“Yang saya tahu, keluarga Mahardika sudah punya pengacara khusus untuk mengurus semua hal terkait masalah yang ada di circle kalian.”
Lex menyilang kaki dengan santai pada arm chairnya. Menatap Elok dengan selidik, dari ujung rambut hingga kaki. Wanita yang selalu terlihat elegan, tapi tegas itu tidak akan mengambil keputusan ceroboh dalam hal apapun. Lex memang tidak pernah mengenal Elok secara pribadi. Namun, dari pemberitaan yang terkadang lewat saat berselancar, cukup bisa membuat Lex bisa menilai wanita itu.
Hanya satu hal yang tidak diketahui Lex saat ini. Yaitu, untuk apa seorang Elok sampai ingin menemuinya seperti sekarang.
“Babe baru pensiun, dan saya masih sangsi kalau harus konsultasi dengan anaknya.”
Lex mengangguk paham, karena alasan Elok cukup masuk akal. Beberapa waktu yang lalu, salah satu pengacara senior yang sangat disegani memang baru saja mengumumkan pengunduran dirinya dari hiruk pikuk dunia hukum. Pria paruh baya itu beralasan, ingin beristirahat dan menikmati sisa hidup dengan tenang tanpa harus memikirkan peliknya kasus yang tiada henti.
Yang Lex tahu, Rasyid atau yang kerap disapa Babe menyerahkan firma hukumnya dalam kendali putra semata wayangnya, yakni Abimanyu.
“Begini Bu Elok, saya bukannya tidak mau menjadi penasihat Ibu,” ujar Lex memberi sedikit pandangan dengan bahasa formal. “Tapi, apa Ibu sudah bicarakan semua ini dengan pihak Abimanyu. Kalau firma lain, mereka pasti menyambut Bu Elok dengan tangan terbuka. Tapi, saya punya prinsip tersendiri untuk tidak mengambil klien orang lain. Kecuali, Bu Elok sudah melakukan pembicaraan terlebih dahulu dengan pihak sana.”
Elok juga mengangguk paham, atas pernyataan pria yang sudah sangat lama menduda itu. Bagi Elok, ini adalah pertemuan pertamanya dengan Lex secara langsung. Selebihnya, Elok hanya mendengar kabar pria itu dari pemberitaan yang sering muncul di media.
“Saya datang ke sini karena urusan pribadi, jadi, bukan untuk urusan keluarga besar Mahardika, atau perusahaan.”
Lex menurunkan kaki, lalu menegakkan tubuh karena mulai merasa tertarik dengan ucapan Elok. Entah mengapa, Lex sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan wanita itu.
“Saya butuh pengacara perceraian,” ujar Elok yang duduk berhadapan dengan Lex tanpa ragu. “Saya butuh konsultasi, karena …” Elok menarik napas panjang sebentar untuk menjeda sesak di dalam dada. Mengingat kembali perselingkuhan sang suami, dada Elok mendadak terasa nyeri. “Suami saya selingkuh.”
Kedua alis Lex tersentak pelan karena tebakannya benar. “Dugaan selingkuh, atau, Bu Elok sudah tahu kalau … mohon maaf, Harry Lukito? Saya benar, kan?”
“Ya.” Elok mengangguk. “Suami saya Harry Lukito. Dia sudah selingkuh dan saya punya beberapa buktinya. Dari CCTV di apartemen selingkuhannya, bukti percakapan mereka di chat, dan suami saya juga sudah mengaku kalau dia selingkuh. Tapi, dia juga bilang kalau hubungan itu sudah selesai sebulan yang lalu.”
“Bagaimana dengan anak?”
“Kami punya satu anak perempuan, tujuh tahun.”
“Sudah pertimbangkan baik dan buruknya?” tanya Lex lagi. “Bagaimana kalau mediasi lebih dulu. Saya bisa memfasilitasi kalian berdua. Bicara dari hati ke hati dan pikirkan lagi matang-matang akibat ke depannya.”
