Seorang pria berusia sekitar 40 tahun, tersenyum puas serat akan kelicikan. Pada ruangan remang-remang tempanya bersembunyi, hanya ditemani sebuah sofa usang yang cukup menampung tubuhnya untuk tidur di sana, meja kecil untuk meletakkan makanan, dan dua komputer untuknya ‘bekerja’. Setelah beberapa minggu ia merencanakan aksi balas dendamnya matang-matang, akhirnya ia berhasil melakukan langkah awal.
Ponselnya berdering, tanpa berpikir siapa yang menelepon pun dia sudah hafal betul, bahwa itu adalah panggilan dari ‘Bosnya’.
“Halo, Bos.”
“Sudah menjalankan langkah pertama?”
“Sudah, Bos. Saya rasa mereka akan menyadari peringatan dari saya. Mungkin mereka akan memperketat pengawasan di sekitar lelaki itu.”
“Bagaimana dengan si perempuan?”
“Saya rasa ia mulai dijauhi. Saya berhasil memasang jebakan pertama melalui orang dalam. Tapi sayang, dua asisten rumah tangga yang saya bayar itu diberhentikan.”
“Tidak ma
Setelah 30 menit menaiki angkutan umum, Athena akhirnya sampai di tempat yang ia duga sebagai ‘persembunyian’ Ares. Untung saja jalanan Kota Bogor sedang berpihak padanya, tidak ada kemacetan yang parah saat itu. Beberapa orang dewasa menatapnya cukup lama saat ia turun dari angkutan umum. Karena dirinya mengenakan seragam sekolah dan berdiri di depan sebuah Mall. Memakai seragam sekolah ke Mall adalah hal yang sangat Athena hindari. Benar, Athena tidak suka jika statusnya sebagai siswa harus menjadi sebuah label atau cap yang diberikan oleh khalayak umum ketika dia berbuat sesuatu. Pandangan seperti ‘Anak sekolah kok kelakuannya seperti itu?’ adalah sebuah stigma umum yang biasanya diucapkan olah orang-orang jika dirinya membuat satu kesalahan, walaupun hal itu tidak merugikan siapapun. Namun, Athena terpaksa melangkah masuk ke dalam Mall itu meski berseragam lengkap, bahkan membawa tas sekolah, demi menemukan Ares. Dugaan Athena adalah Ares sedang berada d
Athena turun ke lantai satu dengan berpakaian santai. Ia jatuh tertidur selama 3 jam karena merasa lelah, akhirnya memutuskan untuk mandi terlebih dulu. Elva melihat kedatangan Athena ke dapur. Wanita paruh baya itu dengan lihai menyiapkan soup cream yang sudah dibuatnya untuk Athena. Gadis itu hanya duduk di meja makan dan melihat semangkuk makanan kesukaannya. Walau sudah tidur selama 3 jam, tapi entah kenapa dirinya masih merasa lelah dan lemas sekali. “Sidney ada di ruang TV. Diajak main PS sama adik kamu.” Elva membuka suara, memberikan informasi pada Athena. “Hm? Ngapain dia di sini? Bukannya belum jam pulang sekolah?” “Sidney bilang guru-guru di sekolah mau ada rapat sama guru lain, jadi murid-muridnya dipulangkan lebih cepat.” jelas Elva, mengulang penjelasan Sidney sebelumnya. “Oooh.” Athena hanya merespon singkat dan memutuskan untuk menyantap makanannya. “Dia mau nginep katanya.” UHUK!&
Athena berjalan masuk ke gerbang sekolah bersama Sidney. Karena sahabat berponinya itu memutuskan untuk menginap di rumahnya, maka sopir yang biasa menjemput Sidney pun harus menjemput mereka berdua ke rumah Athena, sekaligus mengantarkan mereka ke sekolah. Untung-untung Athena tidak perlu naik ojek online hari ini. Suasana tampak sudah ricuh sekali, padahal pagi baru saja datang. Seakan ada sebuah kabar menggemparkan yang mengguncang satu sekolah. Athena dan Sidney pun ikut penasaran atas apa yang sedang terjadi. “Eh, sorry. Ada apa, sih?” Sidney menahan salah satu siswa yang berlari kecil di depannya. Siswa tersebut melihat Sidney dan Athena bergantian, kemudian menggaruk kepala canggung. “Ehem, itu… Ares ngamuk.” “Ares ngamuk?!” ulang Athena kaget. “Ngamuk gimana maksudnya?” tanya Sidney, lebih tenang dari Athena. “Nggak tahu juga, tapi katanya dia lagi nyari orang yang nyebarin videonya.” kata siswa terseb
