"Pengangkatan Reizo menjadi pemilik Perusahaan TM, akan dilakukan seminggu dari sekarang. Gue harus gimana?" Calvin mondar-mandir di depanku. Sesekali dia terlihat mengacak-acak rambutnya.Kening Calvin tampak mengeluarkan keringat, yang terus-menerus mengalir. Dia tampaknya sangat mengkhawatirkan perusahaan mendiang ayahnya itu. "Aku pusing melihatmu, Vin. Emang kalo kamu terus melakukan hal bodoh kayak gini, isi surat wasiat itu bakal berubah?" Sera menghadang jalan Calvin sambil berkacak pinggang."Gue gak tau harus ngapain, Ra," ucap Calvin dengan lirih."Harapan tanpa aksi nyata hanyalah hal yang semu, Vin." Aku mendekat ke arah mereka, lalu memberikan Calvin selebaran iklan."Apa ini?" Alis kanan Calvin tampak mengangkat. "Program bunuh diri?"Aku berdecak kesal. "Lembaran iklan penawaran tentang strategi mengalahkan lawan yang tangguh."Sera menatapku dengan keterkejutan di wajahnya. Begitu juga dengan Calvin. Mereka sepertinya tidak mengerti, kenapa aku memberikan hal itu; ba
Saat itu, aku berbohong jika bilang, aku bahagia dengan pilihan se-naif itu. Walaupun, Calvin terus berkata, "Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja. Mereka pasti ngerti jalan yang kamu ambil." Kenyataannya, aku masih merasa bersalah, pada jiwa-jiwa yang tidak bisa diselamatkan.Pesawat yang kami tumpangi berhasil keluar dari zona bahaya. Setelah itu, ledakan besar pun terjadi. Aku hanya bisa melihat kematian massal dari balik kaca, yang hampir tertutup oleh kepulan kabut asap.Siapa yang tega membunuh banyak nyawa, yang tidak bersalah di bawah sana? Apakah semua itu adalah taktik pemerintah, untuk mengurangi jumlah penduduk? Beberapa hari belakangan, berita sering menampilkan program pembatasan angka kelahiran. Scramble memang kota yang padat, bahkan aku sering membaca data statistik penduduk—yang memuat angka kelahiran lebih tinggi, daripada angka kematian. Pemerintah mungkin melakukan berbagai strategi, agar program mereka berjalan dengan baik.Sampai kapan semua undang-undang it
Seminggu setelah peristiwa baku tembak di TM, aku merasa Calvin mulai menjaga jarak lagi denganku. Namun, aku sama sekali tidak mempersalahkan semua itu. Lagi pula, orang yang keras kepala sepertinya, tidak akan mau mendengarkan nasehat apa pun."Aku mau pergi ke Perpustakaan Ventana. Ada banyak hal yang ingin aku selidiki di sana." Aku meletakkan gelas kosong yang sebelumnya terisi teh, di depan Sera."Sendirian?" Gadis yang memakai apron bemotif bunga sakura itu meraih tanganku. "Achilio, aku butuh jawaban.""Aku nggak butuh siapa pun untuk berjuang bersamaku." Aku melepaskan genggaman tangan seputih salju itu, dengan lembut. "Tolong, jangan halangi aku, Ra!"Mata Sera tampak berkaca-kaca. "Sampai kapan kamu mau bersikap egois kayak gini, Achilio?"Aku menundukkan kepala. Gadis itu tidak bersalah, dan tidak mungkin aku juga ikut membencinya. Hanya karena dia terlihat lebih membela Calvin, bukan berarti aku harus menjauhinya. "Achilio?" Aku menatapnya sambil tersenyum hangat. "Aku
