Pagi itu, di MCC, terjadi kehebohan yang membuat semua karyawan pucat pasi. Mereka saling memandang satu sama lain dengan tatapan curiga. Tidak ada yang tahu persis. Tiba-tiba saja, terdengar teriakan Asih dari ruang khusus karyawan. Ruangan itu merupakan ruang administrasi yang berisi data-data karyawan, data keuangan dan data manajemen lainnya. Saat satu persatu masuk ke ruangan itu untuk mengetahui apa yang membuat Asih berteriak sedemikian kerasnya.
Pemandangan di ruangan itu memang kacau balau. Semua dokumen berserakan di lantai. Semua lemari terbuka dan isinya berhamburan kemana-mana. Komputerpun terlihat dalam keadaan menyala. Merasa mengkhawatirkan hal yang sama, beberapa karyawan, langsung berlari ke ruangan khusus yang berisi brankas. Benar saja, kekhawatiran mereka menjadi kenyataan, ruangan khusus itupun dalam keadaan terbuka, terbuka karena dipaksa. Brankas masih dalam keadaan aman, namun lemari yang digunakan untuk meletakkan uang operasional sehari-hari, terbu
"Halo calon mantu kesayanganku.." Suara itu mengejutkan seluruh orang yang berada di gerai itu, terutama Arya yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke gerai. Arya langsung mengarahkan pandangannya ke Siti lalu kembali menatap wanita paruh baya di depannya "Tante.." Siti terkejut melihat kedatangan mama Ray siang ini. Siti menjadi salah tingkah ketika menemukan Arya yang berdiri tepat di belakangmama Ray sambil menatapnya tajam. "Tante..tante... Mama...susah banget disuruh ganti mama," sungut mama Ray. "Ehehehe, i iya, Ma.." Siti dengan tidak enak hati memanggil mama Rayhan dengan sapaan itu. "Mama lihat di televisi, toko kamu ini kemalingan. Karena itulah mama datang kemari. Apa benar?" "Eh?" Siti menatap tidak percaya. Mengapa wanita di depannya ini begitu memperhatikannya. "Sudah hubungi polisi?" "Sudah, Ma." Siti menjawab singkat. "Terus?" Mama Ray menuntut penjelasan.
Rayhan menatap Siti yang baru saja keluar dari ruang manajemen. Ia adalah yang terakhir keluar dari ruangan itu. Wajah gadis itu begitu suntuk membuat Rayhan semakin penasaran. Siti mencari tas selempang yang sebelumnya ia letakkan di bawah meja kasir. Tidak menemukan yang ia cari, Siti mematung. Ia mengingat-ingat posisi terakhir kali tas selempangnya berada. Matanya kembali melihat ke bawah meja kasir. Kosong. Tas nya tidak ada di sana. Saat ia mencoba untuk kembali masuk ke ruang manajemen, Rayhan datang dan langsung mengalungkan tas selempangnya. Gadis itu terkejut. "Mengapa belum pulang?" tanyanya sambil berjalan mengikuti Rayhan dari belakang. "Kan tadi aku sudah bilang akan menunggumu sampai kamu selesai," jawab Rayhan membuka pintu mobilnya, agar Siti segera masuk ke dalam. Maman sudah diberitahu Rayhan bahwa dirinya harus mengantar sepeda Siti ke rumah gadis itu, karena esok Siti akan libur untuk sementara waktu. "Sepedamu sudah kusuruh Maman untuk d
Rayhan mencari kebenaran di wajah Siti, kebenaran bahwa dirinya mengundurkan diri, bukan alasan yang lain. Siti menatap Rayhan. "Kalau tidak ada ya sudah, tidak apa-apa. Besok aku tanya tuan Arya saja atau Arken, mungkin di tempat mereka ada lowongan." Siti melempar pandangannya ke luar jendela. "Besok datang ke kantor jam 7 pagi. Tunggu aku di lobi kantor, di depan resepsionis. Katakan saja kau sudah membuat janji denganku." Rayhan langsung menjawab tanpa berpikir panjang begitu mendengar nama Arya dan Arken dari bibir Siti. Bila tidak ada lowongan saat ini, ia akan membuka sendiri dan Siti adalah yang terpilih tanpa harus tes atau apalah namanya. Sah-sah saja, kan dia bos-nya. Siti mengangguk tanpa ekspresi. "Kenapa masih sedih?" tanya Rayhan mulai kembali menghidupkan mesin mobilnya. Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Hanya lelah dan gerah. Selarut ini belum mandi, mana kecutnya bikin