Athena dan Sidney berjalan dengan penuh perasaan was-was serta khawatir menuju ruang kepala sekolah. Sedikit merasa bingung mengapa mereka harus menemui kepala sekolah langsung tanpa perantara wali kelas mereka sendiri.“Sid, menurut lo kenapa kita dipanggil?”“Gue juga nggak tahu. Nggak mungkin karena gosip miring itu, kan?”“Semoga aja nggak.”Mereka tiba di depan ruang kepala sekolah. Athena dan Sidney saling tetap, kemudian mengangguk kompak—menguatkan diri masing-masing. Akhirnya mereka mengetuk pintu. Kemudian masuk setelah dipersilakan.“Permisi, Pak.”“Athena, Sidney.” sapa Pak Kepala Sekolah, “Silakan duduk.”Baik Athena ataupun Sidney merasa canggung saat ini, namun mereka berusaha mengatur rasa gugupnya dan duduk di kursi samping sementara kepala sekolah di kursi tunggal ujung meja.“Mohon maaf sebelumnya jika saya lancang menanyakan
Setelah bermodal nekat naik kereta ke Jakarta, Athena akhirnya sampai juga di sebuah kampus swasta tempat di mana sahabat Ares itu menempuh pendidikan. Sebetulnya Athena tidak yakin apakah orang yang namanya tertera pada sobekan kertas itu masih ada di kampus atau tidak. Namun firasatnya berkata bahwa ia patut mencoba.Athena membaca denah kampus untuk mencari letak Fakultas Ekonomi Bisnis. Setelah menemukan letaknya dan menghafal rute menuju ke sana, akhirnya Athena berani melangkah. Beberapa kendaraan melewatinya begitu saja, karena memang jalanan di dalam lingkungan kampus yang cukup lebar. Sebenarnya hanya Athena yang terlihat berjalan masuk, karena semua orang menggunakan motor, mobil, atau bahkan bus kampus untuk mengantar sampai ke depan gedung fakultas.“Kampus gede kayak gini, gimana cara gue nemuin orang ini?” Athena bermonolog.Namun, mengingat ia dalam kondisi yang sedang terburu-buru, lambat laun Athena mempercepat langkahnya. Hingga sam
Athena dan Fredi sudah tiba di depan pintu Apartemen milik Xavier. Athena menarik napas dalam, dan mengembuskannya perlahan. Entah mengapa dirinya merasa gugup sekali, ia juga bisa merasakan ada hawa dingin yang menyelimutinya.Fredi menekan tombol-tombol untuk membuka pintu Apartemen. Athena sengaja mengalihkan pandangannya sebagai bentuk kesopanan. Setelah pintu berbunyi, Fredi mempersilakannya untuk masuk ke dalam.“Nggak ada siapa-siapa. Tapi tenang aja, gue nggak bakal ngapa-ngapain.”Fredi berusaha menegaskan. Sebagai lelaki, ia bisa memahami keresahan yang mungkin sedang dirasakan Athena saat ini karena hanya berduaan—di dalam Apartemen elit kedap suara, bersama dengannya.“Iya.”Mereka melangkah lebih dalam. Athena bisa mencium aroma yang begitu candu. Seperti harum popcorn caramel yang biasa ia beli di bioskop. Ia juga bisa melihat furnitur yang lengkap juga terlihat mahal, sampai ia merasa takut untu
