Seperti yang sudah direncanakan, keempatnya akan mengunjungi obyek wisata Taman Edelweiss dan Taman Jinja menggunakan sepeda motor. Arya akan membonceng Vikha dengan motornya sendiri, sedangkan Shanon dan Tristan berboncengan menggunakan sepeda motor milik sepupu Arya yang belum dipakai.
“Ar, apakah kita tidak perlu menggunakan helm?” tanya Shanon sebelum motor yang dikemudikan Tristan melaju.
“Tidak usah, Sha. Jaraknya lumayan dekat dari sini,” jawab Arya santai. “Siap?” tanyanya pada Vikha yang sudah nyaman dengan posisi duduknya.
Shanon menanggapi jawaban Arya dengan anggukan. “Tris, jangan ngebut ya,” Shanon mengingatkan Tristan.
“Kamu tenang saja, Sha. Kita pasti selamat sampai tempat tujuan,” balas Tristan sambil terkekeh. “Oh ya, jangan lupa pegangan yang erat, Sha. Aku tidak keberatan jika kamu mau menjadikan pinggangku sebagai pegangan saat berboncengan,” imbuhnya menggoda dan spontan membuat Shanon yang duduk di belakangnya memukul pundaknya cukup keras.
“Cepat jalan, jangan sampai kita ditinggal oleh Arya dan Vikha karena kamu sibuk menggodaku,” tegur Shanon saat melihat Arya telah menjalankan sepeda motornya.
“Let’s go,” Tristan berseru dan mulai menyusul Arya.
Setelah beberapa menit berkendara dan semakin dekat dengan tempat tujuan, Tristan membenarkan informasi pemberian Arya mengenai akses jalan yang lumayan sempit jika mencapainya menggunakan mobil. Jalan tersebut tidak cukup dilalui oleh dua buah mobil dari arah berlawanan secara bersamaan karena sempitnya. Dalam hati Tristan berharap, kelak masyarakat sekitar melakukan pelebaran jalan agar pengunjung tidak kesulitan menjangkau destinasi menawan sekaligus menjanjikan ini. Sungguh disayangkan saja jika banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara tidak bisa menemukan atau menikmati keindahan obyek wisata ini karena terkendala akses jalan yang kurang memadai. Apalagi setahunya hanya di sini bunga Kasna cocok tumbuh dan dibudidayakan.
“Pantas saja Vikha sangat penasaran dan ngotot ingin diantar ke sini, ternyata tempat ini terasa berbeda dari yang lainnya. Sangat indah,” ujar Shanon takjub. “Kalau dilihat dari kejauhan, bunga Kasna layaknya hamparan salju,” sambungnya.
“Benar, Sha. Mungkin karena alasan tersebut tempat ini mendapat julukan sebagai daerah Edelweiss-nya Bali,” Tristan menimpali sambil tetap fokus pada jalanan yang dilalui sepeda motornya.
Shanon menyetujui pendapat Tristan. “Aku baru tahu bahwa di Bali ada tempat seperti ini. Benar-benar tempat yang sangat indah,” ucapnya masih kagum.
“Sampai,” beri tahu Tristan saat melihat sepeda motor Arya telah memasuki area parkir.
“Ada yang memakai heels?” Pertanyaan Arya ditujukan kepada Shanon dan Vikha yang sudah turun dari sepeda motor masing-masing. Ia baru ingat menanyakannya kepada kedua temannya tersebut.
“Tidak,” jawab Shanon dan Vikha bersamaan.
“Baguslah. Kita nanti akan berjalan kaki saat menyusuri petakan-petakan kebun bunga Kasna. Berhubung di sini daerah pegunungan, jadi jalannya sudah pasti tidak datar. Aku hanya tidak ingin kaki kalian sakit jika menggunakan high heels saat kita menyusuri taman ini,” jelas Arya setelah mencabut kunci sepeda motornya.