Siti memasuki gedung perkantoran yang begitu besar dan luas. Baru saja ia sampai di pos satpam, ia dibuat terperangah dengan gedung yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia ingin menghitung berapa tingkat gedung itu, namun keinginannya itu langsung ditolak mentah-mentah oleh leher penyangga kepalanya, yang harus menengadahkan kepalanya entah untuk berapa lama hanya untuk mengetahui total keseluruhan lantai yang ada di gedung itu. Siti berusaha keras menjaga keseimbangannya kala ia berjalan memasuki gedung berlantai marmer berwarna krem kecoklatan. Ia berjalan menuju ke meja resepsionis untuk bertemu dengan pak Indra sesuai dengan instruksi yang diberikan Rayhan sebelum dirinya diturunkan di tiga blok sebelum gedung kantor milik Rayhan. "Selamat Pagi, Mbak!" sapa Siti pada dua wanita yang sedang sibuk mencatat surat masuk dan menerima telpon. "Pagi," jawab gadis berambut pendek sedikit bergelombang yang sudah selesai menyalin surat masuk pagi ini.
"Selamat Siang." Merasa mendengar suara wanita menyapa dirinya, Siti mengangkat kepalanya, mengalihkan sejenak pandangannya dari tumpukan dokumen yang harus ia sortir hari itu juga. "Ya? Ada yang bisa sSya bantu?" Siti berdiri dari duduknya. "Saya ada janji bertemu dengan pimpinan perusahaan di sini, apakah bisa membantu mengantarkan Saya hingga ke ruangannya?" tanya wanita yang berparas blasteran itu. "Oh, sebentar, Nona. Saya tanyakan dulu apakah bapak direktur sudah bisa menerima tamu atau belum." Siti menekan angka 1 yang langsung terhubung ke ponsel Rayhan. Jangan heran, semua ini hasil pekerjaan Rayhan, ia yang menyetel angka 1 pada ponsel Siti agar bisa langsung terhubung dengannya. Siti sendiri mana paham soal begituan, ia hanya tahu cara mengetik sms, pesan wa dan menelpon, fitur lain tidak pernah diingatnya, kecuali untuk ber-swa foto.
Rayhan tertawa lebar begitu melihat Siti yang melesat masuk ke ruangannya padahal dia belum sempat memulai hitungannya. Pria itu langsung masuk ke ruangannya, mengikuti Siti yang kini sudah duduk manis di sofa tamu layaknya seorang yang hendak dimintai pertanggung-jawaban atas sikapnya yang telah menyalahi peraturan perusahaan. "Kenapa tegang begitu? Aku kan belum memulai apa-apa." Rayhan mulai kumat kejahilannya. Tegang? Siapa yang tegang? Sikap begini ini memang sikap seorang karyawan yang dipanggil menghadap atasannya, gumam Siti pada dirinya sendiri, dengan mata yang wira-wiri ke sana ke mari, memandang dokumen yang berserakan di atas meja di hadapannya. Ahh, tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak. Lepas dari mulut buaya, masuk ke dalam mulut harimau. Sial benar nasibnya hari ini. Siti mulai menanti-nanti perintah apa yang akan diberikan Rayhan padanya setelah ini. "Apa kau ingin membuatku begadang sampai besok pagi?" tanya Rayhan pada Siti
Akhirnya Siti berhasil menyelesaikan tugas pertamanya,dan kini ia sedang bersiap untuk melanjutkan tugas tambahannya hari itu. Jam sudah menunjukkan pukul 15 lebih 40 menit, waktunya para karyawan bersiap untuk pulang 10 menit lagi. Siti yang merupakan karyawan baru, belum memiliki teman satupun melangkahkan kakinya ke lantai bawah, mencari camilan untuk menemaninya lembur 20 menit lagi. Ketika kakinya berhenti di depan lift yang akan menuju ke lantai 1, ada tangan yang tiba-tiba menepuk pundaknya dari belakang. Siti terlonjak kaget. Pikirannya yang melanglang buana membuat dirinya tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya. "Ya amplop, masih muda kok suka melamun. Bahaya! Ntar loe kesambet penunggu gedung ini baru tahu rasa..." terdengar suara cempreng di belakangnya. Siti memutar badannya menghadap asal suara. Ternyata, tepukan tadi berasal dari cewek yang tadi pagi menegurnya dan bersikap sok kenal sok akrab. "Hehehe.." Siti hanya terkekeh.
