Jelita mengira Dexter akan langsung menyetubuhinya setelah ia berkata begitu, namun ternyata lelaki itu malah memeluknya dengan erat dari belakang.
"Dexter?" tanya Jelita heran saat lelaki itu masih saja diam dan memeluknya.Tadi Dexter begitu bergairah dan membuat Jelita ikut terbakar dengan rangsangannya, namun kenapa sekarang ketika ia merasa sudah siap untuk tahap intercourse, tiba-tiba saja lelaki itu terdiam?"Kamu pasti sudah tahu bagaimana perasaanku padamu, kan?" ucap Dexter tiba-tiba.Pelukannya mengerat. Napasnya yang panas menerpa puncak kepala Jelita terdengar semakin memberat.'Dia ngomong apa sih?' Jelita membatin kesal. Ia pun akhirnya berusaha melepaskan diri dari pelukan erat itu.Persetan! Dexter telah memancing gairahnya hingga ke ubun-ubun, jadi Jelita tidak akan tinggal diam jika digantung seperti ini. Ia yang akan melanjutkannya jika Dexter enggan!"Lepaskan aku, Dexter!" bentak Jelita geram, sahanya ingin mengingatkan lagi, kalau karakter utama di sini sama sekali bukan tipe cewek yang polos ya. Keknya otaknya otor lagi geser pas ciptain karakter jelita wkwkwkbab 21++***Jelita menyetir mobilnya dengan sedikit mengebut. Hanya sedikit, karena ia tidak mau terjadi apa pun dengan dirinya. Ada dua malaikat kecil di rumah yang masih membutuhkan kehadirannya sebagai seorang ibu.Tujuannya hanya satu. Kevin's Place Bar. Ia harus melampiaskan rasa kesalnya kalau tidak ingin meledak. Benar-benar mengesalkan! Ia tidak menyangka jika Jason Pierce, si Lawyer bule itu memecatnya hanya karena bersikap genit saat berada di dalam kapal Alpha Dream Cruise. Apa ia salah untuk bersenang-senang? Bukankah itu adalah job description yang diberikan CEO Alpha Green untuk semua karyawannya selama berada di dalam kapal seperti pidatonya sebelumnya?? Bersenang-senang??Jelita masih i
Jelita terbangun saat mendengar suara ponselnya yang berdering. Dengan tubuh yang remuk dan mata yang masih mengantuk, ia pun meraihnya dari atas nakas di samping tempat tidurnya."Jangan diangkat," ucap suara berat di sampingnya. "Tidurlah lagi di pelukanku, Baby."Namun Jelita hanya tersenyum dan mengecup singkat pipi lelaki yang baru menghabiskan beberapa jam yang menggairahkan bersama. Ia melepaskan pelukan Theo dan membalikkan tubuh untuk meraih ponselnya, mengabaikan erangan protes partner bercintanya itu.'Jason yang meneleponku?' batin Jelita kaget saat melihat sekilas nama si peneleponnya. Untuk sesaat dia bimbang. 'Untuk apa si bule itu meneleponnya? Apa ada barangku yang tertinggal di kantor ataukah dia belum puas memaki diriku?' Jelita pun teringat kembali dengan perkataan Jason saat ia dipecat.Si bule itu membentaknya. Mata biru lautnya yang cemerlang itu menyorot dengan tajam, seakan ingin men
Ruangan itu terlihat seperti kapal yang baru saja dihempas oleh badai dahsyat.Komputer yang dilemparkan ke arah televisi layar lebar yang berada di dinding membuat kedua benda itu pun pecah berserakan, kursi sofa dan meja yang sudah terbalik dengan kakinya yang patah, vas bunga dan pajangan sudah tergeletak dan pecah di atas lantai.Tak ada satu pun barang yang terletak sesuai pada tempatnya, karena semuanya telah rusak atau malah hancur berantakan. Sementara si empunya ruangan, lelaki yang sedang berdiri menghadap ke jendela kaca besar terlihat tidak bergeming, diam dan hanya menatap suasana kota yang gemerlap penuh dengan aneka warna lampu di malam hari. Kedua tangannya mengepal dengan kuat, sebelum bergerak meraih ponsel dari saku untuk menelepon seseorang."Nero?" ucapnya, setelah sambungan teleponnya itu diangkat."Ya, Tuan Dexter? Apa ada yang bisa saya bantu?" sahut suara sopan dan penuh hormat dari seberang telepon.