Setelah mendengar penjelasan Arya, Shanon pun mengangguk. Ia dan Tristan mengikuti Arya yang telah berjalan di depannya bersama Vikha. Keduanya menggelengkan kepala saat mereka beberapa kali harus menghentikan langkah kakinya karena Vikha mulai berfoto, tentu saja Arya yang menjadi fotografer gratisnya. Karena terus dipanggil oleh Vikha agar ikut berfoto, akhirnya Shanon pun menerimanya.
***
Terletak di bawah kaki gunung tertinggi di Bali yaitu Gunung Agung, Vikha dan Shanon seolah baru menemukan harta karun yang membuat mereka terpukau. Cuaca cerah walau berkabut dan udara yang cenderung dingin membuat Vikha serta Shanon serasa berada di hamparan salju. Bahkan, Vikha tidak henti-hentinya mengungkapkan kekagumannya atas keindahan di depannya yang sangat memanjakan mata. Tidak mau membuang kesempatan, Vikha pun langsung mengabadikan keindahan tersebut ke dalam bidikan kameranya. Ia juga meminta bantuan Arya agar memotret dirinya yang kini mengambil posisi di tengah-tengah kebun bunga Kasna.
“Di antara kedua gadis itu, adakah yang kamu sukai dan berniat menjadikannya kekasih, Tris?” Arya bertanya iseng kepada Tristan saat keduanya tengah duduk di bangku yang tersedia di pinggir kebun. Mereka hanya memerhatikan dua gadis yang masih sibuk mengabadikan moment di hamparan bunga yang berwarna menyerupai salju tersebut.
Tristan menoleh sejenak, kemudian ia mengangguk pelan sebelum kembali mengalihkan tatapannya ke obyek semula. “Aku menyukai keduanya sebagai sahabat, tapi hanya satu dari mereka yang kuinginkan menjadi kekasihku,” jawabnya jujur.
Arya tersenyum mendengar kejujuran Tristan. “Lalu apalagi yang kamu tunggu?” tanyanya kembali.
Tristan mengembuskan napas sebelum menjawab. “Aku takut keinginanku itu akan menodai atau merusak persahabatan yang telah kami jalin selama ini.”
Arya tertawa sumbang mendengar alasan Tristan. Ia menepuk pundak laki-laki yang sudah banyak membantunya di tempat rantauan. “Aku mengerti ketakutanmu, Tris. Namun, sampai kapan kamu akan membiarkan atau memendam rasa itu? Meskipun tidak dalam waktu dekat ini dirimu berani menyampaikan perasaanmu kepadanya, aku harap kamu bisa segera menemukan solusinya,” Arya menyarankan.
Tristan mengangguk dan tersenyum tipis. “Ar, kalau lokasi Taman Jinja jauh dari sini?” Ia mengganti topik pembicaraan.
Arya langsung menanggapinya dengan gelengan kepala. “Kalau dari sini, di pertigaan tadi di bawah itu ke kiri,” beri tahunya. “Vikha tadi mengatakan ingin ke sana juga, katanya mumpung datang ke sini,” imbuhnya.
“Iya, tadi di mobil juga mengatakan hal yang sama kepada Shanon,” Tristan membenarkan.
“Di Taman Jinja juga ada bunga Kasna, tapi yang membedakan hanya konsepnya saja. Di sana lebih mengusung nuansa Jepang,” Arya memberi tahu secara singkat. “Ngomong-ngomong, usai dari sini kalian mau ke mana?” tanyanya ingin tahu.
“Ke Candidasa. Vikha sudah mem-booking vila di sana untuk tempat beristirahat kami,” jawab Tristan. “Ayo ikut dengan kami biar lebih seru dan aku ada teman,” Tristan menawarkan ajakan kepada Arya agar mengikutinya menikmati waktu libur.
Arya menggeleng. “Terima kasih atas ajakanmu. Lain kali saja aku ikut, itu pun jika kamu mau menawariku lagi,” tolaknya sambil terkekeh. “Besok aku mau rafting bersama teman-teman masa kecilku,” beri tahunya.
