“Daddy, jangan lupa, ya, jangan biarkan Mommy pergi. Harus tunggu aku pulang sekolah. Oke, Daddy?” Untuk yang kesekian kalinya, Amara memohon pada sang ayah dengan mata berbinar penuh harap. Gadis kecil itu memandang pria di hadapannya dengan raut wajah serius, seolah-olah janjinya adalah harga mati yang tak bisa dilanggar.Blue menghela napas pelan. Ia membungkuk sedikit hingga tubuhnya sejajar dengan gadis kecil itu, lalu menatapnya dengan tatapan penuh kelembutan. Bibirnya melengkung dalam, membentuk senyuman lembut. “Ya, Daddy janji. Mommy tidak akan pergi tanpa menunggumu pulang,” katanya. Ia lalu mengecup puncak kepala Amara dengan penuh kasih sayang. “Belajar yang rajin, ya, dan jangan lupakan pesan-pesan Daddy.”Amara mengangguk antusias, wajah cerianya tak terbendung. Senyuman yang terpancar di wajah gadis kecil itu berbeda dari biasanya. Lebih lepas, lebih hidup. Semua itu karena Emely, wanita yang Amara percayai sebagai ibunya. Namun, Blue tahu kebenarannya. Wanita itu buk
Blue mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, memperhatikan mereka dengan intens. “Emely ada di kamarku, dan dia masih tidur.”Pernyataan itu membuat kedua bodyguard tertegun. Tatapan heran mereka tak bisa disembunyikan, tetapi keduanya juga tak berani bereaksi berlebihan di hadapan Blue. Sementara itu, Porter tetap berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi tenang, seolah-olah sudah terbiasa dengan situasi semacam ini.“Semalam, Emely datang ke club bersama teman-temannya,” ujar Blue akhirnya. Suaranya kembali memecah keheningan. “Dia merayakan pesta di sana, dan kabar buruknya …,” ia berhenti sejenak, “dia diberi obat perangsang oleh salah satu temannya.”Kedua bodyguard itu sontak tertegun. Kekagetan jelas terlihat di wajah masing-masing. Salah satu dari mereka bahkan tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi cepat-cepat mengurungkannya saat tatapan Blue menyipit, memberikan peringatan tanpa kata.Blue menghela napas panjang lalu mengangkat bahu dengan cuek. “Oke, langsung saja ke inti
Emely terbaring di atas ranjang yang luas. Tubuh polosnya tertutupi kain tebal yang membungkus dengan kehangatan. Cahaya matahari pagi mulai menyelinap lembut melalui celah tirai, menciptakan bayangan halus di dinding dan garis-garis cahaya yang menerpa kulit pucatnya. Wajahnya tampak tenang, seolah-olah menandakan ia masih terjebak dalam sisa-sisa mimpi. Namun, keningnya mulai berkerut tipis, tanda wanita itu mulai tersadar dari tidurnya.Emely menggeliat pelan, mencoba mengubah posisi tubuhnya yang terasa kaku. Namun, gerakan itu justru memicu rasa nyeri di sepanjang punggung hingga ke pundaknya. Sebuah helaan napas panjang lolos dari bibirnya, diikuti oleh desahan kecil. Kepalanya terasa berat, seolah-olah dipenuhi kabut tebal. Membuatnya enggan membuka mata meski kesadaran perlahan menyeruak.Tangannya terangkat perlahan, mengusap wajah yang masih hangat karena sisa tidur. Ia berusaha mengusir rasa pusing di pelipisnya. Kamar itu sunyi, hanya detak jarum jam yang samar terdengar.
