“Harusnya Papa cegah El, ajuin gugatan cerai.” Begitu mendapat surat panggilan dari pengadilan, Harry segera melajukan mobilnya ke rumah sakit. Di ruangan Elok, Harry mendapati Adi sedang duduk santai sembari memakan kue kering yang ada di pangkuan. Walaupun wajah serta intonasi Harry sudah tampak emosi, tapi mertuanya itu masih terlihat santai-santai saja. “Apa Papa nggak mikirin Kasih? Terus, keluarga kita di mata orang banyak?” sambung Harry. “Itu urusanmu rumah tanggamu sama El,” sahut Adi yang memang tidak ingin ikut campur. Adi dan Dianti hanya memberi nasihat dan pandangan, dan selebihnya akan diserahkan kepada Elok. Adi tidak ingin memaksakan kehendaknya, jika hanya mengakibatkan putrinya menderita. Keputusan apapun yang diambil Elok, Adi dan istrinya hanya bisa memberi dukungan, perlindungan, dan kenyamanan. “Yang menjalani kalian, dan Papa nggak bisa ikut campur.” “Seenggaknya Papa pikirin Kasih.” Harry yang masih berdiri di tengah ruang, tetap pada pendiriannya untuk tid
Keputusan Elok sudah bulat. Tidak lagi dapat diganggu gugat oleh siapa pun juga. Baik itu Harry, Hendra, maupun Joana, mereka semua tidak lagi bisa membujuk Elok dengan apapun juga. Rasa sakit akibat kehamilan Sandra, membuat Elok patah arang dan tidak lagi bisa menerima Harry untuk menjadi suaminya.Masalah Kasih, Elok akan mencoba untuk berbicara dari hati ke hati dengan cara yang sederhana. Seiring waktu, Elok yakin putrinya akan mengerti kondisi orangtuanya yang tidak lagi bisa bersama. Terlebih, jika Kasih sudah dewasa nanti.Terluka, itu sudah pasti.Karenanya, Elok hendak berhenti memegang jabatan CEO, dan mencurahkan semua kasih sayangnya pada Kasih.“Bisa kita mampir tempat Gilang dulu,” pinta Elok pada sang papa yang berjalan di sampingnya. Sementara itu, ada Kiya yang berjalan di belakang sambil mendorong kursi roda yang digunakan oleh Elok. Karena sudah merasa bosan berada di rumah sakit, makan Elok meminta Adi untuk memulangkannya saja. Lebih baik beristirahat di rumah, d
“Mau apa ngundang mas Lex makan malam di rumah, Papaaa.”Sabar.Cuma hal itu yang bisa dilakukan Elok saat ini. Tidak mungkin Elok tiba-tiba membuka pintu mobil yang sedang melaju, lalu keluar begitu saja karena terlampau kesal dengan sang papa. Ah, papanya itu, pasti akan kembali mengerjai dan memojokkan Lex saat makan malam nanti.“Aku sudah tahu isi kepala, Papa,” tambah Elok.“Oya?” Adi merespons singkat dan setelah itu tidak lagi memberi komentar. Biarkan saja Elok dengan pendiriannya dan Adi pun akan tetap pada rencananya.“Pa!”“Ya?” Adi menoleh dengan jawaban santai.“Papa!” Kesal karena Adi berpura-pura tidak tahu, Elok akhirnya memilih membuang wajah dan kembali memunggungi sang ayah. Saat ini, Elok benar-benar dianggap seperti anak remaja yang tengah merajuk di depan Adi. “Harusnya, Papa itu ngerti, perasaan orang itu nggak bisa dipaksain begitu aja. Papa nggak bisa langsung nodong mas Lex seperti kemarin. Nggak lihat muka dia udah seperti … muka dia sudah nggak berbentuk.”