Athena sudah mengganti pakaiannya dengan kembali menggunakan seragam sekolah. Ares sepertinya sudah tertidur pulas di sofa. Fredi keluar Apartemen untuk menelepon seseorang. Athena yang ditinggal sendirian hanya bisa menatapi wajah polos Ares ketika tertidur. Beberapa kali Athena melihat jam di pergelangan tangan kirinya, waktu menunjukan pukul 5 sore. Ia menghela napas pelan, mempertimbangkan apakah harus menunggu Ares sampai bangun, atau kembali pulang ke rumahnya tanpa mendapat jawaban yang ia inginkan.Saat Athena sedang merenung, suara perutnya memecah keheningan. Fredi yang telah selesai menelepon, kembali ke ruang utama dan kebetulan mendengar suara perut Athena yang berteriak meminta makan.“Ah, maaf, Kak.” Athena memegangi perutnya.Fredi tertawa pelan, “Baru aja gue mau ngajak lo makan di luar.”“Eh, nggak usah. Sebetulnya saya berniat pulang.”“Jangan!” Fredi seketika mencegah, “Maksu
Dalam perjalanan menuju Bogor, Athena dan Ares sama-sama bungkam. Ares yang awalnya mengajak Athena untuk segera pulang, kini sedang memijat pelipisnya yang mendadak pening. Athena tidak melihat gelagat Ares karena ia sibuk menatap ke luar jendela mobil, pemandangan petang di Ibukota terlalu memanjakan matanya.“Jangan salah paham. Gue terpaksa nganterin lo balik karena nggak mau ngerepotin Fredi, yang harus bolak balik Jakarta Bogor padahal besok dia masih ngampus.”“Iya.” jawab Athena singkat.Ares melirik ke arah Athena beberapa kali. Namun Athena masih setia melihat pemandangan di luar, di mana langit semakin menghitam menyambut gelapnya malam. Kemudian keheningan kembali tercipta.Dalam hati sebenarnya Ares merasa bingung dengan sikap Athena saat ini. Gadis itu lebih pendiam dari biasanya, ia juga tidak banyak bertanya lagi soal kasus itu. Meski Ares sadar dirinya lah yang menyuruh Athena untuk tidak mengajaknya berbicara, nam
Halo para pembaca "The Reason Why" di manapun kamu berada!Akhirnya setelah menempuh perjalanan panjang, buku ini selesai dituliskan. Sejak Juni 2021 sampai Mei 2022, saya mengalami banyak hal selama penulisan buku ini; lika-liku-luka, susah-senang-sakit, dan masih banyak lagi. Tapi itu semua berhasil saya lewati berkat kalian yang selalu mendorong saya untuk terus menulis. Terima kasih saya ucapkan dengan setulus hati.Buku ini memang selesai dituliskan. Tapi sebenarnya, kisah semua karakter yang ada di buku ini akan selalu berlanjut serta berkelana di hati dan benak para pembaca sekalian! Bagaimana kisah selanjutnya, hanya kalian yang bisa menentukan di dalam imajinasi masing-masing. Selamat berpetualang!Oh ya, saya juga menulis buku baru dengan judul "Terbelenggu Takdir". Buku baru saya ini bisa dikatakan masih satu kaitan dengan "The Reason Why". Sedikit spoiler: beberapa karakter TRW akan muncul di buku saya yang baru! Karena itu, kalau kalian penasaran juga, silakan baca!Sekian
Ares's Point of ViewLo tahu kenapa sekarang gue senyum kayak orang gila? Karena di sebelah gue ada perempuan lagi tidur sambil mangku buku tebel yang judulnya pake bahasa Inggris. Dia Athena Amerta.Konyol, kan? Dulu gue benci banget sama cewek ini. Tapi lebih konyol lagi, gue lupa kenapa gue bisa sampai sebenci itu sama cewek yang bahkan enggak pernah muncul di hidup gue. Tapi tiga tahun setelah hari pertama gue ketemu sama cewek ini di Cafe bareng tante gue, Dita, sekarang gue dan dia lagi duduk di pesawat menuju bandara Soekarno-Hatta di Jakarta, dari Boston.Kita sama-sama nyeselasiin program pertukaran mahasiswa dari kampus tepat satu tahun. Setahun lalu, bokapnya minta gue ikut program magang dari kantornya yang kerja sama bareng cabang perusahaan rekannya di Amerika. Alasannya sih supaya anak cewek satu-satunya ini ada yang ngawasin dan jagain selama jauh dari pantauannya. Dulu gue mikir, 'Apa enggak salah nitipin anak perempuannya ke lelaki yang notabenenya adalah sang pacar,
