Hallo! Terima kasih sudah membaca cerita Zoo. Untuk medukungannya bisa banget kasih kritik dan saran di kolom komentar agar cerita ini terus berkembang ke depannya. Zoo akan berusaha konsisten jika tidak ada halangan, setiap tanggal 7, 17, 27, update 2 bab di jam 07.00 WIB dan 18.00 WIB. Stay tune ya~
“Ayahanda begitu luar biasa, kematiannya tidak meninggalkan jejak- tunggu!” Astro teringat dengan buku yang pertama kali Omili bawakan. Satu-satunya yang terdapat mantra menuju dunia Manusia. “Tuan! Salam Hormat Tuan!” Omili memasuki kamar Astro dengan tergesa-gesa. Menutup buku, saat memutar kepala Astro merasa kaku karena terlalu lama membaca buku tanpa mengibah posisinya dalam waktu yang lama. Ia sampai sulit hanya menoleh untuk menanggapi Omili yang begitu berisik. “Kamu sudah begitu nyaman keluar masuk kamarku, ya?” “Saya minta maaf Tuan, tapi tolong tunda dulu hukumannya. Ada kabar dari perbatasan.” Astro mengangkat sebelah alisnya. “Hm?” “Ada kabar kunjungan dari Dewa Agung Ammon. Utusan beliau meminta Tuan menyambut kedatangan Dewa Agung.” “Apa lagi yang ingin mereka lakukan? Merepotkan saja. Bawa potion putih di laboratoirumku, bilang kondisiku sedang tidak sehat jadi tidak bisa menyambut mereka.” Astro merebahkan diri dan mengacuhkan permintaan itu. Firasat Astro menja
“Tidak, TIDAK! ASTRO, JANGAN!” Bayu yang terlelap di samping ranjang Tiara langsung terbangun. Ilham dan Madam Asri yang sedang berbincang di depan kamar mendengar teriakkan Tiara langsung membanting pintu untuk masuk. “Tiara, bangun ....” Bayu menjadi panik menepuk-nepuk pipi Tiara. “Tiara sudah sadar?” tanya Ilham. Madam Asri memahami situasi dan menahan diri agar tidak terbawa suasana. “Apa dia mimpi buruk? Kalian jaga Tiara, Madam panggil Dokter dulu.” Ilham dan Bayu terus memanggil nama Tiara. Namun, dalam tidur Tiara berekspresi ketakutan, keringat dingin yang bercucuran, dan rancauan yang menyakitkan hingga meneteskan air mata. “TIDAK, ASTRO! BODOH KAMU BISA CELAKA, PLEASE~” Ilham tidak sanggup melihatnya. Seakan bukan melihat orang yang sedang bermimpi, hatinya ikut merasakan sesak yang tidak bisa dijelaskan. “Bayu, apa ini wajar? Apa maksudnya Astro celaka?” Sedangkan Bayu jadi terdiam, ekspresi wajanya menatap Tiara penuh dengan tekanan. Ilham dapat melihatnya saat t
Di depan laptop tangan Tiara gemetar, ia tidak bisa menulis apapun yang ada dalam mimpinya. Tidak seperti sebelumnya, saat inspirasi muncul seharusnya Tiara akan menulis dengan lancar. “Bayu di mana, Ham?” Tiara pikir berdiskusi dengan Bayu bisa memperkuat ingatan pada mimpinya, karena hanya Bayu yang mengerti maksud ucapannya saat ini. “Ke supermarket, lo makan nasi goreng aja nggak apa-apa, kan?” Sesampaikan di kost Tiara, Ilham langsung mengambil alih dapur. Dari saat pingsan gadis itu belum makan apapun, sama sepertinya dan Bayu yang menunggu tidak sempat berpikir untuk makan. “Hm.” Tiara tidak ingn menangis, tapi isi kepalanya penuh dengan adegan Astro yang mendapat hukuman dari Dewa petinggi. Ia yang berada di dalam mimpi hanya menonton tanpa bisa ikut campur di dalamnya, detail fitnah itu membuatnya marah dan sedih. “Gue harus tolong Astro gimanapun caranya, please ... Kenapa gue nggak bisa nulis apapun dan hanya teringat adegan itu. Apa yang terjadi sebelum fitnah itu? Gima