Emely merasa gugup ketika pria itu mengecup lembut punggungnya yang polos. Ia berusaha untuk bergerak menjauh, tetapi sebelum sempat melakukannya, pria itu dengan sigap melingkarkan tangan kekarnya di sekitar perutnya. Menahan Emely dengan lembut tetapi kuat, seolah-olah tak memberinya ruang untuk melarikan diri. Tubuh Emely berakhir bersandar pada dada pria itu. Emely terjebak, tak punya pilihan selain pasrah dalam pelukan Blue.“Tumben kamu bangun siang, Sayang?” Suara Lucia kembali terdengar di seberang telepon.Emely menelan salivanya dengan susah payah. “Iya, Mom .... Kemarin ... aku banyak tugas di kampus yang membuatku sangat lelah,” jawabnya berkilah, dengan suara yang gemetar. Bibirnya bahkan sedikit bergetar, tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegugupan yang dirasakan. Bagaimana mungkin Emely tidak gugup ketika Blue, yang berada di belakangnya, dengan nakal menyentuh dadanya? Pria itu menangkupnya, meremas dengan lembut, dan sesekali memainkan putingnya—memelintir dengan
Emely terengah-engah, napasnya memburu. Mata cokelatnya yang berkilat-kilat menatap Blue dengan perasaan campur aduk. Antara kecewa, marah, dan luka yang selama ini ia coba pendam dalam-dalam. Namun kini, semuanya menyeruak seperti banjir yang tak terbendung.“Kenapa kamu melakukan ini padaku?” tanya Emely dengan suara bergetar, nyaris tercekat. Tatapannya tak beralih, fokus menusuk ke wajah pria di depannya, menuntut jawaban.Alih-alih menjawab, Blue hanya mengangkat alis dengan ekspresi dingin. “Ada yang salah?” Ia balik bertanya.Emely membuka mulut, hendak membalas, tetapi Blue memotongnya lebih cepat. “Apa yang kulakukan ini adalah bagian dari janji di masa lalu. Kau pasti masih ingat, bukan? Aku yakin ingatanmu cukup tajam untuk itu.”Mendengar itu, Emely mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. “Kalau bukan karena cita-citaku melanjutkan studi di kota ini, aku tidak akan pernah sudi menjejakkan kakiku di sini—saking aku tidak mau bertemu lagi denganmu!” desisnya taj
Saat Emely melangkah memasuki kamar mandi yang luas dan mewah, dia segera melepas selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Membiarkan kain itu jatuh begitu saja ke lantai yang bersih dan kering. Tangannya sedikit gemetar, menahan perasaan yang makin menyesakkan dada. Kamar mandi itu terasa terlalu besar, terlalu kosong, dan terlalu sunyi.Emely berjalan perlahan menuju bilik shower yang terpisah di sudut ruangan. Begitu berada di bawah shower, wanita itu menyalakan air, membiarkan aliran air hangat mengguyur tubuhnya; meresap melalui kulitnya, seolah-olah mencoba menghapus beban yang tak tertahankan dalam hatinya. Namun, air yang mengalir bukan hanya dari shower. Air mata yang terpendam dalam diri Emely sejak lama kini ikut meluncur bebas, bercampur dengan derasnya air yang jatuh dari atas kepala. Tanpa bisa ditahan, tubuhnya merosot ke lantai kamar mandi yang dingin. Emely duduk di sana, membungkus tubuhnya dengan kedua lutut, seakan-akan mencoba mencari perlindungan dari dirinya sen