Athena’s point of view Di dalam sebuah ruang tunggu klinik terapis, aku menantikan Ares muncul dari balik pintu yang bertuliskan “ruang konsultasi”. Sudah genap dua tahun aku dan Ares menjalin hubungan. Walau satu tahun kami habiskan dengan LDR—karena aku harus kuliah di Jakarta, sementara dia menyelesaikan SMA-nya—tapi satu tahun berikutnya Ares menyusul ke kampus yang sama dengan jurusan Manajemen, satu fakultas dengan Sidney. Sekarang, kami sedang sama-sama menikmati liburan semester dan pulang ke Bogor untuk menghadiri acara keluarga. Oh ya, omong-omong aku dan Ares sudah mendapatkan restu dari kedua orang tua kami untuk terus menjalin hubungan—meski pada awalnya mamaku masih setengah hati menerima Ares—dan kedua adikku menggunakan kesempatan itu untuk seenaknya datang dan pergi ke apartemen Ares di Jakarta. Saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri, Ares muncul dari balik pintu dengan senyuman manis khasnya, yang dulu sempat aku sebut sebagai senyum iblis. Hey, pada awalnya senyu
Satu tahun kemudian …Athena sedang merapikan meja di dalam studio siaran kampusnya. Kertas-kertas script yang berisi poin-poin penting isi siarannya berserakan hingga ke bawah meja. Itu semua terjadi karena Sidney yang tiba-tiba datang ke dalam studio siaran sambil berteriak—padahal dirinya jelas-jelas sedang on-air—dan hal itu menyebabkan dirinya diberikan hukuman untuk merapikan studio sementara rekan satu club nya sudah pergi lebih dulu.“Lama banget sih, Na!”“Ini semua karena lo yang teriak di dalem ruang siaran! Suara lo masuk dan akhirnya ngebocorin siaran live gue!”Sudah satu tahun Athena menjalani kehidupan kampus—yang sialnya harus dilewati juga bersama Sidney—dan selama itu pula Athena tidak bisa menjalani hari yang normal sebab ulah Sidney yang sering seperti hari ini; tiba-tiba datang ke studio saat Athena sedang siaran, atau masuk ke kelas Athena di tengah presentasi dosen.“Salah siapa lo ngotot beda fakultas sama gue. Jadi gue harus selalu nyariin lo ke sini!” Sidney
“Menurut kalian arti kehidupan itu apa?”Athena membuka episode podcastnya dengan sebuah pertanyaan.“Apa kalian pernah bertanya-tanya kenapa kalian hidup selama ini? Apa kalian pernah mencari tahu alasan kenapa Tuhan menciptakan kehidupan untuk kita? Mungkin saja selama ini Tuhan membiarkan kita hidup untuk merasa. Kehidupan yang kita jalani ini dilewati dengan tawa, tangis, cinta, luka, tantangan, cobaan, dan hikmah di balik itu semua.”“Dalam pencarian jati diri, aku menemukan hal-hal baru tentang sebuah rasa yang sebelumnya tidak pernah ada. Sebuah rasa benci yang muncul tiba-tiba bisa membawa hidupku sampai di titik ini. Kenapa bisa begitu? Ya, mungkin saja karena emosi itu bisa berkembang—entah ke arah yang lebih baik, atau lebih buruk.”“Banyak di antara kita pasti punya rasa yang mengganjal di hati, entah karena apa sebabnya, yang jelas kita tidak pernah ingin perasaan itu ada di hati kita. Perasaan itu bisa berkembang dan terus berkembang menciptakan jati diri kita. Pada dasar