Melihat sekitar, padang rumput dengan batu-batu setinggi lutut menancap di atasnya. Matahari yang terik ini tidak terasa menyengat seperti di bumi, hanya kehangatan yang membuat Tiara tidak merasa gerah. Tiara memilih berjalan ke arah kanan, kata orang apapun harus didahului dari kanan untuk memulai sesuatu hal yang baik. Sisanya Tiara hanya mengikuti kemanapun langkah kaki membawanya. Kalau diperhatikan tempat Tiara saat ini berbeda dengan dunia Suku Iblis, langit yang cerah menggambarkan jelas jika ia berada di dunia Suku Dewa. Di sini memiliki pemandangan yang sangat indah seperti di surga, tapi di mana pun Tiara berada paling tidak nyama dengan silau matahari. Namun terobati dengan udara yang bersih dan juga segar, jauh lebih damai dan tenang. Dari kejauhan Tiara melihat sebuah pemukiman, bangunan yang terbentuk dari batu-batu besar. Semakin dekat, ia melihat banyak orang berpakaian serba putih atau pastel dengan bergaya Yunani kuno. “Omo omo omo! Deabak! Wah ... benar-benar se
Dunia Suku Iblis yang terkesan bagi Tiara adalah kemajuan teknologi, peradaban yang maju dan membuatnya ingat dengan bumi. Rasanya seperti dalam perindustrian abad pertengahan, walau masih terasa purba bagi Tiara manusia modern. Karena citra Iblis yang kejam, Tiara tidak berekspetasi tinggi, penduduk yang padat pun keberadaanya seperti diabaikan. Berbeda dengan dunia Suku Dewa. Seingat Tiara, ia membentuk surga dengan kehidupan yang praktis karena adanya energi spiritual yang tinggi. Tidak ada yang tidak bisa, tidak ada yang tidak mungkin. Kekuatan suci sudah seperti napas bagi mereka, tapi peradabannya jauh lebih purba. Mereka hanya mementingkan kebutuhan makan terpenuhi dan hidup dengan damai. Namun cara pendang mereka dengan keberadan Tiara dipandang sebelah mata. Penampilan Tiara sudah tidak mencolok karena jubah pemberian Ovid, tapi masih ada tatapan tajam sepanjang perjalanan cukup membuat punggunya berlubang. Tiara bisa mendengar jika Dewa-Dewa itu mengatakan, “Makhluk Rendaha
Degup! Baru saja Ammon berdiri untuk kembali ke kamarnya, ia kembali terduduk sambil memegang dada sebelah kirinya. Sebuah penglihatan muncul di depan mata menampilkan kehadiran tamu yang tidak diundang keluar dari portal dimensi. “Yang Mulia, ada apa?” “Apa Anda baik-baik saja, Dewa Agung?” Para Dewa Petinggi begitu khawatir melihat langsung reaksi tiba-tiba Dewa Agung Ammon. “Tidak aku baik-baik saja.” Ammon dengan cepat kembali berdiri. “Apa kamu merasakan sesuatu Dewa Gefsi?” Dewa Gefsi yang ditanya kebingungan, ia tidak mengerti ditanya tiba-tiba begitu. “Mungkin saya belum merasakan hal yang dimaksud Yang Mulia. Apa ada sesuatu Yang Mulia Dewa Agung?” “Hm, tidak ada. Aku pikir kamu merasakan energi baru yang keluar dari tubuhku. Sepertinya aku merasakan efek samping setelah berlatih energi pengembangan.” Dengan wajah ramah itu Ammon berbohong. “Sepertinya bukan hal yang buruk, tapi jika ada sesuatu pada fisik Yang Mulia. Sebaiknya segera melakukan pemeriksaan, Dewa Golde
Angin sejuk menerpa sosok yang mengubah penampilannya menjadi sederhana. Cahaya mengelilinginya di tengah lapang makam memberi kedamaian yang sakral. “Sepertinya tujuan kita sama, tapi kamu terlalu lama di tempat ini Ammon.” Sosok dengan hanfu hijau mint berada di balik pohon tengah hutan jauh dari lapang, namun suaranya terdengar tanpa berteriak. “Aku hanya ingin berkunjung sebentar, bukankah Kakak begitu?” Ammon dengan khiton putihnya, berdoa di depan makam besar. Sosok di balik pohon itu menatap sendu. Tangannya terkepal kuat, sebelum ia membalikkan badannya dan pergi. “Terserah, aku sibuk.” Terbangun dari doa Ammon menoleh ke belakang, memastikan kepergian sang Kakak. “Ibunda lihat? Kak Astro semakin mirip manusia semenjak dia menghilang saat itu. Setelah bertemu Dewi Tiran, aku semakin tidak memahami cara berpikirnya.” Pada makam tertulis nisan ‘Dewi Agung Amolia’, yang mana makam hanya simbolisme dengan menguburkan barang-barang peninggalan semasa hidup seorang Dewa. Tubuh d
