Satu hari kemudian ...Pinka sudah siuman dari tidur panjangnya. Ia tidak mengeluh sama sekali. Saat terbangun, Pinka langsung menanyakan keadaan bayinya. Hanya bayi itu satu -satunya kenangan yang tersisa dari Sean.Kedua mata indah Pinka langsung tertuju ke arah Ibu Kyai yang setia menunggunya dari awal masuk rumah sakit hingga bayinya lahir lalu menjaga Pinka sampai tersadar. Satu tangannya memegang perutnya yang sudah kempes dan satu tangannya lagi memegang kepalanya yang masih sedikit terasa pening."Bayiku? Mana bayiku? Kenapa perutku tidak ada?" tanya Pinka sedikit histeris. Ia ingat hari naas itu. Kepalanya begitu sakit dan perutnya terasa keram hingga pandangannya kabur dan Pinka terjatuh terpeleset di kamar mandi."Pinka ... Pinka sayang ... Bayimu sudah lahir sayang. Bayimu sehat dan baiuk -baik saja. Bayimu laki -laki dan sangat tampan sekali," ucap Ibu Kyai langsung memberitahu agar Pinka tidak histeris. Ibu Kyai cukup tahu perasaan Pinka yang tersadar dan semua keadaan s
Tiga hari kemudian Pinka yang sudah pulih kesehatannya pun sudah di perbolehkan pulang. Sejak kemarin ia bertanay -tanya soal putranya yang tak kunjung di bawa ke kamarnay untuk di susui. Ibu Kyai menunjukkan beberapa foto putra Pinka sejak lahir hingga saat ini yang masih tergolek lemah di dalam inkubator.Ibu Kyai sedang membantu Pinka membereskna pakaian dan menutup resleting itu dengan rapat yang siap di bawa Pak Kyai ke dalam mobil. Siang ini, Pinka sudah di perbolehkan pulang. Selain kondisinya sudah stabil, bekas lem jahitan perutnya juga tidak ada masalah. Tidak ada kebocoran disana."Hai Pinka ...," sapa dokter kandungan yang selama ini merawat Pinka."Hai dokter ...," jawab Pinka lembut."Sudah mau pulang?" tanya doketr itu sambil meemeriksa Pinka untuk terakhir kalinya."Iya dong. Masa Pinka harus berlama -lama disini. Buat apa?" jawab Pinka santai."Aku kesepian dong," jawab dokter itu denagn wajah serius sambil membuka jarum infusan di punggung tangan Pinka. Jarak mereka
Satu bulan kemudian ...Kehidupan terus berjalan memutar waktu yang terus bergulir tanpa henti. Semua terhenti, bilan jantung sudah tak berdetak lagi. Tidak ada yang bisa melawan takdir, tidak ada yang bisa mengenyahkan hidayah yang turun.Saat ini Fatih berada di sebuah Pondok dan ingin menjadi oarang yang lebih baik lagi. Ia mengakui semua kesalahan dan ekkejaman yang ia lakukan selama hidupnya hanya untuk sebuah popularitas. Ia bsia membunuh seseorang hanya karena dendam dan banyak merusak otak banyak orang untuk bisa hidup kaya secara instant. Sudah berapa banyak wanita yang ia tiduri dan terakhir hanya di lempar dengan beebrapa lembar uang kertas sebagai pengganti kenikmatan semalam yang telah di berikan."Kamu ingin bertobat? Ini dari dalam hati atau memang kamu hanya penasaran dengan janji Tuhan?" tanya seoarng guru besar pada Fatih."Aku ... Aku ingin bertobat. Hidupku rasanya tak tenang. Aku banyak melakukan dosa, dan atas nama Ibuku, aku tidak akan kembali padanya jika jiwak
Sean menunduk menatap ke bawah. Di sana Zahra sudah bersimpuh di kakinya. Menciumi punggung kakinya berulang kali seolah ia ingin meminta maaf karena telah melakukan sebuah dosa besar dan menyembunyikannye hingga saat ini."Maafkan aku, Zahra. Aku sedang terburu -buru. Komandan sudah meneleponku sejak tadi. Aku telah menerima tugas baru," ucap Sean kemudian memundurkan tubuhnya ke belakang satu langkah membuat Zahra melepaskan pelukan tangannya di kaki Sean lalu menatap Sean denagn sendu."Mas Sean benar tidak ingin mendengarkan cerita Zahra?" tanya Zahra denagn isak tangis yang tertahan."Soal apa? Soal kehamilan kamu? Kamu hamil dengan yang lain? Kamu hamil bukan dari benihku? Itu kebenaran yang mau kamu ungkap? Hah? Kamu pikir selama ini aku diam tapi tidak berpikir? Kamu pikir selama ini aku hanya mengangguk pasrah mengikuti keinginan kamu, Zahra? Aku hanya menghargai Abimu saja, tidak lebih," ucap Sean denagn suara tegas.Deg!Deg!Deg!Jantung Zahra seolah ingin berhenti saat it