Elok terdiam untuk mencerna perkataan Lex yang serupa dengan Harry. Apa Elok memang harus memikirkan lagi keputusannya untuk bercerai dari Harry? Memberi maaf dan kembali menjalani biduk rumah tangga mereka ke depannya?
“Suami saya itu selingkuh, Mas.” Elok tidak pernah sebimbang ini dalam hidupnya. Ia termasuk tipe wanita yang tegas, dan tidak pernah dilanda keraguan jika sudah mengambil keputusan. Namun, kali ini ada Kasih yang membuat dirinya tidak mampu menetapkan tujuan hidupnya ke depan.
“Saya paham.” Lex tetap bersikap formal, dengan dengan aura arogan dan wibawanya. “Tapi, ada dua hal yang membuat pernikahan tetap bisa dipertahankan. Pertama memaafkan, dan yang kedua, memberi kesempatan. Karena itulah, setiap sidang perceraian selalu ada bagian mediasi untuk pasutri berpikir kembali. Berbicara dari hati, untuk masa depan pernikahan mereka.”
Elok menarik napas, sembari meraih tas yang ada di samping pahanya. “Sepertinya, saya sudah salah datang ke sini,” ujarnya kemudian berdiri lalu menatap datar pada Lex. “Lebih baik saya cari pengacara perempuan, yang benar-benar mengerti bagaimana perasaan istri yang suaminya berkhianat.”
“Bu Elok.” Lex pun ikut berdiri, tapi tidak terpancing dengan ucapan wanita itu. “Saya tidak keberatan sama sekali, kalau Ibu mau mencari pengacara lain. Tapi, sebelum itu silakan pikirkan baik-baik saran dari saya.”
“Mas, gelas yang sudah jatuh dan pecah, nggak akan mungkin bisa kembali tersusun sempurna,” sanggah Elok.
“Tapi hati, tidak bisa disamakan dengan benda mati,” balas Lex tidak setuju dengan pernyataan yang kerap beredar di masyarakat. “Saya paham kalau hati Bu Elok sekarang sedang sakit, dan terluka. Tapi, setiap penyakit dan luka yang ada sekarang, pasti ada obatnya kalau kita mau bersabar.”
Lex segera mengayunkan kaki untuk menyusul Elok yang hanya diam, dan berjalan menuju pintu ruang kerjanya. Dari sikapnya saja, Lex tahu jika Elok sudah tidak ingin mendengar dirinya berceramah panjang lebar. Sebelum tangan Elok sampai memegang handle pintu, Lex lebih dulu meraih benda tersebut.
“Banyak kasus perselingkuhan yang berbuntut perceraian,” kata Lex berdiri tepat di depan Elok. “Tapi, tidak sedikit dari mereka yang bisa intropeksi, dan kembali merajut rumah tangga dengan bahagia. Tolong garis bawahi kata bahagia yang barusan saya sebut. Juga ingat, kata-kata saya tentang memaafkan dan memberi kesempatan. Saya nggak tahu dengan Abimanyu, tapi kalau Bu Elok datang ke Babe dengan kasus seperti ini, percayalah, Babe juga akan memberi saran yang sama dengan saya.”
Elok menatap Lex tajam, dengan penuh emosi yang tidak bisa diungkapkan. Namun, Elok sudah tidak ingin membuang waktu untuk mengemukakan argumennya. Kepala Elok saat ini benar-benar penuh dengan masalah yang harus segera ia urai satu per satu. Elok hanya ingin mencari solusi, daripada harus berdebat dengan Lex yang terlihat membela sesama kaumnya.
“Saya harap, suatu saat Mas nggak akan berada di posisi saya.”
Lex tersenyum tipis, lalu segera membukakan pintu untuk Elok. “Tidak … akan pernah. Karena saya sudah berkomitmen untuk selibat. Dan … hati-hati di jalan Bu Elok, sampai jumpa lagi.”