“Kamu tahu, apa yang sedang kamu cari tahu?” “Be-benar Tuan.” Memberanikan diri pemuda itu melangkah sedikit demi sedikit mendekat, ia berbisik pada Astro. “Wanita manusia itu datang kemarin.” Cukup dengan satu kalimat itu mata Astro berubah menjadi merah. Aura gelapnya mengebul ke luar dari tubuh Astro sambil menatap tajam si pemuda. “Sa-saya akan jelaskan, tapi bisa Anda mengikuti saya?” Sosok besar di depannya ini bergeming, padahal ia sangat takut tapi harus meyakinkan Dewa-nya untuk mengindari pasang mata dan telinga yang berada di sekitar mereka. “Tidak akan lama Tuan, saya tidak berani menyita waktu Tuan yang berharga.” Walau ada energi yang membuat Astro tertarik dengan pemuda itu, tapi ia juga tiba-tiba mendapatkan penglihatan saat Tiara memasuki toko ini. Ya, penglihatan yang sama saat ia menyadari kedatangan Tiara ke dunia Suku Murni, hanya saja kali ini tidak memberikan efek sakit kepala seperti sebelumnya. Memasuki toko, Astro juga melihat barang-barang Suku Iblis dan
Setelah membawa Tiara pergi dari perkenalan resmi, Astro memerintahkan Omili untuk melayani dan mengawasinya gadis itu. Astro yakin kerubutan tidak hanya pada Bangsawan Suku Iblis, Dewa Petinggi pun pasti tidak akan tinggal diam. Hingga situasinya saat ini Tiara menjadi tidak aman karena dianggap sebagai objek yang tidak biasa. “Hormat saya Tuan Astro.” Ograien datang ke kamar Astro, namun ia tidak sendiri. Sosok dengan energi Dewa ikut hadir. “Salam hormat kepada Dewa kami, Dewa Kematian.” “Golden?” Sosok yang sudah lama tidak Astro temui. Bukannya tidak sama sekali, dalam beberapa kesempatan Dewa Golden memang hadir saat lima Dewa Petinggi berkumpul, namun itu hanyalah bayangannya. Bayangan adalah salah satu kekuatan Dewa Golden yang dapat memecah diri dalam bentuk bayangan. Dan setiap bayangan dengan memiliki sekian persen dari kesadaran aslinya. Dewa Golden yang disapa santai oleh Astro tersenyum. “Saya pikir Anda tidak menyadarinya, terima kasih sudah mengenali saya.” Astro
“Ini bukan pertemuan pertama kami dengan Sang Dewi. Salam hormat dan kemuliaan tertinggi untuk Dewi Pencipta Tiran. Saya Dewa Hati, Gefsi, salah satu Dewa Petinggi. Senang dapat memperkenalkan diri secara resmi kepada Dewi Pencipta Tiran dengan keadaan sehat.” Sebenarnya Tiara gugup dengan penghormatan seperti itu. Masih terasa tidak nyata, apa lagi dirinya menjadi orang yang tidak biasa menyandang peran Dewi Pencipta. “Okey, terima kasih Dewa Gefsi. Salam kenal.” Astro bernapas lega dengan Tiara yang tidak mengacau dan hanya menjawab seadanya saat diberikan salam penghormatan. Untuk penilaian awal, jawaban seperlunya menunjukkan dominasi dan harga diri dalam posisi yang tinggi. Walau Astro tahu jika Tiara menjawab seperti itu pun, karena tidak tahu harus menjawab seperti apa. Dan alasan itu tidak penting saat ini. Sedangkan Ammon, tubuhnya gemetar berusaha keras menahan tawa. Kegugupan Tiara sangat terlihat dari ekspresinya, ya ... tidak ada bawahan yang berani memandang ke atas,