“Di mana?” tanya Tristan antusias dan tertarik dengan kegiatan yang akan dilakukan Arya besok.
Arya tertawa mendengar keantusiasan temannya. “Di Telaga Waja. Mau ikut?” ajaknya balik.
Tristan mendesah kecewa karena tidak mungkin bisa ikut, sebab Vikha sudah memesan vila di Candidasa. “Lain kali saja,” jawabnya sendu.
Melihat ekspresi sedih Tristan membuat Arya kembali tertawa. “Tenang saja, masih banyak waktu untuk kita rafting bersama,” ucapnya menenangkan.
Tristan dan Arya kompak menoleh saat mendengar nama keduanya dipanggil oleh Vikha. Keduanya mengangguk dan berdiri dari duduknya ketika Vikha memberinya instruksi agar mendekat melalui lambaian tangan.
“Ayo kita ke sana. Mumpung ke sini, jadi kita jelajahi ke semua sudut tempat ini,” ajak Vikha setelah Arya dan Tristan mendekat. Ia ingin lebih memasuki tempat tersebut.
“Silakan, Nona,” Arya menanggapinya bercanda. Seolah berperan layaknya tour leader, ia berjalan bersisian dengan Vikha sambil memberi penjelasan.
Shanon dan Tristan yang berjalan di belakang kedua sahabatnya hanya terkekeh. Kadang Shanon ikut menimpali obroan Arya dan Vikha di depannya.
***
Setelah merasa puas di Taman Edelweiss, Vikha dan yang lainnya melanjutkan perjalanan menuju destinasi baru. Sesuai tujuan Vikha sebelumnya, destinasi kedua yang mereka datangi adalah Taman Jinja. Jarak antara Taman Edelweiss dengan Taman Jinja tidak terlalu jauh. Di Taman Jinja Vikha dan Shanon kembali dibuat terpukau, tempat tersebut menyuguhkan nuansa Jepang. Bahkan demi semakin mengentalkan nuansa Jepang, tempat tersebut juga menyewakan kimono untuk pengunjung. Di tempat ini pula banyak terdapat bunga Kasna dan Marigold.
“Serasa berada di Jepang ya,” Vikha berdecak kagum.
“Memangnya kamu sudah pernah pergi ke Jepang, Kha?” Arya menanggapi sambil tertawa mengejek.
“Tentu saja sudah,” Vikha menjawabnya tak mau kalah. “Tapi dalam mimpi,” imbuhnya yang kemudian diikuti tawa renyahnya.
“Dasar,” kini giliran Tristan yang mencibir.
“Tidak apa mendatangi Jepang dalam mimpi dulu, siapa tahu suatu saat nanti bisa mewujudkannya menjadi kenyataan,” Shanon membela Vikha yang dirundung oleh kedua sahabatnya.
“Sebaiknya segera puaskan hasrat kalian berfoto sebelum tempat ini semakin ramai didatangi pengunjung,” interupsi Arya setelah melihat ke sekeliling taman yang pengunjungnya belum seramai di Taman Edelweiss.
Vikha langsung mengangguk dan menyerahkan kameranya kepada Arya, sedangkan Shanon hanya mengendikkan bahu. Walau takjub dengan pemandangan yang sangat indah di depan matanya, tapi Shanon lebih suka membidik obyek-obyek di sekitar taman tanpa mengikutsertakan dirinya di dalamnya. Tanpa sepengetahuan dan disadari oleh Shanon, Tristan diam-diam mengamatinya.
