat. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, mata tajam, dan senyum yang terlihat sopan namun karismatik. Rambut hitamnya ditata rapi, memberikan kesan profesional sekaligus modern. Usianya tampak belum genap 35 tahun, namun kesuksesannya telah melampaui banyak pengusaha senior.‘Hem… Tampan juga. Cukup menarik. Tapi—masih hot Blue kemana-mana. Si Biru Tua menyebalkan itu memang tidak ada lawan kalau soal pesonanya yang hot,’ batin Emely diiringi dengusan pelan di akhir kalimat.Di sisi lain, pria itu memulai presentasinya dengan suara bariton yang tenang, namun mampu menarik perhatian seluruh ruangan. Presentasinya berjalan dengan sangat memukau. Ia menggunakan contoh-contoh nyata dari pengalamannya membawa Hanseung Group menembus pasar Amerika dan Eropa, dengan pendekatan yang unik dan inovatif. Emely terpukau dengan kecerdasan
Emely sempat tertegun sejenak, tetapi ia tidak merasa keberatan. Baginya, itu hanyalah hal kecil yang biasa dilakukan dalam dunia profesional. "Tentu, kenapa tidak," jawabnya sambil memberikan nomor teleponnya. Han Jae-Min mencatat nomor tersebut dengan senyuman tipis yang sulit ditebak artinya.Namun, tanpa sepengetahuan Emely, seseorang di sudut lain ruangan sedang mengawasi mereka dengan pandangan tajam. Blue, pria itu tampak berdiri tegap dengan rahang mengeras. Sangat keras. Matanya menyipit memandang pemandangan memuakkan di depan—Han Jae-Min dan Emely yang tampak akrab, bahkan sampai bertukar nomor telepon.Amarah mulai mendidih dalam dirinya. Dada Blue terasa sesak, seolah ada bara api yang membakar dari dalam. Ia menatap Han Jae-Min dengan pandangan gelap, rasa cemburu bercampur kemarahan yang nyaris tak bisa ia kendalikan. Meski wajahnya tetap tenang, ekspresi di matanya cukup untuk membuat orang lain mundur.Blue memang tidak diundang secara langsung ke acara ini, tapi buka
"Siapa pria itu?" gumam Han Jae-Min pelan, bertanya pada dirinya sendiri. Sepasang mata sipitnya menatap tajam ke depan, memaku pandangan pada punggung sempit Emely yang kini berjalan menjauh. Gadis itu tengah digandeng oleh seorang pria yang dengan lantang diakui Emely sebagai kekasihnya.Han Jae-Min hanya berdiri diam, menahan gejolak dalam dadanya. Namun, begitu kedua sosok itu menghilang di balik pintu ballroom, ia menarik napas panjang dan mengalihkan pandangannya. Kepalanya sedikit menoleh ke samping, melihat sosok pria muda yang berdiri tegak di sampingnya. Pria itu adalah asistennya yang selalu setia."Apakah kau tahu siapa pria itu?" tanya Han Jae-Min dengan nada rendah.Asistennya segera memiringkan tubuh sedikit, membungkukkan kepala sebagai tanda hormat sebelum menjawab. "Maaf, Tuan. Saya tidak kenal dengan pria itu dan belum pernah melihatnya sebelumnya."Han Jae-Min hanya mengangguk pelan, tidak menunjukkan banyak reaksi. Namun, mata
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, akhirnya Blue dan Emely tiba di rumah megah milik Blue. Rolls-Royce Phantom miliknya meluncur dengan mulus melewati gerbang tinggi yang otomatis terbuka setelah dijaga dengan sistem keamanan ketat. Penjaga yang berdiri di pos memberi salam hormat, namun Blue tetap diam, fokus pada kemudinya.Mobil mewah itu berhenti dengan mulus di depan teras. Tanpa sepatah kata, Blue melepas sabuk pengamannya, gerakannya tenang namun dingin. Di kursi penumpang, Emely mencuri pandang ke arahnya, menatap dengan diam. Sejak meninggalkan acara seminar tadi, keduanya sama-sama bungkam. Tidak ada satu pun dari mereka yang memulai percakapan, dan Emely tahu persis alasannya—Blue sedang kesal. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa tidak sukanya ketika Emely berkenalan dengan CEO mudah di seminar tadi.Blue turun dari mobil, gerakannya tetap tenang meski emosinya terasa menggelora. Bukannya langsung berjalan ke dalam rumah, pria itu meng