“Bu El!”Kiya membuang napas gusar saat melihat Elok baru keluar dari lift. Berlari tergesa, menghampiri Elok yang sudah berjalan cepat menuju ruangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore hari, tapi wanita itu baru muncul di kantor. Apa sebenarnya yang terjadi selama dua hari ini?Kiya yang baru saja keluar dari kamar kecil itu pun segera menyamakan langkah dengan Elok.“Sore Kiya Sayang,” sapa Elok tetap mengayunkan kaki dengan tergesa dan menatap sekilas pada asistennya. “Sorry, hapeku mati dan chargernya …” Elok merogoh tasnya lalu mengeluarkan sebuah ponsel yang sudah kehabisan daya. Tanpa berhenti melangkah, Elok memberikan benda perseginya pada Kiya. “Tolong di charge.”Kiya menerima ponsel tersebut dengan anggukan. “Ada pak Restu di ruangan Ibu. Dia sudah ada di sana dari jam dua. Dia juga minta semua data karyawan dengan level manajer ke atas dan masa jabatannya. Jumlah karyawan per divisi, karyawan magang, karyawan kontrak, dan karyawan tetap.”Elok terpaksa menghenti
Seketika itu juga, Elok tergelak dengan perasaan miris mendengar pernyataan Restu. Tawa hambar Elok tersebut, sampai membuat sudut matanya berair. Pantas saja Harry berselingkuh dengan gadis yang jauh lebih muda darinya. Ternyata, tubuh Elok memang sudah tidak menarik lagi di mata pria. Bahkan, Restu dengan jelas-jelas mengikrarkan tidak akan tertarik pada Elok meskipun ia menanggalkan seluruh pakaiannya.“Ya! Aku percaya.” Elok berusaha menutupi luka hatinya atas pernyataan Restu barusan. Untuk menutupi guratan pahit di wajahnya, Elok melengos pergi menuju kursi kebesarannya lalu duduk di sana.Bersamaan dengan hal tersebut, Kiya mengetuk pintu dan membukanya setelah Elok mempersilakan. Dengan membawa nampan berisi secangkir kopi, Kiya mengangguk sopan sekilas pada Restu. Melewati pria itu menuju meja kerja Elok, kemudian meletakkan secangkir kopi yang diminta.“Ada lagi yang Ibu perlukan?” tanya Kiya berdiri sebentar di sudut meja.Elok menggeleng sambil menatap Kiya. “Pergilah, dan
Harry menutup kasar pintu mobilnya, lalu menghela. Menatap pekarangan rumah kediaman Lukito dengan seksama. Sudah tidak ada mobil yang terparkir di depan, dan suasana rumah pun sudah cenderung sepi. Jelas saja, karena waktu saat ini sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Di jam segini, kedua orangtuanya biasanya sudah masuk ke kamar dan bersiap-siap untuk beristirahat.Namun, untuk apa sang papi memintanya untuk datang ke rumah di malam hari seperti ini?Kepala Harry saja sudah sangat dipusingkan dengan masalah Elok yang tidak bisa dihubungi sama sekali. Ditambah, Hendra hanya menelepon dan menyuruh Harry datang ke rumah tanpa memberi tahu tujuannya.Tidak seperti biasanya, dan sangat mencurigakan.Tanpa ingin didera rasa penasaran, Harry lantas bergegas masuk ke dalam. Jantung Harry seolah hendak melompat dari rongganya ketika melihat Elok ada di ruang keluarga. Harry yakin sekali tidak ada mobil Elok terparkir di depan, tapi istrinya itu ternyata sudah duduk manis di dalam sana. Mu