Suara Zahra begitu terdengar bergetar. Tapi suara itu sama sekali tak mengubah perasaan Sean yang terus mengiba pada sosok Zahra. Sean tak peduli denagn apa yang terjadi pada Zahra. Bagi Sean, untuk apa saat ini ia melakukan pembelaan? Kenapa Zahra tak mengakuinya setelah kejadian? Kalau hanya untuk mempertahankan cintanya pada Sean, tentu ini bukan cara yang benar."Mas!! Mas Sean!! Tolong Zahra, Mas!! Berikan Zahra satu kesempatan untuk memperbaiki diri Zahra asal Zahra tidak Mas ceraikan!! Mas Sean!!" teriak Zahra denagn suara lantang.Tubuh SEan yang tegap dan gagah tetap melanjutkan langkahnya dan terus berjalan menuju ke arah luar Pondok Pesantren itu. Tadi Sean sudah mengirimlan pesan singkat kepada Kyai Abdulah tentang perjalanan dinasnya ke luar kota.Selama beberepa bulan berada disini, Sean begitu tertekan. Apalagi setelah smeua hartanya ia jual untuk pengobatan dan terapi di rumah sakit. Sean dan Ibu AIsyah hanya bisa hidup menumpang dan seolah tak punya harga diri."Sean!
Sontak Pinka tertawa untuk menutupi rasa gugupnya yang membuat ia salah tingkah pagi ini. Reno terus menatap Pinka dengan lekat, ia tahu Pinka sedang menutupi rasa malunya sendiri."Kenapa malah tertawa? Kamu kira aku bercanda soal ini?" tanya Reno kemudian sambil menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya.Pinka menggelengkan kepalanya pelan dan berusaha membalikan tubuhnya lalu mencari aktivitas lain.Jantung Pinka terus berdegup keras dan rasanya sungguh seperti terintimidasi bagai maling yang sedang tertangkap basah.Setidaknya Pinka harus bisa menjaga dirinya sendiri di saat seperti ini."Pinka ... Kamu tidak mau menjawab?" tanya Reno kembali mencoba bertanya sekali lagi.Suara lembut Reno berusaha tak di dengar oleh Pinka. Selama ini Reno sangatlah baik, dan tak memiliki cacat akhlak di mata Pinka. Lelaki yang gagah, ganteng, dan sikapnya ramah serta lembut membuat Pinka nyaman bekerja di apartemen RenoReno sudah berdiri di belakang Pinka dan memegang bahu Pinka dengan lembut dan
Saat Ibu Aisyah ingin memberikan bayi perempuan cantik itu di pangkuan Zahra, denagn tegas Zahra menolak bayi perempuan itu. Bayi perempuan yng dianggap sial bagi Zahra. Gara -gara kehadiran bayi perempuan itu, hidup Zahra berubah menjadi wanita yang paling hina did epan Sean, suaminya sendiri. Tak hanya itu, Sean pun sudah hampir setahun ini tak pernah menyentuhnya sama sekali. Sean memilih tidur di sofa atau di lantai dengan alas karpet dan selimut di bandingkan harus tidur bersama Zahra di ranjang."Zahra ini putrimu, bayi yang baru saja kamu lahirkan dari rahim kamu sendiri. Kenapa kamu tidak mau menyusuinya? Apa kamu tega melihat putrimu ini menangis etrus menerus?" tanya Ibu Aisyah."Zahra tidak peduli. Bawa pergi bayi itu!! Bawa pergi dan jangan pernah lagi di tunjukkan pada Zahra!! Zahra mohon bawa pergi bayi perempuan itu!!" teriak Zahra semakin histeris sambil memegang kepalanya lalu menutup kedua telingannya denagn kedua telapak tangannya. Ia benar -benar tidak ingin menden