Sebelum Tristan, Shanon, dan Vikha bertolak ke vila, Arya mengajak mereka bersantap siang di salah satu rumah makan sederhana yang ada di pinggir jalan. Arya sengaja mengajak ketiganya ke rumah makan yang memang menyediakan beberapa menu khas Bali bagian timur. Setelah tadi mata ketiga temannya dimanjakan oleh pemandangan Taman Edelweiss dan Taman Jinja yang memesona, kini giliran nasi sela, sate lilit ikan tuna serta olahan ikan tuna lainnya yang akan memanjakan lidah mereka. Bahkan, Shanon dan Vikha tidak sungkan-sungkan menambah porsi makannya agar kebutuhan perut keduanya terpenuhi. Arya dan Tristan hanya menggelengkan kepala melihat kelahapan dua gadis cantik yang tengah asyik bersantap siang tersebut. Tidak sampai di situ, Vikha dan Shanon pun sepakat membeli beberapa tusuk sate lilit serta pepes telengis untuk dinikmatinya menuju vila. Tentu saja hal itu membuat Arya dan Tristan tidak habis pikir terhadap kelakuan dua sahabatnya tersebut yang ternyata tidak jaga image dalam urus
Menemukan lokasi Virgin Beach atau penduduk setempat lebih mengenalnya dengan sebutan Pantai Bias Putih, ternyata tidak semudah mencari obyek wisata lain karena terkendala akses jalan menuju tempat tersebut. Padahal pantai tersebut letaknya cukup dekat dengan Candidasa, tepatnya di Desa Bugbug. Sesuai namanya, pantai ini belum terlalu banyak didatangi wisatawan domestik maupun internasional, mungkin dikarenakan lokasinya yang tersembunyi dan jauh dari lalu-lalang kendaraan. Namun perlu diketahui bahwa, pemandangan laut di Virgin Beach sangatlah indah. Selain lembutnya pasir putih saat diinjak, air lautnya pun sangat jernih. “Nama Pantai Bias Putih yang diberikan warga sekitar untuk tempat ini mungkin dikarenakan warna pasirnya ya, Sha?” Vikha merentangkan kedua tangannya, berharap udara segar memenuhi setiap ruas tubuhnya. “Bisa jadi, Kha, sedangkan dinamai Virgin Beach kemungkinan karena pantainya belum banyak diketahui oleh wisatawan domestik atau internasional. Letaknya pun cender
Kecanggungan dirasakan Shanon terhadap Tristan saat mereka sedang menikmati sarapan bersama. Ia merasa malu ketika mengingat dirinya ketiduran dalam dekapan laki-laki yang kini duduk tenang di hadapannya. Ia tidak memungkiri mendapat kenyamanan saat lengan-lengan kekar milik Tristan mendekap tubuhnya. Kemarin Tristan membangunkannya saat tengah malam dan menyuruhnya melanjutkan tidur di kamar bersama Vikha. Meski terkejut menyadari dirinya ketiduran, tapi Shanon masih sempat mengucapkan rasa terima kasih kepada Tristan yang telah bersedia dan sukarela meminjamkan dadanya. Berbeda halnya dengan Tristan yang berusaha terlihat biasa saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa kemarin malam bersama Shanon. Padahal, ia juga tengah didera rasa canggung sama seperti Shanon, mengingat kedekatan mereka kemarin malam. Bahkan, kini ia tidak berani menatap Shanon yang duduk tepat di depannya berlama-lama. “Sebelum meninggalkan vila, alangkah baiknya kita periksa kembali barang bawaan masing-masing