Arya terperangah tak percaya melihat sosok gadis yang ia kenal tengah berdiri berhadapan, saling lempar kata penuh emosi dengan sahabatnya. Dia berulang kali mengerjap-kerjapkan matanya, berharap gadis itu bukanlah sosok yang ia kenal namun kenyataannya tidak sesuai harapannya. "Hai!" Arya memberanikan dirinya memecah kesunyian dan mencairkan hawa panas di ruangan itu. "Apa!!!" Baik Siti maupun Rayhan menjawab sapaan Arya bersamaan. "Kenapa kau masih disini?" "Kenapa anda tidak juga pulang, Tuan?" Sekali lagi, mereka berdua mengajukan pertanyaan dalam waktu yang bersamaan sambil menatap Arya dengan penuh kekesalan. "Ah ha ha ha... Apakah ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku?" Arya masih berusaha meredakan hawa panas di ruangan itu. Rayhan menatap tajam Arya. Wajahnya menjadi semakin gelap. Kekesalannya semakin membuncah karena sikap Arya yang tidak tahu diri karena masih berada di ruangannya dan melihat
Siti semakin panik, mendapat tatapan tak percaya dari Arken. "Maksudnya? Saya tidak tahu apa-apa," jawabnya semakin bingung. Sebenarnya pria menyebalkan itu punya rencana apa? Arken menghela nafasnya. "Oh. Ya, sudahlah. Aku rasa, aku tidak punya hak untuk memberitahumu. Mungkin ia akan menelponmu dan membicarakan hal ini padamu. Sekarang, kita konsentrasi cari rumah makan dulu. Aku belum sarapan sama sekali." Arken merasa tidak enak. Ia merasa tidak pantas membicarakan hal itu lebih jauh. "Apa Rayhan tidak ada di sini? Maksud saya, ehm, apakah dia sedang ada perjalanan bisnis ke suatu tempat atau kota?" Siti penasaran sekali. "Mungkin, sebentar lagi pria itu akan menelponmu dan kamu akan memiliki waktu pribadi untuk membicarakan urusan kalian." Arken mengatakan itu semua dengan susah payah. Setelah mengisi perut, sepuluh menit kemudian, mobil itu sudah terparkir di
Yuda berjalan tergesa sambil menenteng pesanan Siti. Ia mengetuk tiga kali pintu ruang atasannya lalu segera melangkah masuk tanpa menunggu jawaban dari dalam. Saat seperti ini, Rayhan tidak peduli dengan aturan yang ia buat ketika seseorang hendak masuk ke dalam ruangannya. Baginya, kesehatan Siti adalah segala-galanya. "Ini, Bos. Semua pesanan ada di dalam." Yuda meletakkan paperbag hitam itu ke meja kerja Rayhan yang saat itu sedang duduk termenung, sedangkan Siti sudah kembali ke dalam ruang privat Rayhan. "Menurutmu siapa yang layak aku jadikan asisten Arken dan Arya? Dirimu atau Sizuka?" Pertanyaan Rayhan ia ajukan tanpa melihat ke arah Yuda. Yuda terkejut. Asisten Arken dan Arya? Maksudnya? Yuda bertanya-tanya dalam hati. "Saya tidak berani menjawab, Bos. Semua terserah Bos. Baik saya mau pun Sizuka hanya bawahan, yang akan menuruti apa pun perintah atasannya."
