Sherla tersenyum sangat manis, namun penuh dengan taktik licik di dalamnya. "Baik... baik... Aku akan pergi. Ah ya, hampir saja aku lupa. Apa kau mau melihat sesuatu yang sangat menarik?" Sherla mengeluarkan ponselnya dan menimang-nimangnya di tangan. "Apa maksudmu, Sherla?" Jason menatap tajam Sherla dan ponsel yang ada di tangannya. Tiba-tiba saja perasannya jadi tidak enak. Firasatnya mengatakan Sherla memiliki sesuatu yang akan membuat segalanya menjadi kacau."Aku punya video yang menarik, Jason. Tenang saja, bukan berisi kemesraan kita lagi. Tapi... dua orang yang sedang bercumbuu rayu hari ini di toilet wanita," tukas Sherla dengan tatapan penuh arti. "Video tentang Mr. Dexter Green bersama Jelita--kekasihmu itu."***~Flash Back Beberapa Jam Sebelumnya...Pagi ini Sherla diminta datang ke Gedung Alpha Green oleh Nero dalam rangka koordinasi mengenai Jason Pierce. Nero juga memintanya untuk tidak mendekati Jason jika Mr. Green tidak menyuruhnya, dan seperti biasa Sherla ha
Setiap perkataan adalah doa. Mungkin Jelita terlalu meremehkan ungkapan itu.Dulu Jelita tak peduli dengan julukan 'jalang' atau 'binal' yang tersemat padanya. Bahkan dengan bangganya ia mengakui bahwa dirinya memang seorang 'jalang' karena ia menyukai perasaan menyenangkan saat menggoda lelaki dan membuat mereka bertekuk lutut di hadapannya. Ia suka bermain-main dengan perasaan mereka, hanya karena ingin mendapatkan kepuasan secara pribadi dan seksual. Tak pernah terlintas bahwa suatu saat ia akan menyesali semua perbuatannya, seperti saat ini.Jelita tahu ia tak berhak untuk merasa terluka karena Jason yang tidur dengan Sherla, sementara ia sendiri menjadi wanita milik Dexter. Jason pasti sangat kecewa dengannya.Dan Jelita benar-benar terluka membayangkannya. Apakah ia egois karena masih ingin bersama Jason? Ya. Ia memang egois. Jelita pun menghapus air mata yang mengalir di pipinya, sementara itu Dexter masih saja sibuk mengecup tengkuknya. Kedua tangan lelaki itu masih memelu
Wiona tersenyum. Wanita yang kini telah berusia 38 tahun itu masih terlihat sangat menawan, bahkan awet muda. Sikapnya juga sangat anggun dan berkelas. Saat ini statusnya adalah istri dari Komisaris Utama PT Wahyu Perdana Automobile yang bernama Vito Darmawan. "Kamu semakin cantik," puji Wiona sesaat setelah menatap lekat wajah Jelita tanpa melepaskan senyumnya. "Bagaimana kabar anak-anak kembarmu yang menggemaskan itu?" Wiona pun mengambil posisi duduk di hadapan Jelita."Mereka baik," sahut Jelita sambil mendorong cangkir kopi dan sepiring roti fetoydia ke hadapan Wiona. "Bagaimana kabar Kanesya?" "Baik juga. Sekarang dia sudah lulus primary school," tukas Wiona bangga. Kanesya adalah putri semata wayangnya dengan suaminya yang pertama.Wiona telah menikah empat kali. Suaminya yang pertama adalah seorang photographer. Suami kedua adalah seorang Manager Marketing di perusahaan automotif. Suami ketiga adalah bos dari suami keduanya. Suami keempat--yang sekarang ini--adalah bos d
Dexter memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah sakit. Ia benar-benar mengkhawatirkan Dionne yang tiba-tiba saja mengeluh pandangannya yang buram dan menggelap. Ketika mobilnya terhenti di lampu merah, Dexter menolehkan kepalanya ke samping dimana tunangannya itu duduk sambil memejamkan matanya."Sabarlah, Dionne. Sebentar lagi kita akan sampai di rumah sakit dan kamu akan segera diobati, okay? Bernapaslah dengan teratur, jangan panik." Sejujurnya saat ini Dexterlah yang sesungguhnya merasa cemas, hanya saja ia ingin terlihat tenang di hadapan Dionne. Ia benar-benar mencemaskan wanita itu dan kondisi matanya yang mengalami hysterical blindness.Dionne tiba-tiba berteriak dan membuat Dexter kebingungan saat ia masih berbicara dengan Jelita dan Wiona. Serta-merta lelaki itu pun beranjak kembali ke meja dimana Dionne berada, dan tanpa beberapa saat kemudian ia menggendong tunangannya keluar cafe menuju ke parkiran mobil. Raut cemas tergambar jelas di wajah Dexter sa