"Dexter! Lepaskan aku!" teriaknya sambil meronta-ronta, namun lelaki itu seakan tidak peduli dan terus membawa Jelita menaiki tangga, lalu berjalan masuk menuju kamarnya di lantai dua.Dexter masuk ke dalam kamarnya dan melemparkan tubuh Jelita ke atas sofa besar yang menghadap ke televisi layar lebar, lalu ia mengunci pintu kamar dan mengantongi kuncinya di saku."Buka bajumu," perintah Dexter, setelah ia kembali menatap Jelita.Jelita menggeretakkan gigi dan mengepalkan tangannya dengan kesal. 'Dexter sialan! Apa dia sekarang mau bercinta denganku? Hah!! Jangan harap! Setelah memancing gairahku, meninggalkanku begitu saja, lalu sekarang tiba-tiba ingin bercinta?? DASAR SINTING!!'"Maaf, tapi hari ini aku sudah sangat puas melakukannya dengan Theo," sahut Jelita angkuh sambil melipat tangannya di dada. "Mungkin besok, Mr. Green. Jika aku masih berminat denganmu," cibirnya.Dexter tertawa sumbang. "Aku tidak juga tidak
"Aku tidak one night stand dengannya, Dexter... kami sudah pacaran..."Kalimat sialan itu terus saja terngiang di telinga Dexter tanpa permisi, membuatnya ingin berteriak sekeras-kerasnya dan membenturkan kepalanya ke tembok hingga hancur.Dan memang itu yang Dexter lakukan sekarang, membenturkan kepalanya. Tidak ke tembok, tapi ke meja makan yang terletak di lantai satu apartemennya.Sebotol Johnnie Walker Blue Label yang sudah setengah botol habis berada di sampingnya, bersisian dengan gelas kaca yang kosong. Ia sudah berjanji pada Dionne tidak akan menyentuh alkohol lagi, namun untuk kali ini ia seakan melupakan semuanya karena Jelita. Selalu karena Jelita. Beberapa tahun sebelumnya, Dexter adalah seorang alkoholik. Rasanya sejak Jelita menikah, namun ia tidak terlalu ingat. Yang ia ingat hanyalah rasa sakit yang ia rasakan waktu itu sama persis dengan yang ia rasakan sekarang, dan Dexter melarikan diri ke alkohol
Bab 21++***Dexter menepuk sisi bantal di sampingnya. "Tidur dulu di sini, nanti akan kuantarkan kamu pulang.""Berikan dulu kuncinya, dan kamu tidak akan kutendang," desis Jelita geram.Dexter berdiri dan melangkah mendekati Jelita. "Ayo, tendang saja," tantangnya. Jelita pun mengayunkan kakinya untuk menendang, namun ia kalah cepat. Dexter keburu menyambar tubuhnya, menggendongnya, dan membantingnya ke atas kasur. "LEPASKAAAANNN!!" jerit Jelita sambil meronta-ronta dengan kasar dalam dekapan Dexter di ranjang, namun lelaki itu berhasil mengunci semua pergerakannya hingga membuat Jelita tak berkutik. Dexter memeluk tubuh Jelita dari belakang, dan melingkarkan kakinya yang panjang di kaki Jelita untuk meredam tendangan wanita itu."Stop. Aku hanya memintamu untuk diam di sini, Jelita. Aku tidak akan melakukan apa pun. Diamlah," ucap Dexter pelan. Tanpa disadari satu tangannya sudah mengelus rambut
Bab 21++***Jelita membuka matanya perlahan, dan mengerjap-kerjap sesaat sebelum pandangannya tertumbuk pada seraut wajah yang sangat tampan di hadapannya. Ada perasaan campur aduk yang tak Jelita kenali ketika menatap wajah yang sedang tertidur nyenyak itu.Bercinta dengan Dexter lagi setelah sepuluh tahun berlalu, tak pelak membangkitkan kenangan Jelita akan masa remajanya yang penuh warna. 'Seharusnya aku tidak bercinta dengannya,' batin Jelita penuh sesal yang terlambat. Tapi ia tidak bisa memutar balik waktu. Lagipula, Dexter-lah yang memulainya, memanfaatkan Jelita yang sedang tertidur dan memimpikan Zikri. Jelita mengira ia sedang mimpi bercinta dengan suaminya, dan baru menyadari saat Dexter memeluknya ketika mereka sama-sama terhempas oleh gelombang orgasme.Jelita benar-benar kaget ketika mengetahuinya, namun ia pun tak bisa lagi berbuat apa-apa. Tapi entah kenapa hatinya mendadak terasa