Elok berjalan gontai memasuki kediaman Mahardika. Setelah seharian penuh mengabaikan panggilan dari kedua orangtuanya, akhirnya Elok mendatangi rumah tersebut. Perasaan yang menggumpal di dada Elok saat ini sungguh tidak dapat diungkapkan. Di satu sisi, Elok tidak ingin kembali bersama Harry karena perselingkuhan yang dilakukan suaminya itu. Namun, melihat dari perspektif luas dan mempertimbangkan semua hal, Elok seakan ingin menyerah dengan keadaan.Ada perasaan dan perkembangan Kasih yang harus Elok jaga jika hendak menggugat Harry di pengadilan agama. Ditambah, permohonan Joana yang meminta Elok memikirkan lagi tentang semua hal. Sampai detik ini pun, Elok masih belum bisa membayangkan hidup sebagai seorang janda untuk ke depannya. Namun, sudut hati Elok juga belum bisa menerima Harry kembali dengan semua kesalahan pria itu.“Pap … Papa.” Elok tidak jadi mengayunkan langkah menaiki anak tangga, ketika melihat sang papa berada tepat di ujung tangga lantai dua. Waktu memang sudah san
Karena kedua keluarga sudah tahu masalah yang terjadi dengan anak mereka, maka Elok tidak perlu lagi melanjutkan sandiwara mengenai bulan madu palsu yang sempat tercetus. Namun, Elok tetap pergi ke Singapura karena Kiya sudah membuat janji dengan seorang dokter untuk melakukan medical check up. Pada akhirnya, Elok hanya berangkat seorang diri karena Harry tiba-tiba ada urusan mendadak yang tidak bisa diwakilkan, maupun ditinggalkan. Sementara Kiya, Elok memutuskan untuk membatalkan penerbangan wanita itu guna mengawasi sepak terjang Restu di Antariksa. Selama berada di Negeri Singa, Elok lebih banyak menghabiskan waktu menyendiri di kamar hotel. Elok benar-benar menenangkan diri, untuk memikirkan langkah yang akan diambilnya ke depan nanti. Apakah akan terus melanjutkan pernikahannya dengan Harry, atau memilih bercerai dengan masing-masing konsekuensi yang ada di belakangnya. Selain itu, Elok juga sedang mempersiapkan beberapa hal, untuk rapat yang akan diadakan senin nanti di Anta
“Pagi, Kiya Sayang.”Sapaan Elok tersebut, langsung membuat Kiya yang baru keluar dari lorong pantry berlari kecil. Sambil berhati-hati memegang cangkir yang berisi kopi panasnya, Kiya menyamai langkah tergesa Elok.“Ada pak Raka di ruangan Ibu,” ucap Kiya. “Pak Restu, sama pak Fahri.”Elok berhenti melangkah, dan menoleh dengan mata memicing menatap asistennya untuk meminta penjelasan. Mengapa hal sepenting ini sampai tidak dikabarkan oleh Kiya sama sekali. “Kiya?”“Saya sudah hubungi Ibu berkali-kali dari setengah jam yang lalu.”Detik itu juga, Elok segera berlari meninggalkan Kiya menuju ruang kerjanya. Elok yakin sekali dirinya tidak terlambat datang ke kantor pagi ini. Begitu sampai di bandara, Elok langsung dijemput oleh supir sang papa dan segera pergi menuju Antariksa tanpa mampir ke mana pun. Masalah ponsel, sepertinya Elok harus membeli sebuah ponsel lagi untuk mobilitasnya meskipun tampak merepotkan.Elok mengetuk pintu ruang kerjanya terlebih dahulu, sebelum membuka dan m
Sambil menunggu kuorum terpenuhi, Restu sibuk berbincang dengan salah satu pemegang saham yang duduk di sebelahnya. Sesekali, matanya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan dan juga menatap pintu masuk. Setelah sedikit perdebatan yang dilakukan Elok dan dirinya beberapa saat yang lalu, Restu semakin yakin jika wanita itu tengah menghadapi masalah besar seorang diri.Restu jadi bertanya-tanya dalam hati, apa Elok juga menyembunyikan penyakit tersebut dari keluarga besarnya? Merahasiakannya dari putri cantik yang usianya masih sangat belia? Pun dari suaminya?Kenapa hal seperti ini justru diketahui Restu di penghujung keputusan rapat yang sudah terencana? Jika tidak, Restu mungkin masih bisa berbaik hati dengan tidak menekan Elok dengan foto-foto tersebut.Atau, Restu mungkin akan tetap memberi Elok sebuah posisi dalam jajaran direksi di Antariksa nantinya. Entahlah, untuk saat ini Restu akan menjalani agenda yang sudah direncanakan terlebih dahulu.Restu kemudian melihat kurs