Ukh, Tiara benci pakaian formal dunia Suku Iblis. Harus seberapa terbuka lagi untuk mengekspos bagian tubuhnya? “Ini namanya pelecehan, bagaimana caranya gue minta pertanggung jawaban Astro sialan!” Tidak henti-hentinya Tiara menggerutu sebelum ada yang menjemput. Kerudung yang katanya sebagai penutup diri jika Tiara malu, tidak membantu sama sekali karena transparan. Kini gadis itu hanya memeluk dirinya sendiri berjaga-jaga siapapun yang masuk ke kamarnya nanti. Tolong jangan tanyakan kenapa Tiara mau saja menggunakan pakaian seperti itu, hal itu bisa terjadi jika memang ia bisa menolak. Apa lagi pakaiannya yang dari rumah sudah dibuang. “Tiara! Tidakkah ini keterlaluan jika membuat semua menunggu-“ “KYAAAA!” Tiara tidak merasakan kehadiran seseorang, kemunculan Astro yang tiba-tiba membuatnya terkejut. Apa lagi suara dalam Astro yang terdengar halus hingga pikiran horor tidak dapat dihindari. Mendengar teriakan Astro langsung bersiaga. “Ada masalah?” “Aish~” Tiara bangkit dar
Ternyata tidak butuh berjalan lebih lama, Ograien dengan kereta kadal yang dibawanya datang sengaja menjemput Tiara. Banar, kadal bukan kuda sebagai kendaraan pengangkut barang. Terlihat seperti buaya dengan sisik yang tajam, tetapi sebesar Komodo. Apapun itu sekarang Tiara sudah berada di kamar Astro dan berguling-guling ria diawasi oleh Omili. Tiara disuruh istirahat dan itulah yang dilakukan, entah sudah berapa lama ia terjebak di lapang rumput tanpa batas itu hingga membuatnya begitu lelah. “Hormat Yang Mulia Raja Iblis Astro.” Salam Omili dengan suara kecil, agar Tiara tidak terbangun. Namun Tiara langsung duduk memperlihatkan dirinya sudah tidak tidur lagi. Ia melihat kedatangan Astro bersama Ograien di belakangnya membawa sesuatu. “Kamu tidak tidur?” tanya Astro yang mengira Tiara sedang tidur. “Aku sudah bangun.” Mungkin sudah terbiasa berbagi kamar dengan Astro sampai Tiara tidak memperdulikan penampilannya yang berantakan saat ini. “Aku akan memanggilkan pelayan untuk
Angin bertiup bagai badai bersama cahaya kehidupan yang menyoroti Tiara, dua kekuatan bertolak belakang yang saling berpadu tanpa perlawanan. Dua Dewa yang menjegal Tiara seketika menegang tak dapat berkutik pada tekanan intimidasi yang dahsyat dari kedua kekuatan besar tersebut. Senjata mereka jatuh, kaki mereka menjadi lemas, sampai bersujud tanpa mampu mengangkat kepala. Ammon yang merasa bertanggung jawab menghampiri Tiara lebih dulu untuk melihat bawahannya lebih dekat. Ia tidak percaya jika para Dewa bisa se-tidak sopan itu bahkan dalam menghakimi seseorang dengan kecurigaan semata. “Huaaa Ammon!” Tiara yang ketakutan menerjang sang Dewa Agung, memeluknya. Tangisannya pecah setelah merasa lega, akibat terguncang dengan apa yang dialaminya saat ini. Ammon mengerti lemahnya Dewi Pencipta Tiran sebagai manusia. Selain itu ia mengernyitkan kening, saat merasakan presensi besar dalam diri Tiara. Sesuatu yang tidak ia rasakan di pertemuan terakhir mereka. “Tidak apa Dewi, mereka b
Tiara menganga melihat gerbang besar entah dari mana. Dua jam yang lalu, Tiara sudah putus asa berjalan tanpa ujung dan tidak menemukan apapun. Hanya hamparan rumput yang luas dan awan kelabu yang tinggi dengan kilat sesekali membelah langit. Perutnya sudah lapar, tidak tahu berapa lama ia berjalan tapi cahaya sekitar masih sama. Tidak lebih terang bertanda siang, ataupun lebih gelap waktunya malam. Dengan ingatan yang penuh Tiara tahu jika tidak memiliki makanan, tapi ia tetap merogoh saku berharap masih ada sesuatu yang bisa ia kunyah. Nyatanya tetap memang tidak ada, hanya sisa uang dari pemberian Ovid saja. Bisa dibilang kaki Tiara yang terus berjalan sudah mati rasa, karena rasa sakit telah ia abaikan. Pikirannya membayangkan jika berhenti sejenak mungkin tidak masalah, tapi Tiara takut. Kecemasan menyusup hatinya. Jika Tiara berhenti berjalan, maka semakin lama ia bertemu dengan Astro dan semakin lama untuknya pulang. Tiara ingin pulang. Keberadaanya di dunia asing itu, se