Lelaki itu hanya menatap sekilas dan bayi kecil itu sangat mirip dengan seseorang. Tapi siapa?"Pinka!" panggil Reno sambil ebrlari kecil menghampiri Pinka."Pak Reno? Ada apa? Bukannya Pak Reno sedang bekerja," tanya Pinka kemudian."Hari ini pekerjaanku lebih cepat di awal. Aku habis bantu operasi caesar seorang wanita. Aku ingin istirahat sejenak, aku lelah Pinka. Beberapa hari ini banyak operasi caesar yang aku tangani dan sekarang aku ingin mengajakmu pergi bersama Adzan," pinta Reno kemudian tanpa menyadari seseorang yang duduk di dekat Pinka.Lelaki yang berada di samping Pinka pun menoleh ke arah Reno, dokter kandungan yang menolong Zahra saat melahirkan. Reno pun ikut melirik ke arah lelaki yang kini sedang menatapnya lekat."Kamu? Saudaranya perempuan yang melahirkan kemarin, bukan?" tanya Reno kemudian."Betul sekali. Saya Zhein, dokter Reno. Saudara laki -laki Zahra," ucap Zhein memperkenalkan dirinya. Zhein melirik ke arah Pinka yang sudah tentu mengenalnya jika wanita it
Itulah Adzan. Lelaki pemberani dan kuat yang tak akan menyerah dalam situasi apapun. Adzan adalah lelkai yang menjaga harga diri keluarganya. Baginya keluarga adalah prioritasnya. Barang siapa yang mengganggu keluarganya, maka akan berhadapan dan berurusan dengan dirinya.Adzan sudah mematika mesin motornya dan turun masuk ke dalam gedung tua. Disana terlihat Marko sedang bersantai dan minum -minuman keras bersama komplotannya."Marko!! Kamu apkan Ainul!!" ucap Adzan dengan suara yang begitu keras dan lantang. Adzan masuk ke dalam gedung sendirian. Reza dan teman -temannya bersembunyi di tempat lain sesuai arahan Adzan tadi.Marko meletakkan botol minumannya di atas meja dan bangkit berdiri untuk melihat siapa yang memanggil namanya dengan berani. Kedua matanay menyipit dan emnatap tajam ke arah Adzan."Kamu? Adzan bukan?" tanya Marko dengan suara tak kalah lantang.Sebagai pemimpin genk motor, Marko tak boleh terlihat lemah didepan anak buahnya. Apalagi yang datang adalah orang asing
"Umi kenapa sih, Kak?" tanya Ainul pada Adzan yang sambil mencuci piring. Adzan sedang mengelap meja makan dan menutup smeua sisa makanan denagn tudung saji."Umi cuma lelah aja. Cepat Ainul, kamu juga harus istirahat terus belajar. Besok hari terakhir ujian. Kmau harus semangat," titah Adzan lalu menyapu ruang makan dan menyeruknya dan membuang sampah."Iya Kak. Oh ya, Memang Kakak mau ke Mesir juga?" tanya Ainul lembut sambil mencuci tangannya setelah selesai mengerjakan tugasnya."Iya. Biar mimpimu kamu tidak terhenti," ucap Adzan kemudian lalu membuatkan susu untuk Ainul.Adzan memberikan susu itu pada AInul dan menyuruhnya cepat masuk ke dalam kamar. Adzan juga masuk ke dalam kamarnya dan belajar untuk hari terakhir ujian.***Pagi ini, suasana rumah sudah kembali seperti biasa. Pinka dan Sean hanay membeli makanan dari ujung gang rumahnya. Hari ini, Sean ingin memanjakan istrinya agar tidak memasak dan membiarkan membeli semuanya."Tumben makanannya begini," ucap Fatima menatap