Rayhan menatap tajam Siti. Ia segera menghampiri gadis itu dan memegang tangan kiri Siti yang belum sempat menarik lepas jarum infus dari tangan kanannya. "Mengapa dirimu ini susah sekali diberi tahu? Apakah semudah itu kau menyakiti dirimu setiap kali kemauan atau perkataanmu tidak diturutin? Jangan seperti anak kecil begini!" Rayhan menyentil kening Siti, ia mencoba menenangkan Siti agar tidak terlalu memikirkan ucapan emak. "Jika kau tidak ingin pulang bersamaku, kau bisa mengatakannya kan? Tidak perlu marah-marah seperti ini." Rayhan kembali menatap Siti dengan tatapan mata berkabut. Siti hanya bisa menunduk malu mendengar semua ucapan pria tampan di depannya. Sebelumnya, ia merasa jika Rayhan hanya ingin memanfaatkan keadaannya saja, akan tetapi setelah melihat perubahan wajah Rayhan yang menjadi gelap, ia jelas merasakan bahwa dia telah salah sangka.
Rayhan terlonjak kaget dari tempatnya. Dirinya tidak menyangka dokter muda itu berani membentaknya, CEO perusahaan tempat dokter itu bertugas. "Apa-apaan kau berteriak-teriak padaku? Apa kau lupa siapa aku?" Rayhan menatap dokter muda itu dengan nyalang. Ingin rasanya ia menelan pria muda itu hidup-hidup. Kesal sekali rasanya. "M-Ma-aaf, Tuan. M-maafkan saya. Tapi, jika Tuan terus berbicara dan terus mengancam saya, bagaimana saya bisa memulai pemeriksaan pada nona ini? Tuan lihat saja, wajah nona ini semakin pucat. Saya khawatir kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkannya." Ucapan dokter muda itu membuat Rayhan panik. "Apa maksudmu berkata demikian? Sudah sana, cepat kau periksa!" Rayhan berdiri tepat di samping dokter itu, mengawasi setiap tindakan yang dilakukan pria berkacamata yang kini tengah sibuk memeriksa pupil mata Siti. Setelah mengecek semuanya, dokte
Arken menyerahkan kunci mobilnya kepada Yuda dan duduk di samping pria itu, sednagkan Siti duduk sendiri di kursi penumpang. Sirna sudah rencananya untuk bercengkerama dengan Siti. Maksud hati ingin berbagi cerita, sekedar mendengar suara Siti dari dekat, justru kini ia harus puas duduk di depan terpisah dengan Siti yang duduk di belakang. Kehadiran Yuda di tengah-tengah mereka membuat Arken merasa kikuk untuk memulai percakapan . Ia khawatir, pria yang saat ini sedang berkonsentrasi di belakang kemudi akan melaporkan semua yang ia bicarakan dengan Siti. “Apakah Pak Arya juga sudah tahu kita akan mengecek lokasi kantor untuk proyek baru?” Yuda melirik ke arah Arken yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. “Apa? Kau tanya apa barusan?” Arken menoleh ke arah Yuda yang kembali menatap jalanan di depannya. “Pak Arya. Apakah akan menyusul kita?” “Oh, tidak. Dia baru akan m