Seakan telah puas tertidur, Tiara bangun tanpa beban, tanpa mimpi. Banar bukan? Tidur tanpa mimpi itu adalah kualitas istirahat terbaik. Mengedarkan pandangannya, Tiara keheranan dengan alas rumput yang empuk dan hamparan hijau luas sejauh mata memandang. Di atas langit pun terlihat cerah dengan awan tebal, hingga keabu-abuan. Jika digambarkan, cuaca sama saat bumi akan hujan. “Bumi? Kayaknya ini bukan bumi. Gue ada di dunia novel, kan?” Secara langsung Tiara ingat perjalanannya, jika ia berada di dunia novel untuk mencari Astro. Entah kenapa secara bersamaan seperti ada yang terlupakan, pikirannya terasa kosong. Alasan Tiara tertidur ... Karena kelelahan? “Ini dunia Suku Dewa? Tunggu, gue urut satu-satu daerah mana aja yang sudah gue jelajahi.” Tiara mengeluarkan peta di saku jubahnya, peta yang didapatkan dari Ovid ... tapi bukan itu masalahnya. Antara ingatan, pikiran, dan kerja otaknya tidak singkron. Bukan lagi masalah hati dan pikiran, tapi satu fungsi yang sama kendalin
Tiara kecil mendengar begitu banyak cerita yang seakan mengerti, ‘Dewa itu’ juga masih menggedongnya. Mengajak Tiara kecil berkeliling sambil memakan jajanan pasar. Tiba di sebuah ujung jurang dari sebuah bukit ‘Dewa itu’ menurunkan Tiara kecil, dengan kekuatan yang keluar dari ujung jarinya merubah wujud Tiara kembali ke semula. Kontrol kesadaran dan gerak tubuh Tiara pun berangsur pulih, yang sebelumnya bergerak dengan sendirinya. “Kamu kah Dewa? Tapi siapa? Aku tidak pernah menulis sosokmu di dalam novel?” Walau begitu Tiara tetap tidak bisa mengendalikan ucapannya (keceplosan), kali ini karena sifatnya yang impulsif. ‘Dewa itu’ tersenyum. “Sungguh? Sepertinya kamu menulis tentangku walau tidak banyak. Em, biar aku ingat perkataan Istriku mengenai ramalan itu.” “Ramalan?” Tiara bertanya seakan baru mendengarnya, padahal sepanjang ia bersama dengan ‘Dewa itu’ membicarakan banyak hal, termasuk ramalan. “Ah, di bab satu sebagai pembuka. Kamu mengisahkanku seperti seorang pahlawan
Seperti bagian di dalamnya, Tiara bisa mencium aroma makanan yang sangat sedap, rasa yang menyenangkan dan tidak mengganggu sama sekali, suasana yang padat namun terasa damai. Bisa Tiara lihat orang-orang begitu ramah satu sama lain, menyambut dengan senyuman dan minim kejahatan, kecuali anak kecil yang jahil dan mencuri beberapa camilan di toko. Namun semua teratasi dengan baik oleh orang tua mereka yang akhirnya membayar, penjualnya pun berekspresi marah (bercanda) untuk anak-anak saja. Terasa hangat, kedekatan, dan toleransi yang kuat. Mengingatkan Tiara pada suasana kampung halaman, bangunan yang masih berbahan dasar kayu dan dihiasi kain warna-warni, aneka penerangan juga bagian dari karya yang kreatif. Saat matanya tanpa sadar berpapasan dengan yang lain, mereka akan tersenyum lebih dulu yang membuat Tiara sungkan dan menganggukkan kepalanya. Seperti berada di rumah. Orang-orang dengan kulit kecokelatannya berpenampilan manis dan sederhana. Tidak jarang banyak pendatang den