“Aku mau bicara.” Restu menatap tajam pada Raka yang hendak pergi dari ruang meeting. Berdiri tepat di depan kursi roda pria tua itu, tanpa ada niat untuk bergeser seinci pun. Sekilas, matanya berlari melihat Elok yang jalan tergesa keluar dari ruang rapat. Wajah wanita itu tampak kesal, hingga membuat rasa penasaran Restu kembali menyeruak.“Kita sudah bicara tadi pagi,” ujar Fahri mengambil alih karena harus segera membawa Raka kembali ke rumah sakit. Kondisi Raka sudah terlalu lelah, karena harus turun tangan untuk meredam gejolak perusahaan yang disebabkan oleh Restu. Untuk itulah, pria tua itu harus segera kembali ke rumah sakit dan beristirahat. “Jadi minggirlah, Res.”Restu sama sekali tidak mengacuhkan ucapan Fahri. Tatapannya hanya tertuju pada Raka untuk meminta penjelasan. “Kakek nyuruh orang masuk ke dalam apartemenku?”“Yang kamu perbuat itu salah,” ujar Raka menarik napas panjang sebentar. Rasa-rasanya, Raka tidak akan tahan jika harus berada lebih lama lagi di Antariksa
Haluu Mba beb tersaiank … Saia langsung aja umumin daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak The Real CEO, yaaa : Amy : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Call me Jingga : 750 koin GN + pulsa 150 rb LiaKim?? : 500 koin GN + pulsa 100 rb Tralala : 350 koin GN + pulsa 50 rb NuNa : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeeh @kanietha_ . Jangan lupa follow saia duluuuh .... Saia tunggu konfirmasi sampai hari rabu, 29 maret 2023, ya, jadi, saia bisa setor datanya hari kamis ke pihak GN. Tapi, kalau sudah terkumpul semua sebelum itu, bisa langsung saia setor secepatnya. Daaan, kiss banyak-banyak atas dukungan, juga atensinya untuk Mas Triplex dan Mba Elok …. Kissseeess …..
Kasih baru saja menuruni tangga rumah dengan seragam olah raga, ketika ia mendengar suara yang belakangan ini sungguh menyayat hati. Sudah semingguan ini, sang mama hampir tidak bisa melakukan kegiatan apapun karena selalu saja muntah-muntah. Awalnya, Kasih sangat gembira ketika mengetahui akan mendapatkan seorang adik lagi. Namun, setelah itu Kasih sungguh tidak tega saat melihat sang mama lebih banyak menghabiskan waktu di kamar untuk berbaring. Tidak seperti kehamilan adik pertamanya saat itu, yang tidak pernah ada drama muntah-muntah dan lemas seperti sekarang. “Mama, kenapa nggak di kamar aja?” Kasih segera menghampiri Elok yang menunduk di wastafel. Wajah sang mama pucat, dan sangat terlihat lelah. “Mama bosan di kamar,” jawab Lex yang tengah menggendong balita berusia dua tahun di tangan kanannya. Sementara satu tangan lagi, sibuk mengusap tengkuk sang istri yang belum memakan makanan apapun sedari tadi. “Nanti Ayah ke sekolah, mau ngurus antar jemput sekolah Kakak. Nggak pap