Satu jam sudah Ainul bercerita tentang semuanya. Tak ada satu cerita pun yang di lewatkan oleh Ainul. Awal mula cerita tentang Marko dan ancaman Marko hingga Ainul bisa terjebak dalam kehidupan malam MArko.Adzan terdiam sesaat. Ia mencari solusi yang tepat dan cara untuk bicara denagn baik tanpa menimbulkan masalah baru bagi Ainul."Jadi benar itu anak Marko?" tanya Adzan pada AInul yang mengangguk pasrah sambil menunduk.Kedua mata Ainul sudah basah dan tak bisa lagi membendung air mata itu. Adzan memebrikan sapu tangannya kepaad Ainul."Ini ... Hapuslah air mata kamu. Jangan bersedih Ainul. Semua yang sudah terjadi itu adalah takdir. Sekarang bagaiaman kita menyikapi maslaah itu sebagai ujian dan pendewasaan. Ada Kakak, kita bisa cari solusi bersama. Kamu sekarang maunya gimana?" tanya Adzan pada Ainul.Ainul sedang menghapus air matanay dan cairan dari hidung yang keluar begitu saja. Lalu mengangkat wajahnya dan menatap Adzan dengan malu. Wajaah Ainul sudah memerah karena menahan
Adzan tetap setia menunggu Ainul didepan ruang BK. Setelah mencari tahu, ternyata Ainul sedang mengerjakan ujian kemarin yang memang tidak dikerjakan karena tidak masuk.Adzan sudah menyuruh beberapa teman- temannya di Panti untuk mencari tahu keberadaan Marko. Ada kabar berita yang cukup membuat Adzan terkejut.Satu jam kemudian Ainul keluar dari ruang BK dengan wajah lesu dan tubuh yang etrlihat lemas. Adzan menyodorkan susu kotak untuk IAnul setelah melihat Ainul keluar dari ruang BK."Minumlah biar tubuhmu gak lesu begitu. Kasiha janinmu," bisik Adzan pada Ainul.Ainul menatap Adzan yang tidak menatap Ainul dan hanya menyodorkan susu kotak tanpa harus menatap adiknya. Adzan tak tega melihat wajah Ainul yang begitu terlihat kelelahan."Makasih," jawab Ainul pasrah. Ia menerima susu kota itu dan menancapkan sedotan dilubang kotak itu dan menyeruput nikmat. Susu strawberry yang begitu dingin dan manis sungguh membuat kerongkongan Ainul kembali basah dan mEnghilangkan rasa dahaga yang
Ainul masuk ke dalam sekolah dengan perasaan marah terhadap Adzan. Kedua kakak adik itu biasanya selalu akur dan harmonis. Tapi, kini keduanya bagai kucing dan anjing yang siap menerkam satu sama lain.Adzan yang begitu sayang pada AInul terlalu posesif. Ainul yang sedang tertimpa masalah juga egois menyembunyikan masalahnya itu sendirian saja tanpa ingin diketahui oleh siapapun."Ainul? Kamu kenapa kemarin gak masuk? Dipanggil guru BK katanya ingin susulan kapan?" ucap teman Ainul yang memberikan informasi langsung dari gurunya."Oh oke. Makasih ya, Vin. Aku kesana sekarang," ucap Ainul yang merasa ada sesuatu yang tak beres. Dadanya bergemuruh dan perasaannya tiba -tiba menjadi tidak enak.Ainul mengetuk pintu ruangan BK dan dari dalam terdengar sahutan Bu Eri yang menyuruhnya segera masuk."Masuk!""Maaf Bu. Ibu panggil Ainul?" tanya Ainul kemudian."Ohh Ainul? Iya. Ibu cari kamu. Sini masuk. Kemarin kamu tidak masuk kenapa? Tidak ada permohonan ijin atau surat keterangan sakit dar
Keesokan paginya, Adzan tetap merencanakan semua apa yang telah ia rencanakan bersama anak panti untuk mengikuti Ainul kemana pun perginya seharian ini. Adzan sudah duduk manis disalah satu kursi makan sambil menikmati sarapan paginya. Pikiran Adzan jelas sedang bercabang sejak kemarin. Kenapa dihari penentuan nasibnya untuk lulus malah dihadapkan pada masalah besar seperti ini.Sean sudah masuk ke ruang makan untuk sarapan pagi bersama ketiga buah hatinya. Fatima menyusul dengan wajah serius dan Ainul belum nampak sama sekali batang hidungnya. Ada perasaan penasaran dihati Adzan dan ingin menghampiri Ainul ke kamar gadis itu. Tapi Adzan tetap berusaha tenang dan tidak tereburu -buru dengan segala egonya. Ia tidak ingin membuat Pinka, Uminya menjadi khawatir. Perempuan setengah baya itu terlalu peka untuk urusan kecil seperti ini."Mi ..," panggil Abi setelah menyeruput kopi hitam.Pinka pun masuk ke ruang makan sambil tergopoh -gopoh dan membawa telor dadar di piring besar."Iya Bi?