“Semoga dress pilihanku cocok dengan tubuh seksi ini.”Kalimat itu dilontarkan Blue dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang menggelitik telinga Emely. Sebelum wanita itu sempat bereaksi, ia lebih dulu mengecup lembut kulit punggung Emely yang mulus, meninggalkan sensasi hangat di sana.Emely tersentak kecil lalu segera menarik diri ke belakang dengan wajah yang menyiratkan rasa kesal. Meski hanya kecupan singkat, tindakan itu terasa seperti pelanggaran besar baginya. Ia menatap Blue dengan tatapan tajam. “Jangan sentuh aku sembarangan! Najis!” ucapnya tajam. Suaranya penuh amarah.Alih-alih tersinggung, Blue malah tertawa kecil. Suaranya dalam dan meremehkan. Ia tampak begitu menikmati respons defensif dari Emely. Seperti seorang pemain yang baru saja memenangkan babak pertama dari permainannya.“Keluarlah! Ngapain kamu masih di sini?” Emely mendengkus kesal, alisnya bertaut saat menatap pria itu.Blue mengangkat alis, senyumnya makin melebar. “Menunggumu,” jawabnya santai. “
Kini Emely tahu, ada hal serius yang akan dibahas di sana. Sesuatu yang mungkin akan mengubah arah pembicaraan mereka.Tiba di depan sebuah pintu besar berwarna hitam pekat dengan ukiran minimalis, Blue berhenti sejenak, lalu memutar gagang pintu berbahan logam dingin yang memantulkan sedikit kilauan perak di bawah terpaan cahaya. Dengan gerakan mantap, ia mendorong pintu itu sehingga terbuka, mengungkapkan sebuah ruangan yang memancarkan aura otoritas dan misteri. Blue lalu melangkah masuk, masih menggenggam tangan Emely agar wanita itu terus mengikutinya. Saat memasuki ruangan, kesan pertama yang muncul adalah gelap tetapi elegan. Ruang kerja tersebut didominasi oleh warna hitam, abu-abu gelap, dan sentuhan aksen metalik.Emely memindai pandangannya. Dinding ruangan itu berlapis panel kayu hitam matte dengan garis-garis halus yang memberikan tekstur. Lampu gantung berbentuk geometris menggantung rendah di tengah-tengah ruangan, memancarkan cahaya redup keemasan yang menciptakan baya
Di sana, berdiri Zara, dengan senyum sumringah menyambut kedatangan mereka.Amara menoleh ke arah teras dan melihat sang Nenek melambaikan tangan lembut ke arahnya. Gadis kecil itu mengangguk pelan sambil membuka pintu mobil dengan hati-hati. “Mommy, tidak apa-apa ‘kan kalau aku bawa boneka ini?” tanyanya polos sambil merapikan boneka yang masih digenggam erat.“Iya, tidak apa-apa, sayang. Bawa saja,” jawab Emely lembut sambil keluar dari mobil dan menutup pintunya. Ia meraih tangan kecil Amara, menggenggamnya erat, lalu membawa gadis kecil itu melangkah bersamanya menuju teras Mansion.Saat mereka mendekat, Zara yang telah menunggu di teras utama menyambut dengan antusias. Wajahnya tampak sumringah.“Selamat siang, Mom,” sapa Emely ramah.Mom. Sebuah panggilan yang awalnya terasa canggung kini mulai terdengar natural. Setelah beberapa kali pertemuan, panggilan "Aunty" yang semula Emely gunakan untuk Zara perlahan berubah menjadi "Mom." P
New York, USA…Emely fokus mengemudi. Kedua tangannya menggenggam setir dengan erat, sementara matanya menatap lurus ke jalan yang terbentang di depannya. Di kursi belakang, Amara duduk terdiam. Gadis kecil itu terlihat tenang, namun dari raut wajahnya, jelas ia sedang memperhatikan Ibunya.Biasanya, perjalanan bersama Amara dipenuhi dengan tawa atau percakapan ringan. Namun, hari ini berbeda. Amara tidak berani mengajak Ibunya berbicara. Ekspresi Emely tampak dingin, penuh beban yang tidak biasa.Ddrrttt…Ponsel Emely yang tergeletak di konsol tengah mobil tiba-tiba bergetar. Ia melirik sekilas pada layar yang menyala.“Biru Tua is calling…”Nama kontak itu jelas tertulis di layar. Ternyata pria itu yang sedang menelepon. Namun, Emely tidak berniat mengangkatnya. Ia mendengus pelan, matanya kembali fokus ke jalan. Perasaan jengkel kembali menyeruak di hatinya.‘Dasar Blue jelek! Tua! Brengsek!’ maki Emely dalam hati. ‘K