Jelita baru saja sampai di rumah kediaman Sutomiharjo pada siang hari. Karena sekarang hari libur, ia sengaja pagi-pagi sekali menjadwalkan untuk bertemu dengan Wiona di cafe saat sarapan, agar waktunya masih tersisa banyak untuk bermain dengan kedua anak kembarnya.Namun Jelita hanya bisa mengernyit heran saat tak melihat Axel dan Aireen yang tidak menyambut kedatangannya seperti biasa di depan pintu. Ia malah mendengar suara tawa terbahak-bahak ceria Axel dan pekikan senang dari Aireen. Tunggu. Apa barusan Jelita juga mendengar suara kucing? Ini aneh. Mereka kan tidak memelihara kucing?Jelita pun memutuskan untuk berjalan menuju sumber suara ceria anak-anaknya, yaitu berasal dari kebun belakang. Dan pemandangan yang ia lihat pun benar-benar membuat langkahnya bagai terpaku di lantai. Pertama kali yang ia lihat adalah anak-anaknya yang terlihat gembira mengejar tiga ekor kucing lucu yang masing-masing berwarna putih polos, abu-abu polos, dan hitam polos. Jelita mengerutkan keni
Makan siang hari ini diwarnai oleh gelak tawa ceria dari kedua buah hati Jelita, yang terlihat begitu gembira karena kehadiran Dexter. Bahkan mereka berlomba-lomba untuk menarik perhatian lelaki itu sejak awal. Persaingan itu pun tak pelak membuat anak kembar berusia lima tahun itu bertengkar, dan Jelita pun terpaksa bolak-balik berusaha memisahkan mereka.Sambil menahan sabar, Jelita memijit pelipisnya yang masih sedikit pusing dan pinggangnya yang pegal-pegal akibat hantaman percintaan panasnya dengan Dexter sebelumnya. Wanita itu menggigit bibirnya saat mengingat bagaimana Dexter memperlakukan tubuhnya seperti sex toys. Ia pun buru-buru menepis perasaan bergidik itu dan berusaha kembali fokus memanggang daging dan udang yang hampir saja gosong. Aireen tadi tiba-tiba meminta pesta barbecue untuk makan siang, maka para maid di kediaman Sutomiharjo pun sibuk menyiapkan perlengkapan dan bahan-bahan makanan di kebun belakang. Ada daging, udang, sosis, cumi-cumi, sayap ayam pedas, s
Suara tangisan menyayat hati itu pun terdengar hingga keluar dari kamar mandi, tempat dimana suara itu berasal meskipun lirih. Tania dan Kevin yang menunggu di dekat kamar mandi pun tegak berdiri dari duduknya dengan bahu menegang kaku dan saling melemparkan lirikan. Akhirnya Tania pun berinisiatif untuk mengetuk pintu kamar mandi."Ta? Buka pintunya, Ta..." ucap Tania lembut. Ia tahu pasti apa yang terjadi di dalam sana dan membuat sahabatnya itu menangis tersedu seperti itu.Tak berapa lama kemudian, terdengar suara kunci pintu yang dibuka dari dalam, lalu sedetik kemudian pintu itu pun terbuka.Jelita keluar dengan wajah tertunduk layu dan cairan sebening kristal yang tak hentinya mengalir di wajahnya. Seketika wanita itu mengangkat wajahnya dan menatap Tania yang memberikan senyum menguatkan untuknya."It's going to be okay, Ta..." ucap Tania lembut sambil mengelus lengan Jelita.Tak perlu bertanya apa yang terjadi di dalam, Tania dan Kevin sudah tahu hasilnya dari ekspresi kal