“Aku tidak asal tuduh, Kha,” Tristan menjawab tanpa mengalihkan perhatiannya pada jalanan di depannya. “Aku memang belum pernah menemani seorang perempuan menonton drama romantis. Namun, aku pernah melihat perempuan menangis tersedu-sedu saat menonton adegan romantis. Entah karena perempuan tersebut terharu atau iri melihat keromantisan yang terpampang di layar televisi,” imbuhnya. “Siapa perempuan itu, Tris? Pacarmu?” cecar Vikha penasaran. Ia merasa waspada jika ternyata sahabatnya ini telah menjalin hubungan serius dengan lawan jenis secara diam-diam, sama halnya seperti Shanon dulu. “Kakakku,” Tristan menjawabnya dengan santai dan tersenyum ke arah Vikha yang tertawa setelah mendengar jawabannya. Ia menyempatkan diri menatap Shanon yang tengah menundukkan kepala di belakang kemudi melalui spion di atasnya. “Tris, aku boleh buka ini?” Vikha menunjukkan snack berukuran jumbo yang berbahan dasar rumput laut kepada Tristan. “Silakan, Nona. Aku membawanya ke sini tujuannya memang un
Sepulangnya berlibur minggu lalu, ketiga sahabat itu telah kembali berkutat pada rutinitas dan tanggung jawabnya terhadap pekerjaan masing-masing. Sejak itu pula Vikha jarang bisa bertemu Tristan di kantor, walau sekadar ingin makan siang bersama, karena mereka memang berbeda divisi. Lain halnya dengan Shanon, sahabatnya itu dan Tristan bekerja di divisi yang sama. Pikiran Vikha sering terganggu saat mengingat celetukan yang dilontarkan Shanon di mobil waktu itu. Bukan hanya itu, penolakan Tristan secara tidak langsung atas celetukan tersebut juga kerap membuatnya sedih. Vikha mengurungkan niat ketika hendak menyandarkan punggungnya yang terasa kaku pada kursi kerjanya saat mendengar ponselnya bergetar. Setelah membaca pesan yang diterimanya, ia segera membalas ajakan makan siang dari Shanon. Ia bergegas merapikan meja kerjanya sambil menunggu Shanon menyambanginya untuk berangkat bersama menuju tempat makan siang. “Makan siang di mana, Kha?” tanya Rena, rekan kerja yang satu divisi
Setelah tiba di rumah kontrakannya, Shanon langsung mengajak Tristan ke ruang tamunya dan mempersilakan sahabatnya tersebut duduk di sofa. Selama perjalanan pulang, pikiran Shanon sibuk menimbang keinginannya untuk menceritakan luka batinnya kepada Tristan, hingga akhirnya ia yakin dengan keputusan yang akan diambilnya. “Sha, jika kamu belum siap ingin menceritakannya padaku, sebaiknya jangan dipaksakan,” Tristan memberi saran kepada Shanon yang terlihat kacau di depannya. Dengan jelas Tristan melihat sorot mata Shanon yang memancarkan berbagai macam gejolak emosi. Dengan cepat Shanon menggelengkan kepalanya. “Aku siap, Tris.” Selain merespons saran dari Tristan, tanggapannya tersebut juga untuk memantapkan keputusannya. “Aku sudah tidak kuat lagi untuk memendamnya seorang diri,” akunya sambil menatap sendu Tristan. “Baiklah. Jika keputusanmu tersebut bisa membuatmu merasa lebih baik, aku bersedia menjadi pendengar setiamu,” ucap Tristan penuh kelembutan. Ia sangat iba melihat kondi
Seminggu telah berlalu saat Shanon mengatakan dengan jujur mengenai kebodohan dan penyesalannya kepada Tristan, kini ia merasa hatinya menjadi lebih ringan. Awalnya Shanon pasrah akan reaksi Tristan keesokan harinya di kantor, tapi pada kenyataannya perlakuan dan sikap sahabatnya tersebut tetap seperti biasa, sehingga membuatnya merasa sangat lega. Atas saran Tristan, akhirnya Shanon datang ke acara resepsi pernikahan Richard beberapa hari yang lalu. Tristan juga memintanya untuk tetap bersikap santai saat berada di acara resepsi tersebut, meski rasa sakit hatinya akan muncul ketika melihat laki-laki yang pernah dicintainya bersanding dengan wanita lain di pelaminan. Untung saja Shanon datang bersama Tristan dan Vikha, sehingga ia bisa mengalihkan rasa sakit hatinya. Kedua sahabatnya tersebut pun segera mengajaknya meninggalkan tempat resepsi setelah memberi ucapan selamat kepada pasangan pengantin, dan berbasa-basi sebentar dengan beberapa rekan kerja mereka. Hubungan Shanon dengan V