Aku memperhatikan Sera yang sibuk memasak makan malam. Dapur tampak berantakan; sampah sayur dan buah tergeletak di lantai. Mulutku berulangkali menawarkan bantuan. Namun, wanita itu bersikeras tidak ingin kubantu. "Kapan selesainya kalo terus kayak gini, Ra?" Aku mengambil vacuum cleaner di lemari. "Pokoknya, gak ada penolakan.""Udah, urus aja urusanmu sendiri!" Gadis itu menggelung rambutnya. "Nanti, aku panggil kok kalo udah siap."Karena tidak ingin memperpanjang masalah, aku pun meninggalkannya seorang diri di dapur. Menurutku, lebih baik mengalah, jika lawan bicaranya adalah seorang wanita—terutama Sera. Entah mengapa, setiap wanita sepertinya begitu sulit untuk dipahami.Aku menuju kamar di lantai atas. Kemudian, mengambil lembaran kertas yang kutemukan di perpustakaan, beberapa hari sebelumnya. Kubaca kembali surat usang, dengan tulisan yang nampak apik itu. Satu per satu kata, mulai memecahkan banyak misteri."Ia memiliki magis keabadian tingkat tinggi. Kalau begitu, burung
Pria bergaya rambut boul cut itu, memberikanku makanan yang sangat banyak. Meja makan di penuhi dengan berbagai macam hidangan: sup ayam kampung, ikan gurame panggang, tumis kangkung darat, dan aneka kue kering."Sesuatu yang berlebihan itu nggak baik, Degree." Aku mengambil tisu, lalu membersihkan sisa makanan yang menempel di bibir. "Bagikan aja sisanya sama orang-orang, yang kelaparan di luar sana.""Gak boleh. Kalo niat kasih sama orang, ya, jangan makanan sisa dong!" Degree mengerucutkan bibirnya."Kamu salah paham terus. Coba dipahami baik-baik perkataanku barusan," kataku seraya mengambil centong nasi."Iya, aku paham kok," timpal Degree dengan senyum, yang seperti dipaksakan.Setiap melihat pria di sampingku itu, aku seakan-akan sedang bercermin. Hanya gaya rambut, warna mata, dan style pakaian, yang membedakan kami. Ternyata begitu rasanya, ketika memiliki saudara kembar."Coba tebak, aku adikmu atau kakakmu?" Degree bertanya tanpa menoleh ke arahku."Nggak tahu," jawabku sin
"Apakah Anda adalah Nyonya Lily?" Aku berusaha untuk mengejar wanita, yang memakai maid dress itu. Di depan sana, ia terlihat memasuki sebuah vila besar.Sedikit rasa takut mulai menyerang. Sungguh, aku benar-benar merasa tidak nyaman. Karena ingin memastikan wanita itu Nyonya Lily atau bukan, aku terpaksa ikut masuk ke dalam vila itu. Awalnya, pintu vila itu sulit untuk dibuka. Aku kehabisan tenaga, untuk mendobraknya. Jalan satu-satunya sepertinya hanya menggunakan magic. Tanpa pikir panjang, aku menggunakan kapak api, agar bisa menerobos masuk."Kenapa wanita tadi begitu mudah membukanya?" Aku bertanya-tanya di dalam hati. Kunaiki anak tangga yang ada di ruang tengah vila itu. Setelah beberapa menit berlalu, aku pun mulai kelelahan, karena anak tangga itu tidak kunjung menemui akhir. Ditambah, aku merasa hanya terus berputar-putar, di sana."Aku di belakangmu, Pangeran," ucap seseorang di bawah sana. Aku pun menoleh, tetapi tidak menemukan siapa sumber suara itu. Di sana, hanya a
"Kamu terhubung dengan Sean, kan?" Degree tiba-tiba bertanya di sela-sela makan pagi. Hal itu hampir membuatku tersedak."Ke kenapa kamu tanya soal Sean? Kamu, kan, bisa lihat sendiri dengan magicmu, Re." Aku menatapnya dengan wajah kesal.Menurutku, pertanyaannya selalu terdengar aneh. Terkadang hal itulah, yang membuatku sedikit malas untuk menjawabnya."Sean adalah Pangeran Werewolf dengan magic terkuat, yang mati bunuh diri hanya untuk menyelamatkan keseimbangan alam. Ketenarannya bahkan lebih populer, daripada Dewa Naga berkepala tujuh. Aku sangat kagum pada sosok pemberani sepertinya." Degree bercerita panjang lebar."Terus?" Aku mengangkat alis kananku."Sekarang aku tanya, kenapa kamu melakukan hal senaif itu?""Aku nggak bisa biarin bangsa werewolf, dan bangsa vampir terus berperang. Di lain sisi, aku nggak bisa berpikir jernih, saat keadaan genting." Aku mengambil buah apel di keranjang, lalu memotongnya dengan pisau kecil."Kestabilan alam hanya bisa di capai, ketika semua