Tiga hari kemudian Athena sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Luka jahitannya sudah mengering dan hanya perlu datang untuk check-up beberapa kali. Sementara Roy sudah mendapat jadwal operasi yang akan dilaksanakan dua hari berikutnya. “Na, lo yakin enggak mau balik sama gue?” Sidney yang datang untuk menjemput Athena keluar dari rumah sakit, kini sedang memberikan ekspresi cemberut sambil menopang dagunya. “Sori ma fren, gue udah janjian balik sama Ares.” Athena menjawab tanpa nada sesal sama sekali. Tangannya fokus memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. “Oh jadi gitu ya? Karena sekarang lo udah nemuin true love, sampe sahabat sendiri lo lupain.” Bukannya merasa bersalah mendengar nada kesal Sidney, Athena justru tertawa. “True love? Istilah lebay apa lagi, tuh?” Sidney yang semula meletakkan kepala pada ranjang rumah sakit yang telah dirapikan, kini bangkit berdiri dan mendekat ke arah Athena dengan wajah tidak percaya. “Apa? Lo bilang lebay? Coba sini gue cek dulu.” Sidn
Dua puluh menit telah berlalu. Athena dan Ares keluar dari ruang rawat Roy usai menemui pria paruh baya itu. Raut wajah Athena menggambarkan perasaan yang lebih lega dari sebelumnya, namun garis-garis khawatir masih kentara di sana. “Kamu lebih lega sekarang?” Ares bertanya sambil mengusap pelan punggung gadis yang lebih pendek darinya itu. Athena mengangguk pelan. “Iya. Walaupun cuma bisa sebentar ketemu, karena ternyata Papa harus banyak istirahat sebelum operasi. Aku lega udah bisa nunjukin kalau aku baik-baik aja ke Papa, dan Papa juga dengan bijak ngerti situasinya meskipun aku tahu ini semua enggak mudah diterima sama Papa, terlebih Papa sama sekali enggak ngelarang aku buat ketemu sama kamu.” Athena dan Ares duduk di kursi tunggu depan ruang rawat Roy. Tangan Ares tidak pernah melepas rangkulannya pada bahu Athena. “Aku ikut lega kalau kamu lega.” Ares mengusap puncak kepala Athena. “Aku masih enggak nyangka akhirnya Papa punya kesempatan untuk sembuh kayak dulu lagi, Res.
Haloo para pembacaku sekalian di manapun kalian berada.Ini pertama kalinya saya menulis catatan penulis untuk para pembaca. Dan untuk yang pertama kalinya ini, saya ingin memberikan informasi sekaligus meminta maaf kepada para pembaca sekalian.Dalam beberapa hari ke belakang, saya tidak update bab terbaru The Reason Why dikarenakan kondisi kesehatan saya yang naik turun. Saya tidak bermaksud memberi alasan apapun karena keterlambatan update ini. Namun, selain kondisi kesehatan saya, masalah lainnya adalah sibuknya jam perkulian saya yang padat. Jujur saja, perkuliahan yang padat dan hari libur saya gunakan untuk mengerjakan tugas yang sangat banyak (meskipun sudah saya cicil), ditambah rapat organisasi kampus. Mungkin karena terlalu banyak kegiatan itulah, tubuh saya mengalami drop, kurang tidur, dan juga panas dalam.Karena itu saya meminta maaf jika para pembaca sekalian menunggu bab terbaru The Reason Why. Saya hanya bisa menulis sedikit demi sedikit di waktu yang
Beberapa saat sebelumnya. Ares yang sedang duduk di depan ruang rawat Athena mendapat telepon dari Malik. Asisten Papanya itu memberikan kabar yang cukup mengejutkan, yaitu fakta bahwa Roy harus dibawa ke rumah sakit karena mengalami serangan jantung. Saat Ares menerima telepon, kebetulan Alfred keluar dari ruang rawat Athena, dan lelaki yang lebih muda 3 tahun dari Ares itu juga sedang menerima telepon dari seseorang. Ketika pandangan mereka bertemu, baik Ares maupun Alfred seperti bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran masing-masing. “Jangan kasih tahu Nana soal ini.” begitu kata Alfred setelah menutup teleponnya. “Nggak bisa. Ana harus tahu. Lagipula om Roy pasti dapet perawatan terbaik setelah pindah ke rumah sakit tempat nyokap gue kerja. Di sana juga udah ada donor untuk beliau.” “Lo lupa sama kondisi Nana sekarang? Lo mau bikin dia tambah drop?” Alfred sudah bersiap melayangkan tinju seandainya Ares kembali membantah. “Alfr