Hampir sepekan Tristan merasa ada yang berbeda dari sikap kedua sahabatnya. Shanon yang terlihat seperti menjaga jarak saat berada di luar jam kantor, sedangkan Vikha mencoba lebih intens membangun interaksi dengannya. Bahkan, ia dan Vikha sudah tiga hari ini selalu berangkat sekaligus pulang kerja bersama, karena sepeda motor sahabatnya tersebut masih berada di bengkel dan belum sempat diambil. Bukan hanya itu, Vikha juga mengajaknya makan malam dan tempat yang dipilih sahabatnya pun cenderung romantis. Tempat yang lebih cocok didatangi oleh pasangan kekasih untuk berkencan. Tristan semakin curiga bahwa telah terjadi sesuatu di antara kedua sahabat perempuannya tersebut. Apalagi setiap diajak bergabung, Shanon pasti menolak dengan berbagai macam alasan. Tristan yang tengah sibuk memikirkan perubahan sikap kedua sahabatnya, menoleh saat mendengar sapaan seseorang. “Tumben, Ar?” tanyanya kepada Arya yang telah berdiri di depan meja kerjanya. “Iya, aku hanya ingin berkeliling sambil me
Shanon akhirnya menghela napas lega. Dari posisinya ia melihat kehadiran Tristan yang kini sedang berjalan santai ke arahnya. Tanpa membuang waktu Shanon langsung mendorong Richard agar tubuhnya terbebas dari impitan laki-laki tersebut. Ia mengusap bergantian pergelangan tangannya yang terasa kebas karena dipegang cukup erat oleh Richard.“Hai, Richard,” sapa Tristan tanpa memperlihatkan emosi yang telah menyelimuti hati dan pikirannya. “Sudah lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu sekeluarga?” tanyanya berbasa-basi.“Untuk apa kamu datang kemari?” Richard mengabaikan pertanyaan basa-basi yang Tristan lontarkan. Sambil memasukkan sebelah tangannya ke saku celana yang dipakainya, ia menatap Tristan tak bersahabat.Bibir Tristan menyunggingkan senyum tipis. Walau tangannya sudah sangat gatal ingin menghajar laki-laki yang kini sedang menatapnya dengan angkuh, tapi ia berusaha keras untuk tetap bersikap tenang. Ia tetap melangkahkan kakinya dengan santai menuju tempat Shanon berdiri.
Bukannya mereda, semakin malam hujan kian menderas. Sebelum tidur Shanon membawakan bantal dan selimut untuk Tristan yang masih sibuk memainkan game di ponselnya. Tristan akan menggunakan sofa yang ada di ruang tengah untuk tidur. Baru saja Tristan membaringkan tubuhnya di atas sofa setelah usai bermain game, tiba-tiba ia merasa perutnya kembali mulas. Sejak mulai bermain game Tristan sudah beberapa kali ke kamar mandi yang ada di samping dapur. Awalnya ia hanya menganggap sakit perut biasa, tapi ternyata dugaannya keliru. Selain sakit, kini perutnya juga terasa panas dan perih. Hal tersebut diakibatkan karena saat makan malam tadi ia menghabiskan empat bungkus sambal.Setelah beberapa menit berada di dalam kamar mandi, akhirnya Tristan keluar sembari memegang perutnya. Ia menghapus keringat di keningnya sambil berjalan pelan menuju kamar Shanon untuk menanyakan obat sakit perut.“Sha,” Tristan memanggil Shanon seraya mengetuk pin