Aku duduk termenung. Beberapa kali kutiup gelas yang berisi teh hangat, digenggaman. Aku sedikit khawatir tentang keadaan Degree, tetapi Tuan Farren bilang, semuanya akan baik-baik saja. Jadi, aku berusaha berpikir positif, saat itu—yang bisa kulakukan hanya berharap dan terus berharap."Tuan, jangan pernah berpikir hal buruk akan terjadi! Terkadang, hidup itu harus dijalani dengan santai." Tuan Farren duduk di sampingku. "Semuanya akan berjalan sesuai, dengan apa yang Anda inginkan. Hanya saja, tetaplah optimis terhadap keadaan.""Seingatku, Degree tadi ada di belakangku. Kami berenang bersama menuju permukaan." Aku meletakkan gelas di atas meja, lalu menyandarkan tubuh di sofa. "Tapi, bagaimana bisa kami tiba-tiba terpisah? Bahkan, aku tidak menyadarinya sama sekali. Bukankah itu hal yang aneh, Tuan Farren?""Anda jangan memanggilku dengan sebutan 'tuan', Yang Mulia. Panggil saja penyihir atau sebutan nama." Tuan Farren tersenyum padaku."Baiklah, Penyihir." "Jika Anda mengingat de
Aku tersenyum manis, terpesona pada keahlian memasaknya. "Bagaimana kalo kita jalan-jalan minggu depan?" tawarku pada wanita yang sibuk menghitung takaran gula, di depan sana."Tumben ngajak jalan." Eunoia–yang mengenakan daster merah muda, tampak sibuk menyiapkan secangkir kopi hangat untukku. Toples kopi terlihat berantakan karenanya. Ya, namanya juga baru belajar masak, makanya seperti itu. Aku cukup memaklumi kondisinya–latar belakang sebagai orang kaya membuatnya manja.Kami berada di dapur berukuran luas, berdesain ala-ala restoran mahal. Sepertinya arsitek yang kurental tidak lagi memikirkan desainnya. Mereka selalu membuat ruangan luas di rumahku, dan itu bukan yang pertama kalinya. Untunglah, aku hanya perlu membayar, dan menikmati hasilnya. Lagian, menasehati mereka hanya membuang tenaga."Kamu nggak sibuk, kan? Lagian, jalan-jalannya di hari Minggu kok. Apa iya, kamu nggak bisa juga?" Aku menghentikan suapan nasi ke mulut. "Refreshing dong sekali-sekali juga." "Iya, boleh
Sebuah meja makan yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan, tampak menggiurkan perut kosongku. Aku berdiri di antara orang-orang yang sibuk dengan santapannya. Memperhatikan mereka dengan tajam, sepertinya membuat Degree meningkatkan kewaspadaannya.Lampu kristal yang tergantung, di atas langit-langit ruangan interior klasik, terlihat begitu indah. Ada dua jenis kursi, yaitu sofa dengan bantalan empuk, dan kursi kayu berdesain batik. Lantai yang terbuat dari keramik mahal, membuat bibirku tak berhenti mengucapkan ketakjuban.Pandanganku berpindah ke sana kemari. Ya, ada seseorang yang ingin sekali kutemui. Sudah lama rasanya, semenjak peristiwa kehancuran alter ego. Rasa rindu ingin bertemu, dan bercengkerama memang ingin kulakukan, setelah lepas dari kesibukan menjadi seorang kepala negara.Masa jabatan yang baru setahun kujalani, dan masih terlalu cepat untuk lengser. Lagi pula, penduduk sudah memilih, dan mengembankan tugas penting itu padaku. Suatu amanah harus dilakukan,