“Hei!” Elok menepuk bahu Gilang yang sejak tadi duduk diam, sambil memandang ke arah halaman depan kediaman Mahardika. Ada Kasih, Kiya, dan beberapa orang dari Event Organizer yang bernaung di bawah Gilang, tengah menyelesaikan dekorasi pesta kecil yang sebentar lagi akan adakan dengan amat sederhana. Hanya dihadiri keluarga inti, tanpa mengundang orang luar sama sekali. Pesta kecil usulan Kasih, yang lagi-lagi langsung disetujui oleh Lex tanpa harus berpikir dua kali. Kasih menginginkan sebuah pesta kejutan, untuk mengetahui jenis kelamin sang adik yang akan lahir tiga bulan lagi. Usut punya usut, ternyata ide tersebut Kasih dapatkan dari Bening saat suatu ketika Elok sempat telat menjemput di sekolah. Kedua orang itu berbicara panjang lebar, sampai Bening mengusulkan untuk membuat pesta kecil yang sudah sering dilakukan para kalangan artis atau pengusaha di ibukota. “Kalau suka, dilamar,” ujar Elok kemudian duduk pada kursi besi yang berada di teras. Tepat bersebelahan dengan Gilan
Bersyukur dan berterima kasih. Dua hal itu tidak pernah lepas diucapkan Elok setiap hari, atas kesempatan kedua yang sudah Tuhan berikan. Di antara masalah yang datang bertubi padanya kala itu, Elok masih memiliki keluarga dan banyak sahabat yang bisa dipercaya. Mereka sudah membantu Elok hingga bisa sampai di titik sekarang. Yaaa, walaupun ada yang harus ditukar dan dikorbankan, tetapi hasilnya sangat sepadan. “Jadi, misal nanti adeknya yang lahir cowok, Kasih harus sayang juga.” Sedari awal, Elok harus menjelaskan hal tersebut pada putrinya. Mau apapun jenis kelamin sang adik nanti, Kasih tetap harus bersikap baik karena mereka adalah saudara dan memiliki ibu yang sama. Tidak hanya itu sebenarnya, Kasih juga harus berbuat baik kepada semua orang, tidak terkecuali dan tidak boleh pilih kasih. “Kan, enak kalau punya adek cowok. Nanti kalau sudah besar, ada yang jagain Kasih.” Kasih bersila dan bersedekap sambil menatap perut sang mama yang duduk di tepi ranjangnya. Sebenarnya, saat
“Mas …” “Ya?” “Kenapa di dalam tadi lebih banyak diamnya?” Bila Elok perhatikan lagi, Lex lebih banyak diam sejak mereka dalam perjalanan ke rumah sakit. Pada dasarnya Lex juga bukan pria yang banyak bicara, tetapi, Elok merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran suaminya itu. “Apa ada masalah di kantor?” Lex mengeratkan tautan jemari mereka yang ada di atas pahanya. Menatap counter apotek, dari kursi tunggu yang mereka duduki saat ini. Ada banyak perasaan yang tidak bisa Lex urai, karena mengingat masa lalunya. Karena itulah, selama ia dan Elok berada di ruang periksa, Lex hanya mendengarkan semua perkataan dokter dengan seksama. Déjà vu. Ada rasa takjub dan bahagia yang sama, selama Lex berada di ruang periksa bersama Elok. Melihat layar hitam putih dengan sebuah kantung janin berusia lima minggu, sungguh membuat Lex tidak bisa berkata-kata. “Usia kehamilan almarhum istriku juga lima minggu waktu kami pertama periksa.” Kalimat itu muncul begitu saja dari mulut Lex. Ada hal yang
“Kalau lantainya ada tiga, bisa bikinin nggak, Om?” Sedari tadi, Kasih hanya menempel pada Aga. Ia melihat pria mencorat-coret desain interior rumah, yang rencananya akan direnovasi dalam waktu dekat.Aga lantas tertawa menatap Lex. Bagi Aga, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya tinggal menunggu persetujuan pemilik rumah, barulah ia bisa mengerjakannya. “Gimana, Mas? Tiga lantai?”“Tapi dikasih lift, Om,” sambung Kasih semakin membuat Aga tertawa keras. “Kan, capek, kalau naik tangga dari lantai satu sampai atas.”“Sayang.” Elok meletakkan nampan berisi tiga buah mangkok es campur di atas meja, lalu menatanya satu per satu. “Rumah tiga lantai itu terlalu besar.”“Kan, biar opa sama oma nanti tinggal di rumah kita.” Kasih menggeleng saat melihat es campur yang disajikan Elok. “Terus, ada adek-adekku juga nanti, kan, banyak.”“Banyak?” Lagi-lagi Aga tertawa mendengar kepolosan Kasih. “Memangnya, Kasih mau adek berapa?”Kasih mengulurkan tangan kanannya pada Aga, dan membuka lebar telapak