“Jadi, apa yang mau Bapak bicarakan?”Saat ini, di ruang tamu hanya ada Lex, yang duduk berseberangan dengan Adi. Seperti biasa, Lex selalu dengan sikap formalnya, sementara Adi, memasang ekspresi santai. Ada apa gerangan hingga Adi mendadak mengundangnya ke rumah untuk makan malam?Sebenarnya, Lex masih merasa enggan bertemu langsung dengan Adi, terkait masalah di rumah sakit tempo hari. Bagaimana bila pria tua itu kembali memojokkannya dengan kasus yang sama?“Kamu sudah pernah ketemu dan kenal sama Kasih?” tanya Adi.Lex mengangguk dan ikut saja ke mana Adi mengarahkan pembicaraan mereka. Walaupun, ada sedikit rasa canggung bila harus membahas semua hal terkait Elok, termasuk Kasih seperti sekarang. “Saya sudah pernah bertemu Kasih waktu jenguk Bu Elok tempo hari. Apa ada masalah?”“Masalah hak asuh Kasih,” kata Adi. Baguslah jika Lex sudah pernah bertemu dengan Kasih. Tinggal melihat bagaimana reaksi pria itu terhadap Kasih nantinya. “Tolong negosiasi dengan pengacara Harry, kalau
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Elok masuk ke kamar Adi dan langsung melempar protes dan kekesalannya. Saat ini, Elok menitipkan Kasih bersama Lex di ruang keluarga karena harus membicarakan beberapa hal dengan papanya itu.“Ini, terakhir,” pinta Elok menghampiri tempat tidur, lalu duduk di sana. Ia menyingkirkan bantal dengan asal, agar bisa menyandarkan punggung pada headboard. “Papa nggak bisa selalu seenaknya begitu sama mas Lex!”“Seenaknya?” Adi menarik resleting jaket bombernya hingga menutup bagian dada, sambil melihat Dianti yang baru saja keluar dari walk in closet.“Papa jangan pura-pura nggak tahu.” Elok mengambil sebuah bantal, lalu memeluknya. “Mas Lex itu pengacaraku, Pa, dan aku kliennya dia. Jadi, Papa nggak bisa nyuruh Mas Lex seenaknya seperti tadi. Mas Lex juga punya kehidupan di luar sana. Dia butuh istirahat karena sudah kerja seharian.”“Kamu mulai perhatian dan khawatir dengan Lex rupanya.” Adi menjauh dari tempat tidur, untuk melihat keseluruhan penampil
“Pengacara?” Kasih mengerucutkan bibir mungilnya seraya berpikir. “Apa itu pengacara?”“Pengacara itu, orang yang membela kliennya di pengadilan.” Sudah 15 menit Elok meninggalkan Lex dengan Kasih untuk pergi ke kamar Adi, tapi wanita itu belum juga kembali. Selama itu pula, Lex harus sabar menjawab semua pertanyaan, demi pertanyaan yang dimuntahkan oleh bibir mungil yang sepertinya tidak akan berhenti itu.“Apa itu klien, Om?” Kasih berhenti menggoreskan pensil warnanya ke buku gambar sebentar, untuk menatap Lex yang duduk di depannya. Pria itu duduk di sofa, sementara Kasih duduk di atas karpet dengan sebuah meja kecil yang digunakannya untuk mewarna. “Terus, pengadilan itu apa?”“Kamu nggak belajar?” Mungkin lebih baik jika Lex mengajukan pertanyaan pada Kasih.Kasih mencebik, kemudian menggeleng. “Aku capek belajar,” kata Kasih lalu kembali menyapu pensil warnanya di atas buku gambar. “Jadi, Om. Apa itu klien sama pengadilan?”Lex menghela dengan amat perlahan, karena gadis kecil
Sungguh sebuah perasaan yang tidak bisa Lex ungkapkan dengan satu kata pun. Menggendong Kasih yang tertidur ke kamarnya, lalu merebahkan gadis kecil itu di tempat tidur berwarna merah muda, dengan motif kartun yang tidak Lex ketahui. Lex juga berinisiatif untuk memakaikan selimut, lalu memandang wajah polos yang tidak berhenti mengoceh sampai akhirnya kelelahan sendiri.“Mas,” tegur Elok dengan suara pelan sambil menepuk pundak pria itu. “Maaf kalau ngerepotin lagi. Saya lagi nggak kuat ngangkat soalnya.”“Nggak masalah.” Lex berbalik dan berbicara tidak kalah pelan dengan Elok. Sekarang, tinggal menunggu Adi pulang ke rumah, barulah Lex bisa pergi dengan tenang karena telah menyelesaikan amanat yang diberikan padanya.Elok tersenyum kecil, tapi hatinya merasa terenyuh. Keadaan seperti ini mengingatkannya dengan masa-masa indahnya bersama Harry dahulu kala. Ketika Kasih tertidur di kamar mereka, atau di mana pun itu, Harrylah yang selalu mengangkat dan memindahkan putri mereka ke kama
Adi tersenyum meledek, ketika melihat Elok menghampirinya yang tengah menikmati kopi di pagi hari. Semalam, Adi sempat menguping sedikit pembicaraan yang sama sekali terdengar tidak asyik di telinga. Kendati sebutan keduanya sudah tidak lagi formal, tapi pembahasan mereka masih saja seputar proses perceraian di pengadilan.Tidak bisakan Elok memilih topik yang anti mainstream sedikit?“Jadi, sudah kirim pesan selamat pagi buat calon suami?”“Papa!” Elok menghentak kedua kakinya seperti Kasih ketika sedang ngambek, hingga membuat Adi tergelak dengan keras. Di balik sifat dominan seorang Elok di luar sana, bagi Adi wanita itu tetaplah seperti gadis kecil di matanya.“Ingat umur, El,” kata Adi ketika tawanya mulai mereda. “Lex pasti bengong, atau syok kalau lihat kamu seperti itu.”“Papaaa!” Elok duduk pada kursi besi yang berada di sudut teras belakang. Berjauhan dengan Adi yang duduk di sebelah pintu. “Aku, tuh, seperti … ck, sudahlah! Aku mau ke kantor hari ini.”“Em!” Adi menggumam s