Tristan tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Shanon, karena dua rekan kerja di divisinya sedang absen. Ia dan Shanon pun sama-sama sibuk mengambil alih pekerjaan milik kedua rekannya yang sedang absen tersebut. Bahkan, saat jam makan siang pun mereka lewati secara terpisah. Mereka berbicara atau berinteraksi hanya sebatas urusan yang menyangkut pekerjaan.Sambil menunggu layar komputer di depannya mati, Tristan menyandarkan punggungnya yang kaku pada kursi kebesarannya. Bahkan, kini ia telah melepas kacamatanya yang sangat berjasa membantu matanya bekerja. Ia juga menyempatkan diri untuk memejamkan matanya sejenak, agar otot-otot pada indra penglihatannya tersebut dapat beristirahat, meski hanya sebentar. Baginya hari ini benar-benar sangat melelahkan sekaligus mengesalkan. Bagaimana tidak, ia dan rekan-rekan di divisinya terpaksa harus lembur karena diminta menyiapkan laporan untuk rapat dadakan yang akan diadakan besok pagi. Akhirnya mereka pun pulang saat ja
Shanon terpaksa menolak ajakan Vikha berolahraga di lapangan Niti Mandala yang ada di Renon, sebab ia akan menggunakan waktu liburnya untuk mengunjungi sang ibu. Walau Vikha terlihat kecewa atas penolakannya, tapi sahabatnya tersebut memaklumi alasannya. Untung saja ketika Vikha mendatangi kontrakannya, ia masih bersiap-siap sebelum berangkat ke rumah sang ibu. Awalnya Shanon ingin berangkat kemarin sore, sepulangnya dari kantor, tapi karena Anita meminta diantar sekaligus ditemani ke rumah sakit menjenguk sepupunya, jadi niatnya pun terpaksa ditunda.Kedatangan Shanon membuat Nola yang baru saja menyelesaikan kegiatannya menyapu halaman rumah terkejut, pasalnya sang anak tidak mengabarkan terlebih dulu akan pulang. “Kenapa kamu tidak mengabari Mama terlebih dulu, Nak?” tanyanya setelah Shanon turun dari motor dan mencium punggung tangannya.“Aku sengaja memberi kejutan Mama,” jawab Shanon asal sambil menyengir. Ia memeluk wanita yang sangat dihormati dan dicintainya dengan penuh kasi
Nola sudah pulang dari rumah sakit, Shanon pun telah kembali bekerja seperti biasa. Untung saja dua hari izin tidak membuat pekerjaannya menumpuk, sehingga ia bisa bernapas lega. Shanon tersenyum canggung kepada Tristan yang baru saja memasuki ruangan, ketika ia mengalihkan tatapannya dari layar monitor.“Bagaimana keadaan ibumu?” tanya Tristan yang telah berada di samping meja kerja Shanon.“Baik,” Shanon menjawab sedikit canggung, tapi ia tetap menyunggingkan senyum.“Tidak ada luka serius?” Tristan kembali bertanya setelah duduk.Shanon menggeleng sembari memberanikan diri menatap Tristan sedikit lebih lama. “Terima kasih sudah peduli terhadap keadaan ibuku, Tris,” pintanya tulus.Tristan hanya menanggapi ucapan terima kasih Shanon dengan anggukan.Sikap Tristan yang terlihat enggan berlama-lama berinteraksi dengannya membuat Shanon mengembalikan tatapannya pada layar monitor di depannya. Ia tidak keberatan jika sekarang Tristan yang ingin menjaga jarak dengannya. Menurutnya sangat
Tristan datang ke kantor dengan tidak bersemangat karena kurang tidur akibat memikirkan keadaan Talitha yang hingga kini belum memberi kabar. Sebelum berangkat ke kantor Tristan sempat menghubungi ponsel sang kakak, sayangnya tidak ada respons. Ketika ia kembali ingin mencoba menghubungi sang kakak, suara Anita yang tengah menanyakan keberadaan seseorang langsung menarik minatnya. Walau bukan dirinya yang ditanya, tapi Tristan refleks menoleh ke meja kerja di sampingnya dan tidak melihat sang pemilik berada di sana seperti biasa.“Shanon hari ini izin, katanya ada urusan keluarga yang sangat mendadak,” Bu Utami, wanita tambun yang menjadi manager di divisi keuangan memberi informasi sekaligus menjawab keingintahuan Anita mengenai ketidakhadiran Shanon. “Shanon memberi kabar sebelum saya berangkat ke kantor,” sambungnya.Pemberitahuan Bu Utami membuat pikiran Tristan kini terpecah, antara memikirkan keadaan sang kakak dan rasa penasarannya terhadap urusan keluarga Shanon. Baru saja Tri