Rahang Erlan langsung mengetat mendengar jawaban itu. Matanya menyipit penuh kecurigaan. Pikiran di kepalanya mulai berputar cepat. Jadi, selama satu bulan penuh ini, Emely telah membohonginya? Selama itu juga Blue diam-diam mendekati putrinya tanpa sepengetahuannya?Kemarahan Erlan semakin membuncah, membuat napasnya terdengar memburu panas. Kedua tangannya yang menggantung di sisi tubuh terkepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.‘Keparat…’ geramnya dalam hati. Namun Erlan belum selesai. Ia masih memiliki banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan. Selang beberapa detik, ia kembali bertanya, “Apakah Blue sering mendatangi apartemen Emely?”Ketiga pria itu kembali saling melirik, ragu-ragu untuk menjawab. Kali ini, mereka terdiam cukup lama, membuat emosi Erlan semakin meledak. Ia menggebrak meja keras dengan kedua tangannya, membuat mereka semua terlonjak.“Jawab pertanyaanku!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan besar itu
Milan, ItaliaSelama beberapa minggu terakhir, Erlan merasa ada sesuatu yang tidak biasa pada putrinya, Emely. Biasanya, gadis itu selalu menghubungi Ibunya, Lucia, setiap pagi tanpa absen. Namun, belakangan ini, kebiasaan itu mulai berubah. Kadang-kadang, Emely tidak menelepon, atau ketika Lucia menghubunginya lebih dahulu, panggilannya tidak langsung dijawab. Hal itu menimbulkan pertanyaan besar di benak Erlan: Ada apa dengan Emely?Namun, rasa curiga Erlan semakin kuat setelah pertemuannya dengan Han Jae-Min, seorang pria yang merupakan mitra bisnisnya sekaligus ingin diperkenalkan pada Emely. Saat berbicara dengan Erlan waktu itu, Han Jae-Min mengungkapkan kejadian saat di acara seminar, sehingga tak ayal membuat Erlan terkejut.“Paman Erlan, saya harus jujur,” ujar pria asal Korea itu. “Emely tampaknya sudah memiliki kekasih. Saya tidak ingin menyinggung lebih jauh, jadi saya memutuskan untuk menjaga jarak.”Ucapan itu membuat Erlan tertegun.
"Aku mau bahas soal Lidya," ujar Blue langsung tanpa basa-basi."Aku rasa tidak ada yang perlu kamu jelaskan, dan mantan istrimu itu tidak ada urusannya denganku. Itu urusanmu, dan kamu urus saja sendiri," ucap Emely dengan nada sarkastik, suaranya dingin saat menatap tajam ke arah Blue. Setelah melontarkan kalimat itu, ia memutar tubuh, berniat melangkah menuju pintu.Namun, Blue dengan sigap menahan pinggang rampingnya, menarik tubuh Emely kembali menghadap padanya. Dengan satu hentakan lembut, ia membuat Emely tetap berada di tempat. "Kemarin dia menelponku hanya untuk menanyakan Amara. Tidak lebih dari itu," ujar Blue, mencoba menjelaskan.Emely mendengus kecil, ekspresinya datar dan sinis. "Kalaupun lebih, juga tidak masalah," balasnya cepat.Blue terdiam, merasa terjebak. Ia tidak tahu bagaimana cara meluluhkan hati si Kucing Liar-nya ini yang sudah terlihat begitu murka. Kecewa oleh perlakuannya."Aku tidak akan melarangm