Jelita terkesiap kaget saat mendengar suara dan merasakan pelukan erat Dexter dari belakangnya. Ia pun tak tahan dan terkikik geli saat bibir lelaki itu menggelitik lehernya."Kamu masak apa?" tanya Dexter sambil menatap tangan Jelita yang sedang mengaduk panci kecil di depannya, tanpa melepaskan pelukannya di tubuh Jelita."Cuma sup jagung dan sosis bakar," sahut Jelita. "Aku cari yang simpel saja untuk sarapan, jadi.... Dexter! Stop!!" jerit Jelita tiba-tiba saat Dexter menarik ikatan bath robe di pinggangnya. Tak pelak, jubah putih itu pun terbuka dan memperlihatkan bagian depan tubuh Jelita yang tanpa mengenakan pakaian dalam. Dexter membalikkan tubuh wanita itu menghadapnya, lalu tangannya meraih tombol kompor untuk mematikan apinya."Aku lapar!" serunya kasar dan penuh nafsu sambil mengangkat tubuh Jelita ke atas meja dapur. Jelita sampai tidak bisa berkata-kata lagi saat melihat Dexter menurunkan boxernya dan menghujamk
"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita."***Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed.Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu superbes
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me
Dengan sekuat tenaga, Dexter melempar ponselnya membentur dinding hingga hancur berkeping-keping.Kemarahan yang terasa membakar dadanya ingin sekali ia lampiaskan kepada Prisilla Pranata, wanita iblis jahanam itu."Aaaarrghhhh!!!" Dexter menarik kursi yang ia duduki lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya ke lantai dengan keras hingga hancur berantakan."Mr. Green..." Nero masuk ke ruangan itu dan tidak heran lagi saat melihat suasana di sekelilingnya yang kacau-balau bagai terjangan angin badai memporak-porandakan seluruh isinya. Tuan Mudanya itu memang selalu menghancurkan barang-barang jika sedang murka.Seseorang telah berani mengusik istri dari Dexter Green, dan Nero memastikan kalau orang itu beserta kaki tangannya tidak akan bisa selamat dari kemurkaan lelaki itu. Dexter Green biasanya memang tidak sekejam ayahnya jika berhadapan dengan musuh-musuhnya, namun Nero tidak terlalu yakin lagi setelah apa yang ia lihat hari ini.Sisi psikopat Dexter yang selama ini jau
Kening berkerut Prisilla Pranata semikin penuh dengan lipatan saat ia mengernyit. Sudah tiga jam James tidak dapat dihubungi. Ada apa ini? Tak biasanya anak lelaki satu-satunya itu hilang kontak selama ini. Cih, paling-paling ia mabuk-mabukan dan bermain dengan jalang di night club. Hanya saja saat ini Prisilla membutuhkan James menemui Alarik. Wanita itu ingin mendapatkan bukti yang meyakinkan bahwa Alarik benar-benar sudah menculik dan menyiksa Allan beserta kedua putrinya itu. Lebih baik lagi jika ada videonya, pasti Prisilla akan sangat puas melihat jerit kesakitan dan permohonan ampun mereka yang menjijikkan.Dan sekarang entah kenapa tiba-tiba saja wanita yang masih terlihat anggun di usia lanjut itu merasa gelisah, karena Alarik belum memberikan kabar apa pun. Terakhir kira-kira beberapa jam yang lalu si pembunuh bayaran itu hanya memberi kabar kalau berhasil menangkap ketiga orang itu, tapi setelahnya tidak ada info apa pun lagi. Brengsek! Dimana sih mereka? James dan
"DEXTER, HENTIKAAN!"Kalimat perintah dari William Green itu sebenarnya terdengar begitu keras dengan suaranya yang menggelegar, namun putra satu-satunya yang ditegur itu seperti tidak bisa mendengar apa pun lagi. Telinga, mata dan hatinya sudah tertutup oleh kemurkaan yang begitu besar, sehingga tubuhnya pun bergerak bagai robot mematikan yang terus menghancurkan lawannya tanpa henti."KATAKAN DIMANA ISTRIKU, BEDEBAH!!" Bentakan keras itu diiringi oleh tatapan pekat dari netra karamel Dexter yang dalam dan menakutkan, seakan mampu menghisap seluruh jiwamu hingga kering tak bersisa.BUUUGH!!!Kembali, pukulan kuat itu telak ia layangkan kepada James Pranata, yang sudah terdiam di lantai dengan tubuh dan wajah yang penuh bersimbah darah.William Green pun akhirnya memberikan kode kepada ajudannya Nero dan tiga orang pengawal untuk menahan putranya agar tidak membunuh James yang sepertinya sudah sekarat itu.Bukan karena William peduli dengan nyawa James, ia hanya ingin mendapatkan inf