“Sayang, A …” Lex kembali menutup mulut, saat ada dua orang perempuan yang kompak memberi tatapan tanya padanya. Tadinya, Lex mengira Kasih sedang berada di kamarnya. Namun, saat Lex baru saja keluar kamar setelah mandi, gadis kecil itu ternyata sedang berada di dapur bersama Elok. Kedua tangan Kasih berada di dalam sebuah mangkok besar dengan berlumur tepung. Rupanya, gadis itu sedang “membantu” Elok membuat makan malam.“Ayah manggil aku? Atau, Mama?” tanya Kasih kembali meremas-remas ayam yang sudah ia lumuri adonan tepung.“Mama!” Lex menunjuk Elok yang tengah mengaduk sesuatu di panci. Sungguh sebuah pemandangan hangat yang tidak pernah Lex lihat seumur hidupnya, dan ini sangat luar biasa. Lex membayangkan, apa jadinya bila ia tetap bersikukuh dengan kesendirian, dan hanya fokus pada rasa kehilangan yang selalu menggerogoti jiwa. Mungkin, Lex tidak akan bisa berada di situasi seperti sekarang.“Kenapa, Yah?” tanya Elok lalu mematikan kompor di hadapan. Namun, tetap membiarkan tun
Lex terdiam melihat kantong belanjaan yang baru saja ia letakkan di kitchen island. Setelah sekian lama hidup menyendiri, ini kali pertama Lex melihat barang belanjaan yang sangat banyak ada di tempatnya. “Aku rasa, kita harus pindah.” Lex mengeluarkan satu per satu barang belanjaan dari kantong, lalu meletakkannya di kitchen island. Sementara istrinya, sedang berjongkok di depan lemari pendingin untuk meletakkan beberapa minuman kemasan di dalam sana. “Kenapa?” Elok tidak menoleh, agar bisa membereskan semua barang belanjaan yang masih ada di kitchen island dengan cepat. “Kamar Kasih sepertinya kurang besar dengan boneka yang sebanyak itu.” Lex pernah membawa Kasih yang tertidur, ke kamar gadis itu di kediaman Mahardika. Namun, Lex tidak memperhatikan gadis kecil itu ternyata memiliki boneka yang begitu banyak di kamarnya. “Mas, jangan manjain Kasih,” pinta Elok memang harus sedikit lebih tegas pada Lex. Pria itu sepertinya sama sekali tidak bisa menolak permintaan Kasih. Sementar
“Mas?” Elok menoleh ke arah jendela saat tidak mendapati Lex berada di sampingnya. Masih terlihat gelap. Belum tampak bias cahaya yang menyelinap di antara celahnya. Elok melihat ke arah nakas. Jam digital yang berada di atasnya menunjukkan sudah menunjukkan pukul 04.58. Detik itu juga, Elok mengumpat. Segera bangkit dari tempat tidur, lalu berlari menuju kamar mandi. Elok mengambil bathrobe dan segera membalut tubuhnya seraya berjalan cepat keluar kamar. “Pagi, Mas!” Elok sempat terkejut saat mendapati Lex sudah berkutat di dapur. Entah apa yang dilakukan suaminya itu, tetapi Elok tidak bisa menghampiri Lex lebih dulu. Ada Kasih yang harus dibangunkan, agar tidak kesiangan berangkat ke sekolah. “Pa …” balasan Lex terhenti karena Elok baru saja tenggelam di kamar Kasih. Tidak terlalu penasaran dengan hal yang dilakukan Elok di kamar putrinya, Lex kembali melanjutkan membakar rotinya di atas wajan anti lengket. Tidak sampai lima menit berlalu, Elok kembali keluar dari kamar Kas