Hari ini pukul satu dini hari, Adzan terbangun dan bangkit dari tempat tidurnya lalu membuka kamarnya. Suasana dirumah itu begitu sunyi dan hening. Adzan berjalan menuju dapur untuk mengambil air dan cemilan di lemari es untuk mengisi perutnya yang mulai terasa lapar dan menemani ia belajar hingga pagi menjelang.Sesekali Adzan mendengar suara desahan dari kamar kedua orang tunya. Adzan hanya tersipu malu mendengarnya."Ainul? Kamu sedang apa?" tanya Adzan menatap Ainul yang sedang sibuk memasak air.Ainul menoleh ke arah belakang melihat Adzan yang berjalan pelan menghampirinya."Kak Adzan ngapain? Peduli amat?" ucap Ainul yang semakin ketus."Lho ... Kakak kan emang peduli sama kamu, Nul. Kamunya aja yang gak paham dan gak peka," ucap Adzan lembut.Adzan tahu Ainul ingin menikmati mie instant malam ini. Adzan mengambilkan beberapa bakso dan sosis yang kemudian direbus didalam air."Ainul gak mau pakai sosis sama bakso. Ainul mual, Kak," ucap Ainul langsung menutup hidungnya dengan
"Semua orang tua pasti akan memberikan yang terbaik untuk anak -anaknya. Mana ada orang tua yang membiarkan buah hatinya mearsakan, kesakitan, kesedihan, kegagalan. Makanya setiap orang tua akan selalu mendoakan anak -anaknya agar berhasil dan sukses menjadi orang hebat," ucap Umi Pinka begitu tulus."Umi ... Kalau ternyata Ainul gagal menjadi anak yang baik bagaimana?" tanya Ainul dengan raut wajah begitu sedih.Ainul merasa hidupnya semakin etrtekan jika membohongi dirinya sendiri dan keluarganya seperti ini.Pinka terus menatap Ainul yang menangis tanpa henti. "Sebenarnya ada apa? Kamu seperti menyembunyikan sesuatu dari Umi? Kamu dan Adzan bertingkah aneh hari ini. Memangnya ada masalah apa? Mungkin Umi bisa bantu?"tanya Pinka begitu pelan dan membuat hati Ainul semakin berdesir.Ainul kembali memeluk Uminya. Ia belum sanggup menceritakan semuanya. Ainul berjanji setidaknya sisa ujian akhir ini bisa ia kejar untuk mendapatkan nilai yang baik.Pinka membalas pelukan itu dengan penu
"Kakak tanya sama kamu, Nul!! Jawab pertanyaan Kakak!!" tanya Adzan mulai geram.Sejak tadi Ainul seperti menyembunyikan sesuatu membuat rasa penasaran Adzan semakin membuncah.Ainul melengos dan menatap ke arah atap kamarnya. Ia tak mau peduli dengan pertanyaan Adzan yang membuat dirinya mati kutu tak bisa menjawab.Semua ini adalah salahnya!! Memberkan celah untuk Marko. Lalu saat ini? Marko ternyata hanya mempermainkannya saja karena rasa penasaran."Cepat jawab!! Atau bukti ini Kakak berikan pada Umi dan Abi?" ucap Adzan mengancam sambil menunjukkan alat tespek tadi."Bawa sini Kak!! Itu milik orang lain, bukan aku," ucap Ainul membela diri.Ainul berusaha berdiri dan mengambil bungkusan itu dari tangan Adzan."Sini Kak!!" ucap Ainul dengan suara keras."Gak akan!! Ini adalah bukti. Satu lagi, kakak tidak percaya kalau ini punya orang lain. Kakak akan cari siapa lelaki yang telah menghamili kamu? Marko kah?" tuduh Adzan dengan tepat sekali.Ainul menggelengkan kepalanya cepat. "Bu