Shanon ikut senang mendengar cerita Vikha mengenai acara makan malamnya bersama Tristan yang berjalan lancar. Shanon sangat bersyukur karena ketakutannya tidak menjadi kenyataan. Ketakutan jika Tristan akan menyeret namanya, andai laki-laki itu menolak cinta Vikha. Dari suaranya saja Shanon bisa merasakan jika kini Vikha tengah sangat bahagia karena cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. “Selamat ya, Kha. Semoga hubungan kalian berlanjut ke jenjang yang lebih serius,” ucap Shanon tulus kepada Vikha yang tengah menghubunginya melalui telepon. “Kha, karena sekarang sudah sangat malam dan aku masih mengantuk, besok saja kita lanjutkan obrolan ini ya.” Setelah mengatakan itu, Shanon menguap karena ia benar-benar masih mengantuk. “Bye, semoga Tristan hadir dalam mimpi indahmu,” ucap Shanon setelah Vikha menyetujui. Shanon langsung menaruh ponselnya ke atas nakas dan melanjutkan kembali tidurnya yang sempat terganggu. *** Seperti biasanya sebelum menuju kantor, Shanon mampir sebentar me
Vikha telah memantapkan keputusannya untuk menyatakan perasaannya secara langsung kepada Tristan nanti malam. Vikha telah menghubungi Tristan agar menghadiri undangan makan malamnya di tempat yang sudah ia pilih. Meski Vikha sangat berharap perasaannya berbalas, tapi ia tetap menyiapkan hati andai yang terjadi tidak sesuai harapan. Demi menunjang penampilannya nanti malam, kini Vikha tengah berada di salon langganannya untuk mempercantik diri. Selain itu, kegiatan ini ia lakukan untuk meminimalkan rasa gugup sekaligus gelisah yang tengah berkecamuk dalam hatinya. Setelah hampir sepuluh menit Vikha berada di salon, Shanon yang sudah berjanji akan menemaninya belum juga menampakkan diri. “Aku kira kamu tidak jadi datang, Sha,” ucap Vikha saat melihat kedatangan Shanon dari pantulan cermin besar di depannya. Shanon hanya menyengir menanggapi ucapan Vikha atas keterlambatannya. Ia langsung menduduki sofa empuk yang tersedia di sudut ruangan. “Creambath saja,” jawabnya saat salah satu kar
Hampir sepekan Tristan merasa ada yang berbeda dari sikap kedua sahabatnya. Shanon yang terlihat seperti menjaga jarak saat berada di luar jam kantor, sedangkan Vikha mencoba lebih intens membangun interaksi dengannya. Bahkan, ia dan Vikha sudah tiga hari ini selalu berangkat sekaligus pulang kerja bersama, karena sepeda motor sahabatnya tersebut masih berada di bengkel dan belum sempat diambil. Bukan hanya itu, Vikha juga mengajaknya makan malam dan tempat yang dipilih sahabatnya pun cenderung romantis. Tempat yang lebih cocok didatangi oleh pasangan kekasih untuk berkencan. Tristan semakin curiga bahwa telah terjadi sesuatu di antara kedua sahabat perempuannya tersebut. Apalagi setiap diajak bergabung, Shanon pasti menolak dengan berbagai macam alasan. Tristan yang tengah sibuk memikirkan perubahan sikap kedua sahabatnya, menoleh saat mendengar sapaan seseorang. “Tumben, Ar?” tanyanya kepada Arya yang telah berdiri di depan meja kerjanya. “Iya, aku hanya ingin berkeliling sambil me