Apa yang telah berlalu, dijadikan sebagai pelajaran berharga. Aku menghirup udara segar Kota Scramble. Seluruh penduduk telah dibuat amnesia tentang kejadian di masa lalu. Biarlah, apa yang menjadi rahasia dunia, tetap seperti itu.Aku melepaskan jas hitam formal. Kemudian, meletakkannya di dekat meja kerja. Dokumen yang telah menumpuk seperti gunung kecil, kubiarkan saja. Menjadi pekerja keras, dan pemimpin Negara Erreala sungguh berat.Secangkir teh hangat dengan daun pandan yang dibentuk segi empat, kuminum perlahan. Menyeruput segelas teh adalah ketenangan yang sangat kurindukan. Di balik kaca, para karyawan muda tampak berlalu-lalang. Beberapa di antaranya saling bertegur sapa. Menu sarapan di pagi hari itu adalah telur dadar buatan Eunoia. Makanan yang dia buat sudah mampu menyaingi chef ternama, tetapi tidak dengan Sera.Hidup dengan bayangan masa lalu tidak akan habisnya. Aku mencoba untuk menjalani semuanya, tanpa adanya Aoi lagi. Kebisingan di istana kepresidenan sudah menj
"ini demi kebaikan semua orang, dan untuk dunia yang akan kembali utuh. Tolong aku, Saudaraku! Aku berjanji akan memberikan peluang padamu." Aku berlari cepat ke arah Dewa Naga berkepala tujuh. "Tidak. Jangan lakukan hal sebodoh itu, Yang Mulia!"Pantulan bayangan hitam yang menyerupai Naga Neraka–dalam sejarah Sorcgard disebut alter ego negatif (kepribadian ganda bersifat jahat), mendekat, lalu melahap Dewa Ergonza. Aku gemetar, tetapi tetap melangkah maju.Pedang di tangan kanan, dan tameng pelindung di tangan kiri. Aku menendang cermin perjanjian itu dengan tendangan maut. Berharap akan menjadi lebih baik. Namun, malah sebaliknya. Ya, semuanya telah terlambat.Dinding kebaikan antara jiwa-jiwa orang hidup, dan mati tengah mengalami kehancuran. Semua catatan batas kematian berterbangan ke mana-mana. Bola-bola kristal kematian pecah. Kekacauan di ruangan tanpa atap itu membuat telingaku berdenging. Berisik sekali. Gendang telingaku rasanya ingin pecah. Di hadapan, Dewa Naga telah b
Sebuah kerajaan yang dibangun bertingkat-tingkat tampak berantakan. Semua pasukan Aksa–para ksatria titisan anak Dewa, berkumpul memadati api pengorbanan. Kejadian serupa pernah terjadi juga di masa lalu. Entah apa yang membuat mereka se-naif itu.Aku memerintahkan Nona Filia, untuk mendaratkan pesawat lima belas meter dari pusat istana. Mengingat kegentingan tengah terjadi, aku membagi tim menjadi dua kelompok.Satu kelompok terbagi menjadi lima anggota, kecuali tim dua. Ya, Harvey tidak mungkin berpisah denganku. Mereka–anggota Tim D yang lainnya, takut Harvey malah berkhianat di tengah jalan. Oleh karena itulah, aku selaku kapten memutuskan sendiri pembagian tim.Benteng besar dengan tumpukan bebatuan dari permata, menjulang tinggi bak gunung terbesar di Scramble–Gunung Zu. Pintu gerbang yang telah terbuka, memungkinkan kami masuk, tanpa harus memecahkan sandi.Peradaban kuno masih terikat dengan dinding-dinding Kerajaan Aksa. Tiga patung besar di masa Azo telah dihancurkan. Dulu,
"Ya, bisa dibilang, aku dapat berubah wujud menjadi apa saja, dan menyamarkan identitasku sebagai Dewi Phoenix."Kalimat itu memenuhi alam pikiranku. Setelah Degree memberitahukan segalanya padaku, barulah kesadaran mencintai dengan tulus itu timbul. Penyesalan memang selalu di akhir, itulah yang mereka katakan padaku.Dia yang sudah pergi meninggalkan, mungkinkah 'kan kembali? Dewi Phoenix ingin mewujudkan dunia yang adil, dan penuh dengan kebahagiaan. Namun, akulah yang menghanguskan segala asanya itu.Abu yang sudah tertiup angin, melayang entah ke mana. Aku kehilangan belahan jiwa, yang selama ini tidak pernah mengecap kata, "dihargai". Mencintainya adalah keterlambatan yang paling disesalkan.Kusandarkan kepala ke sebuah dinding beton–penghalang antara daratan dan lautan, yang ada di dekat tempat terakhir kepergiannya. Aku lelah menghadapi segala hal, yang sebenarnya tidak ingin kulakukan. Kewajiban yang telah kuambil, terucap sumpah, hingga jiwa menjadi saksinya, berat. Kejadia