"Kau akan kembali kemari setelah berada satu minggu di sana. Sepulang mu dari kantor di kota X, kau transfer lagi pekerjaan di kota X ke Siti. Minggu berikutnya, Siti yang akan bekerja di kota X dan kau kembali bekerja di sini, seperti semula." Siti yang mendengar percakapan dua pria itu, merasa pening sendiri. Sebenarnya, pekerjaan apa yang menjadi tanggung jawabnya? Mengapa perasaannya tidak enak? "Apa kau sudah paham yang kumaksud?" Rayhan memperhatikan Yuda lalu melihat ke arah Siti yang sedang menatap ke arahnya. "Kau boleh ke luar sekarang. Jangan lupa untuk menghubungi Arken. Katakan padanya besok kau akan datang ke sana." Yuda segera meninggalkan ruangan Rayhan. Kini, tinggallah Siti di ruang besar itu. Rayhan menghampiri Siti yang masih terus menatap dirinya. "Ada apa?" Rayhan menarik Siti duduk b
"Apa yang sebenarnya ada dalam otak kalian ketika kalian sampai di gedung ini?" Suara Rayhan langsung menggema ke seluruh penjuru ruang. Semua tertunduk dalam diam. Apes mereka hari ini. Pimpinan mereka sedang dalam suasana kalut. Secara tidak terduga, progres proposal yang dulu pernah mereka ajukan, tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Mereka tidak pernah tahu atau pura-pura tidak tahu, jika bos mereka benar-benar mengawasi pekerjaan mereka. "Beberapa waktu yang lalu, tiga atau empat divisi mengajukan proposal secara bersamaan, tetapi dari keempat-empatnya, tidak ada satu pun yang mampu membuat saya dengan cepat menggoreskan tinta mahal saya di atasnya. Tahu mengapa?" Hening. Tidak ada yang bersuara. Bahkan bernafas pun mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. "Karena proposal kalian zonk. NOL BESAR. Tidak berisi. Bahkan ada proposal yang ju
Rayhan dan Arken berteriak secara bersamaan. Rayhan tidak terima dengan keputusan sepihak papanya. "Tidak bisa, Pa! Sizuka itu sekretaris pribadi Ray, jadi tidak bisa Papa main tunjuk sesuka hati Papa. Atasan Sizuka itu Ray. Itu artinya harus ada persetujuan dari Ray untuk mengikutsertakan Sizuka dalam suatu proyek." Senyum yang semula mengembang di wajah Arya, langsung sirna, mendengar keberatan Rayhan. Arken pun diam membisu. Rayhan memang benar. Tanpa ijin darinya, Sizuka tidak bisa diikutsertakan dalam proyek mana pun. Ardan menghela nafasnya. "Kalau begitu, carilah seserorang yang bisa menjadi sekretaris untuk Arya atau mungkin kau sendiri saja yang memegang proyek itu." Rayhan mendengus kesal. Ujung-ujungnya dia lagi yang harus turun tangan sendiri. "Bagaimana dengan Arken? Arken juga tidak kalah he
"Hai, Arken!" sapa Rayhan dengan sikapnya yang biasa. Ia tidak akan memperlihatkan seberapa cemburu dirinya, ketika ia, dengan mata kepalanya sendiri, mendapati sorot mata Arken kepada Siti, yang tidak biasa. "Ray..." Arken memaksakan dirinya tersenyum. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Rayhan, lalu kembali menatap Siti dan menyapa ringan gadis itu. "Sizuka... Apakabar?" Arken mengajak Siti berjabat tangan. Yang langsung disambut Siti sebentar dan melepaskannya segera. Rayhan sebenarnya ingin menghalau tangan Arken, namun melihat Siti yang dengan cepat menyambut tangan Arken, menjabat tangan itu sebentar, dan segera melepaskannya, membuat amarahnya tidak bertahan lama. Perasaan Siti, sejujurnya, jungkir balik tidak karuan. Bukan karena menerima tawaran jabat tangan Arken, seorang pengusaha muda yang cukup sukses dengan kariernya, dan keluarganya. Tapi, lebih karena ia tengah b