Blue menarik tubuh Emely lebih dekat, hingga tidak ada jarak tersisa di antara mereka. Di saat yang sama, tangannya mulai bergerak ke belakang, menyusup dengan cekatan di balik punggung Emely. Sentuhannya terasa panas, menelusuri setiap lekuk punggung gadis itu, membuat Emely merasakan desiran dingin yang bercampur dengan debaran jantungnya yang tak terkendali.Sebuah gerakan penuh presisi menyusul. Blue menemukan resleting gaun yang membalut tubuh Emely, dan dengan satu tarikan lembut namun tegas, ia menurunkannya perlahan. Bunyi gesekan resleting terdengar samar, namun cukup untuk membuat Emely menyadari apa yang sedang terjadi.Tubuhnya kaku sesaat, tetapi Blue tidak berhenti. Sentuhannya, cara dia menarik napas di dekat kulit Emely, dan caranya menurunkan resleting itu dengan ketenangan yang nyaris menakutkan menunjukkan bahwa ia tidak berniat untuk mundur. Blue akhirnya melepaskan ciumannya, memberikan kesempatan bagi Emely untuk menarik napas panjan
Blue berbalik perlahan, memperlihatkan ekspresi wajahnya yang sulit ditebak. Mata mereka bertemu lagi. Kali ini, Emely tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pria yang sekarang tampak begitu berbahaya sekaligus menggoda.Blue melangkah dengan tenang menuju ranjang, tatapannya tajam dan penuh kendali. Di sisi lain, Emely yang sudah diliputi rasa panik, berusaha turun dari tempat tidur dengan gerakan cepat, ingin melarikan diri. Namun, Blue lebih sigap. Dengan gerakan cekatan, ia menangkap tubuh molek wanita itu, merengkuh pinggangnya yang ramping dalam satu tarikan.“Mau kabur ke mana, hmm, Kucing Liar?” bisi Blue tepat di telinga Emely dengan suara rendah.Emely terkesiap saat tubuhnya yang mungil kembali diempaskan ke atas kasur dengan sedikit entakan yang membuat helaian rambutnya berantakan di atas bantal. Blue melangkah naik ke atas ranjang dengan gerakan tenang. Tatapannya tak lepas dari Emely yang kini berbaring telentang. Napasnya tersengal. Tanpa membuang waktu, Blue menund
Emely menghela napas panjang, frustrasi. “Blue, kau terlalu berlebihan. Ini hanya seminar dan dia hanya seorang pembicara. Tidak lebih. Tidak semua hal harus kau kaitkan dengan perasaan posesifmu yang tidak masuk akal ini!”Namun, bukannya mereda, tatapan Blue justru makin tajam, seperti bara api yang siap membakar siapa pun yang mencoba menantangnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pria itu beranjak. Dari sudut kasur, ia meraih sebuah egg vibrator yang tergeletak bersama remote control kecil. Jemarinya yang kokoh memegang alat itu dengan santai, tetapi tatapan yang diberikan pada Emely berbicara lain—penuh kendali dan maksud tersembunyi.Emely langsung menelan ludah, dadanya naik-turun menahan gugup. Tatapannya tertuju pada benda di tangan Blue. Pikiran liar berlarian di benaknya, memenuhi kepalanya dengan berbagai skenario yang membuat tubuh meremang. Oh my God, bagaimana rasanya jika benda itu benar-benar masuk ke dalamku? Apa yang dikatakan Arwen benar? Nikmat, tapi menyiksa?