Perjuanganku selama ini tidak ada gunanya lagi. Aku menghancurkan semua benda yang ada di sekitar sana. Kemarahanku sudah tak bisa ditampung. Dalam satu kali semburan api, aku membakar seluruh sisi lapangan.Harvey mencoba menghentikan, tetapi kekuatanku jauh lebih besar. Hanya menggunakan satu persen magis, anak Dewa Naga itu tak kuasa menahannya. Portal pelindung tingkat tinggi yang dia bangun, kuhancurkan dengan satu kali pukulan.Magis sempurnaku telah bangkit kembali. Kekuatan keseimbangan alam yang bercampur, dengan kristal phoenix telah menguasai seluruh universe. Jentikan jariku bisa mengalahkan siapa pun. Aku tidak takut tewas, karena keabadian telah menjadi milik.Kehancuran akibat magis tingkat tinggiku, menghantarkan Tim Treize ke lokasi. Aku menerbangkan diri menggunakan sayap guardian. Kemudian, memasang garis pembatas, agar mereka tidak terlibat.Degree bersama Bibi Naya mencoba untuk menghancurkan dinding tebal itu. Namun, tentu saja tidak akan bisa. Kekuatan rendahan
Kristal phoenix berhasil ditemukan. Nenek itu sangat baik hati, karena menyerahkan benda itu padaku. Aku bersama dengan Calvin berhasil mempersingkat kultivasi sempurna, hanya dalam dua hari. Kemajuan yang sangat luar biasa, bukan?Keberangkatan kami menuju Kota Linear membutuhkan waktu sekitar lima jam. Perjalanan termakan lama, lantaran macet di ibu kota. Setelah diceramahi oleh Calvin, aku kembali sadar tentang satu hal, yaitu bukan tentang bagaimana menjadi seorang guardian sejati, tetapi proses perjuangan selama ini.Aku membuka layar ponsel. Pesan di SC tampak menumpuk. Ada sekitar lima ribu chat dari gabungan grub, dan chatting personal. Tidak. Bukan itu yang kucari. Beberapa hari sebelumnya, sebuah nomor yang tidak dikenal memberikanku pesan bertuliskan,"Temui aku sendirian, Azo. Mari selesaikan ini tanpa menggunakan kekuatan sedikit pun. Aku berjanji tidak akan bertarung dengan curang. Kali ini, jika aku menang, maka kau harus bersumpah untuk membunuh dirimu sendiri. Tapi ji
Sudah tiga hari aku gelisah. Tubuhku panas dingin. Kepalaku ingin pecah dari tempurung tengkorak. Sebuah pedang yang menancap di atas televisi, tidak bisa ditarik. Berat."Sebenarnya, apa sih, isi kotak kayu itu? Kok pedangku nggak bisa menembusnya, ya?" gumamku seorang diri, sambil memutari televisi yang sudah gosong itu. Di malam sebelum kejadian itu, aku sibuk menonton acara kesayangan—film romantis. Film yang berjudul, "Onze hope for your enemy", karya sutradara terkenal di Linear, memang patut diberi rate seribu dari per sepuluh. Film yang bercerita tentang kehidupan asmara Ceyda–seorang gadis remaja broken home, menuai banyak respon positif dari fansnya. Pertemuan Ceyda dengan seorang pria dingin–Atan, adalah kisah paling unik sepanjang sejarah. Tisuku habis hanya untuk menyeka air mata yang jatuh, ketika menyaksikan film itu di layar televisi.Dua jam setelahnya, aku memutuskan untuk tidur. Lamaran pekerjaanku menjadi asisten lab telah disetujui Tuan Clay—kepala laboratorium