Selang beberapa menit kemudian, lamunannya buyar saat terdengar suara ceria Amara dari belakang. "Mommy, aku sudah selesai!" seru gadis kecil itu sambil melangkah mendekat.Emely tersentak kecil, lalu menoleh. Senyum kecil terulas di wajahnya saat ia melihat Amara berdiri di samping sofa dengan ekspresi penuh semangat."Sudah rapi, ya?" tanyanya sambil memerhatikan penampilan gadis kecil itu. Amara mengangguk antusias. "Iya, Mommy. Aku sudah siap. Ayo, kita berangkat sekarang!" ucapnya.Emely tersenyum sembari mengangguk pelan. "Ayo," ucapnya lembut, lalu mengulurkan tangan. Amara segera menyambutnya, menggenggam tangan ibunya.Namun, sebelum mereka sempat melangkah, Gina, pengasuh Amara. "Nona, apakah saya akan ikut ke Mansion?"Emely menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Gina. "Tidak perlu. Kamu istirahat saja dirumah. Mungkin kami akan pulang agak malam," jawabnya tenang.Gina mengangguk patuh, tetapi ia tidak
Sinclair Ocean TechnologiesDi dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Blue duduk dengan raut wajah tegang. Porter, asisten pribadinya, baru saja melaporkan sebuah kabar yang membuat pria itu terkejut. Lidya, mantan istrinya, diketahui mendatangi sekolah Amara dan, lebih buruknya lagi, bertemu dengan Emely di sana.Blue mengangkat pandangan tajam, menatap Porter. “Bagaimana ceritanya Lidya bisa tahu alamat sekolah Amara, Porter?!” sergahnya dengan nada tegas, matanya menyiratkan kemarahan.Porter, yang berdiri di depan meja kerja Blue, tampak canggung. Ia menggeser kakinya sedikit, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. Namun, sebelum ia sempat berkata apa pun, Blue mendesah kasar, mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar di belakang meja. Tangannya terangkat, mengacak-acak rambutnya sendiri, membuatnya tampak lebih frustrasi.‘Sial!’ desisnya dalam hati. Pikiran Blue berputar cepat, membayangkan apa yang mungkin telah terja
Disisi lain, Emely akhirnya tiba di sekolah Amara. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat biasa, ia keluar dengan tergesa-gesa, langkah kakinya cepat menuju meja resepsionis. Sesaat, ia menyibakkan rambut yang jatuh di wajahnya, berusaha mengatur napas."Selamat siang, Mrs. Emely," sapaan ramah dari resepsionis langsung menyambut kedatangannya. Wanita itu mengenali Emely sebagai ibu dari Amara.Emely tersenyum kecil, meskipun ia tampak sedikit tergesa. "Selamat siang," balasnya sopan. "Amara masih menunggu di ruang biasa, kan?" tanyanya langsung.Resepsionis itu mengangguk, tetapi ragu-ragu sejenak. "Benar, Mrs. Emely. Amara sedang menunggu di ruang lounge siswa. Tapi barusan ada seorang wanita yang meminta izin untuk bertemu dengannya. Saya sudah memastikan, namanya Lidya."Deg!Mendengar nama itu, tubuh Emely seolah membeku sesaat, tetapi hanya sebentar. Ekspresi terkejut yang sempat terlintas di wajahnya segera digantikan dengan ketenangan. Ia mengangguk cepat
The Sterling AcademySetelah berhari-hari mencari informasi, akhirnya Lidya menemukan alamat sekolah Amara. Tempat itu bernama The Sterling Academy, sebuah institusi elit yang terletak di kawasan mewah Upper East Side, New York. Bangunan sekolah tampak megah dengan arsitektur klasik bergaya kolonial. Pilar-pilar putih menjulang tinggi menghiasi fasad bangunan, membuatnya lebih menyerupai Mansion pribadi daripada sebuah sekolah.Halaman depannya yang luas dihiasi taman-taman rapi dengan bunga berwarna-warni, sementara sebuah air mancur besar berdiri megah di tengah. Anak-anak dengan seragam rapi mulai keluar dari gedung, diantar oleh guru atau asisten pribadi mereka. Di depan gerbang, deretan mobil-mobil mewah berjejer menunggu untuk menjemput mereka pulang.Di tengah hiruk-pikuk siang itu, Lidya berdiri canggung di dekat pintu masuk utama. Tangannya mencengkeram ponsel dalam genggamannya dengan erat, berusaha mengumpulkan keberanian. Setelah menarik napas panjang, i