Di sana, berdiri Zara, dengan senyum sumringah menyambut kedatangan mereka.Amara menoleh ke arah teras dan melihat sang Nenek melambaikan tangan lembut ke arahnya. Gadis kecil itu mengangguk pelan sambil membuka pintu mobil dengan hati-hati. “Mommy, tidak apa-apa ‘kan kalau aku bawa boneka ini?” tanyanya polos sambil merapikan boneka yang masih digenggam erat.“Iya, tidak apa-apa, sayang. Bawa saja,” jawab Emely lembut sambil keluar dari mobil dan menutup pintunya. Ia meraih tangan kecil Amara, menggenggamnya erat, lalu membawa gadis kecil itu melangkah bersamanya menuju teras Mansion.Saat mereka mendekat, Zara yang telah menunggu di teras utama menyambut dengan antusias. Wajahnya tampak sumringah.“Selamat siang, Mom,” sapa Emely ramah.Mom. Sebuah panggilan yang awalnya terasa canggung kini mulai terdengar natural. Setelah beberapa kali pertemuan, panggilan "Aunty" yang semula Emely gunakan untuk Zara perlahan berubah menjadi "Mom." P
New York, USA…Emely fokus mengemudi. Kedua tangannya menggenggam setir dengan erat, sementara matanya menatap lurus ke jalan yang terbentang di depannya. Di kursi belakang, Amara duduk terdiam. Gadis kecil itu terlihat tenang, namun dari raut wajahnya, jelas ia sedang memperhatikan Ibunya.Biasanya, perjalanan bersama Amara dipenuhi dengan tawa atau percakapan ringan. Namun, hari ini berbeda. Amara tidak berani mengajak Ibunya berbicara. Ekspresi Emely tampak dingin, penuh beban yang tidak biasa.Ddrrttt…Ponsel Emely yang tergeletak di konsol tengah mobil tiba-tiba bergetar. Ia melirik sekilas pada layar yang menyala.“Biru Tua is calling…”Nama kontak itu jelas tertulis di layar. Ternyata pria itu yang sedang menelepon. Namun, Emely tidak berniat mengangkatnya. Ia mendengus pelan, matanya kembali fokus ke jalan. Perasaan jengkel kembali menyeruak di hatinya.‘Dasar Blue jelek! Tua! Brengsek!’ maki Emely dalam hati. ‘K
Rahang Erlan langsung mengetat mendengar jawaban itu. Matanya menyipit penuh kecurigaan. Pikiran di kepalanya mulai berputar cepat. Jadi, selama satu bulan penuh ini, Emely telah membohonginya? Selama itu juga Blue diam-diam mendekati putrinya tanpa sepengetahuannya?Kemarahan Erlan semakin membuncah, membuat napasnya terdengar memburu panas. Kedua tangannya yang menggantung di sisi tubuh terkepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.‘Keparat…’ geramnya dalam hati. Namun Erlan belum selesai. Ia masih memiliki banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan. Selang beberapa detik, ia kembali bertanya, “Apakah Blue sering mendatangi apartemen Emely?”Ketiga pria itu kembali saling melirik, ragu-ragu untuk menjawab. Kali ini, mereka terdiam cukup lama, membuat emosi Erlan semakin meledak. Ia menggebrak meja keras dengan kedua tangannya, membuat mereka semua terlonjak.“Jawab pertanyaanku!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan besar itu
Milan, ItaliaSelama beberapa minggu terakhir, Erlan merasa ada sesuatu yang tidak biasa pada putrinya, Emely. Biasanya, gadis itu selalu menghubungi Ibunya, Lucia, setiap pagi tanpa absen. Namun, belakangan ini, kebiasaan itu mulai berubah. Kadang-kadang, Emely tidak menelepon, atau ketika Lucia menghubunginya lebih dahulu, panggilannya tidak langsung dijawab. Hal itu menimbulkan pertanyaan besar di benak Erlan: Ada apa dengan Emely?Namun, rasa curiga Erlan semakin kuat setelah pertemuannya dengan Han Jae-Min, seorang pria yang merupakan mitra bisnisnya sekaligus ingin diperkenalkan pada Emely. Saat berbicara dengan Erlan waktu itu, Han Jae-Min mengungkapkan kejadian saat di acara seminar, sehingga tak ayal membuat Erlan terkejut.“Paman Erlan, saya harus jujur,” ujar pria asal Korea itu. “Emely tampaknya sudah memiliki kekasih. Saya tidak ingin menyinggung lebih jauh, jadi saya memutuskan untuk menjaga jarak.”Ucapan itu membuat Erlan tertegun.