Setelah lelah karena terus menerus menangis, tanpa sadar Jelita pun tertidur pulas di dalam mobil Dexter. Selesai dari kunjungan ke dokter, Dexter meminta Tania untuk membawa mobil Jelita pulang ke bar, dan mengatakan bahwa nanti akan ada orang yang mengambil mobil Jelita dan membawanya kembali ke kediaman Sutomiharjo.Hari sudah mulai gelap, dan Dexter masih saja betah berdiam di mobil sambil memandangi Jelita yang masih terlelap. Netra karamel itu terlihat berkilau penuh cahaya saat menatap wajah cantik yang sedang pulas di hadapannya.'Seorang bayi. Jelita mengandung anakku di dalam perutnya.'Dexter masih terpesona dengan kenyataan itu, betapa rasanya segala masalah di hadapannya begitu kecil jika dibandingkan dengan kebahagiaan menjadi seorang ayah!Dexter menjulurkan tubuhnya ke arah Jelita untuk mengecup lembut bibirnya."I love you so much, Sayang," bisiknya pelan di bibir ranum Jelita. Mulai saat ini ia berjanji akan terus mengucapkan kata-kata itu hingga Jelita benar-bena
"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita."***Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed.Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu superbes
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me
Dengan sekuat tenaga, Dexter melempar ponselnya membentur dinding hingga hancur berkeping-keping.Kemarahan yang terasa membakar dadanya ingin sekali ia lampiaskan kepada Prisilla Pranata, wanita iblis jahanam itu."Aaaarrghhhh!!!" Dexter menarik kursi yang ia duduki lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya ke lantai dengan keras hingga hancur berantakan."Mr. Green..." Nero masuk ke ruangan itu dan tidak heran lagi saat melihat suasana di sekelilingnya yang kacau-balau bagai terjangan angin badai memporak-porandakan seluruh isinya. Tuan Mudanya itu memang selalu menghancurkan barang-barang jika sedang murka.Seseorang telah berani mengusik istri dari Dexter Green, dan Nero memastikan kalau orang itu beserta kaki tangannya tidak akan bisa selamat dari kemurkaan lelaki itu. Dexter Green biasanya memang tidak sekejam ayahnya jika berhadapan dengan musuh-musuhnya, namun Nero tidak terlalu yakin lagi setelah apa yang ia lihat hari ini.Sisi psikopat Dexter yang selama ini jau
Kening berkerut Prisilla Pranata semikin penuh dengan lipatan saat ia mengernyit. Sudah tiga jam James tidak dapat dihubungi. Ada apa ini? Tak biasanya anak lelaki satu-satunya itu hilang kontak selama ini. Cih, paling-paling ia mabuk-mabukan dan bermain dengan jalang di night club. Hanya saja saat ini Prisilla membutuhkan James menemui Alarik. Wanita itu ingin mendapatkan bukti yang meyakinkan bahwa Alarik benar-benar sudah menculik dan menyiksa Allan beserta kedua putrinya itu. Lebih baik lagi jika ada videonya, pasti Prisilla akan sangat puas melihat jerit kesakitan dan permohonan ampun mereka yang menjijikkan.Dan sekarang entah kenapa tiba-tiba saja wanita yang masih terlihat anggun di usia lanjut itu merasa gelisah, karena Alarik belum memberikan kabar apa pun. Terakhir kira-kira beberapa jam yang lalu si pembunuh bayaran itu hanya memberi kabar kalau berhasil menangkap ketiga orang itu, tapi setelahnya tidak ada info apa pun lagi. Brengsek! Dimana sih mereka? James dan
"DEXTER, HENTIKAAN!"Kalimat perintah dari William Green itu sebenarnya terdengar begitu keras dengan suaranya yang menggelegar, namun putra satu-satunya yang ditegur itu seperti tidak bisa mendengar apa pun lagi. Telinga, mata dan hatinya sudah tertutup oleh kemurkaan yang begitu besar, sehingga tubuhnya pun bergerak bagai robot mematikan yang terus menghancurkan lawannya tanpa henti."KATAKAN DIMANA ISTRIKU, BEDEBAH!!" Bentakan keras itu diiringi oleh tatapan pekat dari netra karamel Dexter yang dalam dan menakutkan, seakan mampu menghisap seluruh jiwamu hingga kering tak bersisa.BUUUGH!!!Kembali, pukulan kuat itu telak ia layangkan kepada James Pranata, yang sudah terdiam di lantai dengan tubuh dan wajah yang penuh bersimbah darah.William Green pun akhirnya memberikan kode kepada ajudannya Nero dan tiga orang pengawal untuk menahan putranya agar tidak membunuh James yang sepertinya sudah sekarat itu.Bukan karena William peduli dengan nyawa James, ia hanya ingin mendapatkan inf