"Aku mau bahas soal Lidya," ujar Blue langsung tanpa basa-basi."Aku rasa tidak ada yang perlu kamu jelaskan, dan mantan istrimu itu tidak ada urusannya denganku. Itu urusanmu, dan kamu urus saja sendiri," ucap Emely dengan nada sarkastik, suaranya dingin saat menatap tajam ke arah Blue. Setelah melontarkan kalimat itu, ia memutar tubuh, berniat melangkah menuju pintu.Namun, Blue dengan sigap menahan pinggang rampingnya, menarik tubuh Emely kembali menghadap padanya. Dengan satu hentakan lembut, ia membuat Emely tetap berada di tempat. "Kemarin dia menelponku hanya untuk menanyakan Amara. Tidak lebih dari itu," ujar Blue, mencoba menjelaskan.Emely mendengus kecil, ekspresinya datar dan sinis. "Kalaupun lebih, juga tidak masalah," balasnya cepat.Blue terdiam, merasa terjebak. Ia tidak tahu bagaimana cara meluluhkan hati si Kucing Liar-nya ini yang sudah terlihat begitu murka. Kecewa oleh perlakuannya."Aku tidak akan melarangm
Selang beberapa menit kemudian, lamunannya buyar saat terdengar suara ceria Amara dari belakang. "Mommy, aku sudah selesai!" seru gadis kecil itu sambil melangkah mendekat.Emely tersentak kecil, lalu menoleh. Senyum kecil terulas di wajahnya saat ia melihat Amara berdiri di samping sofa dengan ekspresi penuh semangat."Sudah rapi, ya?" tanyanya sambil memerhatikan penampilan gadis kecil itu. Amara mengangguk antusias. "Iya, Mommy. Aku sudah siap. Ayo, kita berangkat sekarang!" ucapnya.Emely tersenyum sembari mengangguk pelan. "Ayo," ucapnya lembut, lalu mengulurkan tangan. Amara segera menyambutnya, menggenggam tangan ibunya.Namun, sebelum mereka sempat melangkah, Gina, pengasuh Amara. "Nona, apakah saya akan ikut ke Mansion?"Emely menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Gina. "Tidak perlu. Kamu istirahat saja dirumah. Mungkin kami akan pulang agak malam," jawabnya tenang.Gina mengangguk patuh, tetapi ia tidak
Sinclair Ocean TechnologiesDi dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Blue duduk dengan raut wajah tegang. Porter, asisten pribadinya, baru saja melaporkan sebuah kabar yang membuat pria itu terkejut. Lidya, mantan istrinya, diketahui mendatangi sekolah Amara dan, lebih buruknya lagi, bertemu dengan Emely di sana.Blue mengangkat pandangan tajam, menatap Porter. “Bagaimana ceritanya Lidya bisa tahu alamat sekolah Amara, Porter?!” sergahnya dengan nada tegas, matanya menyiratkan kemarahan.Porter, yang berdiri di depan meja kerja Blue, tampak canggung. Ia menggeser kakinya sedikit, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. Namun, sebelum ia sempat berkata apa pun, Blue mendesah kasar, mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar di belakang meja. Tangannya terangkat, mengacak-acak rambutnya sendiri, membuatnya tampak lebih frustrasi.‘Sial!’ desisnya dalam hati. Pikiran Blue berputar cepat, membayangkan apa yang mungkin telah terja
Disisi lain, Emely akhirnya tiba di sekolah Amara. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat biasa, ia keluar dengan tergesa-gesa, langkah kakinya cepat menuju meja resepsionis. Sesaat, ia menyibakkan rambut yang jatuh di wajahnya, berusaha mengatur napas."Selamat siang, Mrs. Emely," sapaan ramah dari resepsionis langsung menyambut kedatangannya. Wanita itu mengenali Emely sebagai ibu dari Amara.Emely tersenyum kecil, meskipun ia tampak sedikit tergesa. "Selamat siang," balasnya sopan. "Amara masih menunggu di ruang biasa, kan?" tanyanya langsung.Resepsionis itu mengangguk, tetapi ragu-ragu sejenak. "Benar, Mrs. Emely. Amara sedang menunggu di ruang lounge siswa. Tapi barusan ada seorang wanita yang meminta izin untuk bertemu dengannya. Saya sudah memastikan, namanya Lidya."Deg!Mendengar nama itu, tubuh Emely seolah membeku sesaat, tetapi hanya sebentar. Ekspresi terkejut yang sempat terlintas di wajahnya segera digantikan dengan ketenangan. Ia mengangguk cepat
The Sterling AcademySetelah berhari-hari mencari informasi, akhirnya Lidya menemukan alamat sekolah Amara. Tempat itu bernama The Sterling Academy, sebuah institusi elit yang terletak di kawasan mewah Upper East Side, New York. Bangunan sekolah tampak megah dengan arsitektur klasik bergaya kolonial. Pilar-pilar putih menjulang tinggi menghiasi fasad bangunan, membuatnya lebih menyerupai Mansion pribadi daripada sebuah sekolah.Halaman depannya yang luas dihiasi taman-taman rapi dengan bunga berwarna-warni, sementara sebuah air mancur besar berdiri megah di tengah. Anak-anak dengan seragam rapi mulai keluar dari gedung, diantar oleh guru atau asisten pribadi mereka. Di depan gerbang, deretan mobil-mobil mewah berjejer menunggu untuk menjemput mereka pulang.Di tengah hiruk-pikuk siang itu, Lidya berdiri canggung di dekat pintu masuk utama. Tangannya mencengkeram ponsel dalam genggamannya dengan erat, berusaha mengumpulkan keberanian. Setelah menarik napas panjang, i